'Lelah', Foto Lukisan Gus Mus diambil dari gusmus.net |
KABARNYA, salah satu permasalahan akut yang dihadapi bangsa ini adalah rendahnya minat baca. Berbagai data literasi disodorkan dari tahun ke tahun. Misalnya hasil penelitian yang dilakukan International Association for The Evolution of Education Achievement (IEA) Tahun 1992 meletakkan indonesia sebagai negara dengan peringkat ke 28 dari 32 negara dalam hal kemampuan membaca anak usia didik. Sementara peringkat pertama justru diraih Finlandia diikuti Amerika dan beberapa negara di Eropa.
Sekian tahun berjalan, data tentang literasi tak
juga mengalami perkembangan. Kata UNESCO tahun 2012,
hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Data lainnya, studi
yang dilakukan oleh Programme for International Study Assessment (PISA)
tahun 2009 juga meletakkan Indonesia pada peringkat ke-57 dengan skor
396. PISA 2012 menempati peringkat 64 dari 65 negara. Dan PISA 2015,
Indonesia berada di urutan 69 dari 76 negara, masih kalah dengan vietnam
yang bertengger pada posisi ke-12.
Ironis memang, ditengah membengkaknya jumlah penduduk muslim di negara yang berpenduduk sekitar dua ratus lima juta jiwa ini, prestasi membaca justru berada pada urutan juru kunci. Padahal, islam sebagai ajaran yang kaffah terbukti meletakan urusan baca membaca menjadi skala prioritas. Bukankah ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT pada Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril adalah Al Alaq 1 – 5 yang nota bene adalah perintah untuk membaca?
Ironis memang, ditengah membengkaknya jumlah penduduk muslim di negara yang berpenduduk sekitar dua ratus lima juta jiwa ini, prestasi membaca justru berada pada urutan juru kunci. Padahal, islam sebagai ajaran yang kaffah terbukti meletakan urusan baca membaca menjadi skala prioritas. Bukankah ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT pada Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril adalah Al Alaq 1 – 5 yang nota bene adalah perintah untuk membaca?
Memang membaca tak melulu hanya berkutat soal teks. Ada membaca lainnya berupa membaca kontekstual, membaca tanda-tanda, membaca alam semesta, dan sebagainya. Tapi setidaknya, membaca (teks) adalah salah-satu proses melakukan serangkaian penjelajahan intelektual yang tak boleh diabaikan begitu saja.
Ramadlan, Bulan Baca Tulis Al Quran
Adalah menarik merenungkan kembali wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT pada Muhammad SAW beberapa abad silam. Bukan sebuah kebetulan jika Allah SWT meletakkan perintah membaca mendahului firman-firman-Nya yang lain. Sebab, membaca bukan hanya sebuah proses penjelajahan intelektual yang muaranya pengetahuan. Lebih dari itu, membaca adalah sikap manusia memanusiakan dirinya sendiri.Dengan membaca, manusia akan mengerti kedudukannya sebagai seorang makhluk: tentang dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, serta akan dibawa kemana hidupnya kelak ketika harus menghadap kembali kepada pencipta-Nya.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka, obyek apakah yang harus dibaca? Haruskah sebuah buku? Ataukah kitab-kitab samawi yang diturunkan pada para rasul? Ataukah obyek-obyek yang lain?
Al Alaq ayat pertama barangkali bisa dijadikan acuan. Allah memerintahkan membaca kepada Muhammad (dan juga umat islam secara mondial) dengan bahasanya: Iqra’. Tapi amar itu sendiri tak disertai dengan maf’ul bih (obyek yang harus dibaca). Ini menunjukkan, membaca bisa dimaknai secara lebih luas dengan tak hanya melulu menjelajahi isi buku atau kitab.
Membaca adalah aktifitas manusia meneliti setiap detak peristiwa yang berjalin-kelindan dalam kehidupan untuk dipungut hikmahnya. Membaca bisa pula diartikan menelusuri dan memahami setiap ‘fasilitas’ yang telah disediakan Allah SWT berupa Qur’an, Alam Semesta, dan kehidupan manusia sendiri. Kesimpulannya jelas, membaca dalam konteks ini bukan hanya asyik masyuk bercengkarama dengan ayat-ayat qauliyah. Namun tak kalah pentingnya adalah mencerna setiap ayat kauniyah yang berkelibat dalam ruang kehidupan.
Dalam kerangka itu, prosesi iqro’ tetap harus berada dalam koridor bismi rabbikalladzi khalaq. Artinya, kesadaran membaca, yang bermuara pada maqam intelektualitas tak boleh dilepaskan dari kesadaran ketuhanan, yang berpuncak pada spiritualitas. Sedalam apapun manusia mengarungi samudra intelektualitas, ia tetap harus berada dalam perahu spiritualitas. Ketika manusia mengabaikan rumusan ini, yang terjadi bukan hanya kekeringan ruhaniah maupun kedahagaan spiritualitas. Bahkan pada skala yang jauh, manusia akan tercerabut dari akar hidupnya. Ia akan mengalamai keterasingan sedemikian rupa dengan dirinya sendiri. Kehadirannya bukan hanya niscaya, bahkan telah menjangkiti kehidupan para pelakunya pada kurun waktu terakhir.
Dalam bukunya yang berumbul Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (Sipress : 1995), Emha Ainun Nadjib menuturkan, bahwa salah satu sebab kemunduran umat islam adalah ketertinggalan kaum santri dalam hal Iqra’. Menurut budayawan yang merupakan bapak dari vokalis Letto ini, justru pelaku era modern yang diwakili oleh dunia barat dan sekitarnya telah menang dalam ber-iqra’, meskipun pada saat yang sama, mereka ternyata gagal dalam ber-bismi rabb.
Maka, ilmu pengetahuan yang telah diraih dunia barat menjadi gersang dan tak berakar. Ilmu pengetahuan itu sendiri bahkan miskin nilai spiritualitas, tak ber-ma’rifat ilallah, tekhnologi dan industrinya tidak menjadi hasanah fiddunnyah wal akhirah, negaranya tak menjadi baldah thayyibah warabbun ghafur, dan kehidupannya dipenuhi polusi fisik, psikologis, kultural dan spiritual, karena memang tidak berorientasi dengan metabolisme alam (sunnatullah) yang bebas polusi atau residu.
Alhasil, Ramadlan sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an adalah momentum yang tepat untuk menggelorakan semangat dan minat membaca. Bukankah ditengah kepungan lapar dan dahaga, membaca lebih bermakna dilakukan daripada memelototkan mata pada acara televisi yang sesungguhnya meletakkan islam hanya pada dataran formalitas?
Maka, sebuah tawaran yang boleh untuk tidak dilakukan: Hiasilah lapar puasamu dengan membaca, niscaya kau akan menjadi seorang manusia. Bagaimana menurut anda?***
Membaca dalam Kepungan Lapar dan Dahaga
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>