KATANYA, pengalaman adalah guru terbaik. Semakin banyak pengalaman,
semakin banyak ilmu yang didapat. Mungkin ini yang dibilang ilmu hikmah.
Tidak hanya dari pengalaman pribadi, pelajaran juga bisa diambil dari
pengalaman orang, sesuatu yang lain. Mungkin juga ini salah satu alasan
ada cabang ilmu bernama pelajaran sejarah.
Dari sekian banyak yang pernah punya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dan “pengalaman”, tak bisa dimungkiri bahwa yang paling lama berkiprah dan mengumpulkan pengalaman adalah alam. Bukan Alam sang penyanyi lagu Mbah Dukun yang terkenal itu, melainkan alam dalam arti nature, alam semesta.
Alam semesta dengan usia curriculum vitae--nya yang milyaran tahun, bahkan lebih, dengan buminya yang sudah pernah didiami banyak jenis makhluk hidup dari masa balkadaba, dinosaurus, sampai yang paling mutakhir, manusia, mendapat kesempatan untuk belajar sangat banyak dengan proses-proses evolusinya. Dan pasti sangat banyak yang bisa kita pelajari dari “keputusan-keputusan” yang diambil oleh alam.
Sedikit contoh, kita tahu bahwa pada masa yang sama, jaring laba-laba punya kekuatan lima kali lipat lebih tangguh daripada baja. Begitu kuatnya jaring ini, hanya dibutuhkan seutas jaring laba-laba dengan diameter 10 sentimeter untuk menghentikan pesawat jumbo jet dengan kekuatan penuh.
Makhluk sesimpel lalat memiliki cara terbang yang begitu canggih, dengan manuverbility yang begitu tinggi, yang sampai saat ini belum mampu direplika oleh teknologi paling canggih yang dimiliki manusia. Banyak lagi contoh bahwa alam jauh lebih berpengalaman, jauh lebih matang, dan beberapa langkah di depan manusia dalam memecahkan masalah.
Bukan hanya pada ranah “IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)” alam memberi kita pelajaran berharga. Society system pada semut dan lebah begitu sophisticated-nya, sampai-sampai seringkali kita harus dibuat malu dengan inkompetensi kita untuk bisa bekerja sama sebaik mereka. Ada salah satu “keputusan” alam lagi yang sangat menarik yang sepertinya bisa kita ambil pelajarannya untuk memahami diri kita (dengan sudut pandang generasi) lebih dalam lagi, Seksualitas.
Mungkin kita terlalu menganggap enteng seks. Seks adalah sebuah metode di mana makhluk hidup berusaha membuat keturunannya. Dari sudut pandang evolusi, seks adalah salah satu misteri terbesar yang pernah ada. Sebenarnya ada metode lain yang juga digunakan makhluk hidup untuk meneruskan keturunan, yaitu aseksual. Pertanyaannya, kenapa lebih banyak makhluk yang menggunakan metode seksual daripada aseksual pada saat ini? Kelebihan apa yang dimiliki metode seksual dan tidak dimiliki metoda aseksual? Terus, apa hubungannya dengan “sudut pandang generasi” mumbo jumbo tadi?
Metode seksual adalah sebuah metode di mana sebentuk individual harus menemukan pasangan dengan jenis kelamin berbeda dan bekerja sama membentuk keturunan baru (produksi). Sedangkan pada metode aseksual, sebentuk individu dengan sendirinya mampu meneruskan keturunan tanpa bantuan individu yang lain, dengan kata lain individu ini menciptakan 100% copy atas dirinya sendiri (reproduksi). Mikroba, beberapa jenis tanaman, bahkan beberapa jenis reptil, menggunakan metode ini.
Secara nalar, metode aseksual jauh lebih menjanjikan untuk menjaga jumlah keturunan sebuah spesies karena kemudahannya. Tapi ternyata bukan itu yang dipilih oleh alam.
Salah satu hipotesis mengatakan bahwa dengan metode aseksual, walaupun dengan keuntungan mampu membuat keturunan dengan jumlah besar, sebuah spesies akan memiliki keseragaman genetik. Dan dengan keseragaman genetika, berarti spesies tersebut juga memiliki kerentanan yang seragam terhadap salah satu jenis parasit tertentu. Ada satu yang terjangkit parasit dan mati, maka seluruh spesies itu akan menjadi sangat potensial untuk punah.
Di lain pihak, metode seksual, walaupun kemampuan membentuk keturunan tidak terlalu besar (tidak sebesar metode aseksual), menghasilkan keturunan dengan gen-gen yang beragam karena sebuah keturunan merupakan gabungan gen kedua orang tuanya. Satu individu rentan terhadap parasit tertentu tidak berarti individu yang lain dalam spesies yang sama memiliki kerentanan serupa.
Secara teori, keanekaragaman dan metode dengan jenis produksi itu memiliki ketangguhan yang lebih tinggi untuk menghadapai berbagai masalah. Hipotesis ini telah dibuktikan benar dengan ditemukannya Potamopyrgus antipodarum. Yakni sejenis siput di Selandia Baru yang sangat spesial karena spesies ini memiliki sekaligus dua jenis cara berkembang-biak: seksual dan aseksual. menurut pengalaman alam dan eksperimen, metode produksi lebih berhasil daripada metode reproduksi.
Pendidikan. Secara esensi, pendidikan tidak begitu berbeda dari perkembangbiakan. Keduanya adalah usaha meneruskan informasi yang didapat dari sebuah generasi kepada generasi berikutnya. Pendidikan meneruskan informasi ilmu pengetahuan, berkembang biak meneruskan informasi genetiknya, tapi dengan satu perbedaan penting: transfer ilmu pengetahuan membutuhkan pemahaman otak terhadap informasi itu sendiri, transfer genetika tidak.
Karena itu dalam proses pendidikan dikenal beberapa faktor yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah proses belajar-mengajar yang efektif. Kejelasan dan kematangan ideologi pendidikan mesti tepat, metode dan praktek pendidikan juga mesti akurat. Metodologi yang terdiri dari cara pandang, alat, dan cara harus datang dari kesadaran objekif tentang esensi dan tujuan proses belajar ini.
Ada pandangan bahwa proses belajar-mengajar tidak pernah bisa lepas dari pengaruh society dimana proses ini terselenggara. Pendapat ini berasal dari asumsi bahwa sebuah proses pendidikan harus menghasilkan anak didik yang tidak kontra dengan kekuasaan, struktur sosial, dan sistem yang berlaku. Dengan tujuan itu, otomatis pendidikan menjadi sarana untuk melanggengkan apa yang sudah ada. Memproduksinya.
Di lain pihak, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya membangkitkan kesadaran anak didiknya. Kesadarana gender, kesadaran kelas, dan kesadaran-kesadaran yang lain. Pendidikan seharusnya mampu memproduksi anak didiknya secara maksimal, sehingga mereka mampu mencapai hal setinggi yang mereka inginkan. Meproduksinya.
Lalu, apa yang kita miliki di dunia pendidikan pada saat ini? setela membaca, menulis, dan berhitung, apa lagi yang kira-kira dibutuhkan untuk mendapatkan gelar “generasi terdidik”? Kata terdidik sendiri pada saat ini berarti seseorang yang telah mendapatkan ijazah lulus dalam sebuah organisasi pendidikan yang diakui negara. Ijazah itu sendiri begitu tinggi nilainya sebagai pengukur absolut untuk menentukan posisi hierarki dalam masyarakat. Parameter untuk mendapatkan pekerjaan sampai iklan mencari jodoh tak bisa lepas dari frasa “minimal lulusan…”.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian di benak saya kemudian, seakurat itukah ijazah? Jenis pendidikan apa yang bisa terefleksikan oleh ijazah?
Awal sekolah dimulai dengan pelajaran membaca. Membaca dalam arti “sempit” adalah memahami pesan dalam bentuk tulisan. Sebagai manusia, dengan kemampuan membaca, kita diberi jalan untuk belajar hal-hal yang lebih banyak dan lebih luas. Saya sebut turunan kedua dari proses belajar ini sebagai pintu wacana. Turunan kedua ini termasuk ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan sebagainya.
Dalam arti yang lebih dalam, kemampuan membaca lebih berarti bagaimana kita bisa memahami orang lain dan dapat apa yang ingin diungkapkan orang lain. Berarti juga kita mampu mencerna dan memproduksi informasi yang didapat generasi sebelumnya.
Menulis dalam arti “sempit” adalah menyampaikan sesuatu dalam bentuk tulisan. Sebagai manusia, kemampuan menulis memberi alat untuk terkoneksi dengan khalayak yang lebih luas dari sekedar bahasa lisan. Bersama dengan kemampuan membaca, kita dididik untuk mampu mengungkapkan sesuatu yang ingin kita ungkapkan dengan bahasa yang jelas dan struktur yang tertata.
Berhitung dalam arti “sempit” adalah mampu memahami dan memproses data dalam bentuk angka. Pada arti lebih dalam, secara eksplisit: sebuah bentuk metode matematis dalam memecahkan sebuah masalah, memberi pelajaran sistematis dalam cara berpikir. Secara implisit, metode matematis melatih logika berpikir untuk mengeliminasi grey area. Semua komponen didalamnya ada pada ranah benar-salah, tak ada kompromi. Semuanya adalah pasti, tak ada korupsi ataupun retorika pembenaran. Reproduksi pengetahuan matematis adalah wajib untuk mampu berproduksi di bidang ini dan turunannya.
Ijazah bisa didapatkan dengan sebuah tes untuk mengetahui tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh yang terdidik. Tes berupa pertanyaan dengan jawaban yang harus sesuai dengan buku referensi. Karakteristik proses pendidikan dengan tipe reproduksi. Tes ini akan sangat tepat pada bidang-bidang yang membutuhkan jawaba-jawaban absolut, seperti matematika, fisika, biologi, dan turunannya.
Yang disayangkan, metode ini tidak memberi ruang pada pengembangan pemahaman manusia (anak didik) terhadap hal-hal yang bersifat sosial. Ketika anak didik berpendapat bahwa kesempatan pendidikan di Indonesia tidak adil, berdasarkan pengalamannya yang tidak bisa masuk sekolah tertentu karena tidak mampu membayar uang, dia bisa dipastikan mendapat nilai buruk dalam tes ini, karena tentu tidak sesuai dengan buku referensi.
Sejauh ini, sosiety kita dibangun berdasarkan pemerataan tolok ukur reproduksi. Dan terbukti, anak didik akan sangat berprestasi pada bidang-bidang yang tepat dengan metode ini. Juara olimpiade matematika dan fisika, misalnya.
Tapi, apakah sistem pendidikan kita mampu menghasilkan anak didik yang kritis, yang mampu menganalisis kondisi sosial, terlatih berpikir kritis, menghargai nilai keadilan setinggi dia menilai angka rapor? Pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, tentu dengan cara berpikir kritis pula.
Sudah sangat pakar kita menggunakan metode pendidikan reproduksi. Dan sepertinya sudah waktunya kita mulai memikirkan jenis “ijazah” yang mampu merefleksikan tingkat keterdidikan anak dalam mengembangkan dirinya sebagai manusia. Dibutuhkan metode yang tepat dan pemetaan yang akurat dalam sistem pendidikan kita. Bidang mana yang harus memakai cara reproduksi dan bidang mana yang harus memakai cara produksi, tentu beserta sistem “ijazah”-nya.
Tidak perlu muluk-muluk, setidaknya kita bisa memulai dengan mengajarkan dan memberi pemahaman bahwa, misalnya, sepakbola bukanlah sekedar banyak gol yang bisa dibuat, melainkan apakah kita cukup sportif dalam membuat gol itu. Sportifitas penting, karena sportifitas adalah nyawa keadilan. []
Sabrang Mawa Damar Panuluh (Noe Letto)______
Sumber: GATRA No. 39 Tahun XV/6 - 12 Agustus 2009
Dari sekian banyak yang pernah punya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dan “pengalaman”, tak bisa dimungkiri bahwa yang paling lama berkiprah dan mengumpulkan pengalaman adalah alam. Bukan Alam sang penyanyi lagu Mbah Dukun yang terkenal itu, melainkan alam dalam arti nature, alam semesta.
Alam semesta dengan usia curriculum vitae--nya yang milyaran tahun, bahkan lebih, dengan buminya yang sudah pernah didiami banyak jenis makhluk hidup dari masa balkadaba, dinosaurus, sampai yang paling mutakhir, manusia, mendapat kesempatan untuk belajar sangat banyak dengan proses-proses evolusinya. Dan pasti sangat banyak yang bisa kita pelajari dari “keputusan-keputusan” yang diambil oleh alam.
Sedikit contoh, kita tahu bahwa pada masa yang sama, jaring laba-laba punya kekuatan lima kali lipat lebih tangguh daripada baja. Begitu kuatnya jaring ini, hanya dibutuhkan seutas jaring laba-laba dengan diameter 10 sentimeter untuk menghentikan pesawat jumbo jet dengan kekuatan penuh.
Makhluk sesimpel lalat memiliki cara terbang yang begitu canggih, dengan manuverbility yang begitu tinggi, yang sampai saat ini belum mampu direplika oleh teknologi paling canggih yang dimiliki manusia. Banyak lagi contoh bahwa alam jauh lebih berpengalaman, jauh lebih matang, dan beberapa langkah di depan manusia dalam memecahkan masalah.
Bukan hanya pada ranah “IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)” alam memberi kita pelajaran berharga. Society system pada semut dan lebah begitu sophisticated-nya, sampai-sampai seringkali kita harus dibuat malu dengan inkompetensi kita untuk bisa bekerja sama sebaik mereka. Ada salah satu “keputusan” alam lagi yang sangat menarik yang sepertinya bisa kita ambil pelajarannya untuk memahami diri kita (dengan sudut pandang generasi) lebih dalam lagi, Seksualitas.
Mungkin kita terlalu menganggap enteng seks. Seks adalah sebuah metode di mana makhluk hidup berusaha membuat keturunannya. Dari sudut pandang evolusi, seks adalah salah satu misteri terbesar yang pernah ada. Sebenarnya ada metode lain yang juga digunakan makhluk hidup untuk meneruskan keturunan, yaitu aseksual. Pertanyaannya, kenapa lebih banyak makhluk yang menggunakan metode seksual daripada aseksual pada saat ini? Kelebihan apa yang dimiliki metode seksual dan tidak dimiliki metoda aseksual? Terus, apa hubungannya dengan “sudut pandang generasi” mumbo jumbo tadi?
Metode seksual adalah sebuah metode di mana sebentuk individual harus menemukan pasangan dengan jenis kelamin berbeda dan bekerja sama membentuk keturunan baru (produksi). Sedangkan pada metode aseksual, sebentuk individu dengan sendirinya mampu meneruskan keturunan tanpa bantuan individu yang lain, dengan kata lain individu ini menciptakan 100% copy atas dirinya sendiri (reproduksi). Mikroba, beberapa jenis tanaman, bahkan beberapa jenis reptil, menggunakan metode ini.
Secara nalar, metode aseksual jauh lebih menjanjikan untuk menjaga jumlah keturunan sebuah spesies karena kemudahannya. Tapi ternyata bukan itu yang dipilih oleh alam.
Salah satu hipotesis mengatakan bahwa dengan metode aseksual, walaupun dengan keuntungan mampu membuat keturunan dengan jumlah besar, sebuah spesies akan memiliki keseragaman genetik. Dan dengan keseragaman genetika, berarti spesies tersebut juga memiliki kerentanan yang seragam terhadap salah satu jenis parasit tertentu. Ada satu yang terjangkit parasit dan mati, maka seluruh spesies itu akan menjadi sangat potensial untuk punah.
Di lain pihak, metode seksual, walaupun kemampuan membentuk keturunan tidak terlalu besar (tidak sebesar metode aseksual), menghasilkan keturunan dengan gen-gen yang beragam karena sebuah keturunan merupakan gabungan gen kedua orang tuanya. Satu individu rentan terhadap parasit tertentu tidak berarti individu yang lain dalam spesies yang sama memiliki kerentanan serupa.
Secara teori, keanekaragaman dan metode dengan jenis produksi itu memiliki ketangguhan yang lebih tinggi untuk menghadapai berbagai masalah. Hipotesis ini telah dibuktikan benar dengan ditemukannya Potamopyrgus antipodarum. Yakni sejenis siput di Selandia Baru yang sangat spesial karena spesies ini memiliki sekaligus dua jenis cara berkembang-biak: seksual dan aseksual. menurut pengalaman alam dan eksperimen, metode produksi lebih berhasil daripada metode reproduksi.
Pendidikan. Secara esensi, pendidikan tidak begitu berbeda dari perkembangbiakan. Keduanya adalah usaha meneruskan informasi yang didapat dari sebuah generasi kepada generasi berikutnya. Pendidikan meneruskan informasi ilmu pengetahuan, berkembang biak meneruskan informasi genetiknya, tapi dengan satu perbedaan penting: transfer ilmu pengetahuan membutuhkan pemahaman otak terhadap informasi itu sendiri, transfer genetika tidak.
Karena itu dalam proses pendidikan dikenal beberapa faktor yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah proses belajar-mengajar yang efektif. Kejelasan dan kematangan ideologi pendidikan mesti tepat, metode dan praktek pendidikan juga mesti akurat. Metodologi yang terdiri dari cara pandang, alat, dan cara harus datang dari kesadaran objekif tentang esensi dan tujuan proses belajar ini.
Ada pandangan bahwa proses belajar-mengajar tidak pernah bisa lepas dari pengaruh society dimana proses ini terselenggara. Pendapat ini berasal dari asumsi bahwa sebuah proses pendidikan harus menghasilkan anak didik yang tidak kontra dengan kekuasaan, struktur sosial, dan sistem yang berlaku. Dengan tujuan itu, otomatis pendidikan menjadi sarana untuk melanggengkan apa yang sudah ada. Memproduksinya.
Di lain pihak, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya membangkitkan kesadaran anak didiknya. Kesadarana gender, kesadaran kelas, dan kesadaran-kesadaran yang lain. Pendidikan seharusnya mampu memproduksi anak didiknya secara maksimal, sehingga mereka mampu mencapai hal setinggi yang mereka inginkan. Meproduksinya.
Lalu, apa yang kita miliki di dunia pendidikan pada saat ini? setela membaca, menulis, dan berhitung, apa lagi yang kira-kira dibutuhkan untuk mendapatkan gelar “generasi terdidik”? Kata terdidik sendiri pada saat ini berarti seseorang yang telah mendapatkan ijazah lulus dalam sebuah organisasi pendidikan yang diakui negara. Ijazah itu sendiri begitu tinggi nilainya sebagai pengukur absolut untuk menentukan posisi hierarki dalam masyarakat. Parameter untuk mendapatkan pekerjaan sampai iklan mencari jodoh tak bisa lepas dari frasa “minimal lulusan…”.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian di benak saya kemudian, seakurat itukah ijazah? Jenis pendidikan apa yang bisa terefleksikan oleh ijazah?
Awal sekolah dimulai dengan pelajaran membaca. Membaca dalam arti “sempit” adalah memahami pesan dalam bentuk tulisan. Sebagai manusia, dengan kemampuan membaca, kita diberi jalan untuk belajar hal-hal yang lebih banyak dan lebih luas. Saya sebut turunan kedua dari proses belajar ini sebagai pintu wacana. Turunan kedua ini termasuk ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan sebagainya.
Dalam arti yang lebih dalam, kemampuan membaca lebih berarti bagaimana kita bisa memahami orang lain dan dapat apa yang ingin diungkapkan orang lain. Berarti juga kita mampu mencerna dan memproduksi informasi yang didapat generasi sebelumnya.
Menulis dalam arti “sempit” adalah menyampaikan sesuatu dalam bentuk tulisan. Sebagai manusia, kemampuan menulis memberi alat untuk terkoneksi dengan khalayak yang lebih luas dari sekedar bahasa lisan. Bersama dengan kemampuan membaca, kita dididik untuk mampu mengungkapkan sesuatu yang ingin kita ungkapkan dengan bahasa yang jelas dan struktur yang tertata.
Berhitung dalam arti “sempit” adalah mampu memahami dan memproses data dalam bentuk angka. Pada arti lebih dalam, secara eksplisit: sebuah bentuk metode matematis dalam memecahkan sebuah masalah, memberi pelajaran sistematis dalam cara berpikir. Secara implisit, metode matematis melatih logika berpikir untuk mengeliminasi grey area. Semua komponen didalamnya ada pada ranah benar-salah, tak ada kompromi. Semuanya adalah pasti, tak ada korupsi ataupun retorika pembenaran. Reproduksi pengetahuan matematis adalah wajib untuk mampu berproduksi di bidang ini dan turunannya.
Ijazah bisa didapatkan dengan sebuah tes untuk mengetahui tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh yang terdidik. Tes berupa pertanyaan dengan jawaban yang harus sesuai dengan buku referensi. Karakteristik proses pendidikan dengan tipe reproduksi. Tes ini akan sangat tepat pada bidang-bidang yang membutuhkan jawaba-jawaban absolut, seperti matematika, fisika, biologi, dan turunannya.
Yang disayangkan, metode ini tidak memberi ruang pada pengembangan pemahaman manusia (anak didik) terhadap hal-hal yang bersifat sosial. Ketika anak didik berpendapat bahwa kesempatan pendidikan di Indonesia tidak adil, berdasarkan pengalamannya yang tidak bisa masuk sekolah tertentu karena tidak mampu membayar uang, dia bisa dipastikan mendapat nilai buruk dalam tes ini, karena tentu tidak sesuai dengan buku referensi.
Sejauh ini, sosiety kita dibangun berdasarkan pemerataan tolok ukur reproduksi. Dan terbukti, anak didik akan sangat berprestasi pada bidang-bidang yang tepat dengan metode ini. Juara olimpiade matematika dan fisika, misalnya.
Tapi, apakah sistem pendidikan kita mampu menghasilkan anak didik yang kritis, yang mampu menganalisis kondisi sosial, terlatih berpikir kritis, menghargai nilai keadilan setinggi dia menilai angka rapor? Pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, tentu dengan cara berpikir kritis pula.
Sudah sangat pakar kita menggunakan metode pendidikan reproduksi. Dan sepertinya sudah waktunya kita mulai memikirkan jenis “ijazah” yang mampu merefleksikan tingkat keterdidikan anak dalam mengembangkan dirinya sebagai manusia. Dibutuhkan metode yang tepat dan pemetaan yang akurat dalam sistem pendidikan kita. Bidang mana yang harus memakai cara reproduksi dan bidang mana yang harus memakai cara produksi, tentu beserta sistem “ijazah”-nya.
Tidak perlu muluk-muluk, setidaknya kita bisa memulai dengan mengajarkan dan memberi pemahaman bahwa, misalnya, sepakbola bukanlah sekedar banyak gol yang bisa dibuat, melainkan apakah kita cukup sportif dalam membuat gol itu. Sportifitas penting, karena sportifitas adalah nyawa keadilan. []
Sabrang Mawa Damar Panuluh (Noe Letto)______
Sumber: GATRA No. 39 Tahun XV/6 - 12 Agustus 2009
Pendidikan Reproduksi
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>