TANGGAL 27 Mei 2013 malam Kiaikanjeng, Progress, dan Jamaah Maiyah dari berbagai kota berkumpul di Rumah Budaya EAN untuk ngaji, bershalawat, bersyukur, dan bernikmat-nikmat bersama dalam rangka 60 tahun Muhammad Ainun Nadjib. Selepas ngaji dan shalawat, Pak Toto Rahardjo selaku moderator menegaskan bahwa ini bukan perayaan ulang tahun karena kita tak punya tradisi itu, melainkan ungkapan rasa syukur yang momentumnya pas dengan hari kelahiran guru kita semua, Cak Nun.
Pak Toto berharap acara ngaji dan shalawatan semacam ini bisa diselenggarakan rutin sekali sebulan atau sekali dua bulan, di samping Mocopat Syafaat yang juga harus tetap jalan. Tak jadi soal kalau kita tak mengerti arti dari ayat-ayat Al-Qur’an atau shalawat yang dilantunkan; yang utama kita mampu merasakannya dengan akal budi yang baik sehingga bisa jadi persembahan kepada Allah.
Pak Toto mempersilahkan orang-orang dekat Cak Nun untuk mengungkapkan beberapa patah kata sebagai pemaknaan terhadap harapan dan doa. Saat ini kalau mau bicara Indonesia sudah terlalu besar. Yang bisa kita bangun adalah komunitas-komunitas kecil melalui kemampuan masing-masing individu : sastra, musik, atau kegiatan ekonomi.
“Nggak apa-apa kalau para tokoh berharap pada Cak Nun karena Beliau memang menjadi orang yang kita andalkan. Jadi kalau Anda mengharap kepada Beliau, itu wajar saja.”
Begitulah, satu demi satu menyampaikan kesan dan harapan akan Cak Nun. Dimulai oleh Pak Slamet yang pertama kali bertemu Cak Nun di Persada Studi Klub. Beliau berharap semoga melalui Rumah Budaya bisa tumbuh komunitas sastra sebagai satu bentuk gerakan. Teman Cak Nun berlatih menulis puisi pada era ’70-an ini merealisasikan gagasan ini dengan menerbitkan Majalah Sabana yang insyaAllah terbit mulai bulan Juni. Pak Slamet mendoakan supaya Cak Nun beserta komunitas-komunitasnya selalu diberkahi dan terus berjalan.
Selanjutnya ada Pak Iman Budhi Santosa yang pertemanannya dengan Cak Nun telah berlangsung selama 43 tahun. Sampai kapanpun Cak Nun selalu merupakan sosok penyair di mata Pak Iman. Pak Iman juga memberikan selamat atas diberikannya gelar Ngaima Dodera (pohon teduh tempat singgah burung-burung menjelang senja) kepada Cak Nun pada 2011. Pak Iman berharap kita bisa menjadikan komunitas-komunitas yang dirintis Cak Nun menjadi semakin bermakna dari hari ke hari.
Untuk mewakili teman-teman Kiaikanjeng, Pak Nevi Budianto mengajak semua yang hadir untuk mengingat kembali dan menghayati langkah-langkah yang selama ini sudah kita nikmati. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali terus memupuk semangat dari apa yang telah dikaruniakan Allah. Semoga Allah selalu melimpahkan kekuatan dan kesehatan agar tetap bisa melangkah dengan tegar pantang menyerah, terutama menjelang peralihan besar-besaran ini. Pak Nevi juga berdoa untuk kesehatan Cak Nun.
Sepaham dengan Pak Toto, Pak Nevi juga berharap acara shalawatan harus diadakan rutin. Agendanya tanpa diskusi sebagaimana Mocopat Syafaat – cukup shalawatan, berdoa, kemudian pulang.
Diwakili oleh Mas Patub, Letto berterimakasih banyak-banyak kepada Cak Nun atas bimbingan dan saran-saran Beliau selama ini sekaligus memohon maaf karena cuma bisa ngrusuhi dan ngrepoti. Tidak ada yang lain yang bisa diberikan kepada Bapak kecuali doa untuk kesehatan dan keselamatan Beliau sekeluarga.
Satu lagi sahabat dekat Cak Nun, Mas Uki Bayu Sedjati, memberikan selamat dan berdoa agar Cak Nun bisa selalu tetap bermanfaat bagi siapapun. Sementara bagi kita semua yang ngangsu kawruh dari Beliau, harus selalu bertambah kualitas pembelajarannya.
Perwakilan Jamaah Maiyah dari kota Surabaya, Pak Dudung, mengaku sangat bahagia diperkenankan Allah belajar dari sosok Cak Nun untuk menyongsong semburat merah matahari timur Indonesia.
Pak Sumaryanto Marzuki mengucapkan selamat atas bertambahnya usia Cak Nun, semoga selalu diberi kesehatan dan kekuatan untuk senantiasa berguna bagi Indonesia dan siapapun. Ketua RT 06 Kadipiro itu menyatakan bahwa Cak Nun beserta seluruh kegiatan-kegiatan kreatif di Rumah Budaya merupakan kebanggaan bagi seluruh warga.
Lain lagi bagi Mas Beben. Baginya, Cak Nun adalah sebuah jawaban. Buku ‘Dan Tuhanpun Berpuasa’ merupakan salah satu buku yang dibacanya tanpa jeda – di dalamnya Mas Beben bertemu dengan irama mengalir seperti dalam improvisasi jazz. Dengan belajar kepada Cak Nun dan komunitas-komunitasnya, Mas Beben sampai pada tahap bermusik untuk Tuhan.
Mewakili keluarga, Cak Nang berterimakasih kepada Cak Nun untuk telah menjadi anak dari Bu Chalimah yang sederhana. Karakter Cak Nun yang tak mau dikungkung oleh baju-baju besar para ulama atau tokoh apapun merupakan naluri yang diwariskan Ayah-Ibu, tapi Cak Nun mampu membahasakannya dengan sangat indah. Dengan demikian, keluarga terhindar juga dari kungkungan-kungkungan status.
Satu lagi dari Jamaah Maiyah, mas Solichin, mengucap syukur kepada Allah yang telah menghadirkan Cak Nun kepada kita semua – lengkap dengan peran-peran yang sedemikian besar. Kesehatan, kekuatan, dan umur panjang semoga untuk Cak Nun sekeluarga dan keluarga besar Maiyah.
“Saya kalau melihat Cak Nun tidak pernah melihat umur, apakah sudah tua atau masih muda,” ujar Mas Sabrang, “Saya melihatnya sebagai ‘musuh’, gitu aja. Yang saya rasakan, Cak Nun mendidik anaknya tidak dengan menimang-nimang, tidak dengan memanjakan, tapi dengan menyediakan dirinya menjadi sparring partner. Jadi ya antem-anteman terus dalam diskusi, dalam pikiran. Waktu kelas tiga SD minta radio aja debatnya tiga hari. Tapi kebiasaan berpikir seperti itu terbawa sampai sekarang. Dan saya harus benar-benar belajar pada Beliau soal kesabaran.”
Bagi Mas Sabrang, Cak Nun tidak pernah mengajarkan data. Begitu ditanya soal data, Cak Nun justru menantang balik untuk mencari data-data itu sendiri – baru kalau sudah dapat, diobrolkan bersama. Berdasar pengamatannya kepada sang ayah, Mas Sabrang menilai grafik Cak Nun tak pernah menurun. Selalu stabil, entah dengan cara bagaimana menjaganya.
Mas Sabrang berdoa semoga Cak Nun panjang umurnya dan damai sejahtera hatinya. Semoga kita semua juga selalu mendapat berkah ilmu dan berkah keselamatan. Kalau saja tak mampu gondelan klambine Kanjeng Nabi, setidaknya bisa gondelan Cak Nun.
“Dan saya juga mohon ampun kalau ada salah-salah dari diri saya. Semoga Tuhan dan Kanjeng Nabi selalu menemani Cak Nun dan kita semua.”
Mbak Inna Kamarie, yang mengenal sosok Cak Nun dari forum Kenduri Cinta setahun belakangan, mengaku terkesan dengan pilihan hidup Cak Nun untuk selalu ‘berpuasa’, untuk mampu merdeka dalam ketidakmerdekaan. Cak Nun juga menyediakan diri untuk banyak orang dan selalu melihat kemungkinan-kemungkinan kebaikan pada setiap orang.
Lain Mbak Inna, lain pula Bu Wahya. Istri dari Pak Toto Rahardjo yang telah mengenal Cak Nun sejak 25 atau 26 tahun lalu merasa sangat bersyukur karena pertemanan mereka menjadi persaudaraan – juga dengan seluruh keluarga Cak Nun.
Sebagai seorang Nasrani, melalui pertemanan dengan Cak Nun Bu Wahya membuktikan bahwa toleransi itu benar ada. Di samping itu, pemikiran-pemikiran Cak Nun turut memperkaya batin dan wawasan Bu Wahya dalam mengelola Sanggar Anak Alam. Bu Wahya mengucapkan selamat kepada Cak Nun sudah memasuki usia 60, semoga semakin menjadi berkah buat banyak orang.
“Kalau dibandingkan dengan Mas Toto, Pak Nevi, Mbak Wahya, mungkin saya masih muda hitungannya. Saya baru selama 18 tahun mengenal Cak Nun,” ujar Mbak Via.
Mbak Via kemudian bercerita mengenai pertemuan-pertemuan pertamanya dengan Cak Nun. Dimulai dengan acara Malam Takbiran di RCTI pada tahun 1995, di mana Mbak Via membacakan puisi Cak Nun. Sampai kemudian pada 22 Maret 1997 mereka menikah. Meskipun berasal dari dunia yang sangat jauh berbeda dengan dunia Cak Nun, Mbak Via punya keyakinan bahwa Allah-lah yang menempatkannya di sini.
“Saya memang bukan orang yang setipe dengan Cak Nun dan keluarga. Yang bisa saya katakan adalah bahwa saya bersyukur menjadi istri Cak Nun. Mudah-mudahan awet sampai kapanpun. Semoga Cak Nun sehat, dijaga terus sama Allah dari segala gangguan. Saya tahu bahwa Cak Nun diciptakan Allah untuk bermanfaat. Itu saja, terima kasih. Selamat ulang tahun, Yah.”
Satu lagi sahabat lama Cak Nun, Mas Eko Tunas dari Tegal. Sebagai ‘kado’ kecil, Mas Eko Tunas membawakan salah satu puisi Cak Nun, Akan Ke Manakah Angin. Lalu Mas Eko menceritakan pengalaman-pengalaman penuh kenangan mereka.
“Selamat ulang tahun, Mas Emha. Ternyata perjalanan kita ini lucu.”
Ketika diminta turut maju menyampaikan kesan-harapan, Pak Joko Kamto mengemukakan bahwa Cak Nun itu manusia terkini.
“Sudah itu saja, pokoknya Cak Nun itu manusia terkini, terkini, terkini terus. Mohon dionceki sendiri-sendiri.”
Turut menyampaikan kegembiraannya pula Pak Daryanto dari Mocopat Syafaat dan Najib Azka yang juga merupakan alumni Patangpuluhan. Pak Najib kemudian membawakan lagu-lagu puisi Cak Nun dengan iringan gitar akustik.
Yang pertama kali diucapkan Cak Nun adalah berterima kasih kepada semuanya, kemudian memohon maaf tak berpakaian putih-putih karena memang tidak tahu-menahu ada acara ini. Hari-hari sebelumnya Cak Nun sudah meminta kepada Pak Toto untuk tidak usah bikin acara – kalau bisa dipakai untuk merenung saja.
“Begitu masuk jam 00.00 tanggal 27 itu saya kan langsung merasa kosong, merasa tidak ada. Saya tidak punya beban tentang diri saya, saya tidak pernah punya jejak, manfaat, jasa – bahkan saya tak pernah ada. Saya tidak akan menuntut siapapun untuk menganggap saya ada, tidak akan menuntut siapapun untuk menghormati saya atau untuk meletakkan saya di wilayah-wilayah apapun. Tadi pada ngomong yang baik-baik dan ampuh. Mbok sudah yang baik-baik itu di-convert menjadi manfaat dalam hidup Anda. setelah itu, biarkan ‘saya’-nya hilang.”
“Yang ingin saya tunjukkan adalah : Anda harus lebih dekat sama Mbak Via, sebab dialah orang yang tahu persis kejelekan-kejelekan saya. Tidak adil kalau Anda hanya tahu kebaikan, kebenaran, dan kehebatan saya saja. Mbak Via adalah cermin dari Allah supaya saya bisa tahu jeleknya saya.kalau memang ada ulang tahun, nomor satu saya minta maaf kepada orang-orang yang hidup sama saya, yaitu Mbak Via dan anak-anak semua. Dan memang dua tahun terakhir ini saya khususkan untuk mencari kejelekan dan kelemahan saya.”
Ada formula yang Allah tawarkan dalam Surah Al-Fattah, yakni mengenai pintu kemenangan. Kemenangan pertama adalah ‘Aku ampuni dosa-dosamu yang dulu, sekarang, dan yang akan datang’. Kemudian kemenangan kedua ‘Allah menyempurnakan kenikmatan kepadamu’. Ini sangat luas, bisa berupa uang, jabatan, dan apapun, tapi kenikmatan tertinggi adalah kesanggupan manusia untuk menemukan nikmat atas segala yang dia alami, atas segala yang diberikan Allah kepadanya. Kemenangan ketiga adalah dalam setiap menghadapi sesuatu, merencanakan apapun, melayani tantangan apapun, selalu kita disiapkan oleh Allah untuk tidak diijinkan berjalan di jalan yang salah.
“Sekarang-sekarang ini, struktur dan cara berpikir kita salah. Oleh karena itu tadi Mas Toto mengatakan yang penting ngaji dan shalawatan, nggak usah ribut-ribut menafsir. Al-Qur’an menjadi tak bermakna kalau manusia tak punya akal sehat. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah.”
“Maka malam ini saya meminta maaf atas seluruh kesalahan-kesalahan saya selama ini. Tolong pandu saya untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lagi. Termasuk di dalam kesalahan saya adalah ketidakmampuan saya untuk memenuhi apa yang Anda butuhkan.”
“Kedua, saya sangat berterima kasih kepada semuanya.”
Setelah mengenang pengalaman-pengalaman masa lalu bersama orang-orang terdekat, Cak Nun meminta lampu dimatikan untuk bisa khusyuk bershalawat bersama-sama. []
sumber : www.kenduricinta.com
Ngaji, Bershalawat, dan Bersyukur Bersama
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>