Reportase Pengajian Padhangmbulan 19/11/2002 (2)
"Ilmu berasal dari kata 'aalima: mengetahui secara mendalam. Kalau arifa atau ma'rifat itu mengetahui saja, tetapi tidak mendalam," demikian Cak Nun memulai uraiannya tentang pengertian ilmu dan ma'rifat pada sesi kedua Padhang mBulan 19 November 2002 setelah sebelumnya diselingi lantunan sholawat dari ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) dan acara inti Padhang mBulan yaitu tafsir Al-Qur’an yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Fuad Effendy yang di masyarakat Padhang mBulan lebih dikenal dengan panggilan Cak Fuad.
"'Alima - ya'lamu - 'ilman wa huwa 'aalimun wa daka ma'lumun itu mengerti, tidak hanya tahu tetapi mengerti. Kalau anda belajar filsafat modern ada dua pendekatan: ontologis dan mitis, bukan mistis tapi mitis".
"Pendekatan ontologis artinya pendekatan dengan jarak. Kalau saya ingin mengetahui sesuatu maka saya butuh jarak untuk meneropong sesuatu tersebut. Anda kuliah di kampus itu adalah pekerjaan mengambil jarak, disitu yang berhubungan adalah subyek dengan obyek. Jadi mahasiswa meneliti dari suatu jarak, subyeknya mahasiswa sedang obyeknya yang diteliti. Hubungan antara subyek dengan obyek seperti ini adalah hubungan manfaat bagi subyek dan belum tentu manfaat bagi obyek. Contoh: orang miskin setiap hari diteliti, skripsi tentang itu banyak tetapi nasib orang miskin dari dulu sampai sekarang tetap saja, karena dia hanya obyek. Itu namanya disiplin ontologis".
"Ilmu mempelajari sesuatu dengan pendekatan subyek kepada obyek. Ini baik sebenarnya, anda jadi tahu kayu itu sebenarnya apa, umpamanya. Atau kunyit itu kalau dicampur dengan sesuatu bisa menyembuhkan penyakit, itu diteliti." Demikian Cak Nun memberi contoh.
"Sekarang aku bertanya, bisakah engkau mengobyekkan Tuhan? Bisakah engkau adalah subyek dan Tuhan adalah obyek?" tanya Cak Nun, "Bisa," jawab Cak Nunn sendiri, "Tuhan sebagai obyek adalah Tuhan dijadikan stafnya, diperlukan sewaktu-waktu. Kalau menghadapi ujian Tuhan diperlukan, waktu mencari pekerjaan atau jodoh Tuhan diperlukan, waktu sakit Tuhan diperlukan tetapi begitu sehat Tuhan dilupakan. Itu namanya meng-obyek-kan Tuhan. Kadang-kadang Tuhan disuruh menjadi dokter, kadang-kadang Dia disuruh menjadi makelar pekerjaan dan sebagainya."
"Tuhan diperlakukan sebagai obyek sebagaimana buruh di perusahaan oleh majikannya, atau rakyat oleh pemerintahnya seperti saat ini. Bagi pemimpin parpol rakyat adalah obyek. Di dunia politik rakyat adalah obyek, di (bidang) ekonomi rakyat adalah obyek, kadang-kadang di dunia keagamaan santri/umat itu obyek dari kiai-nya".
"Sekarang saya bertanya lagi, apakah saya pernah meng-obyek-kan anda semua? Apakah saya pernah bikin proposal untuk menjual Padhang mBulan, Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat dan yang lainnya untuk kepentingan saya?" Sindir Cak Nun kepada pihak-pihak tertentu yang selama ini menuduh Cak Nun mencari massa untuk kepentingan dirinya dan untuk mendapatkan dana dari pihak-pihak tertentu.
"Ini sebagai contoh saja," lanjut Cak Nun, "makanya saya selalu bilang kepada anda, bahwa kalian itu jangan mengikuti saya, jangan menokohkan saya. Ikutilah Kanjeng Nabi sebab saya ini hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh Rosululloh SAW. Kalau kamu mengikuti dan menokohkan saya kamu akan kecewa. Itu saya menganggap anda adalah subyek bukan obyek, anda adalah orang yang punya kemandirian, punya akal, punya kecerdasan. Anda tidak hanya anggota jamaah Padhang mBulan, (tetapi) anda adalah orang muslim, cerdas, khalifatullah fil ard. Anda tidak harus datang kesini, yang penting Rasulullah selalu bersama-sama anda dimanapun juga, meskipun anda tidak ke pernah ke Padhang mBulan tidak masalah. Itu namanya saya berusaha untuk meng-subyek-kan anda semua".
"Nah, ilmu kecenderungannya adalah meng-obyek-kan sesuatu diluar dirinya untuk kepentingan si subyek. Di Jogja ada penelitian terhadap mahasisiwi yang hasilnya 98,3% mahasiswi di Jogja tidak perawan. Jadi untuk kepentingan ilmiah beberapa mahasiswi dijadikan sample dan ternyata hanya 2% yang masih perawan, pertanyaannya sampel itu diambil darimana? Kalau diambil dari Dolly yo 100% tidak perawan", ungkap CN masgul. " Kalau memang mau meneliti beneran ya semua mahasiswi di Jogja diteliti, lha ini tidak. Apakah bisa sampel tersebut mewakili seluruh mahasiswi Jogja? Jadi wanita diobyekkan".
"Ilmu berasal dari kata 'aalima: mengetahui secara mendalam. Kalau arifa atau ma'rifat itu mengetahui saja, tetapi tidak mendalam," demikian Cak Nun memulai uraiannya tentang pengertian ilmu dan ma'rifat pada sesi kedua Padhang mBulan 19 November 2002 setelah sebelumnya diselingi lantunan sholawat dari ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) dan acara inti Padhang mBulan yaitu tafsir Al-Qur’an yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Fuad Effendy yang di masyarakat Padhang mBulan lebih dikenal dengan panggilan Cak Fuad.
"'Alima - ya'lamu - 'ilman wa huwa 'aalimun wa daka ma'lumun itu mengerti, tidak hanya tahu tetapi mengerti. Kalau anda belajar filsafat modern ada dua pendekatan: ontologis dan mitis, bukan mistis tapi mitis".
"Pendekatan ontologis artinya pendekatan dengan jarak. Kalau saya ingin mengetahui sesuatu maka saya butuh jarak untuk meneropong sesuatu tersebut. Anda kuliah di kampus itu adalah pekerjaan mengambil jarak, disitu yang berhubungan adalah subyek dengan obyek. Jadi mahasiswa meneliti dari suatu jarak, subyeknya mahasiswa sedang obyeknya yang diteliti. Hubungan antara subyek dengan obyek seperti ini adalah hubungan manfaat bagi subyek dan belum tentu manfaat bagi obyek. Contoh: orang miskin setiap hari diteliti, skripsi tentang itu banyak tetapi nasib orang miskin dari dulu sampai sekarang tetap saja, karena dia hanya obyek. Itu namanya disiplin ontologis".
"Ilmu mempelajari sesuatu dengan pendekatan subyek kepada obyek. Ini baik sebenarnya, anda jadi tahu kayu itu sebenarnya apa, umpamanya. Atau kunyit itu kalau dicampur dengan sesuatu bisa menyembuhkan penyakit, itu diteliti." Demikian Cak Nun memberi contoh.
"Sekarang aku bertanya, bisakah engkau mengobyekkan Tuhan? Bisakah engkau adalah subyek dan Tuhan adalah obyek?" tanya Cak Nun, "Bisa," jawab Cak Nunn sendiri, "Tuhan sebagai obyek adalah Tuhan dijadikan stafnya, diperlukan sewaktu-waktu. Kalau menghadapi ujian Tuhan diperlukan, waktu mencari pekerjaan atau jodoh Tuhan diperlukan, waktu sakit Tuhan diperlukan tetapi begitu sehat Tuhan dilupakan. Itu namanya meng-obyek-kan Tuhan. Kadang-kadang Tuhan disuruh menjadi dokter, kadang-kadang Dia disuruh menjadi makelar pekerjaan dan sebagainya."
"Tuhan diperlakukan sebagai obyek sebagaimana buruh di perusahaan oleh majikannya, atau rakyat oleh pemerintahnya seperti saat ini. Bagi pemimpin parpol rakyat adalah obyek. Di dunia politik rakyat adalah obyek, di (bidang) ekonomi rakyat adalah obyek, kadang-kadang di dunia keagamaan santri/umat itu obyek dari kiai-nya".
"Sekarang saya bertanya lagi, apakah saya pernah meng-obyek-kan anda semua? Apakah saya pernah bikin proposal untuk menjual Padhang mBulan, Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat dan yang lainnya untuk kepentingan saya?" Sindir Cak Nun kepada pihak-pihak tertentu yang selama ini menuduh Cak Nun mencari massa untuk kepentingan dirinya dan untuk mendapatkan dana dari pihak-pihak tertentu.
"Ini sebagai contoh saja," lanjut Cak Nun, "makanya saya selalu bilang kepada anda, bahwa kalian itu jangan mengikuti saya, jangan menokohkan saya. Ikutilah Kanjeng Nabi sebab saya ini hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh Rosululloh SAW. Kalau kamu mengikuti dan menokohkan saya kamu akan kecewa. Itu saya menganggap anda adalah subyek bukan obyek, anda adalah orang yang punya kemandirian, punya akal, punya kecerdasan. Anda tidak hanya anggota jamaah Padhang mBulan, (tetapi) anda adalah orang muslim, cerdas, khalifatullah fil ard. Anda tidak harus datang kesini, yang penting Rasulullah selalu bersama-sama anda dimanapun juga, meskipun anda tidak ke pernah ke Padhang mBulan tidak masalah. Itu namanya saya berusaha untuk meng-subyek-kan anda semua".
"Nah, ilmu kecenderungannya adalah meng-obyek-kan sesuatu diluar dirinya untuk kepentingan si subyek. Di Jogja ada penelitian terhadap mahasisiwi yang hasilnya 98,3% mahasiswi di Jogja tidak perawan. Jadi untuk kepentingan ilmiah beberapa mahasiswi dijadikan sample dan ternyata hanya 2% yang masih perawan, pertanyaannya sampel itu diambil darimana? Kalau diambil dari Dolly yo 100% tidak perawan", ungkap CN masgul. " Kalau memang mau meneliti beneran ya semua mahasiswi di Jogja diteliti, lha ini tidak. Apakah bisa sampel tersebut mewakili seluruh mahasiswi Jogja? Jadi wanita diobyekkan".
"Jadi ilmu meng-obyekkan sesuatu, termasuk orang, Tuhanpun diobyekkan, sehingga saya merasa geli kalau ada ilmuwan mengatakan, marilah kita ciptakan masyarakat ilmiah..."
"Intinya, ma'rifat itu satu perhubungan tidak antara subyek dengan obyek, tetapi antara subyek dengan subyek. Disini batas-batasnya berbeda, kepentingannya berbeda. Kalau kita sama Tuhan hubunyannya ilmiah, anda buntu. Tidak bisa ilmu anda menterjemahkan Allah. Jadi cukup ma'rifat".
"Ma'rifat itu pokoknya, apakah Allah itu laki-laki atau perempuan, punya kaki atau tidak saya tidak peduli, yang saya tahu adalah seperti apa yang sudah diinformasikan oleh Allah sendiri, bahwa Dia itu Rohmaan, Rohiim, Malik, Qudus, Jabbar, Mutakkabbir. Ya itu yang saya ikuti dan imani. Selebihnya bukan itu yang penting, yang penting adalah aku trisno apa tidak kepada Allah, itulah yang disebut subyek. Urusannya bukan siapa Allah, apa itu Allah, dimana letakNya, seberapa besarNya. Bukan itu. Kalau seperti itu namanya ilmu, Tuhan tidak usah kita sikapi dengan ilmu".
"Tadi saya menjelaskan mengenai dimanapun engkau berada sebisa mungkin menemukan Allah. Nah Allah tidak bisa engkau temukan secara ilmiah, sebab kalau ilmiah harus melalui penelitian, analisis dan tampak di mata. Mau pakai metode apa kita meneliti Allah? Maka sikap kita kepada Allah adalah sikap ma'rifat bukan sikap ilmiah. Kalau sikap ma'rifat gampang, embuh jane Gusti Allah iku piye? Tan kinoyo ngopo tan keno kiniro (entah Allah itu sebenarnya bagaimana, tidak bisa dikira dan dibayangkan), laisa kamitsfiihi syai'un, Aku (kata Allah) kamu bayangkan seperti apapun pasti keliru. Sing penting aku nglakoni (yang penting aku menjalankan) hal-hal yang membuat aku dekat dengan Allah dan menjauhi hal-hal yang membuat Dia menjauh dariku. Itu namanya hubungan ma'rifat".
"Hubungan ma'rifat itu harus bisa kita terapkan diantara kita, pemerintah harus bisa me-ma'rifat-i rakyatnya. Makanya saya kalau menterjemahkan al-ma'ruf, Cak Fuad saya mohon kalau salah dibenahi (Cak Nun memohon agar Cak Fuad ikut mengoreksi), ya'muruuna bil ma'ruf wa yanhauna 'anil munkar, selama ini al-ma'ruf itu diterjemahkan kebaikan, khoir itu juga kebaikan. Cak Fuad menjelaskan, khoir adalah kebaikan yang menyeluruh, yang universal. Sedang ma'ruf adalah kebaikan yang khusus. Sebagaimana rohman adalah cinta yang meluas, cinta yang universal, rohiim adalah cinta yang khususon. Rohman adalah cinta dalam dimensi ruang, sedang rohiim adalah cinta dalam dimensi waktu". "Cinta universal Allah hanya berlaku di bumi, tetapi cinta rohiimnya Allah kepada kekasih-kekasihNya tidak hanya berlaku di bumi, tidak terbatas pada sejarah waktu di bumi tetapi berlaku sampai keabadian di akherat, maka ruang dan waktu".
"Jadi saya mencoba mencuri pemahaman ya'muruuna bi-lma'ruuf, sesungguhnya adalah menganjurkan atau menyuruh kita semua untuk mema'rifati apa saja. Misalnya kepada tetangga nggak usah kita selidiki, tak usah bersikap ilmiah tetapi bersikaplah ma'rifat, yaitu apa yang harus kta lakukan supaya rukun sama tetangga dan apa yang tidak boleh kita lakukan supaya tidak bentrok dengan tetangga".
"Bukannya saya tidak setuju dengan sikap ilmiah, tetapi itu ada tempatnya masing-masing. Kepada istri atau suami tidak usah pakai sikap ilmiah, karena kita akan gila sendiri, cukup pakai sikap ma'rifat...yang penting bukan bodynya atu wajahnya (kok sekarang berubah tidak seperti dulu?) tetapi bagaimana mbangun katresnan terus-menerus dari hari ke hari. Jelas ya, kapan kita harus bersikap ilmiah dan kapan kita harus bersikap ma'rifat". Kalau saling meng-ilmu-ni (Bersikap ilmiah) antar bangsa akan saling berperang.
Untuk melengkapi uraian di atas, sebelum menutup acara Cak Fuad menambahi penjelasan mengenai ma'ruf dan khoir, bahwa pengertian ma'ruf dan khoir itu ada dalam satu ayat yang menyebutkan khoir dan ma'ruf sekaligus jadi satu, waltakum minkum ummatun yad'uuna ilal khoir mengajak pada kebaikan, yad'uuna ilal khoir. Ya'muruuna bil-ma'ruuf, mereka menyerukan alma'ruf, kebaikan lagi kan terjemahannya seringkali, wa yanhauna 'anil munkar dan mencegah kemungkaran.
Jadi memang ma'ruf dan khoir bisa disebut terjemahannya dengan kebaikan, tetapi ada bedanya, khoir itu sifatnya universal, ma'ruf itu terkait dengan ruang dan waktu. Jadi misalnya menutup aurot itu adalah khoir, saya kira semua agama itu mengajarkan menutup aurot, tetapi bagaimana wujud menutup aurot itu, itu yang bisa berbeda antara satu agama dengan agama lain, antara satu tempat dengan tempat lain. Dulu ibu-ibu yang namanya menutup aurot itu pakai kebaya, pakai jarit dan kerudung panjang. Waktu itu sudah ma'ruf, tapi dalam perjalanan waktu sekarang berubah, yang namanya busana muslim itu lebih rapat dari itu. Menghormati orang tua misalnya, itu khoir, tapi cara orang Jogja berbeda dengan cara orang Jombang. Itu namanya ma'ruf, bisa berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, kita harus hati-hati. Jadi untuk bisa menempatkan ma'ruf tentunya harus mengetahui situasi dan kondisinya.
Kemudian berkaitan dengan ma'rifat tadi, makanya didalam tasyawuf itu kalau kepada Allah ma'rifat, ma'rifatulloh, tidak ada istilah ilmulloh. Ngelmuni Allah tidak ada tetapi me-ma'rifat-i Allah. Karena masalahnya seperti tadi Allah itu tidak bisa diobservasi, padahal penelitian ilmiah harus bisa diobservasi, apapun harus bisa diobservasi baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ilmiah.
Dakan ma'rifat itu ada istilah lain yaitu ta'aruf, saling mengenal inna kholaqnakum li ta'arofu, untuk saling ta'aruf bukan saling mengilmuni. Kalau saling mengilmuni akan sering terjadi peperangan antar bangsa, karena akan saling menyelidiki bangsa ini punya apa, bangsa itu punya apa. Bangsa ini kelemahannya apa, bangsa yang lain lagi punya kelemahan apa, dan itu bukan untuk kepentingan dan kebaikan bangsa yang diselidiki tetapi untuk kepentingan bangsa yang bersangkutan sendiri, subyek tadi itu, itu kalau hubungan ilmu. Tapi kalau hubungan yang dianjurkan oleh Islam dalam Al-Qur'an tadi antar bangsa, antar manusia, laki-laki dan perempuan itu adalah li ta'arufi.***
Sumber: Catatan Liputan Rudd Blora
Beda Antara Ilmu dan Makrifat
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>