TERSEBUTLAH seorang lelaki bernama Muhammad. Dia menghabiskan sebagian
hidupnya dengan meninggalkan perintah Tuhan berupa shalat lima waktu.
Ketika Ramadhan tiba, si Muhammad ini melakukan penghormatan dengan
berpakaian dan mengenakan wewangian, sebelum kemudian melaksanakan
shalat dan menebus semua shalat yang pernah ditinggalkan. Ketika ditanya
tentang aktifitas itu, dengan mantap si Muhammad menjawab, “Ini adalah
bulan taubat, rahmat, dan barakah. Barangkali Tuhan berkenan merelakanku
dengan keutamaan Ramadhan”.
Alhasil, ketika Muhammad wafat, seseorang menjumpainya dalam mimpi. Muhammad pun ditanya, ”Apa yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu, wahai Muhammad?” Si Muhammad dengan hati riang menjawab, ”Tuhan telah berkenan mengampuni segala dosa-dosaku, tersebab penghormatanku dalam menyambut Ramadhan.”
***
Sepenggal
kisah diatas saya ceritakan untuk menyambut datangnya Ramadhan.
Saya nukilkan dari kitab klasik, yang hampir seluruh pesantren pernah
membacanya. Seperti biasa, menjelang Ramadhan tiba, beragam aktifitas
dilakukan manusia untuk menyambut datangnya bulan mulia itu. Ramadhan
adalah bulan penuh rahmat dan berkah. Sungguh sayang jika dibiarkan
berlalu tanpa aktifitas bermakna bagi kesejahteraan jiwa. Apalagi tanpa
upaya menyambut kedatangannya sepenuh makna. Rasul Mulia itu pernah
berkata, “Tuhan mengharamkan tubuh seseorang dijilat api neraka, ketika
riang hatinya menjelang Ramadhan tiba.”
Barangkali, diilhami
ucapan kanjeng nabi itulah, orang-orang begitu antusias menerjemahkan
“keriangan” itu dengan caranya masing-masing. Aparat keamanan begitu
agresif melakukan razia di tempat-tempat yang ditengarai sebagai pusat
maksiat. Ada himbauan khusus agar selama Ramadhan, warung-warung tidak
buka siang hari, klub-klub malam dibatasi jam kerjanya, lokalisasi
diliburkan, dan sebagainya. Bagi aparat keamanan, menjelang Ramadhan
penyakit masyarakat harus dibersihkan, agar noda-noda hitam yang melekat
tidak mengotori baju Ramadhan yang putih mengkilat.
Sementara
keriangan itu diterjemahkan lain lagi oleh pedagang, stasiun televisi,
dan pelaku industri hiburan lainnya. Acara-acara televisi tiba-tiba saja
menjadi hanya “milik” orang islam. Sementara pedagang sibuk menyiapkan
modal tambahan untuk memperbanyak stok dagangan. Bukankah anggaran
belanja rumah tangga naik dua kali lipat selama Ramadhan. Belum lagi
jika hari raya menjelang, pedagang adalah orang yang paling menuai
“berkah” dari datangnya bulan penuh berkah itu.
Atas nama
Ramadhan, spanduk bertebaran di mana-mana. Spanduk itu hampir rata-rata
menganjurkan untuk menghormati Ramadhan dan orang berpuasa. Seolah-olah
Ramadhan adalah bulan yang gila hormat. Seolah-olah orang berpuasa
adalah anak kemarin sore yang merengek-rengek minta dikondisikan agar
puasanya nyaman dan steril dari gangguan. Itulah barangkali yang
menyebabkan Gus Mus begitu suntuk dua tahun silam. Dalam artikelnya
menyambut Ramadhan 1429 H, Gus Mus pernah menulis dalam sepenggal
kalimatnya, ”Tanpa dihormati, Ramadhan sudah sangat terhormat. Dan ia,
tak butuh penghormatan dari siapapun.” (Jawa Pos, 1/9/2008)
Padahal
jika mau berpikir jernih, mental orang beriman tidaklah ‘cengeng’.
Orang beriman adalah pejuang yang memiliki mental baja sehingga tak
gampang merengek dan meminta-minta. Justru ketika berpuasa, dengan
lantang seorang mukmin berkata, ”Saya puasa. Kalau ente mau berjualan,
berjualanlah sesukamu dengan membuka warungmu lebar-lebar. Bahkan kalau
perlu, wahai engkau para pekerja malam! Datanglah padaku lima kali
sehari. Tapi jangan kecewa jika keberadaanmu itu sama sekali tak
menggangguku, karena aku sedang menjalankan ibadah kepada Tuhanku.”
Begitulah cara orang-orang dalam menyambut Ramadhan. Dan Muhammad dalam sepenggal kisah di atas, adalah “pendosa” yang menyambut datangnya Ramadhan tidak dengan melakukan hal-hal yang berada di luar dirinya. Muhammad melihat ke dalam dirinya sendiri sebelum kemudian melakukan perubahan total sebagai seorang manusia. Ia tanggalkan baju kesalahan untuk digantikan dengan pakaian taubat. Justru ketika ia menghidupkan segala sesuatu yang pernah mati dalam hatinya, keadaan itulah yang menyeretnya pada situasi mendapatkan pengampunan dari Tuhan semesta alam, sebagai pemangku dari seluruh kehidupan.
***
Kehadiran Ramadhan tahun ini masih diwarnai kondisi bangsa yang carut marut oleh tragedi kemanusiaan yang tragis. Berbagai ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Krisis berkepanjangan telah menyeret bangsa ini pada titik nadir. Dari hari ke hari, negara ini semakin terseok dalam lubang hitam yang entah kapan berakhir. Dalam konteks inilah, Ramadhan adalah momentum yang tepat bagi seluruh elemen bangsa untuk melakukan reinstropeksi terhadap pola keberagamaannya dalam konteks yang lebih manusiawi.
Salah satu keutamaan Ramadhan adalah diwajibkannya puasa sebagai upaya agar manusia menjadi bertaqwa (QS. 2:183). Sebagai sebuah ibadah, puasa memang memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan ibadah lainnya. Disamping mengajarkan kepada pelakunya untuk mampu mengendalikan diri dan memiliki empati terhadap sesama, puasa adalah ibadah rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan dan pelaku puasa. Saking eksklusifnya puasa, Tuhan berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi, “Semua amal perbuatan anak adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa adalah untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasNya.” Lihatlah betapa romantisnya Tuhan dalam memperlakukan puasa. Dia, yang segala hamparan kehidupan langit dan bumi tergenggam di tanganNya seolah-olah membutuhkan puasa hambanya, sehingga Dia sendiri berjanji yang akan membalasnya.
Puasa memang memiliki fungsi sosial yang jelas dalam kehidupan. Namun dalam prakteknya, dibutuhkan pemahaman yang konkrit agar manusia tidak terjebak pada kesalahan berpikir dengan meletakkan puasa sebagai tujuan. Tak dimungkiri, selama ini dalam memahami keberagamaan, banyak manusia gampang terjebak dengan meletakkan wasilah (alat, sarana) sebagai ghayah (tujuan). Ketika puasa dipahami sebagai ghayah, maka puasa akan berhenti sebagai hanya kegiatan menahan makan dan minum tanpa memiliki efek nyata dalam kehidupan.
Padahal, puasa hanyalah alat. Ia adalah input dari hardware yang bernama manusia. Outputnya adalah pribadi yang bertaqwa. Predikat taqwa bukanlah sesuatu yang digapai dengan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, dengan amalan-amalan sunnah secara formal tanpa ada kaitannya dengan kehidupan. Justru aktualisasi Idul Fitri adalah manusia pasca Ramadhan yang sanggup menjalani kehidupan ini dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadhan setahun sesudahnya.
Disinilah, harus ada pemaknaan serius dalam menjalankan ibadah puasa, agar manusia tidak terjebak pada rutinitas budaya setiap kali Ramadhan tiba. Bagaimanapun, puasa itu –sebagaimana arti katanya- adalah kesanggupan untuk menahan diri. Tak hanya dari sesuatu yang membatalkan puasa, tapi juga dari sesuatu yang membuat manusia kehilangan diri dan sisi kemanusiaan. Menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, menahan diri untuk tidak mengambil dan mengurangi hak orang lain, menahan diri untuk tidak merasa benar sendiri, dan lain sebagainya. Bagaimanan dengan puasa yang sudah kita lakukan?
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa. (*)
Begitulah cara orang-orang dalam menyambut Ramadhan. Dan Muhammad dalam sepenggal kisah di atas, adalah “pendosa” yang menyambut datangnya Ramadhan tidak dengan melakukan hal-hal yang berada di luar dirinya. Muhammad melihat ke dalam dirinya sendiri sebelum kemudian melakukan perubahan total sebagai seorang manusia. Ia tanggalkan baju kesalahan untuk digantikan dengan pakaian taubat. Justru ketika ia menghidupkan segala sesuatu yang pernah mati dalam hatinya, keadaan itulah yang menyeretnya pada situasi mendapatkan pengampunan dari Tuhan semesta alam, sebagai pemangku dari seluruh kehidupan.
***
Kehadiran Ramadhan tahun ini masih diwarnai kondisi bangsa yang carut marut oleh tragedi kemanusiaan yang tragis. Berbagai ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Krisis berkepanjangan telah menyeret bangsa ini pada titik nadir. Dari hari ke hari, negara ini semakin terseok dalam lubang hitam yang entah kapan berakhir. Dalam konteks inilah, Ramadhan adalah momentum yang tepat bagi seluruh elemen bangsa untuk melakukan reinstropeksi terhadap pola keberagamaannya dalam konteks yang lebih manusiawi.
Salah satu keutamaan Ramadhan adalah diwajibkannya puasa sebagai upaya agar manusia menjadi bertaqwa (QS. 2:183). Sebagai sebuah ibadah, puasa memang memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan ibadah lainnya. Disamping mengajarkan kepada pelakunya untuk mampu mengendalikan diri dan memiliki empati terhadap sesama, puasa adalah ibadah rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan dan pelaku puasa. Saking eksklusifnya puasa, Tuhan berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi, “Semua amal perbuatan anak adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa adalah untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasNya.” Lihatlah betapa romantisnya Tuhan dalam memperlakukan puasa. Dia, yang segala hamparan kehidupan langit dan bumi tergenggam di tanganNya seolah-olah membutuhkan puasa hambanya, sehingga Dia sendiri berjanji yang akan membalasnya.
Puasa memang memiliki fungsi sosial yang jelas dalam kehidupan. Namun dalam prakteknya, dibutuhkan pemahaman yang konkrit agar manusia tidak terjebak pada kesalahan berpikir dengan meletakkan puasa sebagai tujuan. Tak dimungkiri, selama ini dalam memahami keberagamaan, banyak manusia gampang terjebak dengan meletakkan wasilah (alat, sarana) sebagai ghayah (tujuan). Ketika puasa dipahami sebagai ghayah, maka puasa akan berhenti sebagai hanya kegiatan menahan makan dan minum tanpa memiliki efek nyata dalam kehidupan.
Padahal, puasa hanyalah alat. Ia adalah input dari hardware yang bernama manusia. Outputnya adalah pribadi yang bertaqwa. Predikat taqwa bukanlah sesuatu yang digapai dengan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, dengan amalan-amalan sunnah secara formal tanpa ada kaitannya dengan kehidupan. Justru aktualisasi Idul Fitri adalah manusia pasca Ramadhan yang sanggup menjalani kehidupan ini dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadhan setahun sesudahnya.
Disinilah, harus ada pemaknaan serius dalam menjalankan ibadah puasa, agar manusia tidak terjebak pada rutinitas budaya setiap kali Ramadhan tiba. Bagaimanapun, puasa itu –sebagaimana arti katanya- adalah kesanggupan untuk menahan diri. Tak hanya dari sesuatu yang membatalkan puasa, tapi juga dari sesuatu yang membuat manusia kehilangan diri dan sisi kemanusiaan. Menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, menahan diri untuk tidak mengambil dan mengurangi hak orang lain, menahan diri untuk tidak merasa benar sendiri, dan lain sebagainya. Bagaimanan dengan puasa yang sudah kita lakukan?
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa. (*)
Selamat Datang Ramadan
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>