MENJADI manusia, apalagi di zaman ini, ternyata bukan perkara
mudah. Berbagai peristiwa terjadi, yang melibatkan manusia semakin
menunjukkan keadaan itu. Itulah barangkali, kenapa ketika diminta
memberikan ular-ular pada pernikahan Sabrang Noe (Vokalis Letto) di
Yogjakarta beberapa tahun silam, KH. Musthofa Bisri –atau akrab
dipanggil Gus Mus- memberikan nasehat singkat saja; tetaplah menjadi
manusia.
Memang, untuk menjadi manusia, tak cukup hanya mengandalkan perangkat keras berupa badan wadag dengan menafikan segala unsur kemanusiaan lain yang telah dianugrahkan Sang Pencipta. Ada banyak hal yang harus dilakukan agar manusia tetap sebagai manusia. Salah-satunya dengan memelihara sejumlah kesadaran, bahwa manusia adalah khalifah, adalah wakil Tuhan yang bertugas mengurusi segala sesuatu demi kebaikan alam semesta.
Namun sayangnya, kekhawatiran Malaikat tatkala dikabari ihwal penciptaan manusia benar adanya. Bahwa kecenderungan manusia hanya dua; membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (QS. 2:30). Tengoklah misalnya tragika sosial yang lumrah terjadi hari-hari ini. Kekerasan merebak di mana-mana. Hanya karena persoalan sepele, orang dengan begitu gampangnya menghilangkan nyawa orang lain. Atas nama demokrasi, penjarahan dan perampokan tak kunjung usai. Bahkan dalam kasus yang lebih miris, pemimpin yang seharusnya menjadi sosok yang harus diteladani kerap berlaku tidak sebagai manusia. Lantas, bagaimana sebetulnya menjadi seorang manusia?
Belajar dari Satria Jawa
Jika berkaca dari kehidupan satria jawa, dikenal adanya empat tahapan yang harus dilalui manusia agar berhasil sebagai manusia, yaitu tapa (bertapa), dadi (menjadi), ngerti sangkan paraning urip (memahami asal tujuan hidup), dan bali tapa atau kembali bertapa (Mustofa W. Hasyim, 2000). Sebagai manusia, seyogyanya belajar dari kearifan para satria jawa tersebut, agar manusia mencapai kesempurnaan dalam kehidupan (insan kamil).
Tahapan pertama adalah tapa. Bertapa adalah sebuah proses menjadi cantrik (siswa peguron). Pada tahap ini, manusia harus bersedia mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal hidupnya, lahir dan batin. Mencari ilmu disini, tidak hanya cukup mengandalkan sekolah formal dengan gelar yang kadang juga dipertanyakan. Lebih dari itu, manusia juga harus mengerti ilmune wong urip (ilmunya orang hidup).
Rasulullah sendiri, sebagai manusia terbesar sepanjang sejarah, bahkan sebelum didaulat menjadi Nabi dan Rasul, terlebih dulu bertapa di gua hira. Artinya, sebelum menjadi seorang pemimpin, Rasul terlebih dulu menata jiwa dan mentalnya dengan bertapa. Bertapa adalah proses mencari hakekat hidup. Tentu saja dalam menjalani masa-masa ini, manusia harus siap tirakat, bersedia lara lapa, mau merasakan sakit dan sengsara demi memperoleh kesempurnaannya kelak.
Kemudian, tahap yang kedua adalah dadi. Pada tahap ini, manusia telah mentas dari gua hira untuk bergabung kembali ke tengah masyarakat demi mengaplikasikan yang diperolehnya selama bertapa. Pada titik ini, manusia mungkin menjadi ustadz, kiai, politisi, seniman, dokter, lurah, camat, tukang becak, bupati, atau apapun saja embel-embel sosial yang telah melekat dalam kebudayaan masyarakat. Proses ‘menjadi’ pada dasarnya alat dari tujuan hidup yang sejati. Ibarat sebilah pisau, bukan menjadi pisau yang penting. Yang terutama adalah bagaimana manusia memiliki kecerdasan batin agar sebilah pisau tidak mencelakakan dirinya sendiri, apalagi menciderai manusia lain pada umumnya.
Terdapat dua kemungkinan ketika melewati tahapan kedua ini. Pertama, manusia mungkin sampai pada tahapan yang ketiga, ialah mengerti sangkan paraning urip (mengerti asal muasal hidup, hidup adalah dari Allah menuju Allah). Ketika manusia ‘mengerti’, yang dilakukan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang banyak. Kalau menjadi Bupati, Menteri, atau bahkan Presiden umpamanya, ia tahu bahwa jabatan adalah alat (washilah). Jabatan adalah musibah yang jikalau tidak memiliki keteguhan hati, maka dipastikan akan terperosok ke dalam jurang cobaan yang dapat menggelincirkannya kapan saja harkat kemanusiaannya. Ketika memanggul amanat kepemimpinan, tidak serta-merta manusia jenis ini akan mengucapkan alhamdulillah, justru ia berkata naudzubillah.
Namun faktanya, hal tersebut bukan hanya tidak terjadi di zaman ini, tapi proses pemilihan kepemimpinan itu sendiri merupakan hal yang amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mencalonkan dirinya sendiri dengan biaya keniscayaan yang membelalakkan. Kemudian mengiklankan dirinya lewat media, mengatakan diri sendiri paling baik sehingga layak untuk dipilih, dan sebagainya. Bukankah hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan logika dan akal sehat? Bukankah tak ada ilmu dari penjuru langit manapun yang mengajarkan pemilihan model kepemimpinan semacam itu? Tapi hal itulah yang terjadi di negeri ini. Dan kita mengamininya atas nama demokrasi.
Terlepas dari itu semua, seorang pemimpin seyogyanya manusia pertapa yang mengerti sangkan paraning urip. Sebab, kondisi tersebut akan membawa manusia pada bentuk pemerintahan yang mengutamakan keadilan, kemakmuran, serta kesejahteraan rakyat banyak. Ketika pemimpin yang berasal dari manusia jenis ini sampai pada tahapan yang keempat, yaitu bali tapa, ia akan mencapai derajat sebagai seorang resi atau pandhita.
Namun ironis, ketika melewati tahapan dadi ini, banyak manusia terperangkap pada kemungkinan kedua, ialah cenderung untuk lali (lupa pada sangkan paraning urip). Berbeda dengan yang pertama, produk yang dihasilkan oleh manusia yang terjebak pada kemungkinan kedua adalah keadaan sebaliknya. Orang tua yang lali, produknya adalah anak-anak yang jauh dari nilai agama dan kemanusiaan. Mubaligh yang lali, boleh jadi menggunakan agama hanya sebagai kedok. Ia bahkan rela menjual ayat demi kepentingan pribadinya semata. Apalagi pemimpin yang lali, yang dilakukan tidak berusaha sedemikian rupa mengupayakan kesejahteraan rakyat, justru ia berjuang mati-matian untuk mengumpulkan materi, meningkatkan sedemikian rupa kemewahan pribadi, sehingga penderitaan rakyat banyaklah yang akan tercipta.
Bulan-bulan ini hingga 2014 ke depan, pesta demokrasi yang 'katanya' ajang untuk memilih calon pemimpin sedang dan mulai akan dilaksanakan. Jangan kaget jika kemudian bermunculan orang-orang baik, gambar-gambar baik, dan tentu saja kata-kata yang dirangkai sebaik-baiknya. Anda tentu saja, jangan mudah terjebak. Kita sangat menginginkan, bahwa para pemimpin negeri ini ke depan adalah manusia. Sebab jika tidak, boleh jadi jasad mereka manusia. Tapi sesungguhnya mereka adalah binatang buas yang siap mencabik-cabik kita kapan saja.
Namun, mungkinkah sistem yang sedang berlangsung sekarang sanggup melahirkan pemimpin yang bernama manusia?(*)
*)Em. Syuhada', Pengelola Taman Bacaan Alam Ngimbang
Memang, untuk menjadi manusia, tak cukup hanya mengandalkan perangkat keras berupa badan wadag dengan menafikan segala unsur kemanusiaan lain yang telah dianugrahkan Sang Pencipta. Ada banyak hal yang harus dilakukan agar manusia tetap sebagai manusia. Salah-satunya dengan memelihara sejumlah kesadaran, bahwa manusia adalah khalifah, adalah wakil Tuhan yang bertugas mengurusi segala sesuatu demi kebaikan alam semesta.
Namun sayangnya, kekhawatiran Malaikat tatkala dikabari ihwal penciptaan manusia benar adanya. Bahwa kecenderungan manusia hanya dua; membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (QS. 2:30). Tengoklah misalnya tragika sosial yang lumrah terjadi hari-hari ini. Kekerasan merebak di mana-mana. Hanya karena persoalan sepele, orang dengan begitu gampangnya menghilangkan nyawa orang lain. Atas nama demokrasi, penjarahan dan perampokan tak kunjung usai. Bahkan dalam kasus yang lebih miris, pemimpin yang seharusnya menjadi sosok yang harus diteladani kerap berlaku tidak sebagai manusia. Lantas, bagaimana sebetulnya menjadi seorang manusia?
Belajar dari Satria Jawa
Jika berkaca dari kehidupan satria jawa, dikenal adanya empat tahapan yang harus dilalui manusia agar berhasil sebagai manusia, yaitu tapa (bertapa), dadi (menjadi), ngerti sangkan paraning urip (memahami asal tujuan hidup), dan bali tapa atau kembali bertapa (Mustofa W. Hasyim, 2000). Sebagai manusia, seyogyanya belajar dari kearifan para satria jawa tersebut, agar manusia mencapai kesempurnaan dalam kehidupan (insan kamil).
Tahapan pertama adalah tapa. Bertapa adalah sebuah proses menjadi cantrik (siswa peguron). Pada tahap ini, manusia harus bersedia mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal hidupnya, lahir dan batin. Mencari ilmu disini, tidak hanya cukup mengandalkan sekolah formal dengan gelar yang kadang juga dipertanyakan. Lebih dari itu, manusia juga harus mengerti ilmune wong urip (ilmunya orang hidup).
Rasulullah sendiri, sebagai manusia terbesar sepanjang sejarah, bahkan sebelum didaulat menjadi Nabi dan Rasul, terlebih dulu bertapa di gua hira. Artinya, sebelum menjadi seorang pemimpin, Rasul terlebih dulu menata jiwa dan mentalnya dengan bertapa. Bertapa adalah proses mencari hakekat hidup. Tentu saja dalam menjalani masa-masa ini, manusia harus siap tirakat, bersedia lara lapa, mau merasakan sakit dan sengsara demi memperoleh kesempurnaannya kelak.
Kemudian, tahap yang kedua adalah dadi. Pada tahap ini, manusia telah mentas dari gua hira untuk bergabung kembali ke tengah masyarakat demi mengaplikasikan yang diperolehnya selama bertapa. Pada titik ini, manusia mungkin menjadi ustadz, kiai, politisi, seniman, dokter, lurah, camat, tukang becak, bupati, atau apapun saja embel-embel sosial yang telah melekat dalam kebudayaan masyarakat. Proses ‘menjadi’ pada dasarnya alat dari tujuan hidup yang sejati. Ibarat sebilah pisau, bukan menjadi pisau yang penting. Yang terutama adalah bagaimana manusia memiliki kecerdasan batin agar sebilah pisau tidak mencelakakan dirinya sendiri, apalagi menciderai manusia lain pada umumnya.
Terdapat dua kemungkinan ketika melewati tahapan kedua ini. Pertama, manusia mungkin sampai pada tahapan yang ketiga, ialah mengerti sangkan paraning urip (mengerti asal muasal hidup, hidup adalah dari Allah menuju Allah). Ketika manusia ‘mengerti’, yang dilakukan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang banyak. Kalau menjadi Bupati, Menteri, atau bahkan Presiden umpamanya, ia tahu bahwa jabatan adalah alat (washilah). Jabatan adalah musibah yang jikalau tidak memiliki keteguhan hati, maka dipastikan akan terperosok ke dalam jurang cobaan yang dapat menggelincirkannya kapan saja harkat kemanusiaannya. Ketika memanggul amanat kepemimpinan, tidak serta-merta manusia jenis ini akan mengucapkan alhamdulillah, justru ia berkata naudzubillah.
Namun faktanya, hal tersebut bukan hanya tidak terjadi di zaman ini, tapi proses pemilihan kepemimpinan itu sendiri merupakan hal yang amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mencalonkan dirinya sendiri dengan biaya keniscayaan yang membelalakkan. Kemudian mengiklankan dirinya lewat media, mengatakan diri sendiri paling baik sehingga layak untuk dipilih, dan sebagainya. Bukankah hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan logika dan akal sehat? Bukankah tak ada ilmu dari penjuru langit manapun yang mengajarkan pemilihan model kepemimpinan semacam itu? Tapi hal itulah yang terjadi di negeri ini. Dan kita mengamininya atas nama demokrasi.
Terlepas dari itu semua, seorang pemimpin seyogyanya manusia pertapa yang mengerti sangkan paraning urip. Sebab, kondisi tersebut akan membawa manusia pada bentuk pemerintahan yang mengutamakan keadilan, kemakmuran, serta kesejahteraan rakyat banyak. Ketika pemimpin yang berasal dari manusia jenis ini sampai pada tahapan yang keempat, yaitu bali tapa, ia akan mencapai derajat sebagai seorang resi atau pandhita.
Namun ironis, ketika melewati tahapan dadi ini, banyak manusia terperangkap pada kemungkinan kedua, ialah cenderung untuk lali (lupa pada sangkan paraning urip). Berbeda dengan yang pertama, produk yang dihasilkan oleh manusia yang terjebak pada kemungkinan kedua adalah keadaan sebaliknya. Orang tua yang lali, produknya adalah anak-anak yang jauh dari nilai agama dan kemanusiaan. Mubaligh yang lali, boleh jadi menggunakan agama hanya sebagai kedok. Ia bahkan rela menjual ayat demi kepentingan pribadinya semata. Apalagi pemimpin yang lali, yang dilakukan tidak berusaha sedemikian rupa mengupayakan kesejahteraan rakyat, justru ia berjuang mati-matian untuk mengumpulkan materi, meningkatkan sedemikian rupa kemewahan pribadi, sehingga penderitaan rakyat banyaklah yang akan tercipta.
Bulan-bulan ini hingga 2014 ke depan, pesta demokrasi yang 'katanya' ajang untuk memilih calon pemimpin sedang dan mulai akan dilaksanakan. Jangan kaget jika kemudian bermunculan orang-orang baik, gambar-gambar baik, dan tentu saja kata-kata yang dirangkai sebaik-baiknya. Anda tentu saja, jangan mudah terjebak. Kita sangat menginginkan, bahwa para pemimpin negeri ini ke depan adalah manusia. Sebab jika tidak, boleh jadi jasad mereka manusia. Tapi sesungguhnya mereka adalah binatang buas yang siap mencabik-cabik kita kapan saja.
Namun, mungkinkah sistem yang sedang berlangsung sekarang sanggup melahirkan pemimpin yang bernama manusia?(*)
*)Em. Syuhada', Pengelola Taman Bacaan Alam Ngimbang
DICARI: Pemimpin yang Manusia
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>