Judul Buku : Cinta Sejati Emha Buat Pak Harto
Penulis : ML Nihwan Sumuranje
Penerbit : Kaukaba, Yogjakarta
Cetakan : I, Mei 2013
Tebal : x + 114 halaman
Beberapa tahun silam ketika euforia reformasi belum gegap-gempita, suara nyaring Emha dapat dengan mudah didengar melalui tulisan-tulisannya. Emha seperti singa yang aumannya tak hanya membuat bergidik, juga membuat gerah para penguasa. Beberapa kali Emha dilarang tampil, dan pementasannya di beberapa tempat harus dicekal. Bahkan, dalam Padhang Mbulan, - sebuah acara rutin yang digagas di tempat kelahirannya tiap malam bulan purnama – kritik tajam Emha terhadap pemerintah demikian membahana. Tanpa tedeng aling-aling, nama Soeharto, Harmoko, Tutut, dan siapapun saja penguasa yang dikenal represif waktu itu diungkapkan dengan bahasa terang-benderang. Justru ketika Orde Baru tumbang, sikap Emha berubah drastis. Apa sebenarnya yang terjadi? Betulkah Emha kecewa dengan reformasi yang terjadi hingga hari ini?
Berbicara tentang reformasi yang bergulir sejak Mei 1998, tidak boleh tidak, kita memang tak bisa menghilangkan sosok yang bernama Emha Ainun Nadjib. Sebab, keterlibatan Emha dalam proses reformasi tak bisa dipandang remeh. Masih belum hilang dari ingatan ketika Pak Harto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998. Di depan kamera TV disaksikan jutaan rakyat Indonesia, Pak Harto menyatakan dalam bahasa ngoko jawatimuran: “Ora dadi presiden ora patheken.” Siapa lagi yang mengajari kalau bukan Emha Ainun Nadjib.
Hal ini bisa dipahami. Sebab, 21 Mei hanyalah muara dari proses yang telah terjadi sebelumnya. 16 Mei 1998, ketika kerusuhan demi kerusuhan semakin tak bisa dikendalikan, Emha dan beberapa tokoh (Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Ekky Syahruddin, Fahmi Idris dan beberapa yang lain) mengadakan pertemuan di Hotel Regent, Jakarta. Mereka membuat pernyataan yang intinya meminta Pak Harto mundur. Pernyataan yang diberi judul Khusnul Khatimah itu kemudian dikonfrensi-perskan pada 17 Mei 1998 di Hotel Wisata Internasional, Jakarta. Esoknya, 18 Mei 1998, disampaikan Mensesneg Sa’adilah Mursyid kepada Soeharto. Selang dua jam setelah dipelajari, Sa’adilah dipanggil Soeharto dan menyatakan bersedia mundur. Hanya saja, Pak Harto minta bertemu dengan orang-orang yang menyarankan lengser keprabon secara khusnul khatimah.
Berdasar kesediaan itulah, pada 19 Mei 1998 pukul 09.00 Wib, Emha Ainun Nadjib (dengan bersepatu pinjaman) mendatangi Istana Negara bersama delapan tokoh lain: KH Abdurrahman Wahid, KH Ali Yafie, Prof. Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan KH Ma'ruf Amin. Pertemuan selama 2,5 jam itu merundingkan prosedur turun jabatan terbaik bagi Pak Harto dengan meminimalisir gejolak. Ada tiga gagasan diajukan: Soeharto turun, MPR/DPR bubar, dibentuk Komite Reformasi. Komite Reformasi terdiri 45 orang dikenal sebagai reformis progresif, adalah semacam MPR Sementara yang bertugas selama enam bulan. Agenda utamanya mengubah Undang-undang Partai Politik dan Pemilu, serta mempersiapkan dan menyelenggarkan Pemilu.
Sayangnya, meski disetujui Pak Harto, Komite Reformasi justru ditolak oleh sebagian besar kaum reformis, terutama oleh seseorang yang dikenal sebagai tokoh reformasi. Komite Reformasi dianggap sebagai strategi licik Pak Harto yang tetap ingin melanggengkan kekuasaan. Padahal menurut Emha, juga ditegaskan Gus Dur, Pak Harto sudah benar-benar ingin berubah menjelang lengser keprabon. Maka, Cinta Sejati Emha buat Pak Harto sesungguhnya terletak pada kesediaan Emha memandang Pak Harto sebagai manusia. Sebagai manusia, Pak Harto memiliki hak yang sama untuk bertaubat dan memilih khusnul khotimah? Bukankah prasyarat taubat, disamping berjanji setulus hati tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, juga harus menunaikan segala sesuatu yang memang harus ditunaikan?
Di sebuah hotel menjelang naiknya Habibie menjadi presiden, adegan ketidak-jujuran telah dikonferensi-perskan. Lebih miris, sebuah perbincangan mampir ke telinga Emha dari mulut kaum reformis, yang esoknya akan menjadi menteri,”Kira-kira, ada tidak gaji pensiun bagi mentri yang hanya menjabat selama 6 bulan?” Emha terkesima. Ia sama sekali tak menyangka, reformasi yang didengung-dengungkan ternyata bukan lagi menjadi agenda utama, justru yang menjadi perbincangan adalah pembagian kue kekuasaan dan seputar fasilitas gaji pejabat.
Emha lantas berbalik pulang, memutuskan diri tak lagi terlibat dengan kekuasaan. Ia kemudian berkeliling nusantara menyebarkan shalawat dalam balutan cinta segitiga, bahkan sampai hari ini. Reformasi menurutnya bukan hanya gagal, tapi omong kosong. Sebab, terbukti hari-hari ini bahwa reformasi bukan bagaimana bersama-sama mengubah keadaan menjadi lebih baik. Reformasi adalah bagaimana menjatuhkan Soeharto, untuk kemudian memerankan diri menjadi Soeharto baru, bahkan lebih hebat dan lebih canggih.(*)
*) Em. Syuhada', Jamaah Maiyah. Mengajar di SD Negeri Talunrejo 3, Bluluk, Lamongan.
Penulis : ML Nihwan Sumuranje
Penerbit : Kaukaba, Yogjakarta
Cetakan : I, Mei 2013
Tebal : x + 114 halaman
Berbicara tentang reformasi yang bergulir sejak Mei 1998, kita memang tak bisa menghilangkan sosok yang bernama Emha Ainun Nadjib. Sebab, keterlibatan Emha dalam proses reformasi tak bisa dipandang remeh. Masih belum hilang dari ingatan ketika Pak Harto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998. Di depan kamera TV disaksikan jutaan rakyat Indonesia, Pak Harto menyatakan dalam bahasa ngoko jawatimuran: “Ora dadi presiden ora patheken.” Siapa lagi yang mengajari kalau bukan Emha Ainun Nadjib.SIAPA tak kenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki kelahiran Jombang, yang karib dipanggil Cak Nun itu dikenal sebagai sosok yang multidimensi. Berbagai sebutan disematkan padanya mulai penyair, mubaligh, budayawan, hingga kiai. Bahkan, keterlibatannya dalam banyak hal membuat pria yang pada 27 Mei mendatang genap berusia 60 tahun itu dapat dijumpai di semua tempat dan strata. Boleh jadi, detik ini ia terlibat acara di sebuah hotel berbintang lima, namun siapa sangka sepersekian menit kemudian, ia sudah berada di warung pinggir jalan bersama tukang becak dan kaum termaginalkan lainnya. Maka, tak berlebihan jika Gus Mus menjuluki Emha seperti tertulis dalam sebait puisinya; santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, ksatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah.
Beberapa tahun silam ketika euforia reformasi belum gegap-gempita, suara nyaring Emha dapat dengan mudah didengar melalui tulisan-tulisannya. Emha seperti singa yang aumannya tak hanya membuat bergidik, juga membuat gerah para penguasa. Beberapa kali Emha dilarang tampil, dan pementasannya di beberapa tempat harus dicekal. Bahkan, dalam Padhang Mbulan, - sebuah acara rutin yang digagas di tempat kelahirannya tiap malam bulan purnama – kritik tajam Emha terhadap pemerintah demikian membahana. Tanpa tedeng aling-aling, nama Soeharto, Harmoko, Tutut, dan siapapun saja penguasa yang dikenal represif waktu itu diungkapkan dengan bahasa terang-benderang. Justru ketika Orde Baru tumbang, sikap Emha berubah drastis. Apa sebenarnya yang terjadi? Betulkah Emha kecewa dengan reformasi yang terjadi hingga hari ini?
Memang, ketika reformasi berjalan hingga mencapai angka 15 tahun, situasi yang terjadi sama sekali di luar yang diharapkan. Hari-hari ini dengan kasat mata dapat disaksikan betapa kehidupan pasca-reformasi tidak semakin membaik, justru kian buruk. Banyak ironi terjadi di negeri ini. Pengangguran merajalela, aset negara banyak terjual, kehidupan rakyat jelata kian terengah-engah dengan terus membubungnya harga kebutuhan pokok, dan sebagainya. Bahkan, korupsi yang sebelumnya hanya berpusat pada satu titik, kini melebar hingga ke semua wilayah sampai ke pelosok-pelosok desa. Adakah yang salah dengan proses reformasi?Melalui buku Cinta Sejati Emha Buat Pak Harto, ML Nihwan Sumuranje mencoba mengurai keadaan itu. Didampingi literatur dari sumber yang terkait secara langsung, beberapa fakta diungkap dengan bahasa yang lugas dan gamblang. Meski secara spesifik judul buku ini adalah cinta Emha kepada Pak Harto, didalamnya banyak ditemukan fakta sejarah lebih luas. Penyebab Pak Harto jatuh misalnya, ketika lensa kamera hanya terfokus pada demo besar-besaran dan kerusuhan yang merebak di berbagai daerah, ternyata dibelakangnya ada campur tangan Amerika Serikat (Hal 1-11). Juga tatkala Orde Reformasi semakin kehilangan arah, diungkap pula ikhtiar Emha untuk kemashlahatan negeri ini. Bagaimana Emha dengan gerakan maiyah-nya berkeliling di banyak tempat, hingga ke mancanegara, untuk keselamatan sebuah negeri yang bernama Indonesia Raya.
Berbicara tentang reformasi yang bergulir sejak Mei 1998, tidak boleh tidak, kita memang tak bisa menghilangkan sosok yang bernama Emha Ainun Nadjib. Sebab, keterlibatan Emha dalam proses reformasi tak bisa dipandang remeh. Masih belum hilang dari ingatan ketika Pak Harto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998. Di depan kamera TV disaksikan jutaan rakyat Indonesia, Pak Harto menyatakan dalam bahasa ngoko jawatimuran: “Ora dadi presiden ora patheken.” Siapa lagi yang mengajari kalau bukan Emha Ainun Nadjib.
Hal ini bisa dipahami. Sebab, 21 Mei hanyalah muara dari proses yang telah terjadi sebelumnya. 16 Mei 1998, ketika kerusuhan demi kerusuhan semakin tak bisa dikendalikan, Emha dan beberapa tokoh (Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Ekky Syahruddin, Fahmi Idris dan beberapa yang lain) mengadakan pertemuan di Hotel Regent, Jakarta. Mereka membuat pernyataan yang intinya meminta Pak Harto mundur. Pernyataan yang diberi judul Khusnul Khatimah itu kemudian dikonfrensi-perskan pada 17 Mei 1998 di Hotel Wisata Internasional, Jakarta. Esoknya, 18 Mei 1998, disampaikan Mensesneg Sa’adilah Mursyid kepada Soeharto. Selang dua jam setelah dipelajari, Sa’adilah dipanggil Soeharto dan menyatakan bersedia mundur. Hanya saja, Pak Harto minta bertemu dengan orang-orang yang menyarankan lengser keprabon secara khusnul khatimah.
Berdasar kesediaan itulah, pada 19 Mei 1998 pukul 09.00 Wib, Emha Ainun Nadjib (dengan bersepatu pinjaman) mendatangi Istana Negara bersama delapan tokoh lain: KH Abdurrahman Wahid, KH Ali Yafie, Prof. Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan KH Ma'ruf Amin. Pertemuan selama 2,5 jam itu merundingkan prosedur turun jabatan terbaik bagi Pak Harto dengan meminimalisir gejolak. Ada tiga gagasan diajukan: Soeharto turun, MPR/DPR bubar, dibentuk Komite Reformasi. Komite Reformasi terdiri 45 orang dikenal sebagai reformis progresif, adalah semacam MPR Sementara yang bertugas selama enam bulan. Agenda utamanya mengubah Undang-undang Partai Politik dan Pemilu, serta mempersiapkan dan menyelenggarkan Pemilu.
Sayangnya, meski disetujui Pak Harto, Komite Reformasi justru ditolak oleh sebagian besar kaum reformis, terutama oleh seseorang yang dikenal sebagai tokoh reformasi. Komite Reformasi dianggap sebagai strategi licik Pak Harto yang tetap ingin melanggengkan kekuasaan. Padahal menurut Emha, juga ditegaskan Gus Dur, Pak Harto sudah benar-benar ingin berubah menjelang lengser keprabon. Maka, Cinta Sejati Emha buat Pak Harto sesungguhnya terletak pada kesediaan Emha memandang Pak Harto sebagai manusia. Sebagai manusia, Pak Harto memiliki hak yang sama untuk bertaubat dan memilih khusnul khotimah? Bukankah prasyarat taubat, disamping berjanji setulus hati tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, juga harus menunaikan segala sesuatu yang memang harus ditunaikan?
Sebagai upaya recovery sejarah, kehadiran buku ini sungguh penting. Apalagi fakta seputar reformasi 1998 yang dibidik buku ini sebelumnya jarang diungkapkan secara adil oleh media massa. Setelah Komite Reformasi gagal dibentuk, yang terjadi kemudian sesuatu yang sebelumnya dikhawatirkan Emha: BJ. Habibie naik menjadi presiden. Pro kontra lantas bermunculan. Reformasi menjadi semakin tidak jelas. Sesudahnya, beragam fitnah kerap dilontarkan kepada tim sembilan, terutama kepada Emha. Emha yang dituduh berkolusi dengan Pak Harto, segala kegiatan Emha dibiayai Cendana, dan sebagainya. Emha hanya tersenyum,”Betul, saya memang diberi perusahaan oleh Cendana. Dari Pak Harto saya mendapatkan PT. Dengkulmu Mlicet. Sedangkan dari Mbak Tutut, perusahaan yang diberikan adalah PT. Udelmu Bodong.”Semua mata kadung memandang Pak Harto hanya dengan kebencian. Bahwa yang salah hanya satu: ialah Soeharto. Padahal jika melihat kenyataan sesudahnya, bukankah para pialang politik yang bermain di Orde Reformasi sesungguhnya adalah aktor Orde Baru?
Di sebuah hotel menjelang naiknya Habibie menjadi presiden, adegan ketidak-jujuran telah dikonferensi-perskan. Lebih miris, sebuah perbincangan mampir ke telinga Emha dari mulut kaum reformis, yang esoknya akan menjadi menteri,”Kira-kira, ada tidak gaji pensiun bagi mentri yang hanya menjabat selama 6 bulan?” Emha terkesima. Ia sama sekali tak menyangka, reformasi yang didengung-dengungkan ternyata bukan lagi menjadi agenda utama, justru yang menjadi perbincangan adalah pembagian kue kekuasaan dan seputar fasilitas gaji pejabat.
Emha lantas berbalik pulang, memutuskan diri tak lagi terlibat dengan kekuasaan. Ia kemudian berkeliling nusantara menyebarkan shalawat dalam balutan cinta segitiga, bahkan sampai hari ini. Reformasi menurutnya bukan hanya gagal, tapi omong kosong. Sebab, terbukti hari-hari ini bahwa reformasi bukan bagaimana bersama-sama mengubah keadaan menjadi lebih baik. Reformasi adalah bagaimana menjatuhkan Soeharto, untuk kemudian memerankan diri menjadi Soeharto baru, bahkan lebih hebat dan lebih canggih.(*)
*) Em. Syuhada', Jamaah Maiyah. Mengajar di SD Negeri Talunrejo 3, Bluluk, Lamongan.
Reformasi PT. Dengkulmu Mlicet
4/
5
Oleh
Admin
2 komentar
Tulis komentarSebetulnya saya bukan orang yang demen ngebahas tentang Repot nasi dan repot-repot lainnya, tapi setelah baca tetulisan ini setidaknya menyuguhkan sisi lain tentang repotnya cari nasi yang layak kita konsumsi.
ReplyUntuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>