Tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total dengan kemauan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan kita semua. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini.
PERAN guru dalam dunia pendidikan tak bisa dipandang sebelah mata. Guru adalah ujung tombak yang menentukan hitam putihnya proses pembelajaran. Itulah sebabnya, tak salah guru dipandang sebagai tenaga profesional yang tentu saja harus dijamin hak-haknya. Dikeluarkannya Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah upaya pemerintah melindungi hak-hak guru sebagai tenaga profesional. Undang-undang yang merupakan dasar pelaksanaan program sertifikasi guru dalam jabatan, selain bertujuan meningkatkan kualitas guru, juga berakibat pada peningkatan kesejahteraan secara finansial. Hal penting yang kemudian harus dipertanyakan, apakah pelaksanaan sertifikasi itu akan secara otomatis meningkatkan kualitas guru, untuk selanjutnya meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa ketika kesejahteraan hidup telah terpenuhi, kualitas guru juga akan lebih bermutu?
Setyati Rahayu (SR), dalam tulisannya berumbul Makna Sertifikasi Guru dan Model Pembelajaran (Radar Bojonegoro, 14/4/2010) mencoba ‘menggugat’ hal tersebut, SR menyoroti program sertifikasi yang menurutnya kontradiktif dengan tujuan asalnya. Sertifikasi yang asalnya bertujuan meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan, berubah menjadi ajang pencapaian tunjangan profesi semata. Itulah sebabnya, sertifikasi meskipun berdampak pada kesejahteraan guru, ternyata tak berkorelasi positif terhadap mutu pendidikan. Meski tidak seratus persen benar, tapi hasil pelaksaan Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2012 yang lalu patut menjadi perenungan bersama.
Berbeda dengan SR, Amin Mustofa, S.Pd (AM) terkesan “berang”. Dalam tulisan berjudul Sertifikasi Tak Berkorelasi Positif terhadap Mutu Pendidikan? (Radar Bojonegoro, 18/4/2010), AM menyoroti tulisan SR. Menurutnya, SR terlalu serampangan dan tergesa-gesa dengan anggapannya. Mestinya, SR harus menyuguhkan bukti kongkrit yang berasal dari data penelitian, atau semacamnya, sehingga tulisannya bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun toh ada guru produk sertifikasi yang ternyata berkinerja rendah, itu lebih bersifat oknum dan tak bisa digeneralisasi. Guru semacam itu pun tak bisa begitu saja disalahkan, karena mereka membutuhkan proses. Alhasil, menurut AM sertifikasi bukanlah program yang sia-sia.
Memang, tidak semua guru bermental semacam itu. Namun apapun, hal tersebut tentu mencoreng wajah dunia pendidikan kita. Maka tak ada jalan lain, satu-satunya yang harus ditempuh agar pendidikan di Indonesia mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan adalah kembali pada masing-masing guru untuk membangun komitmen dalam dirinya masing-masing. Guru memang memiliki fungsi strategis dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-jawab.
Permasalahannya kemudian, bagaimana seorang guru mampu menjalankan fungsi semacam itu jika ia sendiri tidak memiliki karakter sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Analoginya sederhana, mungkinkah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain jika ia sendiri tak memiliki sesuatu untuk diberikan? Mungkinkah seorang guru akan mengajarkan kejujuran jika ia sendiri tidak jujur? Hal semacam ini patut menjadi renungan kita bersama, terutama para guru yang ketercerahan kehidupan masa depan terletak dipundaknya. Alangkah naif, jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
Menjadi guru mungkin bukan pilihan, tapi ketika seorang manusia telah terseret dalam arus pusaran takdir dengan keniscayaan menjadi guru tanpa kemampuan sedikitpun menghindar dari keniscayaan semacam itu, pada saat yang bersamaan ia harus segera menyadari bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Bahkan saking mulianya profesi itu, Sayyidina Ali yang merupakan pintu ilmu, bersedia menjadi hamba seseorang yang mengajarkan satu huruf kepadanya. Maka alangkah naifnya jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
*) Penulis adalah Guru PAI SDN Talunrejo III Kec. Bluluk. Tinggal di Ngimbang Lamongan.
Setyati Rahayu (SR), dalam tulisannya berumbul Makna Sertifikasi Guru dan Model Pembelajaran (Radar Bojonegoro, 14/4/2010) mencoba ‘menggugat’ hal tersebut, SR menyoroti program sertifikasi yang menurutnya kontradiktif dengan tujuan asalnya. Sertifikasi yang asalnya bertujuan meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan, berubah menjadi ajang pencapaian tunjangan profesi semata. Itulah sebabnya, sertifikasi meskipun berdampak pada kesejahteraan guru, ternyata tak berkorelasi positif terhadap mutu pendidikan. Meski tidak seratus persen benar, tapi hasil pelaksaan Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2012 yang lalu patut menjadi perenungan bersama.
Berbeda dengan SR, Amin Mustofa, S.Pd (AM) terkesan “berang”. Dalam tulisan berjudul Sertifikasi Tak Berkorelasi Positif terhadap Mutu Pendidikan? (Radar Bojonegoro, 18/4/2010), AM menyoroti tulisan SR. Menurutnya, SR terlalu serampangan dan tergesa-gesa dengan anggapannya. Mestinya, SR harus menyuguhkan bukti kongkrit yang berasal dari data penelitian, atau semacamnya, sehingga tulisannya bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun toh ada guru produk sertifikasi yang ternyata berkinerja rendah, itu lebih bersifat oknum dan tak bisa digeneralisasi. Guru semacam itu pun tak bisa begitu saja disalahkan, karena mereka membutuhkan proses. Alhasil, menurut AM sertifikasi bukanlah program yang sia-sia.
Untuk menetralisir dua hal tersebut, ada baiknya memperhatikan makalah yang disampaikan Dr. Fasli Jalal, Phd. pada seminar pendidikan yang diselenggarakan PPS Unair, tanggal 28 April 2007 silam. Menurutnya, sertifikasi sebagai upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan tak boleh dimaknai sepenggal oleh para guru, namun harus dipahami secara utuh. Sejak awal harus ada penekanan, bahwa sertifikasi hanyalah sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada pemisahan yang jelas antara tujuan yang akan dicapai dengan alat yang digunakan. Kalau kemudian ada peningkatan kesejahteraan guru dalam hal tunjangan profesi, hal itu semata-mata konsekuensi logis dari kemampuan yang dimaksud. Tapi itu sama sekali bukan tujuan.Namun dalam pelaksanaannya, tak dimungkiri bahwa ada sebagian guru yang terjebak pada kedangkalan berfikir dengan meletakkan cara sebagai tujuan. Lihatlah pada awal-awal pelaksanaan sertifikasi. Berbagai kasus kecurangan kerap kali ditemui dalam penyusunan dokumen portofolio. Manipulasi jam mengajar, penjiplakan karya tulis ilmiah, pemalsuan penghargaan atau sertifikat pelatihan, hanyalah segelintir contoh, bahwa ketika sertifikasi diletakkan sebagai tujuan, maka gerbong sertifikasi mungkin akan keluar dari relnya. Yang terutama bagi guru semacam ini tidak berusaha sedemikian rupa meningkatkan kualitasnya, justru yang terutama hanyalah mendapatkan sertifikat pendidik demi memiliki kemungkinan mendapatkan kehidupan yang layak dengan memperoleh tunjangan profesi.
Memang, tidak semua guru bermental semacam itu. Namun apapun, hal tersebut tentu mencoreng wajah dunia pendidikan kita. Maka tak ada jalan lain, satu-satunya yang harus ditempuh agar pendidikan di Indonesia mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan adalah kembali pada masing-masing guru untuk membangun komitmen dalam dirinya masing-masing. Guru memang memiliki fungsi strategis dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-jawab.
Permasalahannya kemudian, bagaimana seorang guru mampu menjalankan fungsi semacam itu jika ia sendiri tidak memiliki karakter sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Analoginya sederhana, mungkinkah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain jika ia sendiri tak memiliki sesuatu untuk diberikan? Mungkinkah seorang guru akan mengajarkan kejujuran jika ia sendiri tidak jujur? Hal semacam ini patut menjadi renungan kita bersama, terutama para guru yang ketercerahan kehidupan masa depan terletak dipundaknya. Alangkah naif, jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
Menjadi guru mungkin bukan pilihan, tapi ketika seorang manusia telah terseret dalam arus pusaran takdir dengan keniscayaan menjadi guru tanpa kemampuan sedikitpun menghindar dari keniscayaan semacam itu, pada saat yang bersamaan ia harus segera menyadari bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Bahkan saking mulianya profesi itu, Sayyidina Ali yang merupakan pintu ilmu, bersedia menjadi hamba seseorang yang mengajarkan satu huruf kepadanya. Maka alangkah naifnya jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
Saya tak mengatakan bahwa uji sertifikasi bukan hal yang penting. Tapi percayalah, tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total dengan kemauan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan kita semua. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini.Sekali lagi, sertifikasi hanyalah alat, bukan tujuan. Para guru harus cerdas membedakannya. Jika tidak, jangan terlalu banyak berharap bahwa program sertifikasi akan meningkatkan mutu guru, untuk kemudian meningkatkan kualitas pendidikan. Walhasil, kualitas pendidikan di Indonesia tak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan, bahkan mungkin akan semakin terpuruk di kolong sejarah. Wallahu A’lam Bisshawab.***
*) Penulis adalah Guru PAI SDN Talunrejo III Kec. Bluluk. Tinggal di Ngimbang Lamongan.
Makhluk dari Manakah Sertifikasi itu?
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>