MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Guru Menulis Opini
PERKEMBANGAN teknologi informasi dan komunikasi adalah keniscayaan yang tak bisa dielakkan. Sebab, perkembangan itu akan terus berjalan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Salah-satu produk teknologi informasi yang saat ini marak digunakan adalah gadget. Gadget menurut Wikipedia (2017) merupakan perangkat elektronik yang memiliki berbagai kemampuan praktis dan canggih. Beragam fitur yang ditawarkan mulai dari kamera, games, internet, audio, dan fitur-fitur lainnya membuat perangkat digital itu tak hanya sekedar sebagai alat komunikasi. Semakin canggih gadget, semakin ia memiliki kemampuan lebih sehingga memberikan kemudahan bagi penggunanya.
Menariknya, jika dahulu gadget hanya digunakan oleh kalangan menengah ke atas, sekarang gadget banyak digunakan oleh semua kalangan, tak terkecuali anak-anak. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian. Sebab, penelitian Maulida berjudul “Menelisik Pengaruh Penggunaan Aplikasi Gadget Terhadap Perkembangan Psikologis Anak Usia Dini” yang dimuat di Jurnal Keperawatan (2013) menyebutkan, gadget membawa banyak perubahan dalam pola kehidupan. Terjadinya kesenjangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat juga disebabkan sering menggunakan gadget. Maulida bahkan menyebutkan contoh kasus seorang siswa kelas 5 SD telah melakukan pelecehan seksual terhadap teman sebayanya. Hal itu terjadi akibat pelakunya sering menonton video porno yang dapat dengan mudah diakses melalui gadget miliknya. Memprihatinkan bukan?
Memang jika dilihat dari sisi positif, keberadaan gadget sangat menguntungkan bagi manusia modern yang aktifitasnya dituntut serba mobile. Dengan adanya gadget, kehidupan menjadi lebih dipermudah. Manusia tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Share ilmu pengetahuan, diskusi lintas negara, konsultasi dalam hal apapun, transaksi keuangan melalui kamar-kamar pribadi, hingga melakukan pembelajaran tanpa harus bertatap muka secara langsung adalah fenomena mutakhir yang tak lagi mustahil. Masalahnya, gadget adalah pisau bermata dua yang memiliki sisi baik dan buruk. Meskipun dampak positifnya besar, akibat negatif yang ditimbulkan juga kerap mengintai jika tidak dipergunakan secara bijak. Apalagi jika penggunanya adalah anak SD yang notabene belum memiliki perkembangan kepribadian yang matang.
Merujuk pada teori perkembangan psikososialnya Erikson (1902-1994), anak SD usia 6-12 tahun adalah usia sekolah dimana anak sudah terlibat aktif dengan interaksi sosial. Pada masa ini, keingin-tahuan anak menjadi sangat kuat karena berhubungan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan (competence). Hanya saja, usia ini menurut teori Jean Piaget (1896-1980) adalah tahap operasional kongkrit. Artinya, anak baru bisa mencerna hal-hal kongkrit. Mereka belum bisa memilah secara bijak segala sesuatu yang sifatnya abstrak. Untuk itulah, ketika anak diperbolehkan menggunakan gadget dalam aktifitas sehari-harinya, yang dibutuhkan adalah pendampingan dari orang dewasa agar mereka tidak salah dalam melangkah.
Gadget Untuk Pembelajaran Siswa SD
Beberapa waktu lalu, pernyataan menarik dilontarkan oleh mantan Dirjen GTK, Sumarna Surapranata, Ph.D saat membuka acara Workshop Penulisan Jurnal Guru Dikdas Berprestasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dasar di Surabaya (21/08/2017). Di tengah pro-kontra pemakaian gadget bagi siswa di sekolah, Pak Dirjen yang purna sejak 8 Agustus 2017 itu justru menganjurkan agar siswa tidak dilarang menggunakan gadget. Alasannya, gadget adalah alat yang bisa memberikan ruang bagi guru untuk melakukan inovasi pembelajaran. Tak tanggung-tanggung, simulasi sederhana dilakukan dengan mengetikkan kata kunci tertentu melalui search engine milik google. Dalam hitungan detik, apa yang dibutuhkan ditampilkan sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Pak Pranata lantas menegaskan, bukankah amat disayangkan jika hal tersebut tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam kegiatan pembelajaran?
Terkait hal itu, penulis tiba-tiba teringat dengan seorang rekan guru dari Bojonegoro Jawa Timur. Adalah Muhammad Nur Zakun, Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dari SDN Model Terpadu Bojonegoro. Guru yang beberapa waktu yang lalu mendapatkan penghargaan dari PB PGRI di hadapan Presiden Joko Widodo itu banyak melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Dengan memanfaatkan perkembangan ICT, Pak Zakun seringkali menciptakan aplikasi pembelajaran baik yang berbasis dekstop, maupun android. Ketika sebuah perusahaan ternama di Indonesia menyelenggarakan ajang My Teacher My Hero (MTMH) dalam Indonesia Digital Learning Tahun 2016, Pak Zakun adalah satu diantara delapan orang se-Indonesia yang memenangi kompetisi. Reward yang diberikan berupa Education Benchmark ke Australia. Dalam ajang tersebut, peserta sebelumnya diminta mengirimkan karya berupa aktivitas pembelajaran digital yang dikemas dalam sebuah video pendek.
Menariknya, jika dahulu gadget hanya digunakan oleh kalangan menengah ke atas, sekarang gadget banyak digunakan oleh semua kalangan, tak terkecuali anak-anak. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian. Sebab, penelitian Maulida berjudul “Menelisik Pengaruh Penggunaan Aplikasi Gadget Terhadap Perkembangan Psikologis Anak Usia Dini” yang dimuat di Jurnal Keperawatan (2013) menyebutkan, gadget membawa banyak perubahan dalam pola kehidupan. Terjadinya kesenjangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat juga disebabkan sering menggunakan gadget. Maulida bahkan menyebutkan contoh kasus seorang siswa kelas 5 SD telah melakukan pelecehan seksual terhadap teman sebayanya. Hal itu terjadi akibat pelakunya sering menonton video porno yang dapat dengan mudah diakses melalui gadget miliknya. Memprihatinkan bukan?
Memang jika dilihat dari sisi positif, keberadaan gadget sangat menguntungkan bagi manusia modern yang aktifitasnya dituntut serba mobile. Dengan adanya gadget, kehidupan menjadi lebih dipermudah. Manusia tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Share ilmu pengetahuan, diskusi lintas negara, konsultasi dalam hal apapun, transaksi keuangan melalui kamar-kamar pribadi, hingga melakukan pembelajaran tanpa harus bertatap muka secara langsung adalah fenomena mutakhir yang tak lagi mustahil. Masalahnya, gadget adalah pisau bermata dua yang memiliki sisi baik dan buruk. Meskipun dampak positifnya besar, akibat negatif yang ditimbulkan juga kerap mengintai jika tidak dipergunakan secara bijak. Apalagi jika penggunanya adalah anak SD yang notabene belum memiliki perkembangan kepribadian yang matang.
Merujuk pada teori perkembangan psikososialnya Erikson (1902-1994), anak SD usia 6-12 tahun adalah usia sekolah dimana anak sudah terlibat aktif dengan interaksi sosial. Pada masa ini, keingin-tahuan anak menjadi sangat kuat karena berhubungan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan (competence). Hanya saja, usia ini menurut teori Jean Piaget (1896-1980) adalah tahap operasional kongkrit. Artinya, anak baru bisa mencerna hal-hal kongkrit. Mereka belum bisa memilah secara bijak segala sesuatu yang sifatnya abstrak. Untuk itulah, ketika anak diperbolehkan menggunakan gadget dalam aktifitas sehari-harinya, yang dibutuhkan adalah pendampingan dari orang dewasa agar mereka tidak salah dalam melangkah.
Gadget Untuk Pembelajaran Siswa SD
Beberapa waktu lalu, pernyataan menarik dilontarkan oleh mantan Dirjen GTK, Sumarna Surapranata, Ph.D saat membuka acara Workshop Penulisan Jurnal Guru Dikdas Berprestasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dasar di Surabaya (21/08/2017). Di tengah pro-kontra pemakaian gadget bagi siswa di sekolah, Pak Dirjen yang purna sejak 8 Agustus 2017 itu justru menganjurkan agar siswa tidak dilarang menggunakan gadget. Alasannya, gadget adalah alat yang bisa memberikan ruang bagi guru untuk melakukan inovasi pembelajaran. Tak tanggung-tanggung, simulasi sederhana dilakukan dengan mengetikkan kata kunci tertentu melalui search engine milik google. Dalam hitungan detik, apa yang dibutuhkan ditampilkan sesuai dengan kata kunci yang dimasukkan. Pak Pranata lantas menegaskan, bukankah amat disayangkan jika hal tersebut tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam kegiatan pembelajaran?
Terkait hal itu, penulis tiba-tiba teringat dengan seorang rekan guru dari Bojonegoro Jawa Timur. Adalah Muhammad Nur Zakun, Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dari SDN Model Terpadu Bojonegoro. Guru yang beberapa waktu yang lalu mendapatkan penghargaan dari PB PGRI di hadapan Presiden Joko Widodo itu banyak melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Dengan memanfaatkan perkembangan ICT, Pak Zakun seringkali menciptakan aplikasi pembelajaran baik yang berbasis dekstop, maupun android. Ketika sebuah perusahaan ternama di Indonesia menyelenggarakan ajang My Teacher My Hero (MTMH) dalam Indonesia Digital Learning Tahun 2016, Pak Zakun adalah satu diantara delapan orang se-Indonesia yang memenangi kompetisi. Reward yang diberikan berupa Education Benchmark ke Australia. Dalam ajang tersebut, peserta sebelumnya diminta mengirimkan karya berupa aktivitas pembelajaran digital yang dikemas dalam sebuah video pendek.
Hasilnya bisa dilihat, kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna tak hanya bagi siswa, juga bagi wali murid. Dalam video pendek yang dikirimkan, ditampilkan testimoni wali murid yang memberikan apresiasi terhadap inovasi pembelajaran yang telah dilakukan. Wali murid tersebut bahkan angkat topi dengan model pembelajaran Pak Zakun. Saat ini, aplikasi yang dikembangkan oleh GPAI tersebut adalah aplikasi berbasis android berupa game pembelajaran Tembakan Harakat menggunakan Construct 2. Aplikasi yang diikut-sertakan dalam lomba mobile Ki Hajar 2017 yang diselenggarakan oleh BPMPK Kemdikbud itu masuk kontributor 30 besar, meskipun belum berhasil menjadi juara.
Pada sisi berbeda, penggunaan gadget yang memengaruhi hasil belajar siswa juga telah dibuktikan melalui penelitian. Tengok misalnya penelitian Beauty Manumpil, dkk. dalam Jurnal Keperawatan Volume 3, April 2015. Penelitian yang dilakukan terhadap 41 responden siswa sebuah sekolah itu bertujuan ingin mengetahui hubungan penggunaan gadget dengan tingkat prestasi belajar siswa. Hasilnya, 30 siswa (73,2 %) mendapatkan nilai tinggi, sedangkan 11 siswa sisanya (26,8 %) memperoleh nilai rendah. Berdasarkan uji statistik juga ditemukan, penggunaan gadget terlalu lama dapat berpengaruh pada konsentrasi anak. Sedangkan penggunaan gadget selama jam pelajaran berlangsung untuk mengakses berbagai media sosial berpengaruh buruk terhadap tingkat prestasi siswa.
Begitulah, baik buruknya gadget tidak tergantung pada bendanya, melainkan cara penggunaannya. Maka, ketika ada regulasi yang melarang penggunaan gadget, minimal di tingkat sekolah, pertanyaan penting patut diajukan, tidakkah hal tersebut akan menghambat guru ketika ingin melakukan inovasi pembelajaran? Adakah jaminan bahwa ketika penggunaan gadget dilarang, siswa tidak menggunakannya di tempat lain? Bukankah waktu anak di luar sekolah jauh lebih banyak? Maka menurut hemat penulis, yang terutama bukanlah melarang, melainkan memberikan pendidikan bagaimana mestinya menggunakan piranti teknologi itu agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam kehidupan.
Untuk itulah, agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisir, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru ketika memanfaatkan gadget dalam kegiatan pembelajaran siswa sekolah dasar. Pertama, guru hendaknya bekerja sama dengan orang tua terkait dengan penggunaan gadget bagi anak. Sebagaimana dituturkan di awal, gadget adalah pisau bermata dua yang yang memiliki kemungkinan baik dan buruk. Tidak semua orang tua memiliki tingkat pengetahuan yang sama. Dampak positif dan negatif penggunaan gadget itulah yang harus disampaikan sebagai bahan pembelajaran, sekaligus untuk menyamakan persepsi agar orang tua memiliki kewaspadaan dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap proses pertumbuhan karakter anak.
Telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa pendidikan adalah tugas bersama antara guru, masyarakat, pemerintah, dan terutama orang tua. Semua stakeholder tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik sesuai dengan posisi dan proporsinya masing-masing. Kalau toh anak diperbolehkan menggunakan gadget selama di sekolah, tentu saja hal itu disertai dengan batasan-batasan. Batasan-batasan itulah yang harus diterapkan juga oleh orang tua selama anak berada di luar sekolah. Akan menjadi tidak efektif jika aturan ketat itu diberlakukan di sekolah, tapi selama di rumah anak dibiarkan menggunakan gadget tanpa pengawasan dan kontrol sama sekali.
Kedua, menggunakan gadget hanya untuk kegiatan yang mendukung pembelajaran. Lazim diketahui, saat ini banyak sekali aplikasi pembelajaran yang bisa diunduh secara gratis, baik aplikasi berbasis dekstop, maupun yang berbasis android. Guru bisa mengondisikan agar aplikasi tersebut terpasang di gadget anak. Untuk menunjang pembelajaran yang berhubungan dengan pendidikan karakter, guru bisa memberikan tugas kepada anak melalui aplikasi tersebut, baik tugas terstruktur ketika di sekolah, maupun tugas tidak terstruktur ketika anak di rumah. Akan lebih ideal jika guru memiliki kemampuan membuat aplikasi sendiri, sehingga media pembelajaran yang dibuat bisa disesuaikan dengan karakter anak. Disinilah diperlukan kemauan kuat, agar guru bersedia terus belajar untuk melakukan pengembangan diri.
Ketiga, Indonesia adalah salah-satu negara pengakses situs pornografi terbesar di dunia, yang penggunanya bukan hanya orang dewasa, bahkan juga anak-anak. Pornografi adalah perusak mental yang merongrong integritas. Sesuai dengan peraturan pemerintah, saat ini banyak provider internet di Indonesia telah memblokir konten situs-situs terlarang, namun ada sebagian kecil yang belum. Guru bisa melakukan antisipasi dengan memblokir konten situs negatif secara mandiri, salah-satunya bisa menggunakan DNS Nawala Project. Yang tak kalah penting, harus ada pemeriksaan konten secara berkala terhadap gadget anak untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal negatif. Jika suatu saat ditemukan adanya penyimpangan, guru harus segera mengambil tindakan agar tidak menjadi masalah yang berkelanjutan.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah ikhtiar untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tak mungkin dihindari. Memang, melarang penggunaan gadget bagi anak bukanlah hal yang bijaksana. Sebagaimana maqalah Sayyidina Ali, anak hidup dengan zamannya sendiri. Maka, didiklah anak sesuai dengan zamannya, meskipun zaman itu sama sekali berbeda dengan zaman guru dan para pendahulunya. Alhasil, daripada sibuk berdebat tentang penggunaan gadget bagi anak, alangkah baiknya jika guru menjadikannya peluang untuk meningkatkan kualitas dalam kegiatan pembelajaran. Bagaimana menurut Anda?(*)
Pada sisi berbeda, penggunaan gadget yang memengaruhi hasil belajar siswa juga telah dibuktikan melalui penelitian. Tengok misalnya penelitian Beauty Manumpil, dkk. dalam Jurnal Keperawatan Volume 3, April 2015. Penelitian yang dilakukan terhadap 41 responden siswa sebuah sekolah itu bertujuan ingin mengetahui hubungan penggunaan gadget dengan tingkat prestasi belajar siswa. Hasilnya, 30 siswa (73,2 %) mendapatkan nilai tinggi, sedangkan 11 siswa sisanya (26,8 %) memperoleh nilai rendah. Berdasarkan uji statistik juga ditemukan, penggunaan gadget terlalu lama dapat berpengaruh pada konsentrasi anak. Sedangkan penggunaan gadget selama jam pelajaran berlangsung untuk mengakses berbagai media sosial berpengaruh buruk terhadap tingkat prestasi siswa.
Begitulah, baik buruknya gadget tidak tergantung pada bendanya, melainkan cara penggunaannya. Maka, ketika ada regulasi yang melarang penggunaan gadget, minimal di tingkat sekolah, pertanyaan penting patut diajukan, tidakkah hal tersebut akan menghambat guru ketika ingin melakukan inovasi pembelajaran? Adakah jaminan bahwa ketika penggunaan gadget dilarang, siswa tidak menggunakannya di tempat lain? Bukankah waktu anak di luar sekolah jauh lebih banyak? Maka menurut hemat penulis, yang terutama bukanlah melarang, melainkan memberikan pendidikan bagaimana mestinya menggunakan piranti teknologi itu agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam kehidupan.
Untuk itulah, agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisir, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru ketika memanfaatkan gadget dalam kegiatan pembelajaran siswa sekolah dasar. Pertama, guru hendaknya bekerja sama dengan orang tua terkait dengan penggunaan gadget bagi anak. Sebagaimana dituturkan di awal, gadget adalah pisau bermata dua yang yang memiliki kemungkinan baik dan buruk. Tidak semua orang tua memiliki tingkat pengetahuan yang sama. Dampak positif dan negatif penggunaan gadget itulah yang harus disampaikan sebagai bahan pembelajaran, sekaligus untuk menyamakan persepsi agar orang tua memiliki kewaspadaan dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap proses pertumbuhan karakter anak.
Telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa pendidikan adalah tugas bersama antara guru, masyarakat, pemerintah, dan terutama orang tua. Semua stakeholder tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik sesuai dengan posisi dan proporsinya masing-masing. Kalau toh anak diperbolehkan menggunakan gadget selama di sekolah, tentu saja hal itu disertai dengan batasan-batasan. Batasan-batasan itulah yang harus diterapkan juga oleh orang tua selama anak berada di luar sekolah. Akan menjadi tidak efektif jika aturan ketat itu diberlakukan di sekolah, tapi selama di rumah anak dibiarkan menggunakan gadget tanpa pengawasan dan kontrol sama sekali.
Kedua, menggunakan gadget hanya untuk kegiatan yang mendukung pembelajaran. Lazim diketahui, saat ini banyak sekali aplikasi pembelajaran yang bisa diunduh secara gratis, baik aplikasi berbasis dekstop, maupun yang berbasis android. Guru bisa mengondisikan agar aplikasi tersebut terpasang di gadget anak. Untuk menunjang pembelajaran yang berhubungan dengan pendidikan karakter, guru bisa memberikan tugas kepada anak melalui aplikasi tersebut, baik tugas terstruktur ketika di sekolah, maupun tugas tidak terstruktur ketika anak di rumah. Akan lebih ideal jika guru memiliki kemampuan membuat aplikasi sendiri, sehingga media pembelajaran yang dibuat bisa disesuaikan dengan karakter anak. Disinilah diperlukan kemauan kuat, agar guru bersedia terus belajar untuk melakukan pengembangan diri.
Ketiga, Indonesia adalah salah-satu negara pengakses situs pornografi terbesar di dunia, yang penggunanya bukan hanya orang dewasa, bahkan juga anak-anak. Pornografi adalah perusak mental yang merongrong integritas. Sesuai dengan peraturan pemerintah, saat ini banyak provider internet di Indonesia telah memblokir konten situs-situs terlarang, namun ada sebagian kecil yang belum. Guru bisa melakukan antisipasi dengan memblokir konten situs negatif secara mandiri, salah-satunya bisa menggunakan DNS Nawala Project. Yang tak kalah penting, harus ada pemeriksaan konten secara berkala terhadap gadget anak untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal negatif. Jika suatu saat ditemukan adanya penyimpangan, guru harus segera mengambil tindakan agar tidak menjadi masalah yang berkelanjutan.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah ikhtiar untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tak mungkin dihindari. Memang, melarang penggunaan gadget bagi anak bukanlah hal yang bijaksana. Sebagaimana maqalah Sayyidina Ali, anak hidup dengan zamannya sendiri. Maka, didiklah anak sesuai dengan zamannya, meskipun zaman itu sama sekali berbeda dengan zaman guru dan para pendahulunya. Alhasil, daripada sibuk berdebat tentang penggunaan gadget bagi anak, alangkah baiknya jika guru menjadikannya peluang untuk meningkatkan kualitas dalam kegiatan pembelajaran. Bagaimana menurut Anda?(*)
*)Suhadaq, S.Pd.I, Penulis adalah Guru PAI SDN 3 Talunrejo Bluluk Lamongan Jawa Timur