TAK dimungkiri, kemajuan suatu bangsa tak bisa dilepaskan dari baik buruknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Pendidikan adalah upaya komprehensif meningkatkan sumber daya manusia. Jikalau suatu bangsa menginginkan dirinya menjadi bangsa yang maju dan beradab, syarat utama yang harus dipenuhi adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan mengedepankan kualitas pendidikan dalam segala aspeknya .
Namun sayang, kualitas pendidikan di Indonesia tampaknya belum sepenuhnya menuai kenyataan seperti yang diharapkan. Meski banyak indikasi yang bisa dipaparkan, namun yang paling gampang adalah melihat produk pendidikan itu sendiri. Betapa tidak. Hari-hari ini dengan kasat mata dapat kita saksikan betapa degradasi moral dan mental bangsa ini telah sampai pada titik nadir. Tragedi kemanusiaan merajalela, korupsi yang menggurita, rasa malu yang kian menipis, perilaku budaya yang hina-dina, serta berbagai berbagai macam kemungkaran sosial lainnya. Diakui atau tidak, lembaga pendidikan sedikit banyak turut memiliki andil di dalamnya.
Pada saat yang bersamaan, guru yang semestinya menjadi panutan, ada sebagian justru melakukan hal-hal yang bertolak-belakang dengan statusnya. Betapa batin kita miris ketika mendengar berita-berita mutakhir. Guru yang digerebek akibat melakukan perjudian, guru yang terlibat perselingkuhan, guru yang harus berurusan dengan polisi gara-gara melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya seperti kasus yang terjadi di Jakarta beberapa hari ini, dan masih banyak lagi Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan kita? Mengapa dengan semakin meningkatnya jumlah sarjana-sarjana sekolahan, ternyata tak berbanding lurus dengan peningkatan moral atau akhlak?
Pendidikan memang bukan persoalan remeh, tak hanya sebuah proses dimana para peserta didik datang berduyun-duyun ke lingkungan sekolah untuk dijejali berbagai macam pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah upaya komprehensif memanusiakan manusia (humanisasi). Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan komitmen yang total dari stake holder dunia pendidikan mulai dari pihak sekolah, pemerintah, masyarakat, dan tentu saja guru. Guru sebagai ujung tombak harus menyadari posisinya, bahwa ia bukan hanya sekedar melakukan transformasi pengetahuan (transfer of knowledge), namun yang terpenting sesungguhnya transformasi nilai (transfer of value). Untuk bisa melakukan itu, sudah semestinya jika seorang guru harus mampu melihat jauh ke ‘dalam’ dirinya, sebelum ia bergerak ‘keluar’. Dengan mampu melihat ‘kedalam’, seorang guru akan memiliki daya dobrak luar biasa ketika beraktifitas ‘keluar’ bersentuhan dengan siapapun yang menjadi beban dari tanggung-jawabnya.
Asmaul Husna, Sebuah Acuan AlternatifArtinya, sebelum guru memposisikan dirinya sebagai malik (manusia yang ‘menguasai’ permasalahan pendidikan dalam setiap detailnya ), qudus (manusia suci yang tak memiliki mental hipokrit), salam (menyelamatkan kehidupan para murid dari kesesatan hidup), mu’min (mampu memberikan rasa aman ), dan lain sebagainya. Yang pertama kali harus dilakukan oleh guru adalah memiliki kerendah-hatian untuk bersedia secara ajeg menimba pengetahuan supaya bisa sampai pada wilayah ‘alimul ghaibi was syahadah (mengetahui yang gaib dan yang nyata). Pada proses itu, kesadaran cinta (rahman rahim) harus senantiasa digelorakan agar pekerjaan yang dilakukan guru menjadi sedemikian bermakna.
Struktur nama-nama Tuhan yang baik (Asmaul Husna) dalam Al Qur’an mungkin bisa dijadikan acuan alternatif untuk meningkatkan mutu guru sebagai agen pembelajaran. Lihatlah betapa sebelum Tuhan meletakkan dirinya sebagai Malik (Yang Menguasai, Raja Diraja), Qudus (Maha Suci), Salam (Penabur Keselamatan), Mu’min (Yang Mengamankan), Muhaimin (Penjamin Ketentraman), dan seterusnya sampai Azizul Hakim (Maha Perkasa lagi Bijaksana). Terlebih dahulu Tuhan berposisi sebagai ‘Alimul ghaibi was Syahadah (Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata). Pada rentangan itu, Sang Maha Pendidik itu menegaskan dirinya sebagai Rahman Rahim (Maha Pengasih dan Penyayang ) (Al Hasyr: 22-24).
Ghaib dalam simbolisasi ‘Alimul Ghaibi tak boleh diartikan sekedar sebagai dunia diluar panca indra sebagaimana dunianya malaikat, jin, iblis, setan, lelembut, dan sejenisnya. Ketika seorang guru belum mengetahui secara jelas permasalahan yang menyangkut anak didik, hal itu adalah perkara gaib baginya. Pada saat guru belum memahami latar belakang kehidupan muridnya secara komprehensip, tentang bagaimana harus memperlakukan dia, jurus apa yang harus digunakan supaya murid bisa memahami penjelasan yang diberikan, hal itu adalah ghaib. Maka, ‘Alimul Ghaibi adalah etos kreatif, keadaan dimana guru melakukan perjalanan intelektual terus menerus menyingkap hal-hal ghaib itu agar menjadi kenyataan hidup yang tak terbantahkan.
Dalam kurun waktu yang lampau, Imam Ghazali pernah mengelompokkan manusia menjadi empat jenis berdasar pada mentalitas kepribadiaannya;
Manusia yang mengerti dan mengerti bahwa dia mengerti, manusia yang mengerti dan tak mengerti bahwa dia mengerti, manusia yang tidak mengerti dan mengerti bahwa dia tak mengerti, manusia yang tidak mengerti dan tak mengerti bahwa dia tidak mengerti.Dalam konteks ini, tak ada salahnya jika guru bersedia melakukan pemetaan terhadap dirinya sendiri untuk mengukur pada posisi mana dia berada. Dengan mengetahui secara jelas kondisi internal kepribadiannya, guru akan mampu melakukan yang terbaik, sehingga pameo yang berlagsung sekian abad itu tidak akan tercederai. Bahwa guru itu pribadi yang pantas digugu dan ditiru, bukan manusia yang melulu nek minggu turu (kalau minggu tidur). Wallahu a’lam bisshawab?(*)
Ditulis : Em. Syuhada', Kebetulan seorang guru yang tinggal di Lamongan.
GURU: ‘Digugu dan Ditiru’ ataukah ‘Nek Minggu Turu’?
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>