Pembuka.
Mei, sebelas tahun lalu. Keputusan Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya tetap saja mengejutkan berbagai pihak. Seorang ‘raja’ yang berkuasa selama 32 tahun --sangat perkasa-- tiba-tiba memilih, dengan terpaksa, menjadi rakyat biasa. Lebih mengagetkan lagi, di depan kamera TV, yang disaksikan jutaan rakyat Indonesia, menyatakan dalam bahasa ngoko jawatimuran berucap: “Ora dadi presiden ora patheken.” Ternyata kata-kata itu yang ngajari Emha Ainun Nadjib. Emha sendiri kaget, “kok bisa-bisanya saya ngajarin Presiden.”
Mei, sebelas tahun lalu. Keputusan Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya tetap saja mengejutkan berbagai pihak. Seorang ‘raja’ yang berkuasa selama 32 tahun --sangat perkasa-- tiba-tiba memilih, dengan terpaksa, menjadi rakyat biasa. Lebih mengagetkan lagi, di depan kamera TV, yang disaksikan jutaan rakyat Indonesia, menyatakan dalam bahasa ngoko jawatimuran berucap: “Ora dadi presiden ora patheken.” Ternyata kata-kata itu yang ngajari Emha Ainun Nadjib. Emha sendiri kaget, “kok bisa-bisanya saya ngajarin Presiden.”
Mei 1998, adalah peristiwa teramat penting bagi bangsa Indonesia. Sebuah catatan sejarah tertorehkan. Puncak dari rentetan peristiwa demi peristiwa. Beberapa bulan sebelumnya, masyarakat dan mahasiswa di seluruh negeri telah menebarkan kritikan-kritikan tajam terhadap pemerintahan Soeharto yang sekian lama menerapkan kebijakan represif dan diktator. Berbagai elemen masyarakat seolah bersatu; mahasiswa, kaum intelektual, akademisi, seniman, buruh, agamawan; kian berani melontarkan wacana-wacana yang menyerang pemerintah. Disertai dengan merebaknya demonstrasi di berbagai kota; Medan, Bandung, Surabaya, Jogjakarta dan Jakarta. Tema-tema yang diusung bermacam-macam: Turunkan Harga Sembako, Hapuskan SDSB, Ganti Orba, Turunkan Soehato dan Reformasi. Istilah ‘Reformasi’ inilah yang akhirnya menjadi jargon utama.
Saya ingin mengurai beberapa fakta yang kurang mendapat perhatian khalayak. Fakta-fakta yang kurang di blow-up oleh media dan luput dari mripat para ahli sejarah. Sebuah peristiwa sejarah, betapapun kecilnya, bisa jadi tidak menjadi catatan sejarah. Tentu saja tulisan ini hanya salah satu sudut pandang, yang mungkin saja masih belepotan dengan subyektifitas.
Dua bulan sebelumnya, 11 Maret 1998, Soeharto dan BJ Habibie diangkat dan disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 14 Maret 1998 Kabinet Pembangunan VII diumumkan. Masyarakat yang sudah apatis dengan pemerintahan baru justru semakin menunjukkan sikap politiknya. Menolak pemerintahan baru. Reformasi harus diterapkan secara total.
Soeharto bukannya tidak tahu, 15 April 1998, alih-alih memenuhi permintaan rakyat, justru menghimbau kepada para demonstran, terutama mahasiswa untuk mengakhiri demonstrasi dan kembali ke kampus. Bahkan melalui Menteri Dalam Negeri, Hartono dan Menteri Penerangan, Alwi Dachlan, menyatakan: reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
Demonstrasi besar-besaran tak terelakkan lagi. Kerusuhan mulai terjadi di Medan, 5 Mei 1998. Soeharto tetap tidak menggubris, justru berangakt ke Mesir, 9 Mei 1998, untuk menghadiri pertemuan KTT G-15.
Dalam pengajian Padhang Bulan, 11 Mei 1998, Emha mengajak jamaah untuk wiridan atau membaca zikir sebanyak-banyaknya karena besok paginya akan terjadi sesuatu yang menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia.
Benar. 12 Mei 1998, tiba-tiba terjadi penembakan empat mahasiswa di Universitas Tri Sakti Jakarta, yang sedang melakukan demo secara damai di dalam kampus, Satu dua hari berikutnya, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta mendatangi Universitas Tri Sakti untuk menyatakan duka cita. Juga diakhiri dengan kerusuhan.
14 Mei 1998, terjadi kerusuhan besar-besaran. Mobil, motor, gedung, POM Bensin dibakar massa. Penjarahan dimana-mana. Pusat perbelanjaan diburu massa, barang-barangnya dirampok dan gedungnya dibakar. Aparat keamanan seolah membiarkan.
Beberapa tokoh; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Emha Ainun Nadjib, Ekky Syahruddin, Fahmi Idris dan beberapa yang lain kemudian mengadakan pertemuan di Hotel Regent, Jakarta, pada 16 Mei 1998. Mereka membuat semacam draf untuk disampaikan kepada Soeharto yang intinya untuk secara legowo mundur dari kursi kepresidenan. Lengser Keprabon, Mandeg Padhito. Draft naskah ini diberi judul Khusnul Khatimah oleh Nurcholish Madjid, karena isinya lebih pada niat, kesadaran dan konteks khusnul khatimah.
Naskah ini kemudian dikonfrensi-perskan pada tanggal 17 Mei 1998 di Hotel Wisata Internasional, Jakarta. Esoknya, 18 Mei 1998, isi dan pokok-pokok pikiran naskah disampaikan Mensesneg Syaadillah Mursyid kepada Soeharto, dan langsung dipelajari. Beberapa jam berikut, Syaadillah dipanggil Soeharto dan menyatakan bersedia mengikuti saran-saran untuk mundur dan meminta untuk bertemu dengan orang-orang yang menyarankan untuk lengser secara khusnul khatimah.
19 Mei 1998 pukul 09.00 Wib, Emha Ainun Nadjib, dengan bersepatu pinjaman, mendatangi Istana Negara bersama dengan delapan orang tokoh lain memenuhi permintaan Soeharto. Mereka adalah: KH Abdurrahman Wahid, KH Ali Yafie, Prof. Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja dan KH Ma'aruf Amin. Tujuan utama pertemuan ini adalah merundingkan bagaimana prosedur turun jabatan yang terbaik untuk seluruh pihak dari bangsa Indonesia. Cara konstutusional, arif dan tidak menimbulkan gejolak dan memperparah kondisi sosial masyarakat yang sedang rentan.
Dalam pertemuan selama 2.5 jam itu, Ali Yafie yang mengawali pembicaraan bahwa Pak Harto harus mundur. Kemudian diikuti oleh Emha, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Yusril Ihza Mahendra dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kata-kata yang meluncur dari mulut Gus Dur justru mengagetkan orang-orang yang hadir, tidak garang seperti biasanya: “Selama ini saya bayangkan Pak Harto itu monster, ternyata pagi ini saya temukan Pak Harto ini manusia.”
Tiga gagasan yang diajukan kepada Pak Harto adalah: Soeharto turun, MPR-DPR bubar dan dibentuk Komite Reformasi. Komite Reformasi memegang kekuasaan sementara dan segera mengangkat Pejabat Kepala Negara Sementara, kala itu tidak lain dan tak ada orang lain kecuali Amien Rais.
Nurcholish Madjid menyarankan dengan tegas agar Pak Harto sendirilah yang memimpin reformasi, dengan asumsi agar proses peralihan kekuasaan diminimalisir tingkat konflik sosialnya. Saran agar Pak Harto memimpin reformasi harus difahami dalam konteks khusnul khatimah. Justru orang yang banyak melakukan kesalahan-kesalahan di masa lalu yang harus bertanggungjawab mereformasi. Memulai reformasi dari dalam diri sendiri, memperbaikinya dan mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahannya serta membayarkan sesuatu yang harus dibayar, mengembalikan sesuatu yang harus dikembalikan, sesuai hukum positif (hukum agama dan perundang-undangan yang berlaku).
Komite Reformasi ini semacam MPR Sementara yang bertugas selama enam bulan dengan agenda mengubah Undang-undang Partai Politik dan Pemilu serta mempersiapkan dan menyelenggarkan Pemilu. Komite ini terdiri orang-orang yang berkompeten, dan dikenal sebagai reformis progresif. Mereka antara lain: Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Kardinal J Darmaatmadja, Amien Rais, Abdul Qadir Djaelani, Adnan Buyung Nasution, YB Mangunwijaya, Kwik Gian Gie, Ali Sadikin, Daniel Sparingga, Muladi, Ismail Suny, I Ketut Puja, Eggi Sudjana, Soelarso Sopater, Adi Sasono, Affan Gaffar, Arbi Sanit, Ahmad Tahir, Ahmad Tirtosudiro, Ahmad Bagdja, Akbar Tanjung, Albert Hasibuan, Anwar Harjono, Anas Urbaningrum, AM Fatwa, Abdul Malik Fadjar, Harun Al Rasyid, Hartono Mardjono, Ismael Hassan, Joewono Soedarsono, Soedharmono, Suhardiman, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, Rektor UI, Rektor UGM, Rektor Undip, Rektor Unair, Rektor Unpad, Rektor IPB, Rektor UI, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, bahkan tambahan dari unsur Ormas dan LSM.
Emha dan Cak Nur di Istana Negara, setengah jam sebelum pertemuan sembilan orang dengan Pak Harto, bersepakat dan berjabat tangan, bersumpah tidak akan ikut dalam Komite Reformasi dan kekuasaan pasca Komite Reformasi membentuk pemerintahan baru. Hal ini semata-mata untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang dilakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Cak Nur tetap keukeuh, konsisten, meskipun Pak Harto memohon-mohonnya untuk ikut bergabung.
Amien Rais marah besar terhadap Cak Nur. Pada 20 Mei 1998 sebelum konfrensi pers Cak Nur dituding-tuding oleh Amien Rais soal Komite Reformasi yang digagasnya. Amien beranggapan bahwa Komite Reformasi sebagai strategi licik dari Pak Harto yang tetap ingin berkuasa. Cak Nur hanya tersenyum.
Namun Komite Reformasi ini kemudian disalahpahami oleh kebanyakan kaum reformis. Ada anggapan sembilan tokoh yang bertemu Pak Harto menginginkan kekuasaan. Disamping itu, kebanyakan pihak tidak bersepakat bahwa Pak Harto ada di dalam Komite Reformasi.
Malam. Jalan Indramayu No. 14 Jakarta, 20 Mei 1998. Cak Nur berucap: “Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek, tidak boleh menulis sendiri isi ceknya. Bukan cek kosong!”
23.00 Wib. Emha menghubungi beberapa sahabatnya untuk mengontak wartawan lokal maupun asing. Konfrensi pers segera dilaksanakan. Mereka sudah siap dengan tugas masing-masing. Utomo Dananjaya akan membuka acara. Emha yang menjelaskan secara lisan tentang akan lengser-nya Pak Harto besok 21 Mei 1998. Cak Nur akan membacakan statemen yang telah rapi diketik Emha:
“Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan Bangsa dan Negara, dengan ini menyatakan:
1. Sesudah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap belau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi.
2. Kami bersepakat bahwa Presiden BJ Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.
3. Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme.
4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi serta UU Pers; sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi.
5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru.
6. Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.
Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 Wib
Tertanda:
Nurcholish Madjid
Emha Ainun Nadjib
A Malik Fadjar
Utomo Danandjaya
S Drajat
Secara tiba-tiba, menjelang konfrensi pers Amien Rais datang. Mereka saling berbasa-basi dan berjabat tangan. Cak Nur sempat ngobrol beberapa saat dengan Amien Rais. Yang lain menunggu di ruang lain. Kemudian apa yang terjadi di luar skenario. Cak Nur masuk langsung membacakan pernyataan tanpa acara dibuka oleh Utomo Danandjaya dan penjelasan lisan latar belakang dari pernyataan tersebut oleh Emha sebagaimana yang telah disepakati dari awal. Dalam pembacaan pernyataan di depan para wartawan lokal dan asing, ada beberapa kesalahan diucapkan oleh Cak Nur, sehingga harus re-take. Semua berdebar menunggu. Di akhir pembacaan Cak Nur mengucap:
Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 Wib
Tertanda:
Nurcholish Madjid
Amien Rais
Menjelang Penutup.
Inilah sejarah. Sejarah bisa menjadi hitam atau putih. Bisa juga menjadi abu-abu. Kekuasaan dan kebesaran adalah impian. Apapun jalannya harus digapainya. Kejujuran dan kerendahhatian hanya ada dalam kitab-kitab suci. Wallahu a’lam.
Penutup.
Sumber:
- Catatan lepas Emha Ainun Nadjib, 2,5 Jam Bersama Soeharto
- Emha Ainun Nadjib, Ikrar Khusnul Khatimah
- Beberapa Media
- Pergaulan dengan Emha
Catatan: Munzir
FB Komunitas Kenduri Cinta
Lengser : Reformasi Yang Dicuri
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>