Pejalansunyi.id | GURU mulia karena karya. Tema itulah yang kembali diangkat pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2016 silam. Tema yang merupakan gagasan HGN 2015 ketika Anies Baswedan masih menjabat sebagai Mendikbud ini kembali diusung bukan tanpa alasan. Sebab, tema tersebut dirasa masih sangat relevan dengan kenyataan hari ini. Bahwa, profesi guru memang sangat mulia. Namun, kemuliaan tersebut tidak tergantung pada seberapa banyak materi yang dimiliki akibat tunjangan profesi, tapi pada seberapa “karya” yang sudah dilakukan dan dihasilkan.
Kita masih ingat, ketika diangkat sebagai Mendikbud sebelum di reshufle, Pak Anies langsung “bergerak” dengan mengundang Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia (1/12/2014). Dalam paparannya, Anies mengistilahkan mutu pendidikan Indonesia dalam keadaan gawat darurat. Data-data disodorkan, misalnya hasil pemetaan Kemdikbud menunjukkan 75 persen pendidikan di Indonesia tidak memenuhi standar pendidikan minimal (SNP), nilai rata-rata hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang masih jauh dari standar yang diharapkan, dan lain sebagainya.
Yang membuat sedih adalah data tentang literasi yang kabarnya tak mengalami perkembangan dari hari ke hari. UNESCO tahun 2012 menyebutkan, hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Studi yang dilakukan oleh Programme for International Study Assessment (PISA) tahun 2009 juga meletakkan Indonesia pada peringkat ke-57 dengan skor 396. PISA 2012 menempati peringkat 64 dari 65 negara. Dan PISA 2015, Indonesia berada di urutan 69 dari 76 negara, masih kalah dengan vietnam yang bertengger pada posisi ke-12.
Kita masih ingat, ketika diangkat sebagai Mendikbud sebelum di reshufle, Pak Anies langsung “bergerak” dengan mengundang Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia (1/12/2014). Dalam paparannya, Anies mengistilahkan mutu pendidikan Indonesia dalam keadaan gawat darurat. Data-data disodorkan, misalnya hasil pemetaan Kemdikbud menunjukkan 75 persen pendidikan di Indonesia tidak memenuhi standar pendidikan minimal (SNP), nilai rata-rata hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang masih jauh dari standar yang diharapkan, dan lain sebagainya.
Yang membuat sedih adalah data tentang literasi yang kabarnya tak mengalami perkembangan dari hari ke hari. UNESCO tahun 2012 menyebutkan, hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Studi yang dilakukan oleh Programme for International Study Assessment (PISA) tahun 2009 juga meletakkan Indonesia pada peringkat ke-57 dengan skor 396. PISA 2012 menempati peringkat 64 dari 65 negara. Dan PISA 2015, Indonesia berada di urutan 69 dari 76 negara, masih kalah dengan vietnam yang bertengger pada posisi ke-12.
PISA (Programme for International Study Assessment) adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Studi ini dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang berkedudukan di Paris, Perancis. PISA merupakan studi yang dilaksanakan tiga tahun sekali mulai tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015. Ironisnya, hasil studi PISA selalu meletakkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan. Artinya, praktik pendidikan sekolah di Indonesia memang belum memperlihatkan fungsinya sebagai tempat yang menjadikan warganya terampil membaca untuk keperluan belajar sepanjang hayat.
Dari situlah, Anies Baswedan kemudian menggulirkan Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang salah-satu poinnya adalah kewajiban membaca buku (selain buku pelajaran) selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Yang patut digaris-bawahi, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) mustahil bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika para pemangku kepentingan tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Guru yang memiliki fungsi strategis harus tampil di depan sebagai motor penggerak. Sebab, bagaimana mungkin mau menggiatkan budaya Membaca dan Menulis, jika guru sendiri abai dalam kegiatan Guru Menulis?
Pada titik inilah, karya Guru Menulis menjadi sangat penting. Karya nyata mengantarkan generasi bangsa pada cemerlangnya masa depan itu bukan hanya berhenti pada kemampuan melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, akan lebih meng-abadi jika karya itu juga diwujudkan dalam bentuk tulisan yang tak hanya menginspirasi peserta didik, tapi juga manusia lain pada umumnya.
Tentang Simposium Guru
Yang menarik dari peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dalam dua tahun terakhir adalah pelaksanaan simposium guru. Simposium yang digagas oleh Ditjen GTK sejak 2015 itu merupakan wahana untuk Guru Menulis dalam menuangkan ide, gagasan, dan mencari pemecahan isu atau permasalahan strategis tentang pendidikan.
Patut diacungi jempol dari kegiatan tersebut adalah animo guru demikian gegap gempita. Tahun 2016, dari waktu sebulan yang disediakan, sebanyak 3.382 artikel masuk ke meja panitia. Ribuan karya tulis itu kemudian diseleksi 200 karya terbaik untuk dipresentasikan di hadapan dewan juri pada kegiatan simposium guru menjelang puncak acara HGN tanggal 27 November 2016 di Bogor.
Begitulah, pemerintah telah mengagendakan kegiatan seputar Guru Menulis untuk merangsang minat menulis guru. Bahkan salah-syarat untuk mengikuti kegiatan yag diadakan Ditjen GTK melalui Subdit Kesharlindung Dikdas dan Dikmen mulai tahun 2017 adalah mengirimkan karya tulis. Tinggal para guru bersedia atau tidak mengikuti kegiatan dengan memenuhi syarat yang ditentukan.
Kompetensi dasar dalam literasi adalah membaca dan menulis. Dua hal itu harus terus dirangsang perkembangannya agar guru memiliki kemampuan lebih. Ketika guru terbiasa membaca dan menulis, tentu dengan mudah ia bisa memotivasi dan menularkan kebiasaan itu kepada murid yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan sendirinya, Gerakan Literasi Sekolah yang didengungkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semoga.(*)
Em. Syuhada', Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Kab. Lamongan
Pada titik inilah, karya Guru Menulis menjadi sangat penting. Karya nyata mengantarkan generasi bangsa pada cemerlangnya masa depan itu bukan hanya berhenti pada kemampuan melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, akan lebih meng-abadi jika karya itu juga diwujudkan dalam bentuk tulisan yang tak hanya menginspirasi peserta didik, tapi juga manusia lain pada umumnya.
Tentang Simposium Guru
Yang menarik dari peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dalam dua tahun terakhir adalah pelaksanaan simposium guru. Simposium yang digagas oleh Ditjen GTK sejak 2015 itu merupakan wahana untuk Guru Menulis dalam menuangkan ide, gagasan, dan mencari pemecahan isu atau permasalahan strategis tentang pendidikan.
Patut diacungi jempol dari kegiatan tersebut adalah animo guru demikian gegap gempita. Tahun 2016, dari waktu sebulan yang disediakan, sebanyak 3.382 artikel masuk ke meja panitia. Ribuan karya tulis itu kemudian diseleksi 200 karya terbaik untuk dipresentasikan di hadapan dewan juri pada kegiatan simposium guru menjelang puncak acara HGN tanggal 27 November 2016 di Bogor.
Begitulah, pemerintah telah mengagendakan kegiatan seputar Guru Menulis untuk merangsang minat menulis guru. Bahkan salah-syarat untuk mengikuti kegiatan yag diadakan Ditjen GTK melalui Subdit Kesharlindung Dikdas dan Dikmen mulai tahun 2017 adalah mengirimkan karya tulis. Tinggal para guru bersedia atau tidak mengikuti kegiatan dengan memenuhi syarat yang ditentukan.
Kompetensi dasar dalam literasi adalah membaca dan menulis. Dua hal itu harus terus dirangsang perkembangannya agar guru memiliki kemampuan lebih. Ketika guru terbiasa membaca dan menulis, tentu dengan mudah ia bisa memotivasi dan menularkan kebiasaan itu kepada murid yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan sendirinya, Gerakan Literasi Sekolah yang didengungkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semoga.(*)
Em. Syuhada', Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Kab. Lamongan
Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>