KH. Salahuddin Wahid
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
KETIKA dimintai kesediaan memberi kata pengantar buku ini oleh Saiful Amin Ghofur, semula saya bertanya dalam hati: siapakah KH.Arief Hasan itu?
Nama KH. Arief Hasan memang belum begitu akrab di telinga saya. Akan tetapi, setelah berdiskusi sejenak dengan Saiful ketika ia berkunjung ke Tebuireng beberapa waktu lalu, saya baru tahu bahwa KH. Arief Hasan adalah santri al-mukarram KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1930-an.
Walau tak begitu lama nyantri kepada al-mukarram KH. Hasyim Asy’ari, kira-kira 6 tahun, namun KH. Arief Hasan berhasil mendirikan Pondok Pesantren Roudlotun Nasyi’in di Beratkulon Kemlagi Mojokerto.
Ini sekaligus menjadi bukti keberhasilan al-mukarram KH. Hasyim Asy’ari dalam mendidik santri-santrinya. Karena itulah, saya menyambut positif terbitnya buku ini, sebab telah memperpanjang deretan bukubuku otobiografi para kiai NU yang telah terbit sebelumnya.
Tradisi penulisan semacam ini perlu dibudayakan lebih lanjut dalam dunia pesantren mengingat masih banyak sosok kiai NU yang sudah lama wafat, tetapi belum ada upaya serius untuk membukukannya.
Seperti halnya KH. Arief Hasan ini. Seandainya tidak muncul inisiatif untuk dibukukan, bukan tidak mungkin data, terutama yang diakses dari saksi hidup, akan semakin sulit diperoleh. Belum lagi minimnya data tertulis kian mengindikasikan lemahnya budaya tulis di kalangan pesantren sendiri.
Terlepas dari faktor di atas, saya ingin menggarisbawahi beberapa hal berkenaan dengan sejarah hidup KH. Arief Hasan. Pertama, tentang kepatuhan. Aspek ini amat penting diteladani. Sewaktu KH. Arief Hasan menimba ilmu di Tebuireng, kepatuhan terhadap almukarram KH. Hasyim Asy’ari terlihat sangat menonjol.
Faktor kepatuhan terhadap kiai dalam konteks belajar bisa menjadi salah satu sebab keberhasilan. Demikian pula dalam konteks hidup bermasyarakat, faktor kepatuhan terhadap pemimpin dapat mendorong terciptanya kebahagiaan. Akan tetapi, tentu kepatuhan di sini hanya berlaku dalam hal positif, bukan negatif.
Namun perlu dipahami bahwa hubungan antara santri dengan kiai pada saat ini amat berbeda dengan hubungan KH. Arief Hasan dan al-mukarram KH. Hasyim Asy’ari. Saat itu hubungan tidak bersifat teknis tetapi juga bersifat spiritual. Aspek barokah pada waktu itu amat menonjol. Sebagai contoh, KH. Wahid Hasyim pernah mondok di beberapa pondok pesantren hanya dalam waktu seminggu karena ingin mendapat barokah kiai pengasuh pesantren tempat beliau mondok itu.
Kedua, tentang keuletan. KH. Arief Hasan merupakan tipologi pemimpin yang ulet dan pantang menyerah betapapun rumitnya permasalahan hidup yang sedang dihadapi. Inilah yang perlu direfleksikan di tengah-tengah situasi saat ini yang serba tak menentu, beban hidup yang terasa berat akibat krisis global, sehingga tak jarang membuat orang “gelap mata”. Dengan sikap ulet dan pantang menyerah, niscaya segala persoalan bisa dicari solusinya.
Ketiga, kepedulian terhadap sesama. Sepanjang hidupnya, KH. Arief Hasan telah menunjukkan budi pekerti luhur di atas aras peduli terhadap sesama. Sejak nyantri di Tebuireng, KH. Arief Hasan tertempa dengan sikap empati terhadap sesama santri. Sikap ini terus terbawa sehingga hampir seluruh waktunya dipergunakan merealisasikan kepedulian itu. Anakanak yatim disantuni. Masyarakat pun diayomi.
Sikap peduli terhadap sesama ini sudah selayaknya terpatri erat di hati dan dipraktikkan. Di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang tertindas dalam berbagai aspeknya, baik sosial, politik, hak asasi, pendidikan maupun ekonomi. Ketertindasan yang bisa jadi akibat kebijakan yang tidak memihak, atau karena faktor kurang beruntung belaka. Mereka butuh “uluran tangan” kita. Sebab, jika bukan kita, lantas siapa lagi yang akan peduli?
Keempat, tentang kebijaksanaan. Sikap bijaksana yang diteladankan KH. Arief Hasan merambah dalam berbagai bidang kehidupan: berkeluarga, bermasyarakat, bahkan berorganisasi. Kebijaksanaan ini pula yang membuatnya begitu dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Dari kebijaksanaan KH. Arief Hasan, kita bisa belajar untuk selalu berhati-hati ketika menempatkan diri dalam kancah pergaulan, senantiasa berbuat dengan penuh perhitungan, dan terus membuka diri terhadap beragam kritik konstruktif demi kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak. Dengan cara ini, kita dapat menghayati hidup dengan tulus dan damai.
Selain keempat faktor di atas, kita akan menemukan banyak sekali hal positif setelah membaca halaman demi halaman buku ini. Saiful Amin Ghofur telah merentangkan jembatan yang menghubungkan kita dengan kehidupan KH. Arief Hasan. Sehingga, tidak berlebihan bila sosok KH. Arief Hasan yang direkam buku ini laksana cermin: cermin pangilon dari Beratkulon. ℘
Namun perlu dipahami bahwa hubungan antara santri dengan kiai pada saat ini amat berbeda dengan hubungan KH. Arief Hasan dan al-mukarram KH. Hasyim Asy’ari. Saat itu hubungan tidak bersifat teknis tetapi juga bersifat spiritual. Aspek barokah pada waktu itu amat menonjol. Sebagai contoh, KH. Wahid Hasyim pernah mondok di beberapa pondok pesantren hanya dalam waktu seminggu karena ingin mendapat barokah kiai pengasuh pesantren tempat beliau mondok itu.
Kedua, tentang keuletan. KH. Arief Hasan merupakan tipologi pemimpin yang ulet dan pantang menyerah betapapun rumitnya permasalahan hidup yang sedang dihadapi. Inilah yang perlu direfleksikan di tengah-tengah situasi saat ini yang serba tak menentu, beban hidup yang terasa berat akibat krisis global, sehingga tak jarang membuat orang “gelap mata”. Dengan sikap ulet dan pantang menyerah, niscaya segala persoalan bisa dicari solusinya.
Ketiga, kepedulian terhadap sesama. Sepanjang hidupnya, KH. Arief Hasan telah menunjukkan budi pekerti luhur di atas aras peduli terhadap sesama. Sejak nyantri di Tebuireng, KH. Arief Hasan tertempa dengan sikap empati terhadap sesama santri. Sikap ini terus terbawa sehingga hampir seluruh waktunya dipergunakan merealisasikan kepedulian itu. Anakanak yatim disantuni. Masyarakat pun diayomi.
Sikap peduli terhadap sesama ini sudah selayaknya terpatri erat di hati dan dipraktikkan. Di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang tertindas dalam berbagai aspeknya, baik sosial, politik, hak asasi, pendidikan maupun ekonomi. Ketertindasan yang bisa jadi akibat kebijakan yang tidak memihak, atau karena faktor kurang beruntung belaka. Mereka butuh “uluran tangan” kita. Sebab, jika bukan kita, lantas siapa lagi yang akan peduli?
Keempat, tentang kebijaksanaan. Sikap bijaksana yang diteladankan KH. Arief Hasan merambah dalam berbagai bidang kehidupan: berkeluarga, bermasyarakat, bahkan berorganisasi. Kebijaksanaan ini pula yang membuatnya begitu dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Dari kebijaksanaan KH. Arief Hasan, kita bisa belajar untuk selalu berhati-hati ketika menempatkan diri dalam kancah pergaulan, senantiasa berbuat dengan penuh perhitungan, dan terus membuka diri terhadap beragam kritik konstruktif demi kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak. Dengan cara ini, kita dapat menghayati hidup dengan tulus dan damai.
Selain keempat faktor di atas, kita akan menemukan banyak sekali hal positif setelah membaca halaman demi halaman buku ini. Saiful Amin Ghofur telah merentangkan jembatan yang menghubungkan kita dengan kehidupan KH. Arief Hasan. Sehingga, tidak berlebihan bila sosok KH. Arief Hasan yang direkam buku ini laksana cermin: cermin pangilon dari Beratkulon. ℘
Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>