
Satu-satunya jalan disediakan justru oleh berita
wahyu itu sendiri. Tetapi ini makin tidak memuaskan manusia modern, yang
canggih untuk bercuriga terhadap dogma, yang seolah-olah sengaja
membuang kemampuan-kemampuan kejiwaannya yang tertentu yang bisa ia
pakai untuk bergaul baik-baik dengan hidayah, dengan petunjuk 'entah
dari mana', dengan gudang rahasia keilahian, dengan
ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri. Ya, manusia modern itu -- yang
sombong melebihi Musa menjelang Tursina, yang menyangka bahwa kebenaran
dan kepastian adalah miliknya yang ia bisa rancang dan tentukan. Pada
saat yang sama, keterbukaan terhadap gerak penghayatan atas wahyu itu
amat diperlukan, setidaknya karena manusia telah sampai pada dua gejala
yang sama-sama takabbur.
Yang pertama, manusia telah merasa mampu menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada, menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik atau sarjana kehidupan. Yang kedua berada si ekstrim lain: yang ada hanya Allah, aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan. Karya-karyaku, kata-kataku, musikku, lukisanku, tak bisa kusebut dengan ku, sebab mereka adalah kasih karya Allah semata. Jadi, kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya, kita nonton lukisan Allah.
Yang pertama, manusia telah merasa mampu menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada, menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik atau sarjana kehidupan. Yang kedua berada si ekstrim lain: yang ada hanya Allah, aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan. Karya-karyaku, kata-kataku, musikku, lukisanku, tak bisa kusebut dengan ku, sebab mereka adalah kasih karya Allah semata. Jadi, kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya, kita nonton lukisan Allah.
Maka ia mengemukakan kepadaku iman dan konsep mengenai
pinjaman ilmu dan harta benda Allah kepada manusia -- sebagai mana ia
mengemukakan hal yang sama ketika kutanyakan kepadanya apa omongan Islam
tentang falsafah hak milik dan distribusi ekonomi yang dewasa ini amat
dicemaskan oleh kaum sosialis-marxis. Itu moralitas Allah. Seandainya
saja kita berhasil memiliki suatu pola pendidikan yang memungkinkan
terwujudnya iman dan konsep itu dalam diri manusia, maka usaha proyeksi
dan sistemasinya ke dalam organisasi-organisasi kebersamaan manusia
tinggal 'sekunder'. Tetapi sejarah telah harus mengandaikan manusia
seperti 'maling' yang -- tentu saja tak bisa dipercaya, sehingga harus
diciptakan pagar-pagar yang berlebihan. Sistem yang mengatur manusia
bersifat substansial, dan manusia berada secara instrumental. Kita
adalah gerombolan ayam, memperoleh taburan jagung dari tangan manusia,
jago-jago memonopoli taburan itu karena mereka memang 'tak tahu menahu'
tentang moralitas tangan manusia yang menaburkan jagung. Perlawanan
ayam-ayam lain terhadap jago-jago selalu berupa menyingkirkan atau
menumpas jago-jago, atau menggantikan kedudukan jago-jago. Demikian
'psikologi perlawanan' yang sejauh ini berlangsung: apirasi terhadap
apirasi, ideologi politik terhadap ideologi politik, kelas terhadap
kelas, bahkan kaum wanita terhadap kaum lelaki. Sumber kecenderungan ini
ialah karena jagung itu dipandang secara a-historis. Tak dipersoalkan
secara tuntas dari mana jagung tertabur, dan apa moralitas esensial yang
terkandung di balik taburan jagung itu. Dengan kata lain, orang makin
tak kenal kepada jiwa wahyu.
Maka ia mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah dongengan purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang sudah dikuburkan -- dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari eksistensi kepribadiaannya yang menyuluhi alam semesta manusia. Wahyu yang beliau terima dari Allah pun terus bekerja. Sudah sempurna tapi belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran ummatnya.
Tetapi, barangkali kita, adalah ummat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya dengan mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian -- kata para piawai -- "Kita ketinggalan dua abad" dibanding orang-orang lain yang justru 'acuh tak acuh terhadap Allah'. Mungkin bagi kita Jibril adalah tokoh sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi Borobudur dibangun. Jibril adalah bayangan patung, arca berjubah, makhluk supra-raksasa yang telapak tangannya seluas 3333 kali galaksi, yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau Jibril itu semacam lelembut. Dan semua itu tidak konkret.
Padahal tidak. Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu. Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim yang menghayati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.
Emha Ainun Nadjib (PmBNetDok)
Maka ia mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah dongengan purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya tubuh beliau yang sudah dikuburkan -- dan tubuh beliau adalah bagian yang paling remeh dari eksistensi kepribadiaannya yang menyuluhi alam semesta manusia. Wahyu yang beliau terima dari Allah pun terus bekerja. Sudah sempurna tapi belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran ummatnya.
" Bahwa pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah Muhammad. Segala yang kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi dahsyat yang dicapai manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benihnya dalam al-Quran --meskipun selama ini kita menyebut-nyebut hal itu sekedar untuk hibur-hiburan pasif agar meperoleh kepercayaan diri sebagai ummat. Allah tidak mengkursus kita bagaimana bikin rantai dan pedal, tetapi kualitas fenomena kendaraan sepeda telah ditunjukkan-Nya. Apapun yang kelak digapai oleh kecerdasan manusia, tak akan melebihi kapasiatas kemungkinan yang telah dinurkan oleh wahyu yang berpuncak di Muhammad. "
Tetapi, barangkali kita, adalah ummat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya dengan mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian -- kata para piawai -- "Kita ketinggalan dua abad" dibanding orang-orang lain yang justru 'acuh tak acuh terhadap Allah'. Mungkin bagi kita Jibril adalah tokoh sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi Borobudur dibangun. Jibril adalah bayangan patung, arca berjubah, makhluk supra-raksasa yang telapak tangannya seluas 3333 kali galaksi, yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau Jibril itu semacam lelembut. Dan semua itu tidak konkret.
Padahal tidak. Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu. Namun apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim yang menghayati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya.
Emha Ainun Nadjib (PmBNetDok)
Tidak, Jibril Tidak Pensiun
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>