“Senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, minggu itu nama-nama hari......”
BEGITULAH sepenggal lirik lagu "A B C D" yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng. Lagu tersebut dinyanyikkan atas permintaan Mas Toto Raharjo setelah menggaris-bawahi apa yang disampaikan Cak Nun dan Cak Fuad sebelum mengemukakan pendapatnya lebih lanjut. Ada dua hal setidaknya yang dicatat, ialah tentang peralihan stigma sebagaimana diungkap Cak Nun ketika menjelaskan islam di Timur-tengah dan persoalan bahasa seperti disampaikan oleh Cak Fuad. Hal itu dihubungkan dengan perjalanan maiyah yang dilakukan di pelbagai tempat dalam beberapa bulan terakhir yang lebih banyak membahas tafsir. Tafsir itu sendiri, menurut Mas Totok, sangat terkait dengan bahasa. Alhasil, bahasa apa sebetulnya yang mendesak dan penting harus dipelajari agar tafsir itu bisa dilakukan. Cak Nun sendiri menegaskan, lagu tersebut didengungkan agar terbentuk kesadaran atas pentingnya kembali mempelajari huruf dan angka-angka.
“Perjalanan maiyah dalam beberapa bulan terakhir banyak mendiskusikan sejumlah hal penting. Pertanyaan besarnya adalah, apakah maiyah mampu mengatasi segala keruwetan, dan terutama keruwetan yang terjadi di negeri ini?” pertanyaan Mas Totok membuka cakrawala.
“Jawabannya tidak. Maiyah tidak bisa mengatasi masalah, terutama masalah yang terjadi “diatas”. Tetapi maiyah bisa menjadi bagian yang tidak ikut nambah-nambahin masalah.”
Maka, hal mutlak yang harus dilakukan oleh orang maiyah agar tidak menciptakan masalah-masalah baru dalam kehidupan adalah dengan tidak ikut-ikutan pekok. Hari-hari ini, kata Mas Totok, banyak orang pekok bertebaran di negeri ini. Salah satu sebabnya adalah karena tidak lagi mau berpikir, atau lebih tepatnya menggunakan jalan pikirannya sendiri untuk mengontrol sikap hidup maupun perbuatannya. Pemikiran-pemikiran itu justru diserahkan kepada pihak lain yang dianggap lebih mampu semisal cerdik pandai, ustadz, kiai, dan lain-lain. Wa ba’du, Mas Totok kemudian mengambil kesimpulan, dengan semakin banyak ustadz, sesungguhnya adalah indikasi bahwa umatnya semakin pekok.
Contoh-contoh riil yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari pun dituturkan. Misalnya, televisi “islam” dalam 24 jam yang ceramah-ceramahnya sangat tidak mencerdaskan, pertanyaan-pertanyaan umat yang sesungguhnya tidak perlu, dipaksakan dipertanyakan gara-gara yang bersangkutan tidak bersedia menggunakan jalan pikirannya sendiri, dan lain sebagainya.
“Dulu sewaktu Pak AR. Fachruddin masih hidup, ada pertanyaan dilontarkan kepadanya. Bagaimana hukumnya orang berpuasa yang menelan ludahnya sendiri. Untung jawaban Pak AR cerdas. Sing ora oleh kuwi, idu dikumpulne nang gelas, njur diombe......” Demikian Mas Totok mencontohkan.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang menurutnya bukan hanya tidak berguna, bahkan akan membuang energi secara percuma. Sebab segala sesuatunya telah jelas, manusia tinggal melaksanakan apa yang diperintahkan olehNya. Perkara diterima atau tidak, itu menjadi urusanNya. Himbauannya kemudian, agar sebisa-bisanya jamaah mulai bersedia menafsirkan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Mengikuti tafsir orang lain memang tidak dilarang. Namun yang terpenting adalah tidak menyerahkan sepenuhnya pemikiran itu kepada orang lain, sambil sedemikian rupa berusaha melakukan tafsir sendiri sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing.
“Sudah saya konfirmasikan ke Cak Nun, bahwa tafsir adalah hak dan kewajiban setiap manusia. Cak Fuad juga sudah menjelaskan tentang ijtihad, bahwa ada wilayah-wilayah tertentu yang bisa ditafsirkan. Istilah saya cuman dua, produksi dan reproduksi. Bahwa segala hal yang terjadi tak bisa dilepaskan dari dua hal tersebut. Reproduksi belum tentu jelek. Tapi yang menjadi persoalan adalah, hampir mayoritas produk kita adalah reproduksi. Kita sesunggunya sedang mengulang secara terus menerus tentang sesuatu hal tanpa memiliki kemampuan (atau kemauan) membuat sendiri dalam perilaku kehidupan . ”
“Maka tantangan Jamaah Maiyah adalah bagaimana mencoba dengan kemampuan dan pengalaman masing-masing untuk melakukan tafsir, tentu saja dengan kesungguhan dan ketelitian secara mendalam, seperti yang telah dijelaskan oleh Cak Fuad.”
Tentang tafsir seperti yang diungkapkan, Mas Totok menyitir sebuah pelajaran jawa tentang perilaku manusia. Menurutnya, dalam sitilah jawa dikenal ada istilah Karyo Di Wiryo, ialah berfikir apapun saja terhadap keadaan yang sedang terjadi. Itu adalah tahap awal yang harus dilakukan sebelum masuk pada tahap kedua, Karyo Menawi, yaitu situasi dimana manusia mempertanyakan sesuatu yang belum dipahami. Tahapan yang ketiga adalah Karyo Leksono, ialah pelaksanaan dari sesuatu yang dipikirkan dan telah dipertanyakan sebelumnya.
Hal tersebut diungkapkan, karena setiap perilaku manusia sesungguhnya dituntun dan dipengaruhi oleh tafsirnya masing-masing. Permasalahannya kemudian, mutu tafsir seseorang itu berbeda antara satu dengan yang lain tergantung pribadinya masing-masing. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah tafsir itu hasil reproduksi, ataukah betul-betul berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari. Sebab menurut Mas Totok, menjadi konsumen itu tidak hanya berkaitan soal makanan pengisi perut. Bahkan, terhadap isi pikiran pun tak jarang manusia memosisikan dirinya sebagai konsumen yang melahap begitu saja hasil pikiran orang lain.
Contoh lebih lanjut dikemukakan Mas Totok terkait stigma seperti disinggung Cak Nun di awal. Bahwa stigma, stempel, cap memiliki sejarahnya sendiri, berawal dari kaum psikologi di Perancis pada beberapa abad yang lampau. Stigma itu berasal dari perlakuan terhadap orang tidak waras, mulai dari diasingkan ke pulau terpencil yang berumur 200 tahun, dipasung berlangsung hingga 100 tahun, dan pada kurun terakhir dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Yang berbeda dari semua hal itu adalah perlakuannya, sementara orangnya tetap sama, yakni orang gila. "Demikianlah stigma." jelas Mas Totok.
Pada perkembangannya, stigma itu justru diambil alih oleh ilmu-ilmu sosial dan beberapa wilayah kehidupan yang lain, “Zaman biyen, sing jenenge kramas kuwi yo adus nang kali nggawe sampo cap tangan, karo ngumbah sarung. Saiki kramas yen durung nggawe shampoo, rumongso durung kramas, Itu semua adalah ayat dari agama baru yang disebut pasar. Kita pun mengamini stigma yang didengungkan. Maka pasar kemudian menciptakan produk bermacam-macam demi kepentingan mereka. Kanggo rambut onok dewe, kelek ono dewe, selangkangan ono dewe, dan lain sebagainya.”Hal-hal menyangkut stigma itu adalah bentuk reproduksi yang berlangsung sudah sangat lama. Maka sekali lagi, kebangkitan orang maiyah adalah keberaniannya untuk melakukan tafsir sedemikian rupa. Sangat naif jika orang maiyah ternyata meletakkan dirinya sebagai mesin foto kopi demi mereproduksi sesuatu hal yang sejatinya tidak layak untuk ditiru dan diterus-teruskan.
Merefleksikan hal tersebut, Cak Nun kemudian melakukan kilas balik terhadap lagu yang telah didengungkan di awal. Bahwa setiap bangsa memiliki cara tersendiri dalam mengenal huruf maupun nama-nama hari sebagai satuan waktu. Yang ingin diungkapkan Cak Nun, meskipun orang jawa memiliki satuan hari yang lebih dikenal dengan pasaran, orang jawa mutakhir justru lebih mengenal mingguan sebagaimana hari dalam kalender masehi. "Dadi kowe wis ora neruske jowomu." demikian tutur Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun mengungkapkan, bahwa dalam islam, dikenal ada Kalender Hijriyah yang prinsip dasarnya adalah peristiwa hijrah, sebagai tonggak ajaran islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Hal itu berbeda dengan kalender Masehi yang peletakan batu pertamanya adalah berdasarkan kelahiran Isa Al Masih. Hal tersebut bukan hanya berbeda, tapi memiliki prinsip dasar yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Jika kalender hijriyah lebih mengutamakan nilai, kalender masehi lebih mementingkan figur. Namun kenyataannya, yang lebih populer di masyarakat adalah kalender masehi sehingga perayaannya begitu hingar bingar dari tahun ke tahun. "Mengapa hal itu terjadi?" tanya Cak Nun kemudian,"Karena kita memang senang mem-foto copi seperti yang diungkapkan Mas Totok tadi."
Dalam soal-soal lain, peristiwa "meniru" itu pun tak kalah dahsyatnya Misalnya soal negara, kita meniru kepada barat. Membuat KUHP hanya copi paste dari Belanda. Pun pula urusan demokrasi hanya sebagai tangan panjang dari Amerika Serikat. Hanya satu yang tidak meniru menurut Cak Nun, yaitu urusan setir mobil.
"Kalau jajahan Belanda, kudune setir kiri. Sebagaimana Malaysia yang jajahan Inggris adalah setir kiri. Tapi kita ternyata setir kanan. Itu menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia sesungguhnya tak bisa di remehkan. Meskipun niru, ternyata ada unsur ngeyel dan onok berontak-berontake. Ketoke Hindu, tibake Budha. Ketoke Budha tibake Islam, koyoke Islam ternyata kebatinan. Ketoke kebatinan, ternyata yo lungo kaji, dan lain sebagainya. Jadi, wong Indonesia itu memang sulit di tebak."
Begitulah, Cak Nun kemudian menuturkan banyak hal terkait fenomena manusia Indonesia dengan segala keunggulan dan keunikannya. Terhadap hal tersebut, Cak Nun lantas menggaris-bawahi bahwa ia tak akan melakukan sesuatu apapun yang melanggar hukum di Indonesia. Ia sekedar mengingatkan, agar para jamaah tahu dan mengerti kapan harus ikut perintah Tuhan, kapan berkreatifitas melakukan sesuatu secara mandiri tanpa menunggu perintah Tuhan seperti tercantum dalam nash-nash Al Qur'an(*)
Reportase Padhang Mbulan Agustus 2011
Tafsir dan Perilaku Keseharian
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>