Judul : Markesot Bertutur
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : November 2012
Tebal : 471 Halaman
PIWULANG (pelajaran) tentang kehidupan dapat kita temui dimana dan dari
siapa saja. Pelajaran tidak hanya sebatas di bangku sekolah (pawiyatan).
Namun, terhampar di samudera luas kehidupan.
Salah satu piwulang yang dapat kita renungkan adalah dari buku karya Emha Ainun Nadjib, Markesot Bertutur ini. Buku ini dikemas dengan gaya bertutur sehingga memberikan keasyikan tersendiri bagi pembaca.
Penggerak Kiai Kanjeng ini melalui Markesot and friends (Markemon, Markembloh, Markasan, dan “Mar”-“Mar” yang lain) yang tergabung dalam KPMb (Konsorsium Para Mbambung), mencoba menciptakan obrolan-obrolan bernas dan cerdas tentang permasalahan kekinian. Melalui metode obrolan, permasalahan yang rumit (seperti soal nilai-nilai agama) atau yang bertensi tinggi (seperti soal demokrasi-politik) dapat diurai sedemikian rupa menjadi persoalan yang dengan mudah dapat dicerna oleh orang-orang awam sekalipun. Hal ini karena, dalam setiap tulisan dibalut oleh canda (guyonan) yang segar serta logika orang-orang mbambung.
Mbambung berarti manusia jalanan atau manusia yang menggelandang tak tentu arah. Dalam konteks buku ini mbambung dapat dimaknai manusia yang terpinggirkan atau dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu atau manusia yang tidak masuk hitungan dan tidak digubris oleh lingkungannya.
Dalam catatan “Pohon Pionir” (halaman 317-322) dan “Markesot Diintegorasi” (halaman 410-415) secara gamblang penulis menjelaskan siapa sebenarnya para mbambung itu—baik yang asli maupun yang tidak asli.
Tampaknya penulis menggunakan istilah mbambung ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dia perlu ruang gerak yang tidak formal dan cukup bebas untuk—suatu saat—menyalahi konvensi atau hal-hal yang sudah mapan. Dari sosok mbambung inilah, seluruh obrolan yang terkumpul dalam buku ini diikat secara utuh dan menyeluruh.
Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga. Untuk itu, diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari, melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari.
Kearifan dan sikap luhur inilah yang diajarkan oleh Budayawan kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini. Kearifan dalam memahami sebuah realitas sosial akan mengantarkan kita pada sikap luhur. Sebuah sikap menghayati dan nglakoni sikap membela nilai dan kelompok manusia yang harus dibela. Karena pada dasarnya tak ada “orang besar” dan “orang kecil” dalam takaran pemilikan ekonomi atau perbedaan status sosial budaya. Kecil dan besar hanya terjadi pada kualitas pribadi. Sebuah piwulang kehidupan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. []
Peresensi : Benni Setiawan
Salah satu piwulang yang dapat kita renungkan adalah dari buku karya Emha Ainun Nadjib, Markesot Bertutur ini. Buku ini dikemas dengan gaya bertutur sehingga memberikan keasyikan tersendiri bagi pembaca.
Penggerak Kiai Kanjeng ini melalui Markesot and friends (Markemon, Markembloh, Markasan, dan “Mar”-“Mar” yang lain) yang tergabung dalam KPMb (Konsorsium Para Mbambung), mencoba menciptakan obrolan-obrolan bernas dan cerdas tentang permasalahan kekinian. Melalui metode obrolan, permasalahan yang rumit (seperti soal nilai-nilai agama) atau yang bertensi tinggi (seperti soal demokrasi-politik) dapat diurai sedemikian rupa menjadi persoalan yang dengan mudah dapat dicerna oleh orang-orang awam sekalipun. Hal ini karena, dalam setiap tulisan dibalut oleh canda (guyonan) yang segar serta logika orang-orang mbambung.
Mbambung berarti manusia jalanan atau manusia yang menggelandang tak tentu arah. Dalam konteks buku ini mbambung dapat dimaknai manusia yang terpinggirkan atau dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu atau manusia yang tidak masuk hitungan dan tidak digubris oleh lingkungannya.
Dalam catatan “Pohon Pionir” (halaman 317-322) dan “Markesot Diintegorasi” (halaman 410-415) secara gamblang penulis menjelaskan siapa sebenarnya para mbambung itu—baik yang asli maupun yang tidak asli.
Tampaknya penulis menggunakan istilah mbambung ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dia perlu ruang gerak yang tidak formal dan cukup bebas untuk—suatu saat—menyalahi konvensi atau hal-hal yang sudah mapan. Dari sosok mbambung inilah, seluruh obrolan yang terkumpul dalam buku ini diikat secara utuh dan menyeluruh.
Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga. Untuk itu, diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari, melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari.
Kearifan dan sikap luhur inilah yang diajarkan oleh Budayawan kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini. Kearifan dalam memahami sebuah realitas sosial akan mengantarkan kita pada sikap luhur. Sebuah sikap menghayati dan nglakoni sikap membela nilai dan kelompok manusia yang harus dibela. Karena pada dasarnya tak ada “orang besar” dan “orang kecil” dalam takaran pemilikan ekonomi atau perbedaan status sosial budaya. Kecil dan besar hanya terjadi pada kualitas pribadi. Sebuah piwulang kehidupan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. []
Peresensi : Benni Setiawan
Merenungi Piwulang Kehidupan
4/
5
Oleh
Admin
1 komentar:
Tulis komentarkarya cak Nun bagus,izin baca ndan?
ReplyUntuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>