TIBA-TIBA, plak-plak, pukulan
mendarat ke mulut seorang anak muda. “Tidak sopan, jangan panggil Cak
Nun, panggillah dengan hormat, Mbah Nun...!”
SATU:
Pernah
dengar nama KH Muslim Rifa’i Imam Puro? Nama lengkap ini tidaklah
begitu populer. Namun jika disebut “Mbah Lim” banyak kalangan yang
mengenalnya, paling tidak sering mendengar.
Apalagi bagi kalangan nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim. Bahkan kiai-kiai NU sangat takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah yarham). Karena Mbah Lim sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang diselenggarakan NU, terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim terhadap sosok yang kelak memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin.
Jika pertama kali berjumpa pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat disegani dari berbagai kalangan. Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan sangat tidak pas. Bertutup kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang tak pernah ketinggalan, mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh, tidak biasa: Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom, Klaten. Dengan penampilan yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang beranggapan bahwa Mbah Lim adalah seorang wali.
Cara berbicaranya tidak jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering didampingi oleh santri atau keluarganya sebagai juru bicara.
Suatu hari, pesantrennya mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun Nadjib untuk memberikan ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas podium. Seorang santri yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.
"Kami persilakan Cak Nun dari..."
Belum juga MC selesai berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke arah MC. Tiba-tiba, plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil tetap berteriak-teriak, "Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!"
“Iya Mbah.”
Jawab santri agak gemetar. Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama sekali tak terduga. Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim sangat menyayangi semua santrinya.
Jamaah geger. Tapi tidak lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat pandai merubah suasana.
Mbah Lim sendiri tetap mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar kesalahan ucap tak terulang lagi.
Apalagi bagi kalangan nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim. Bahkan kiai-kiai NU sangat takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah yarham). Karena Mbah Lim sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang diselenggarakan NU, terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim terhadap sosok yang kelak memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin.
Jika pertama kali berjumpa pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat disegani dari berbagai kalangan. Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan sangat tidak pas. Bertutup kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang tak pernah ketinggalan, mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh, tidak biasa: Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom, Klaten. Dengan penampilan yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang beranggapan bahwa Mbah Lim adalah seorang wali.
Cara berbicaranya tidak jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering didampingi oleh santri atau keluarganya sebagai juru bicara.
Suatu hari, pesantrennya mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun Nadjib untuk memberikan ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas podium. Seorang santri yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.
"Kami persilakan Cak Nun dari..."
Belum juga MC selesai berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke arah MC. Tiba-tiba, plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil tetap berteriak-teriak, "Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!"
“Iya Mbah.”
Jawab santri agak gemetar. Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama sekali tak terduga. Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim sangat menyayangi semua santrinya.
Jamaah geger. Tapi tidak lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat pandai merubah suasana.
Mbah Lim sendiri tetap mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar kesalahan ucap tak terulang lagi.
DUA:
Pernah
menyaksikan bapak dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika
Emha Ainun Nadjib satu panggung dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,
anaknya.
“Pergaulan yang aneh,” begitu komentar Dik Doank suatu saat.
Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru) yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun tahu, adalah penikmat rokok.
“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu, batinku.
Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya, belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan kopinya enak. Kental tak terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar setahun).
Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan senyum-senyum.
“Pergaulan yang aneh,” begitu komentar Dik Doank suatu saat.
Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru) yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun tahu, adalah penikmat rokok.
“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu, batinku.
Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya, belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan kopinya enak. Kental tak terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar setahun).
Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan senyum-senyum.
TIGA:
Surabaya. Emha dan Kiai Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan Letto juga pentas di kota yang sama, Kota Bonek.
Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”
Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”
EMPAT:
Saya
ingin mengatakan bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’
yang pada umumnya anak semuda dia belum merasa perlu menjalani. Pasti
banyak yang mengira bahwa bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal
memberi contoh dalam keseharian. Saya berani bilang, bahwa secara
langsung kayaknya tidak. Emha tidak pernah mengajarkan sebagaimana orang
tua lain mendidik anaknya.
“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”
Tampaknya tidak pernah seperti itu.
Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta nasehat.
Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde Mus sebagai tempat bertanya.
Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim. Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai. Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.
“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”
Tampaknya tidak pernah seperti itu.
Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta nasehat.
Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde Mus sebagai tempat bertanya.
Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim. Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai. Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.
LIMA:
Selamat kepada Sabrang dan Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari 2010: Rih Anawai Lu'lu' Bodronoyo. []
Catatan: Münzir Màdjid
Panggilan Mbah Nun
4/
5
Oleh
Admin
3 komentar
Tulis komentarUntuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>