SUATU hari, kamu pernah bilang padaku bahwa engkau tak suka
pengarang. Bahwa engkau sangat tidak menyukai pengarang. Karena bagimu,
pengarang adalah sosok yang sibuk dengan angan-angannya sendiri. Ia
terbang tinggi ke awan, bermain-main dengan langit dan rembulan,
melayang-layang di angkasa impian. Sampai pada ketinggian tertentu, ia
tertegun sendiri. Dan akhirnya, lantaran sayap-sayapnya yang patah, ia
mungkin akan terjatuh ke bumi. Boleh jadi akan mati. Makanya kamu
bilang, jangan terbang tinggi-tinggi mengarungi langit khayalan.
Hiduplah sewajarnya. Tatap realita apa adanya. Engkau manusia, bukan
burung. Pijakkanlah kakimu di bumi. Sebab, kalau suatu hari engkau
terjatuh. Engkau akan mengalami sakit luar biasa akibat kejatuhan itu.
Saya hanya tersenyum, dan mencoba menuturkan kalimat yang tepat untuk pemahamanmu itu.
Saya tahu, mungkin yang kamu maksud pengarang itu adalah manusia yang berjibaku dengan dunia kata, semacam penyair, penulis, esais, atau apapun namanya. Saya sendiri bahkan mengalami ketakutan luar biasa jika menganggap diri sebagai pengarang. Sebab, telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa segala yang tersebar di permukaan bumi ini adalah hasil karangan dan kreasi agung Tuhan Semesta Alam. Segala konsep, segala ide, gagasan, atau apapun namanya yang merupakan ruh kehidupan adalah hasil inisiasi Tuhan. Kalau secara kebetulan, saya dianugrahi kemampuan menuliskan sesuatu, yang sebelumnya bersemayam di ruang kepala, yang pada akhirnya kau sebut sebagai 'hasil karangan'. Bagi saya, semua adalah garis takdir yang tidak boleh tidak, memang harus disyukuri. Bukankah talenta yang melekat pada diri semua orang dengan ciri khasnya masing-masing adalah sekedar pinjaman? Maka, yang harus dilakukan adalah memberdayakan pinjaman itu agar bisa memberikan manfaat. bagi manusia lain.
Dalam kehidupan ini, semua manusia bebas menentukan jalan hidupnya masing-masing. Dengan segala yang dimilikinya, ia bebas menentukan langkah dan menjadi apa saja, bebas dalam tanda petik tentunya. Namun, menjadi apa saja itu sendiri tetap harus dalam kesadaran bahwa manusia adalah khalifah, adalah makhluk paling tinggi yang dipasrahi Tuhan untuk mengatur segala sesuatu yang tersebar di alam semesta. Engkau boleh menjadi guru, kalau memang menjadi guru adalah cara yang paling tepat untuk mengantarkan pada tujuan hidupmu. Engkau boleh menjadi pedagang, politikus, menteri, konglomerat, artis, tukang becak, presiden, dan bahkan kiai, atau apa saja. Sebab, semua itu hanya washilah atau alat yang akan mengantarkan manusia pada tujuan hidup tertentu, yang dalam pengertian orang beragama adalah selamat di hadapan Tuhan.
Allhasil, dalam menjadi apa saja itu, yang pertama kali harus diperhatikan adalah kemungkinan selamat atau tidak di hadapanNya. Jika menjadi tukang becak misalnya, tapi ia ikhlas dengan keadaan itu, dan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga untuk menggenjot pedal, sejengkal demi sejengkal, dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah demi menafkahi anak istri yang menjadi tanggungan wajib dalam kehidupannya. Itu adalah kemuliaan sedalam-dalamnya.
Bandingkan jika menjadi Menteri, Bupati, Kiai, Presiden, atau jabatan-jabatan apapun yang lain, yang mencerminkan status sosial yang tinggi dalam kehidupan. Tapi predikat itu ternyata membuat manusia lupa dengan tujuan hidupnya. Ia gunakan posisi itu untuk memuaskan hasrat fisik, demi melegakan nafsu hewaniyah yang demikian mencakar-cakar dalam derap keinginan tak habis-habis. Ia korbankan jutaan nyawa demi melampiaskan egonya semata. Bukankah posisi itu adalah sehina-hina dan secelaka-celakanya kehidupan?
Maka sekali lagi, tak penting menjadi apa. Yang penting apakah 'menjadi apa' itu menyebabkan manusia selamat dalam kehidupan atau tidak.
****
SAYA tak akan memprotes jika engkau tidak menyukai penyair yang kau katakan sebagai pengarang itu. Mungkin ketidaksukaanmu itu lebih disebabkan bahwa penyair bagimu adalah manusia yang sibuk menata kata merangkai kalimat, dengan melupakan substansi maupun hakekat nilai. Bagimu, penyair adalah manusia yang hidup di menara gading, terbang tinggi ke awan, tanpa pernah memijakkan kakinya di bumi. Jika suatu hari nanti, ia dengan segala keterpaksaan harus kembali pada tanahnya berpijak, ia menjadi kaget dan tergagap-gagap dalam menatap kenyataan.
Namun, satu hal yang mungkin engkau lupa. Bukankah segala sesuatu yang menghampar di alam mayapada ini memang diciptakan berpasangan dan berkaitan satu sama lain? Dan bahkan diri manusia sendiri adalah susunan hasil kreasi agung penciptaNya yang tak hanya tersusun dari badan wadag, berupa daging dan tulang belulang. Manusia adalah pasangan antara jasad dan ruh yang saling berkaitan satu sama lain, dan tentu saja tak bisa dipisahkan. Jika manusia hanyalah jasad, ia bukanlah manusia, tetapi bangkai. Sebaliknya, jika manusia adalah ruh, ia tak lagi disebut sebagai manusia, tetapi lelembut. Maka keterkaitan antara jasad dan ruh itulah yang menyebabkan manusia sebagai manusia.
Dalam kehidupan ini, tak ada action atau perbuatan tanpa didahului oleh ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu sendiri merupakan produk akal fikiran yang dimiliki manusia, yang tentu saja dengannya membuat manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Masalahnya, bagaimana manusia bisa berfikir dengan benar, sehingga produknya adalah sebuah kebenaran. Disinilah barangkali, mengapa ayat yang pertama kali diturunkan adalah Iqra', bacalah. Membaca apa? Qur'an belum ada saat itu, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Maka, manusia memang harus banyak membaca. Tak hanya tekstual dengan membaca Quran, buku, kitab, atau yang lain. Tapi yang paling penting adalah membaca kontekstual, membaca keadaan, membaca peristiwa-peristiwa, membaca angkasa raya, membaca alam semesta, bahkan membaca diri manusia sendiri, agar manusia selalu berdekatan dengan kebenaran.
Para penulis bukanlah pengarang. Engkau tahu dunia penulis adalah adalah dunia ide. Ide merupakan dunia ruh yang turut mewarnai dunia kasunyatan, sehingga dunia berjalan dinamis, dipenuhi dengan kebaruan-kebaruan, dan lain sebagainya. Jika dunia ruh ini terhenti, maka kehidupan akan statis dan mengalami stagnasi. Akibatnya, segala yang berada di permukaan bumi ini akan berjalan monoton, menjemukan, membosankan, sehingga kehidupan berjalan sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, jika dunia ide itu hanya melayang-layang di dunia ruh, tidak diupayakan sedemikian rupa oleh manusia untuk ‘nikah’ dengan dunia nyata. Maka ide itu hanya akan menjadi lelembut yang keberadaannya bukan hanya menakutkan, namun kehadirannya tak bisa dirasakan sepenuhnya dalam realitas kehidupan.
Waba’du, tugas manusia jugalah yang harus mengawinkannya. Agar antara ruh dan jasad itu bersatu sehingga membawa manfaat bagi orang banyak. Walhasil, terserah manusia menjadi apa. Yang penting dengan menjadi apa itu dia bisa memberikan manfaat bagi manusia lain. Itulah sebaik-baik manusia. Demikian diujarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Sang Rasul Pamungkas. (*)
Em. Syuhada'
20130225
Saya hanya tersenyum, dan mencoba menuturkan kalimat yang tepat untuk pemahamanmu itu.
Saya tahu, mungkin yang kamu maksud pengarang itu adalah manusia yang berjibaku dengan dunia kata, semacam penyair, penulis, esais, atau apapun namanya. Saya sendiri bahkan mengalami ketakutan luar biasa jika menganggap diri sebagai pengarang. Sebab, telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa segala yang tersebar di permukaan bumi ini adalah hasil karangan dan kreasi agung Tuhan Semesta Alam. Segala konsep, segala ide, gagasan, atau apapun namanya yang merupakan ruh kehidupan adalah hasil inisiasi Tuhan. Kalau secara kebetulan, saya dianugrahi kemampuan menuliskan sesuatu, yang sebelumnya bersemayam di ruang kepala, yang pada akhirnya kau sebut sebagai 'hasil karangan'. Bagi saya, semua adalah garis takdir yang tidak boleh tidak, memang harus disyukuri. Bukankah talenta yang melekat pada diri semua orang dengan ciri khasnya masing-masing adalah sekedar pinjaman? Maka, yang harus dilakukan adalah memberdayakan pinjaman itu agar bisa memberikan manfaat. bagi manusia lain.
Dalam kehidupan ini, semua manusia bebas menentukan jalan hidupnya masing-masing. Dengan segala yang dimilikinya, ia bebas menentukan langkah dan menjadi apa saja, bebas dalam tanda petik tentunya. Namun, menjadi apa saja itu sendiri tetap harus dalam kesadaran bahwa manusia adalah khalifah, adalah makhluk paling tinggi yang dipasrahi Tuhan untuk mengatur segala sesuatu yang tersebar di alam semesta. Engkau boleh menjadi guru, kalau memang menjadi guru adalah cara yang paling tepat untuk mengantarkan pada tujuan hidupmu. Engkau boleh menjadi pedagang, politikus, menteri, konglomerat, artis, tukang becak, presiden, dan bahkan kiai, atau apa saja. Sebab, semua itu hanya washilah atau alat yang akan mengantarkan manusia pada tujuan hidup tertentu, yang dalam pengertian orang beragama adalah selamat di hadapan Tuhan.
Allhasil, dalam menjadi apa saja itu, yang pertama kali harus diperhatikan adalah kemungkinan selamat atau tidak di hadapanNya. Jika menjadi tukang becak misalnya, tapi ia ikhlas dengan keadaan itu, dan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga untuk menggenjot pedal, sejengkal demi sejengkal, dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah demi menafkahi anak istri yang menjadi tanggungan wajib dalam kehidupannya. Itu adalah kemuliaan sedalam-dalamnya.
Bandingkan jika menjadi Menteri, Bupati, Kiai, Presiden, atau jabatan-jabatan apapun yang lain, yang mencerminkan status sosial yang tinggi dalam kehidupan. Tapi predikat itu ternyata membuat manusia lupa dengan tujuan hidupnya. Ia gunakan posisi itu untuk memuaskan hasrat fisik, demi melegakan nafsu hewaniyah yang demikian mencakar-cakar dalam derap keinginan tak habis-habis. Ia korbankan jutaan nyawa demi melampiaskan egonya semata. Bukankah posisi itu adalah sehina-hina dan secelaka-celakanya kehidupan?
Maka sekali lagi, tak penting menjadi apa. Yang penting apakah 'menjadi apa' itu menyebabkan manusia selamat dalam kehidupan atau tidak.
****
SAYA tak akan memprotes jika engkau tidak menyukai penyair yang kau katakan sebagai pengarang itu. Mungkin ketidaksukaanmu itu lebih disebabkan bahwa penyair bagimu adalah manusia yang sibuk menata kata merangkai kalimat, dengan melupakan substansi maupun hakekat nilai. Bagimu, penyair adalah manusia yang hidup di menara gading, terbang tinggi ke awan, tanpa pernah memijakkan kakinya di bumi. Jika suatu hari nanti, ia dengan segala keterpaksaan harus kembali pada tanahnya berpijak, ia menjadi kaget dan tergagap-gagap dalam menatap kenyataan.
Namun, satu hal yang mungkin engkau lupa. Bukankah segala sesuatu yang menghampar di alam mayapada ini memang diciptakan berpasangan dan berkaitan satu sama lain? Dan bahkan diri manusia sendiri adalah susunan hasil kreasi agung penciptaNya yang tak hanya tersusun dari badan wadag, berupa daging dan tulang belulang. Manusia adalah pasangan antara jasad dan ruh yang saling berkaitan satu sama lain, dan tentu saja tak bisa dipisahkan. Jika manusia hanyalah jasad, ia bukanlah manusia, tetapi bangkai. Sebaliknya, jika manusia adalah ruh, ia tak lagi disebut sebagai manusia, tetapi lelembut. Maka keterkaitan antara jasad dan ruh itulah yang menyebabkan manusia sebagai manusia.
Dalam kehidupan ini, tak ada action atau perbuatan tanpa didahului oleh ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu sendiri merupakan produk akal fikiran yang dimiliki manusia, yang tentu saja dengannya membuat manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Masalahnya, bagaimana manusia bisa berfikir dengan benar, sehingga produknya adalah sebuah kebenaran. Disinilah barangkali, mengapa ayat yang pertama kali diturunkan adalah Iqra', bacalah. Membaca apa? Qur'an belum ada saat itu, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Maka, manusia memang harus banyak membaca. Tak hanya tekstual dengan membaca Quran, buku, kitab, atau yang lain. Tapi yang paling penting adalah membaca kontekstual, membaca keadaan, membaca peristiwa-peristiwa, membaca angkasa raya, membaca alam semesta, bahkan membaca diri manusia sendiri, agar manusia selalu berdekatan dengan kebenaran.
Para penulis bukanlah pengarang. Engkau tahu dunia penulis adalah adalah dunia ide. Ide merupakan dunia ruh yang turut mewarnai dunia kasunyatan, sehingga dunia berjalan dinamis, dipenuhi dengan kebaruan-kebaruan, dan lain sebagainya. Jika dunia ruh ini terhenti, maka kehidupan akan statis dan mengalami stagnasi. Akibatnya, segala yang berada di permukaan bumi ini akan berjalan monoton, menjemukan, membosankan, sehingga kehidupan berjalan sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, jika dunia ide itu hanya melayang-layang di dunia ruh, tidak diupayakan sedemikian rupa oleh manusia untuk ‘nikah’ dengan dunia nyata. Maka ide itu hanya akan menjadi lelembut yang keberadaannya bukan hanya menakutkan, namun kehadirannya tak bisa dirasakan sepenuhnya dalam realitas kehidupan.
Waba’du, tugas manusia jugalah yang harus mengawinkannya. Agar antara ruh dan jasad itu bersatu sehingga membawa manfaat bagi orang banyak. Walhasil, terserah manusia menjadi apa. Yang penting dengan menjadi apa itu dia bisa memberikan manfaat bagi manusia lain. Itulah sebaik-baik manusia. Demikian diujarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Sang Rasul Pamungkas. (*)
Em. Syuhada'
20130225
Mohon Maaf: Penyair itu Bukan Pengarang
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>