SELURUH penghuni pesantren Kiai Basyar terlihat sibuk. Beberapa
minggu ke depan, pesantren dijadwalkan akan menerima kunjungan Bupati.
Sebagaimana layaknya ajaran islam, akrimuu dloifakum (muliakanlah
tamu-tamumu), maka semua penghuni pesantren berlomba melaksanakan ajaran
tersebut. Keadaan pesantren yang sehari-harinya santai dan biasa-biasa
saja berubah seratus delapan puluh ribu derajat. Bagian seksi
perlengkapan sibuk menata tiap sudut ruangan. Dinding-dinding dicat
baru. Pagar-pagar dibenahi. MCK direnovasi, diberi pengharum ruangan
hingga fresh dan harum. Kamar hunian santri yang biasanya acak-acakan
dengan segala macam busana, baik luar maupun dalam, disulap menjadi
tempat yang indah dan menyenangkan. Sementara, seksi perdapuran sibuk
mempersiapkan menu yang akan disuguhkan pada bupati dan rombongan.
“Ada apa tho, Kang. Semua manusia kok mendadak jadi super sibuk sih.” tanya Petruk, santri yang sehari-harinya biasa dimintai tolong tetangga untuk memetik kelapa.
Zaenal yang ditanya mengernyitkan kening,”Sampean ini bagaimana tho, Kang. Lha wong pesantrennya bakal kedatangan priyayi agung macam Pak Bupati kok malah ndak tahu. Memangnya kuping sampean itu dimana, sih?” tutur Zaenal kesal.
Petruk malah cengengas-cengenges, tak peduli dengan penjelasan Zaenal. Dalam dunia perpondokan, Petruk memang dikenal sebagai santri yang super cuek. Maklum, Petruk adalah santri ngenger yang sehari-harinya jarang berada di pesantren. Seharian kadang berada di sawah milik Sang Kiai. Kalau tak ada kerjaan di ndalem, Petruk mencari pekerjaan di Kampung. Kadang memetik buah kelapa, mengisi jeding milik tetangga, dan lain sebagainya. Singkat kata, hanya pada malam hari saja Petruk Thalabul Ngilmi, alias ngasak ilmu di pesantren.
Hari-hari yang ditunggu pun datanglah. Sejak pagi menjelang, seluruh santri telah dipersiapkan menyambut kedatangan rombongan bupati. Petugas kebersihan sejak sholat subuh usai telah melakukan cek dan ricek. Semuanya telah siap seratus persen menyambut kedatangan tamu agung. Singkat cerita, Bupati beserta segenap rombongan telah terlihat berjalan-jalan meninjau keadaan pesantren. Dari kantor pengurus, kamar-kamar santri, ruang perpus, dapur, dan yang tak ketinggalan adalah koperasi pesantren yang terletak di ujung sebelah barat.
Setelah puas melihat, Pak Bupati tiba-tiba saja tercengang ketika sepasang matanya menatap ke sebuah tiang bendera yang terpancang di depan aula. Tiang bendera itu menjulang demikian tingginya hingga bendera yang terpasang berkibar demikian gagahya.
“Berapa tingginya tiang itu?" Bupati bertanya pada salah seorang santri, yang ternyata adalah Petruk, yang entah bagaimana tiba-tiba saja telah berada di samping rombongan bupati.
Petruk yang ditanya tak menjawab. Dia malah berlari ke ruang perlengkapan, mengambil seperangkat alat ukur. Lantas, dengan sangat cekatan memanjat tiang bendera bak seekor kera, sampai akhirnya berada di ujung yang paling atas.
Seluruh santri, tak terkecuali pak Bupati, terhenyak dengan yang dilakukan Petruk. Seluruhnya memendam rasa penasaran, disamping juga diliputi kecemasan, apalagi melihat tiang yang dinaiki Petruk pentiang-pentiung tidak kuat menahan berat badannya.
Dalam kecemasannya, Pak Bupati berteriak,”Hei, turun kamu. Turun!”
Petruk melongok ke bawah. Dia langsung melorot turun sebelum sempat menyelesaikan pekerjaan mengukur ketinggian tiang mendengar teriakan pak Bupati.
“Kamu ini tolol, apa bagaimana,” Tukas pak Bupati tatkala melihat Petruk telah berada dihadapannya,”Mestinya kamu mikir, pakai otak dong!” Pak Bupati menunjuk-nunjuk jidatnya.
“Maksud Pak Bupati?” Petruk hanya melongo.
“Kalau memang ingin mengukur, mestinya kamu rebahkan itu tiang. Kemudian kamu ukur diatas tanah. Jadi ndak usah petangkri’an seperti yang kamu lakukan barusan. Kalau kamu jatuh, kamu bisa celaka, tolol!”
“Lho, Pak Bupati ini bagaimana?” Tiba-tiba saja Petruk membela diri,“Mestinya Pak Bupati yang harus pakai otak. Mikir dong Pak,” ganti Petruk yang menunjuk-nunjuk jidatnya,“Kalau tiang itu saya rebahkan, kemudian saya ukur di atas tanah. Itu bukan tinggi, itu panjang namanya, Pak!”
Semua santri pun makin terkesima, sementara Kiai Basyar hanya tersenyum dikulum melihat kejadian itu. Oalah, Petruk..Petruk. (*)
“Ada apa tho, Kang. Semua manusia kok mendadak jadi super sibuk sih.” tanya Petruk, santri yang sehari-harinya biasa dimintai tolong tetangga untuk memetik kelapa.
Zaenal yang ditanya mengernyitkan kening,”Sampean ini bagaimana tho, Kang. Lha wong pesantrennya bakal kedatangan priyayi agung macam Pak Bupati kok malah ndak tahu. Memangnya kuping sampean itu dimana, sih?” tutur Zaenal kesal.
Petruk malah cengengas-cengenges, tak peduli dengan penjelasan Zaenal. Dalam dunia perpondokan, Petruk memang dikenal sebagai santri yang super cuek. Maklum, Petruk adalah santri ngenger yang sehari-harinya jarang berada di pesantren. Seharian kadang berada di sawah milik Sang Kiai. Kalau tak ada kerjaan di ndalem, Petruk mencari pekerjaan di Kampung. Kadang memetik buah kelapa, mengisi jeding milik tetangga, dan lain sebagainya. Singkat kata, hanya pada malam hari saja Petruk Thalabul Ngilmi, alias ngasak ilmu di pesantren.
Hari-hari yang ditunggu pun datanglah. Sejak pagi menjelang, seluruh santri telah dipersiapkan menyambut kedatangan rombongan bupati. Petugas kebersihan sejak sholat subuh usai telah melakukan cek dan ricek. Semuanya telah siap seratus persen menyambut kedatangan tamu agung. Singkat cerita, Bupati beserta segenap rombongan telah terlihat berjalan-jalan meninjau keadaan pesantren. Dari kantor pengurus, kamar-kamar santri, ruang perpus, dapur, dan yang tak ketinggalan adalah koperasi pesantren yang terletak di ujung sebelah barat.
Setelah puas melihat, Pak Bupati tiba-tiba saja tercengang ketika sepasang matanya menatap ke sebuah tiang bendera yang terpancang di depan aula. Tiang bendera itu menjulang demikian tingginya hingga bendera yang terpasang berkibar demikian gagahya.
“Berapa tingginya tiang itu?" Bupati bertanya pada salah seorang santri, yang ternyata adalah Petruk, yang entah bagaimana tiba-tiba saja telah berada di samping rombongan bupati.
Petruk yang ditanya tak menjawab. Dia malah berlari ke ruang perlengkapan, mengambil seperangkat alat ukur. Lantas, dengan sangat cekatan memanjat tiang bendera bak seekor kera, sampai akhirnya berada di ujung yang paling atas.
Seluruh santri, tak terkecuali pak Bupati, terhenyak dengan yang dilakukan Petruk. Seluruhnya memendam rasa penasaran, disamping juga diliputi kecemasan, apalagi melihat tiang yang dinaiki Petruk pentiang-pentiung tidak kuat menahan berat badannya.
Dalam kecemasannya, Pak Bupati berteriak,”Hei, turun kamu. Turun!”
Petruk melongok ke bawah. Dia langsung melorot turun sebelum sempat menyelesaikan pekerjaan mengukur ketinggian tiang mendengar teriakan pak Bupati.
“Kamu ini tolol, apa bagaimana,” Tukas pak Bupati tatkala melihat Petruk telah berada dihadapannya,”Mestinya kamu mikir, pakai otak dong!” Pak Bupati menunjuk-nunjuk jidatnya.
“Maksud Pak Bupati?” Petruk hanya melongo.
“Kalau memang ingin mengukur, mestinya kamu rebahkan itu tiang. Kemudian kamu ukur diatas tanah. Jadi ndak usah petangkri’an seperti yang kamu lakukan barusan. Kalau kamu jatuh, kamu bisa celaka, tolol!”
“Lho, Pak Bupati ini bagaimana?” Tiba-tiba saja Petruk membela diri,“Mestinya Pak Bupati yang harus pakai otak. Mikir dong Pak,” ganti Petruk yang menunjuk-nunjuk jidatnya,“Kalau tiang itu saya rebahkan, kemudian saya ukur di atas tanah. Itu bukan tinggi, itu panjang namanya, Pak!”
Semua santri pun makin terkesima, sementara Kiai Basyar hanya tersenyum dikulum melihat kejadian itu. Oalah, Petruk..Petruk. (*)
Pakai Otak dong, Pak Bupati!
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>