BAGI kami para penikmat buku angkatan 90-an (apalagi yang baru melek buku di abad millenium) pasti mengernyit dan memilih berhenti cukup lama di depan rak yang memajang buku ini. Loncatan-loncatan pikiran yang bernada heran pasti sempat terlontar seperti "Cak Nun menulis cerpen ? Oo, baru tahu" atau " Cak Nun juga cerpenis ?"
Fenomena seperti ini menjadi wajar karena selama ini kami mengenal Cak Nun selalu identik dengan shalawatan bersama Kyai Kanjeng. Pun di ranah pustaka kita akrab dengan puisi-puisi Cak Nun dan esai-esainya yang kontemplatif. Tapi, tak satupun cerpennya kita temukan di halaman-halaman media massa saat ini. Jawabannya ada di kumpulan cerpen BH yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas di awal tahun ini. Semua cerpen dalam buku ini ditulis pada akhir 70-an sampai tahun 1982. Wajarlah jika kami -penikmat buku angkatan millenium- baru mengetahui jika Seorang Emha Ainun Najib juga seorang cerpenis.
***
Menyelami sosok Emha Ainun Najib bukan hal yang mudah. Tak cukup hanya menjadi jamaah setia pengajian Maiyah. Tak juga cukup hanya dengan menikmati setiap butir kata dalam puisi-puisinya. Masih juga tak cukup jika hanya berpetualang dari satu kumpulan esei ke kumpulan esei lainnya. Karena Emha Ainun Najib termasuk manusia multidimensi, seperti yang tertulis di Catatan dari Penerbit halaman vii dalam buku kumpulan cerpen ini. Proses hidup Emha yang sarat pencekalan di era Orde Baru tidak bisa dipahami begitu saja dari penggalian satu macam karyanya.
Cerpen, puisi, esei dan drama yang dilakonkan harus dipahami sebagai unsur-unsur yang berjalinkelindan membentuk satu gambaran yang akan memudahkan kita dalam menyelami seorang Emha. Pemahaman ini akan membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa Emha Ainun Najib tak pernah lelah untuk mengusung harkat kemanusiaan lewat jalur kultural. Semangat tak pernah lelah ini lahir dari kegelisahannya yang tak kunjung padam. Sejak mula Emha yang berusia belasan telah merasakan kegelisahan. Keputusan untuk meninggalkan Pondok Gontor adalah bukti nyata dari kegelisahannya, juga benih-benih pemberontakan sudah mulai mendapat tempat dalam dirinya. Kegelisahan terus berlanjut sampai dia mengecap pendidikan formal di bangku UGM yang hanya bertahan satu semester. Perjalanannya tak berhenti hingga dia mengenal PSK (Persada Studi Klub) arahan Umbu Landu Paranggi bersama penulis muda lainnya. Bukan hanya dunia kepenyairan yang digelutinya, panggung drama juga mampu menjadi kanal bagi kegelisahannya. Teater Dinasti adalah salah satu tempat Emha berkarya di masa 80-an.
***
Tema yang diambil dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dari keseharian yang melingkupi kehidupan penulis, berkisar dari kegelisahan waria, pelacur sampai kegelisahan spiritual seorang laki-laki putus asa yang tergeletak di atas ranjang. Dari 25 buah cerpen di buku ini, semuanya fasih menuturkan kegelisahan. Sebenarnya kecenderungan ini bukanlah hal yang mengagetkan, sebab hampir seluruh karya Emha yang lahir di masa itu bernada demikian. Bahkan, dalam karya puisi dan esainya tak jarang kita tangkap kobaran amarah seorang Emha. Begitu pun dalam buku kumpulan cerpen ini, Emha merdeka dalam menentukan sudut pandang dan penentuan alur ceritanya. Emha telah membebaskan kreativitasnya. Tidak satupun cerpen yang beralur cerita linear dan mudah ditebak sehingga terciptalah ritme ketegangan yang bervariasi. Cerpen Emha bukan cerpen bertema detektif yang menegangkan tapi membacanya lamat-lamat menimbulkan perasaan deg-degan menanti ujung cerita. Apalagi jika dilakukan secara berurutan.
Di halaman 1 kita disuguhi cerpen berjudul Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku yang mengisahkan kegelisahan seorang pelacur yang merasa sangat lelah menjalani ritual kesehariannya. Di saat kejenuhan memuncak, datang seorang laki-laki yang menawarkan oase bagi sang pelacur, padahal dari sumber yang samalah dia merasakan kepedihan yang sangat. Emha memainkan rasa penasaran pembaca dengan membuat alur yang menukik lalu berbalik. Rasa penasaran akan menyeruak kuat saat menikmati cerpen berjudul Mimpi Istriku (halaman 112). Sebuah ending yang masuk akal tapi mungkin terlewat dari prediksi pembaca. Inilah yang saya sebut dengan ketegangan.
Fenomena seperti ini menjadi wajar karena selama ini kami mengenal Cak Nun selalu identik dengan shalawatan bersama Kyai Kanjeng. Pun di ranah pustaka kita akrab dengan puisi-puisi Cak Nun dan esai-esainya yang kontemplatif. Tapi, tak satupun cerpennya kita temukan di halaman-halaman media massa saat ini. Jawabannya ada di kumpulan cerpen BH yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas di awal tahun ini. Semua cerpen dalam buku ini ditulis pada akhir 70-an sampai tahun 1982. Wajarlah jika kami -penikmat buku angkatan millenium- baru mengetahui jika Seorang Emha Ainun Najib juga seorang cerpenis.
***
Menyelami sosok Emha Ainun Najib bukan hal yang mudah. Tak cukup hanya menjadi jamaah setia pengajian Maiyah. Tak juga cukup hanya dengan menikmati setiap butir kata dalam puisi-puisinya. Masih juga tak cukup jika hanya berpetualang dari satu kumpulan esei ke kumpulan esei lainnya. Karena Emha Ainun Najib termasuk manusia multidimensi, seperti yang tertulis di Catatan dari Penerbit halaman vii dalam buku kumpulan cerpen ini. Proses hidup Emha yang sarat pencekalan di era Orde Baru tidak bisa dipahami begitu saja dari penggalian satu macam karyanya.
Cerpen, puisi, esei dan drama yang dilakonkan harus dipahami sebagai unsur-unsur yang berjalinkelindan membentuk satu gambaran yang akan memudahkan kita dalam menyelami seorang Emha. Pemahaman ini akan membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa Emha Ainun Najib tak pernah lelah untuk mengusung harkat kemanusiaan lewat jalur kultural. Semangat tak pernah lelah ini lahir dari kegelisahannya yang tak kunjung padam. Sejak mula Emha yang berusia belasan telah merasakan kegelisahan. Keputusan untuk meninggalkan Pondok Gontor adalah bukti nyata dari kegelisahannya, juga benih-benih pemberontakan sudah mulai mendapat tempat dalam dirinya. Kegelisahan terus berlanjut sampai dia mengecap pendidikan formal di bangku UGM yang hanya bertahan satu semester. Perjalanannya tak berhenti hingga dia mengenal PSK (Persada Studi Klub) arahan Umbu Landu Paranggi bersama penulis muda lainnya. Bukan hanya dunia kepenyairan yang digelutinya, panggung drama juga mampu menjadi kanal bagi kegelisahannya. Teater Dinasti adalah salah satu tempat Emha berkarya di masa 80-an.
***
Tema yang diambil dalam kumpulan cerpen ini tidak lepas dari keseharian yang melingkupi kehidupan penulis, berkisar dari kegelisahan waria, pelacur sampai kegelisahan spiritual seorang laki-laki putus asa yang tergeletak di atas ranjang. Dari 25 buah cerpen di buku ini, semuanya fasih menuturkan kegelisahan. Sebenarnya kecenderungan ini bukanlah hal yang mengagetkan, sebab hampir seluruh karya Emha yang lahir di masa itu bernada demikian. Bahkan, dalam karya puisi dan esainya tak jarang kita tangkap kobaran amarah seorang Emha. Begitu pun dalam buku kumpulan cerpen ini, Emha merdeka dalam menentukan sudut pandang dan penentuan alur ceritanya. Emha telah membebaskan kreativitasnya. Tidak satupun cerpen yang beralur cerita linear dan mudah ditebak sehingga terciptalah ritme ketegangan yang bervariasi. Cerpen Emha bukan cerpen bertema detektif yang menegangkan tapi membacanya lamat-lamat menimbulkan perasaan deg-degan menanti ujung cerita. Apalagi jika dilakukan secara berurutan.
Di halaman 1 kita disuguhi cerpen berjudul Lelaki Ke-1.000 di Ranjangku yang mengisahkan kegelisahan seorang pelacur yang merasa sangat lelah menjalani ritual kesehariannya. Di saat kejenuhan memuncak, datang seorang laki-laki yang menawarkan oase bagi sang pelacur, padahal dari sumber yang samalah dia merasakan kepedihan yang sangat. Emha memainkan rasa penasaran pembaca dengan membuat alur yang menukik lalu berbalik. Rasa penasaran akan menyeruak kuat saat menikmati cerpen berjudul Mimpi Istriku (halaman 112). Sebuah ending yang masuk akal tapi mungkin terlewat dari prediksi pembaca. Inilah yang saya sebut dengan ketegangan.
Setelah melahap empat buah cerpen, pembaca akan merasa digenggam oleh ritme penceritaan yang siklikal, tokoh-tokoh dengan sikap yang paradoks dan ujung cerita yang mengejutkan. Baca juga dengan cerpen berjudul Seorang Gelandangan (halaman 158) yang menjungkirbalikkan realitas yang telah dipandang jamak oleh masyarakat. Emha tidak selalu melakukan hal demikian dalam setiap cerpennya, namun dia mampu meramu cerita hingga jadi sebuah cerpen yang menggemaskan. Misalnya pada cerpen Tangis (halaman 109) dan Domino (halaman 236), Emha menawarkan dunia rekaan yang realistis dan tak lepas dari ironi-ironi. Emha bersikukuh untuk mengangkat realitas sosial dalam cerpen-cerpennya sebab memang Emha tidak bisa dipisahkan dari masyarakat desa yang kerap ia perjuangkan.
Gagasan mengenai sastra yang sedang diusungnya pada era itu adalah pembebasan kreativitas seniman dari kungkungan berupa anutan-anutan yang pakem. Bahwa seniman harus memerdekakan sumber kreativitasnya adalah sebuah keharusan. Pada sebuah kesempatan berceramah di acara Hari Chairil Anwar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, 27 April 1982, Emha meyakinkan publik bahwa kesusatraan Indonesia mampu mandiri melalui pendekatan yang membumi. Karya-karya Emha baik puisi, esai maupun cerpen adalah bukti dari kemerdekaan dan kemandirian kreativitasnya, juga kematangan gagasan-gagasannya. Benang merah yang dapat ditarik dari seluruh karya Emha adalah kelugasannya. Ia tidak malu-malu dan tidak terjebak dalam norma-norma dalam memilih tema, sudut pandang dan karakter tokohnya.
Padang Kurusetra (halaman 20) dan Kepala Kampung (halaman 134) adalah caranya memplesetkan penokohan yang sudah pakem supaya sindiran tajam pada penguasa dapat tersampaikan dengan jernih. Sang Prabu Kresna menampar sukma Arjuna. – Baiklah, Kakang. Kami para Pandawa memang tak sanggup lagi berperang. Kaki-kaki kami tak sanggup bergerak. Tubuh kami terancam di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah….. (halaman 31-32). Tukilan ini diambil dari cerpen berjudul Padang Kurusetra yang berisi percakapan alot antara Kresna dan Arjuna.
Kegelisahan akan Tuhan tidak bisa dipisahkan dari sosok Emha di era 80-an. Tak terkecuali pada cerpennya, sosok yang dibesarkan di keluarga Islam taat ini tak bisa mengerem kecerdasan dan daya kritisnya. Gagasan dan pemikiran akan KeTuhanan pun cair dan meluber ke semua karyanya. Puncaknya adalah pada cerpen berjudul Ambang (halaman 78). Membaca cerpen ini membuat kita seolah menjadi fotografer yang bebas memainkan zoom pada ujung lensanya. Menjauh lalu mendekat, realitas dilihat secara bird eye, lalu kembali membumi.
Menyelami kegelisahan tokoh dalam cerpen ini membuat nafas pembaca turut memburu seperti yang dirasakan oleh sang tokoh. Berbeda dengan Ambang, cerpen berjudul Di Belakangku lebih gamblang dalam memperbincangkan Tuhan. Di sana tercipta dialog bernas tentang Tuhan antara seorang murid dengan gurunya. Emha tak melupakan hal-hal berbau metafisika untuk turut diangkat sebagai tema, seperti dalam judul Podium (halaman 174) dan Jimat (halaman 192). Dua cerpen ini berisi pemaparan lugas akan fenomena metafisis yang kerap terjadi di masyarakat. Di sini Emha tidak meletakkan opininya sehingga kedua cerpen ini tampil jernih. Tak ada titipan pesan untuk menyetujui atau menolak keberadaan metafisis dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya kenikmatan membaca buku setebal 246 halaman ini sedikit terganggu dengan munculnya kesalahan kecil penulisan. Meskipun kecil dan tidak berarti, jika berulang-ulang akan sedikit mengurangi kualitas buku ini. Kesalahan hanya berupa kekurangan atau kelebihan satu huruf saja (banyangan pada halaman 95 seharusnya bayangan; iu pada halaman 105 seharusnya itu). Tetapi kesalahan kecil itu sama sekali tidak mereduksi kualitas cerpen Emha Ainun Najib. Penerbit Buku Kompas mampu meramu buku kumpulan cerpen ini hingga jadi sebuah petualangan yang seru dalam menjelajah kegelisahan-kegelisahan Emha dari tahun 1978 sampai 1982. Cerpen-cerpen ini tersebar di Harian Kompas, Horison, Sinar Harapan, dan Zaman yang berhasil dirangkum oleh penerbit. Kurun waktu empat tahun sedikit banyak mampu merekam perjalanan seorang Emha, sebab kisaran tema yang diangkat begitu luas hingga dapat mencitrakan kemultidimensian Emha Ainun Najib. ***
Membaca kumpulan ini membuat pembaca ingin bernostalgia dengan karya-karya Emha di era 80-an. Ketika membaca cerpen Di Belakangku, muncul keinginan kuat untuk membongkar lemari demi membaca lagi kumpulan puisinya yang berjudul Cahaya Maha Cahaya (Pustaka Firdaus, 1993). Tema dalam kumpulan cerita pendek ini mebuat kita merasa kangen dengan puisi dan esai-esainya yang lugas, nakal dan kontemplatif. Jika pada masa itu Emha masih gelisah dan senantiasa meraba keberadaan Tuhan, maka Emha saat ini dengan kecairan gagasan dan sikapnya berhasil menerobos sekat-sekat massif dalam beragama. Cara yang ia pilih dengan menghidupkan kembali pembacaan Barzanji dan Sholawat. Inilah menu utama dalam setiap pengajian Maiyah yang dilakukannya bersama Kiai Kanjeng. Emha Ainun Najib dan Kiai Kanjeng tidak mau menempatkan nafas seni karawitan sebagai produk budaya yang cuma mengekspresikan seni dan keindahan semata tanpa makna spiritual. Maka, ketika membaca sosok Emha saat ini, kita berhadapan dengan manusia multidimensi yang giat mengusung harkat kemanusiaan baik didepan sesama manusia maupun di hadapan penciptanya.
Bagitulah, kumpulan cerpen ini membawa kita menoleh ke belakang demi mengenal kegelisahan seorang Emha Ainun Najib di masa lalu. Karya ini menjadi mata rantai penting dalam perjalanannya hingga menjadi sosok Cak Nun yang kita akrabi saat ini. Kematangan tidak lahir begitu saja, dan kematangan bukan sebuah kemapanan. Kita masih akan sering bertemu dengan Emha Ainun Najib, Cak Nun, Kiai Sudrun, Markesot dalam setiap pengajian Maiyah. ***
Judul Buku : BH
Penulis : Emha Ainun Najib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, Januari 2005
Tebal : x + 246
Resensi oleh : Fatati (Phel-phel, ITS Surabaya)
Gagasan mengenai sastra yang sedang diusungnya pada era itu adalah pembebasan kreativitas seniman dari kungkungan berupa anutan-anutan yang pakem. Bahwa seniman harus memerdekakan sumber kreativitasnya adalah sebuah keharusan. Pada sebuah kesempatan berceramah di acara Hari Chairil Anwar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, 27 April 1982, Emha meyakinkan publik bahwa kesusatraan Indonesia mampu mandiri melalui pendekatan yang membumi. Karya-karya Emha baik puisi, esai maupun cerpen adalah bukti dari kemerdekaan dan kemandirian kreativitasnya, juga kematangan gagasan-gagasannya. Benang merah yang dapat ditarik dari seluruh karya Emha adalah kelugasannya. Ia tidak malu-malu dan tidak terjebak dalam norma-norma dalam memilih tema, sudut pandang dan karakter tokohnya.
Padang Kurusetra (halaman 20) dan Kepala Kampung (halaman 134) adalah caranya memplesetkan penokohan yang sudah pakem supaya sindiran tajam pada penguasa dapat tersampaikan dengan jernih. Sang Prabu Kresna menampar sukma Arjuna. – Baiklah, Kakang. Kami para Pandawa memang tak sanggup lagi berperang. Kaki-kaki kami tak sanggup bergerak. Tubuh kami terancam di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah….. (halaman 31-32). Tukilan ini diambil dari cerpen berjudul Padang Kurusetra yang berisi percakapan alot antara Kresna dan Arjuna.
Kegelisahan akan Tuhan tidak bisa dipisahkan dari sosok Emha di era 80-an. Tak terkecuali pada cerpennya, sosok yang dibesarkan di keluarga Islam taat ini tak bisa mengerem kecerdasan dan daya kritisnya. Gagasan dan pemikiran akan KeTuhanan pun cair dan meluber ke semua karyanya. Puncaknya adalah pada cerpen berjudul Ambang (halaman 78). Membaca cerpen ini membuat kita seolah menjadi fotografer yang bebas memainkan zoom pada ujung lensanya. Menjauh lalu mendekat, realitas dilihat secara bird eye, lalu kembali membumi.
Menyelami kegelisahan tokoh dalam cerpen ini membuat nafas pembaca turut memburu seperti yang dirasakan oleh sang tokoh. Berbeda dengan Ambang, cerpen berjudul Di Belakangku lebih gamblang dalam memperbincangkan Tuhan. Di sana tercipta dialog bernas tentang Tuhan antara seorang murid dengan gurunya. Emha tak melupakan hal-hal berbau metafisika untuk turut diangkat sebagai tema, seperti dalam judul Podium (halaman 174) dan Jimat (halaman 192). Dua cerpen ini berisi pemaparan lugas akan fenomena metafisis yang kerap terjadi di masyarakat. Di sini Emha tidak meletakkan opininya sehingga kedua cerpen ini tampil jernih. Tak ada titipan pesan untuk menyetujui atau menolak keberadaan metafisis dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya kenikmatan membaca buku setebal 246 halaman ini sedikit terganggu dengan munculnya kesalahan kecil penulisan. Meskipun kecil dan tidak berarti, jika berulang-ulang akan sedikit mengurangi kualitas buku ini. Kesalahan hanya berupa kekurangan atau kelebihan satu huruf saja (banyangan pada halaman 95 seharusnya bayangan; iu pada halaman 105 seharusnya itu). Tetapi kesalahan kecil itu sama sekali tidak mereduksi kualitas cerpen Emha Ainun Najib. Penerbit Buku Kompas mampu meramu buku kumpulan cerpen ini hingga jadi sebuah petualangan yang seru dalam menjelajah kegelisahan-kegelisahan Emha dari tahun 1978 sampai 1982. Cerpen-cerpen ini tersebar di Harian Kompas, Horison, Sinar Harapan, dan Zaman yang berhasil dirangkum oleh penerbit. Kurun waktu empat tahun sedikit banyak mampu merekam perjalanan seorang Emha, sebab kisaran tema yang diangkat begitu luas hingga dapat mencitrakan kemultidimensian Emha Ainun Najib. ***
Membaca kumpulan ini membuat pembaca ingin bernostalgia dengan karya-karya Emha di era 80-an. Ketika membaca cerpen Di Belakangku, muncul keinginan kuat untuk membongkar lemari demi membaca lagi kumpulan puisinya yang berjudul Cahaya Maha Cahaya (Pustaka Firdaus, 1993). Tema dalam kumpulan cerita pendek ini mebuat kita merasa kangen dengan puisi dan esai-esainya yang lugas, nakal dan kontemplatif. Jika pada masa itu Emha masih gelisah dan senantiasa meraba keberadaan Tuhan, maka Emha saat ini dengan kecairan gagasan dan sikapnya berhasil menerobos sekat-sekat massif dalam beragama. Cara yang ia pilih dengan menghidupkan kembali pembacaan Barzanji dan Sholawat. Inilah menu utama dalam setiap pengajian Maiyah yang dilakukannya bersama Kiai Kanjeng. Emha Ainun Najib dan Kiai Kanjeng tidak mau menempatkan nafas seni karawitan sebagai produk budaya yang cuma mengekspresikan seni dan keindahan semata tanpa makna spiritual. Maka, ketika membaca sosok Emha saat ini, kita berhadapan dengan manusia multidimensi yang giat mengusung harkat kemanusiaan baik didepan sesama manusia maupun di hadapan penciptanya.
Bagitulah, kumpulan cerpen ini membawa kita menoleh ke belakang demi mengenal kegelisahan seorang Emha Ainun Najib di masa lalu. Karya ini menjadi mata rantai penting dalam perjalanannya hingga menjadi sosok Cak Nun yang kita akrabi saat ini. Kematangan tidak lahir begitu saja, dan kematangan bukan sebuah kemapanan. Kita masih akan sering bertemu dengan Emha Ainun Najib, Cak Nun, Kiai Sudrun, Markesot dalam setiap pengajian Maiyah. ***
Judul Buku : BH
Penulis : Emha Ainun Najib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, Januari 2005
Tebal : x + 246
Resensi oleh : Fatati (Phel-phel, ITS Surabaya)
BH, Emha Yang Gelisah, Emha Yang Bercerita
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>