KONON, sebab merasa dirinya paling cerdas diantara yang lain, Nabi Musa pernah ditegur Allah dan diperintahkan mencari seseorang yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Sosok yang Tuhan menyebutnya dalam al Qur’an sebagai hamba yang diberi rahmat dan diajari ilmu dari sisi-Nya itu menurut ahli tafsir adalah Khidhir (QS. 18:65).
Dengan berpatokan sebuah tempat yang bernama majma’al bahrain,
Musa memulai pencariannya dengan membawa ikan yang tak lagi hidup.
Cerita pun bergulir, bagaimana Musa bersikeras mendaftarkan diri menjadi
murid, meski sudah dialarm tak akan sanggup. Bagaimana pertanyaan demi
pertanyaan meluncur dari mulut Nabi Musa merespon apa yang dilakukan
Khidhir, hingga perpisahan mereka tak terelakkan ketika untuk ketiga
kalinya, Musa kembali melanggar janji untuk tidak bertanya atas perilaku
Khidhir yang dianggapnya kontroversi.
Demikianlah, Khidhir dalam khasanah islam adalah simbol hikmah yang min ladunna ilma
(mendapatkan ilmu dari sisi-Nya). Tiga peristiwa yang dilakukan Khidhir
seyogyanya diterjemahkan tersirat, bahwa hidup manusia bukan hanya
sekedar “masa kini”, tapi juga harus sanggup memandang “masa depan”,
dengan tentu saja berkaca pada “masa silam”. Barangkali,
dilatarbelakangi kisah itulah, istilah atau bahkan konsep tentang ilmu
laduni disandarkan. Namun sayangnya, banyak orang terjerembab dalam
kekeliruan pemahaman ketika mencoba mengakrabi laduni. Bahkan tak
jarang, ada yang terjebak pada perilaku musykil ketika berusaha
mendapatkannya.
Disinilah, buku yang ditulis Ilung S. Enha ini menemukan urgensinya. Setelah mempopulerkan Kecerdasan Laduni (LQ) melalui Laduni Quotient, Model Kecerdasan Masa Depan (2011), Ilung kembali mewedarkan buah pikirnya melalui LQ, Eleven Pillars of Intelligence. Sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya, buku setebal 270 halaman yang dipengantari oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini mendaraskan secara lebih detail sebelas pilar kecerdasan terkait LQ. Pilar kecerdasan yang dimaksud bukan hanya beroperasi di ruang otak (sebagai bagian dari ruang kerja nafs), tapi menyebar di anasir kemanusiaan.
Manusia
sebagai masterpeace ciptaan Tuhan sepenuturan Ilung tersusun dari tiga
unsur; ruh, nafs, dan jasad. Dari sebelas pilar kecerdasan yang
diutarakan, dua diantaranya berada di wilayah ruh, sedangkan sembilan
lainnya beredar di ruang nafs. Jasad hanyalah alat untuk mengaplikasikan
kecerdasan-kecerdasan ke ruang realitas secara lebih konkret.Yang
bermukim di ruang ruh adalah inteligensi “ruh-pusat” (ruhul-amr) dan kecerdasan “ruh-antara” (ruhul-qudus).
Sedang yang berkutat di dataran nafs berada di dua tempat; IQ, EQ, dan
SQ meruang di otak, dan yang bersemayam di hati adalah aql yang sering
disalahpersepsi sebagai fikr, dzauq dan shadr sebagai ruang kreasi dan
kesadaran inovasi, kesahajaan fuad, bashirah mata kebenaran yang tak
berkabut, dan lubb sebagai pintu masuk kecerdasan ruhaniah. Menariknya,
dari pilar-pilar kecerdasan yang dituturkan, Ilung tak hanya mampu
merinci dan mendefinisi, tapi juga melakukan rekonstruksi dan memberikan
solusi agar setiap pilar kecerdasan bisa berkembang maksimal.
Misalnya saja, ketika proses lelaku menuju kecerdasan laduni ini diupayakan, yang patut diwaspadai adalah adanya dua elemen jiwa berpotensi buruk yang bertubi-tubi menyerang, dengan memengaruhi elemen-elemen kecerdasan yang dimiliki, ialah hawa dan syahwat. Hawa berpotensi merusak sisi internal jiwa, sedangkan syahwat adalah potensi buruk yang merusak sisi eksternal jiwa. Dengan sangat gamblang dituturkan pilar kecerdasan mana sajakah yang paling ringkih, hingga yang paling kuat tak terkalahkan. Dengan demikian, antisipasi bisa segera dilakukan jika nafs benar-benar ingin selamat dari tipu daya hawa dan syahwat.
Jika
dibandingkan dengan model kecerdasan yang telah dikenal sebelumnya,
sangat tampak bahwa LQ yang diusung Ilung lebih komprehensif karena
meletakkan manusia secara utuh. Lazim diketahui, model kecerdasan yang
terlanjur dikenali adalah IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).
IQ pertama kali dilontarkan oleh Alferd Binet pada awal abad 20.
Setelahnya, muncul EQ yang digemakan Daniel Goleman (1995). Ketika hasil
penelitian Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford
University) menemukan adanya God Spot (Titik Tuhan) pada otak
manusia, lahirlah kemudian model kecerdasan baru yang dikenal dengan
kecerdasan spiritual (SQ). Yang patut digarisbawahi, -baik IQ, EQ,
maupun SQ, serta qoutient-quotient yang datang sesudahnya- keseluruhanya
masih berkumpar di wilayah otak.
Padahal,
jika melihat problematika masa depan yang demikian massif dan
berjalin-kelindan dari hari kehari, sangat tidak mungkin bisa
diselesaikan jika hanya mengandalkan pilar kecerdasan yang berkutat di
wilayah otak. Maka, dibutuhkan era baru kecerdasan, berupa totalitas
inteligensi. Sebuah kecerdasan baru yang memesrahkan komunikasi antara
kecerdasan otak dan inteligensi hati, disambungkan dengan Kecerdasan
Ruhaniah. Ruh tak pernah keluar dari rel-Nya, sehingga setiap apapun
informasi yang disampaikan adalah kebenaran sejati.
Salah-satu kelebihan buku ini adalah kepiawaian penulis mengemas tiap bahasan dengan bahasanya yang, -meminjam bahasanya pak Muhammad Nuh- “renyah” dan gemulai. Meski kajian yang disuguhkan sesungguhnya tergolong ‘berat’ karena masuk dalam lingkaran tasawuf, di tangan Ilung dihidangkan dengan santai dan ‘membumi’. Tak pelak, wacana tentang laduni yang sebelumnya melangit, rumit dan berbelit-belit, akan segera sirna setelah membaca buku ini.
Sepiring kue ikhtitam
disuguhkan, mungkinkah ada semodel generasi yang sanggup menapaki
keseluruhan langkah untuk meraih totalitas inteligensi? Tidak ada yang
tidak mungkin, kata Ilung. Yang paling harus dilakukan adalah
menumbuhkan keyakinan bahwa keMahaluasan-Nya tak sesempit rongga otak.
Bahwa keMaharahmananNya akan sanggup mengubah ketidakmungkinan menjadi
kemungkinan yang sangat nyata. Hanya saja, memang dibutuhkan kesabaran
berlipat-lipat untuk meniti jalan setapak demi setapak. Sebab jika
tidak, sebagaimana Musa, kita akan gagal berguru kepada Khidhir.(*)
Judul Buku : LQ Eleven Pillars of Intelligence
Peresensi : Em. Syuhada*)
Penulis : Ilung S. Enha
Penerbit : Kaukaba, Yogjakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2013
Tebal : x + 270 halaman
Rubrik Buku Jawa Pos. Minggu, 16 Nopember 2013
*) Em. Syuhada’, pengeja aksara. Aktif menemani pembelajaran siswa SDN Talunrejo 3 Bluluk Lamongan
Menyongsong Era Kecerdasan Baru: Totalitas Inteligensi
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>