TAK ADA yang bisa dilakukan oleh Kang Thowil selain berdiri mematung menatapi pemandangan disekelilingnya yang membuat batinnya miris. Sejauh mata memandang, yang terpampang adalah hektaran sawah dengan tanaman porak poranda. Genangan air bercampur lumpur telah membuat tanaman padi siap panen itu menjadi onggokan benda yang tak ubahnya sampah, timbul tenggelam dipermainkan semilir angin yang menciptakan riak-riak kecil. Dan lelaki itu, tanpa sepatah kata mencoba menyibakkan batang demi batang, seperti berusaha memungut harapan hidupnya yang terserak tak keruan entah kemana.
Dia kemudian menghela nafas. Sesuatu dirasakannya begitu berat menghimpit rongga dadanya. Sungguh berat. Bahkan untuk sekedar menarik nafas pun terasa susah. Kenyataan yang dihadapinya sekarang menjelma ribuan jarum dihunjamkan begitu saja kerelung hatinya. Menusuk-nusuk kemanusiaannya. Dan batinnya terasa begitu perih. Ah, andai saja ia menuruti perkataan istrinya beberapa waktu yang lalu, tentu kenyataan akan berkata lain. Tentu ia masih memiliki sejumlah harapan. Dan yang paling pasti ia tidak akan mengalami kejadian seperti pagi ini.
"Kenapa tidak kita panen saja kang, toh hanya tanaman ini yang bisa kita harapkan memenuhi kebutuhan kita. Apa Akang tidak malu terus-terusan ditagih sama Lek Sakri," Itu saran istrinya seminggu yang lalu, ketika keduanya tengah menghalau padi yang telah menguning itu dari serbuan pipit.
"Ndak usah terburu-buru bune, mungkin seminggu atau dua minggu lagi padi ini kita panen. Biarlah aku nanti yang ngomong sama Lek Sakri, yang penting kan, ada yang kita jagakne untuk melunasi hutang."
Dan ia memang hanya seorang manusia, yang tak pernah tahu dengan apa yang terjadi esok. Bahkan dengan kejadian semenit yang akan datang adalah sebuah misteri. Sama sekali ia tak menyangka jika takdir yang kembali memaksanya harus menelan kegetiran demi kegetiran.
Lelaki itu, Kang Thowil, demikian orang biasa memanggilnya, memang petani yang seluruh penghidupannya hanya bertumpu pada sawah. Bagi lelaki setengah baya itu, sawah adalah muara dari berliku-likunya air sungai persoalan kehidupan yang sehari-hari digelutinya. Mulai dari sambatan si Iwik, anak semata wayangnya yang merengek-rengek minta dibelikan seragam sekolah, lantaran seragam yang sekarang dipakainya telah layak beralih profesi sebagai serbet. Juga hutangnya pada Lek Sakri, yang hampir setengah tahun belum mampu ia lunasi. Apalagi istrinya yang mengeluhkan biaya hidup yang makin membengkak dari hari kehari, semenjak kenaikan BBM yang kata pemerintah memang sudah tak bisa ditunda-tunda lagi. Apalagi yang bisa ia janjikan selain harapan yang seluruhnya ia tumpuhkan pada sebidang tanah yang berada di ujung desa.
Sebenarnya, sebagai seorang kepala rumah tangga, ia memang telah mencari jalan lain dalam mengatasi ekonomi keluarga dengan tidak hanya mengandalkan sawah. Berbagai pekerjaan, asalkan halal pernah ia alami. Mulai dari menjadi kuli batu di kota, menjadi tukang serabutan di pasar, menggali pasir, bahkan sebagai pemulung pernah ia lakukan. Tapi berapa penghasilan pekerja yang tidak jelas pendidikannya itu. Belum lagi ia harus menuruti kemauan bibirnya untuk merasakan sebatang atau dua batang rokok. Apa kemudian ia harus mengikuti jejak Kang Samin dengan menjadi TKI, sementara ia pernah mendengar dari sang Ustadz, bahwa kunci kebahagiaan itu adalah jika rezeki seseorang ada pada negerinya sendiri. Ia tak bisa membayangkan jika harus meninggalkan istri dan anaknya dalam waktu yang sekian lama.
Lantas ketika banjir itu datang begitu saja secara tiba-tiba...........
Ada beribu tanya yang tak pernah mampu ia jawab. Ada setumpuk beban memenuhi rongga dadanya yang menyebabkan ia merasa sesak. Barangkali benar, bahwa keresahan adalah ketika harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwa penderitaan adalah, ketika yang bersemayam dalam angan-angan adalah setetes madu, namun yang dihadapi adalah sebotol racun yang siap menelan nyawa kehidupannya, kapan saja dan dimana saja. Namun apa yang bisa diperbuat oleh seorang manusia, apalagi bagi seorang wong cilik macam ia?
***
Bagi orang susah sepertinya, Kang Thowil tak pernah berharap bisa menjadi orang kaya, seperti tetangganya yang setiap hari bisa ganti mobil sesuka hati, yang tiap tahun bahkan bisa pergi haji ke tanah suci. Tak pernah sedikitpun terbersit dihatinya keinginan memiliki rumah dan mobil mewah, apalagi tanah berhektar-hektar. Yang didambakannya selama ini sederhana sebagai orang kecil, ialah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa pernah dikejar-kejar hutang. Ia ingin bisa memberikan makan bagi anak dan istrinya tanpa mengalami kesulitan. Ia hanya ingin hidup wajar sebagaimana layaknya manusia.
Namun ketika kesulitan demi kesulitan selalu saja mengepungnya dari hari ke hari. Kang Thowil mendapatkan dirinya berubah menjadi seekor cacing kepanasan ditengah terik matahari. Ia mengeliat-geliat kepayahan, jempalitan tak karuan bagai seekor kambing yang baru saja disembelih. Dan itu barangkali yang membuatnya terengah-engah, dari waktu kewaktu.
"Kita mesti sabar Kang. Apapun semua ini telah menjadi kehendak Gusti Kang Murbeng Dumadi. Kita mesti nrimo. Ndak mungkin kita protes dengan kegagalan panen ini. Beliau pasti memiliki alasan sendiri yang tak bisa kita duga. Pasti ada sesuatu yang bisa kita petik dari keadaan ini," Tutur istrinya berusaha menghibur.
Kang Thowil hanya diam. Barangkali memang beginilah hidup, demikian ia membatin. Tapi kenapa kehidupan itu tak pernah memberikan ruang kepadanya? Kenapa kehidupan selalu tak mengizinkan dirinya dapat bergerak leluasa, setidaknya untuk hanya sekedar menggerakkan tangan dan kepala? Ia benar-benar tak pernah mengerti.
***
Dan ketidak-mengertian itu semakin menjadi-jadi ketika ia mengikuti sholat jumat di masjid, Sang Khatib dengan tegas menyuarakan khutbah dari atas mimbar:
"Saudara-saudara, kita semua memang sedang susah. Banjir menyebabkan kita tak bisa panen tahun ini, padahal panen itulah satu-satunya harapan bagi kita yang setahun hanya bisa memanen sekali. Namun satu hal yang ingin saya sampaikan, anggaplah kesusahan ini sebagai isyarat, bahwa kita semua sedang menjalani ujian dari Tuhan. Bahwa kita ternyata masih dikepung oleh kasih sayang-Nya. Bukankah salah satu pertanda bahwa kita masih diperhatikan oleh-Nya adalah dengan keharusan menjalani laku ujian yang akan menentukan kadar kesetiaan kita masing-masing? Bukankah sangat indah kalau kita semua masih berada dalam naungan perhatian-Nya? Maka hanya orang-orang yang sanggup bersabar saja yang akan memperoleh kemulyaan tertinggi dihadapan-Nya."
Padahal beberapa waktu yang lalu, seorang kyai muda pernah juga mendengar ceramah:
"Cobaan hanya berlaku bagi orang-orang yang sanggup meletakkan diri diwilayah-wilayah keridlaan-Nya. Fungsi akhir dari cobaan tak lain untuk menguji seberapa jauh dan dalam kesetiaan seseorang kepada-Nya. Kalau kemudian ia sukses, patut diacungi jempol bahwa kesetiaannya betul-betul telah teruji. Dan ia pun meraih predikat yang setingkat lebih tinggi dibanding kedudukan sebelumnya.”
"Dan peringatan adalah sebuah bentuk mekanisme, ketika seorang hamba yang menyatakan diri bersetia kepada-Nya itu tiba-tiba saja terjatuh di jurang yang digali oleh iblis, yang merupakan kebalikan sisi mata uang dari pancaran cahaya. Maka Tuhan dengan bersegera akan menurunkan tangga peringatan kepadanya agar bisa naik kembali ke permukaan, dan ia pun dapat kembali merengkuh cahaya dalam menelusuri jalan panjang kehidupan."
"Kemudian azab merupakan bentuk siksaan. Ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah jauh menyebrang dari garis yang ditentukan oleh-Nya. Dan ingatlah, bahwa azab Tuhan itu sangat-sangat pedih."
Kang Thowil masih ingat, ceramah itu disampaikan oleh seorang kyai muda yang sengaja didatangkan ke desanya untuk mengisi acara rutinan di masjid. Dan ia juga ingat betul, betapa ceramah itu disampaikan selang sehari sebelum bencana banjir itu terjadi.
Lantas sekelumit pertanyaan tiba-tiba saja menyelimuti batinnya. Bencana yang beruntun menyelimuti desa ini, mulai angin topan yang memporak-porandakan rumah penduduk, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, bencana banjir, penyakit yang demikian beraneka ragam, dan entah apa lagi bencana yang akan datang kemudian. Betulkah itu semua merupakan sebentuk ujian dari Tuhan?
Kang Thowil tiba-tiba memendam semacam kekawatiran. Jangan-jangan semua yang telah berlangsung itu adalah sebentuk peringatan, bahwa kelakuan manusia benar-benar telah melampaui batas. Namun siapa yang bisa menjamin, bahwa semua itu bukan sebentuk azab yang telah diturunkan-Nya?
****
Kekhawatiran yang demikian itu memang bukan sesuatu hal yang tidak berdasar. Kang Thowil sebagai seorang warga yang telah mendiami sekian puluh tahun tanah perdesaan itu tentu tahu betul dengan perilaku kehidupan warga setempat. Ia pasti tahu itu karena setiap hari terlibat secara langsung.
Tentang bagaimana sikap orang-orang dalam menjalani kehidupan. Juga perilaku petinggi desa yang sudah tidak lagi mencerminkan sifat sebagai seorang pemimpin, bahkan dengan terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Sehingga untuk meraih kekuasaan itu diperlukan berbagai cara, biarpun harus mengorbankan berlembar-lembar rupiah, atau harus keluar dari koridor aturan-Nya.
Lantas ketika peraturan langit hanya dapat bersuara di kolong-kolong masjid. Ketika kedudukan Tuhan selalu ditempatkan dalam nomor kesekian dalam setiap urusan. Ketika Tuhan beralih fungsi menjadi buruh yang harus mengerjakan perintah-perintah. Apakah hal semacam itu belum cukup dijadikan alasan bahwa Tuhan sudah benar-benar muak dengan perilaku mereka. Sehingga tidak ada alasan bagi-Nya untuk tidak menurunkan azabnya?
Kang Thowil benar-benar tak habis pikir, betapa manusia-manusia zaman sekarang telah memiliki keberanian luar biasa dalam menjalani hidup, tanpa peduli dengan batasan yang ditentukan oleh si pemberi kehidupan itu sendiri. Alangkah beraninya mereka untuk tidak pernah merasa malu bahwa setiap saat mereka selalu diawasi. Bahwa suatu saat nanti mereka pasti akan kembali kepada-Nya tanpa membawa apa-apa, selain benih-benih kebajikan yang telah ditanamnya.
Maka kekawatirannya semakin bertambah-tambah, ketika orang-orang tidak pernah merasa bersalah. Ketika semua orang bahkan merasa tidak pernah melakukan apa-apa yang bisa membangkitkan amarah-Nya. Kang Thowil lantas berfikir: Untuk menyadari bahayanya api, haruskah seseorang dibakar sehingga percaya bahwa api memang betul-betul panas dan berbahaya?
Dia kemudian menghela nafas. Sesuatu dirasakannya begitu berat menghimpit rongga dadanya. Sungguh berat. Bahkan untuk sekedar menarik nafas pun terasa susah. Kenyataan yang dihadapinya sekarang menjelma ribuan jarum dihunjamkan begitu saja kerelung hatinya. Menusuk-nusuk kemanusiaannya. Dan batinnya terasa begitu perih. Ah, andai saja ia menuruti perkataan istrinya beberapa waktu yang lalu, tentu kenyataan akan berkata lain. Tentu ia masih memiliki sejumlah harapan. Dan yang paling pasti ia tidak akan mengalami kejadian seperti pagi ini.
"Kenapa tidak kita panen saja kang, toh hanya tanaman ini yang bisa kita harapkan memenuhi kebutuhan kita. Apa Akang tidak malu terus-terusan ditagih sama Lek Sakri," Itu saran istrinya seminggu yang lalu, ketika keduanya tengah menghalau padi yang telah menguning itu dari serbuan pipit.
"Ndak usah terburu-buru bune, mungkin seminggu atau dua minggu lagi padi ini kita panen. Biarlah aku nanti yang ngomong sama Lek Sakri, yang penting kan, ada yang kita jagakne untuk melunasi hutang."
Dan ia memang hanya seorang manusia, yang tak pernah tahu dengan apa yang terjadi esok. Bahkan dengan kejadian semenit yang akan datang adalah sebuah misteri. Sama sekali ia tak menyangka jika takdir yang kembali memaksanya harus menelan kegetiran demi kegetiran.
Lelaki itu, Kang Thowil, demikian orang biasa memanggilnya, memang petani yang seluruh penghidupannya hanya bertumpu pada sawah. Bagi lelaki setengah baya itu, sawah adalah muara dari berliku-likunya air sungai persoalan kehidupan yang sehari-hari digelutinya. Mulai dari sambatan si Iwik, anak semata wayangnya yang merengek-rengek minta dibelikan seragam sekolah, lantaran seragam yang sekarang dipakainya telah layak beralih profesi sebagai serbet. Juga hutangnya pada Lek Sakri, yang hampir setengah tahun belum mampu ia lunasi. Apalagi istrinya yang mengeluhkan biaya hidup yang makin membengkak dari hari kehari, semenjak kenaikan BBM yang kata pemerintah memang sudah tak bisa ditunda-tunda lagi. Apalagi yang bisa ia janjikan selain harapan yang seluruhnya ia tumpuhkan pada sebidang tanah yang berada di ujung desa.
Sebenarnya, sebagai seorang kepala rumah tangga, ia memang telah mencari jalan lain dalam mengatasi ekonomi keluarga dengan tidak hanya mengandalkan sawah. Berbagai pekerjaan, asalkan halal pernah ia alami. Mulai dari menjadi kuli batu di kota, menjadi tukang serabutan di pasar, menggali pasir, bahkan sebagai pemulung pernah ia lakukan. Tapi berapa penghasilan pekerja yang tidak jelas pendidikannya itu. Belum lagi ia harus menuruti kemauan bibirnya untuk merasakan sebatang atau dua batang rokok. Apa kemudian ia harus mengikuti jejak Kang Samin dengan menjadi TKI, sementara ia pernah mendengar dari sang Ustadz, bahwa kunci kebahagiaan itu adalah jika rezeki seseorang ada pada negerinya sendiri. Ia tak bisa membayangkan jika harus meninggalkan istri dan anaknya dalam waktu yang sekian lama.
Lantas ketika banjir itu datang begitu saja secara tiba-tiba...........
Ada beribu tanya yang tak pernah mampu ia jawab. Ada setumpuk beban memenuhi rongga dadanya yang menyebabkan ia merasa sesak. Barangkali benar, bahwa keresahan adalah ketika harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwa penderitaan adalah, ketika yang bersemayam dalam angan-angan adalah setetes madu, namun yang dihadapi adalah sebotol racun yang siap menelan nyawa kehidupannya, kapan saja dan dimana saja. Namun apa yang bisa diperbuat oleh seorang manusia, apalagi bagi seorang wong cilik macam ia?
***
Bagi orang susah sepertinya, Kang Thowil tak pernah berharap bisa menjadi orang kaya, seperti tetangganya yang setiap hari bisa ganti mobil sesuka hati, yang tiap tahun bahkan bisa pergi haji ke tanah suci. Tak pernah sedikitpun terbersit dihatinya keinginan memiliki rumah dan mobil mewah, apalagi tanah berhektar-hektar. Yang didambakannya selama ini sederhana sebagai orang kecil, ialah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa pernah dikejar-kejar hutang. Ia ingin bisa memberikan makan bagi anak dan istrinya tanpa mengalami kesulitan. Ia hanya ingin hidup wajar sebagaimana layaknya manusia.
Namun ketika kesulitan demi kesulitan selalu saja mengepungnya dari hari ke hari. Kang Thowil mendapatkan dirinya berubah menjadi seekor cacing kepanasan ditengah terik matahari. Ia mengeliat-geliat kepayahan, jempalitan tak karuan bagai seekor kambing yang baru saja disembelih. Dan itu barangkali yang membuatnya terengah-engah, dari waktu kewaktu.
"Kita mesti sabar Kang. Apapun semua ini telah menjadi kehendak Gusti Kang Murbeng Dumadi. Kita mesti nrimo. Ndak mungkin kita protes dengan kegagalan panen ini. Beliau pasti memiliki alasan sendiri yang tak bisa kita duga. Pasti ada sesuatu yang bisa kita petik dari keadaan ini," Tutur istrinya berusaha menghibur.
Kang Thowil hanya diam. Barangkali memang beginilah hidup, demikian ia membatin. Tapi kenapa kehidupan itu tak pernah memberikan ruang kepadanya? Kenapa kehidupan selalu tak mengizinkan dirinya dapat bergerak leluasa, setidaknya untuk hanya sekedar menggerakkan tangan dan kepala? Ia benar-benar tak pernah mengerti.
***
Dan ketidak-mengertian itu semakin menjadi-jadi ketika ia mengikuti sholat jumat di masjid, Sang Khatib dengan tegas menyuarakan khutbah dari atas mimbar:
"Saudara-saudara, kita semua memang sedang susah. Banjir menyebabkan kita tak bisa panen tahun ini, padahal panen itulah satu-satunya harapan bagi kita yang setahun hanya bisa memanen sekali. Namun satu hal yang ingin saya sampaikan, anggaplah kesusahan ini sebagai isyarat, bahwa kita semua sedang menjalani ujian dari Tuhan. Bahwa kita ternyata masih dikepung oleh kasih sayang-Nya. Bukankah salah satu pertanda bahwa kita masih diperhatikan oleh-Nya adalah dengan keharusan menjalani laku ujian yang akan menentukan kadar kesetiaan kita masing-masing? Bukankah sangat indah kalau kita semua masih berada dalam naungan perhatian-Nya? Maka hanya orang-orang yang sanggup bersabar saja yang akan memperoleh kemulyaan tertinggi dihadapan-Nya."
Padahal beberapa waktu yang lalu, seorang kyai muda pernah juga mendengar ceramah:
"Cobaan hanya berlaku bagi orang-orang yang sanggup meletakkan diri diwilayah-wilayah keridlaan-Nya. Fungsi akhir dari cobaan tak lain untuk menguji seberapa jauh dan dalam kesetiaan seseorang kepada-Nya. Kalau kemudian ia sukses, patut diacungi jempol bahwa kesetiaannya betul-betul telah teruji. Dan ia pun meraih predikat yang setingkat lebih tinggi dibanding kedudukan sebelumnya.”
"Dan peringatan adalah sebuah bentuk mekanisme, ketika seorang hamba yang menyatakan diri bersetia kepada-Nya itu tiba-tiba saja terjatuh di jurang yang digali oleh iblis, yang merupakan kebalikan sisi mata uang dari pancaran cahaya. Maka Tuhan dengan bersegera akan menurunkan tangga peringatan kepadanya agar bisa naik kembali ke permukaan, dan ia pun dapat kembali merengkuh cahaya dalam menelusuri jalan panjang kehidupan."
"Kemudian azab merupakan bentuk siksaan. Ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah jauh menyebrang dari garis yang ditentukan oleh-Nya. Dan ingatlah, bahwa azab Tuhan itu sangat-sangat pedih."
Kang Thowil masih ingat, ceramah itu disampaikan oleh seorang kyai muda yang sengaja didatangkan ke desanya untuk mengisi acara rutinan di masjid. Dan ia juga ingat betul, betapa ceramah itu disampaikan selang sehari sebelum bencana banjir itu terjadi.
Lantas sekelumit pertanyaan tiba-tiba saja menyelimuti batinnya. Bencana yang beruntun menyelimuti desa ini, mulai angin topan yang memporak-porandakan rumah penduduk, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, bencana banjir, penyakit yang demikian beraneka ragam, dan entah apa lagi bencana yang akan datang kemudian. Betulkah itu semua merupakan sebentuk ujian dari Tuhan?
Kang Thowil tiba-tiba memendam semacam kekawatiran. Jangan-jangan semua yang telah berlangsung itu adalah sebentuk peringatan, bahwa kelakuan manusia benar-benar telah melampaui batas. Namun siapa yang bisa menjamin, bahwa semua itu bukan sebentuk azab yang telah diturunkan-Nya?
****
Kekhawatiran yang demikian itu memang bukan sesuatu hal yang tidak berdasar. Kang Thowil sebagai seorang warga yang telah mendiami sekian puluh tahun tanah perdesaan itu tentu tahu betul dengan perilaku kehidupan warga setempat. Ia pasti tahu itu karena setiap hari terlibat secara langsung.
Tentang bagaimana sikap orang-orang dalam menjalani kehidupan. Juga perilaku petinggi desa yang sudah tidak lagi mencerminkan sifat sebagai seorang pemimpin, bahkan dengan terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Sehingga untuk meraih kekuasaan itu diperlukan berbagai cara, biarpun harus mengorbankan berlembar-lembar rupiah, atau harus keluar dari koridor aturan-Nya.
Lantas ketika peraturan langit hanya dapat bersuara di kolong-kolong masjid. Ketika kedudukan Tuhan selalu ditempatkan dalam nomor kesekian dalam setiap urusan. Ketika Tuhan beralih fungsi menjadi buruh yang harus mengerjakan perintah-perintah. Apakah hal semacam itu belum cukup dijadikan alasan bahwa Tuhan sudah benar-benar muak dengan perilaku mereka. Sehingga tidak ada alasan bagi-Nya untuk tidak menurunkan azabnya?
Kang Thowil benar-benar tak habis pikir, betapa manusia-manusia zaman sekarang telah memiliki keberanian luar biasa dalam menjalani hidup, tanpa peduli dengan batasan yang ditentukan oleh si pemberi kehidupan itu sendiri. Alangkah beraninya mereka untuk tidak pernah merasa malu bahwa setiap saat mereka selalu diawasi. Bahwa suatu saat nanti mereka pasti akan kembali kepada-Nya tanpa membawa apa-apa, selain benih-benih kebajikan yang telah ditanamnya.
Maka kekawatirannya semakin bertambah-tambah, ketika orang-orang tidak pernah merasa bersalah. Ketika semua orang bahkan merasa tidak pernah melakukan apa-apa yang bisa membangkitkan amarah-Nya. Kang Thowil lantas berfikir: Untuk menyadari bahayanya api, haruskah seseorang dibakar sehingga percaya bahwa api memang betul-betul panas dan berbahaya?
****
Apa yang bisa dilakukan oleh Kang Thowil kemudian selain hanya duduk di beranda rumahnya yang reot, sambil menatapi kayu-kayu rumahnya yang telah lapuk dimakan waktu. Sesekali rokok kreteknya itu dipermainkan dengan jemari tangannya yang kering. Genting-genting, meja, kursi, dan semua yang berserakan di halaman rumah itu seolah-olah berbicara kepadanya, buat apa menjadi manusia kalau tak mampu berbuat sebagaimana layaknya manusia. Untuk apa menjadi manusia kalau segala perilakunya bahkan jauh lebih rendah dari hewan yang tidak beradab sekalipun.
Ada kalanya ia bermimpi bisa menjadi seorang Nabi, atau Kyai, atau Ulama, atau yang remeh-temeh barangkali utusan Tuhan yang ditugasi mengatasi zaman, terserah apa namanya, ratu adil, satrio piningit, atau satrio-satrio yang lain, yang tentu saja dengan bimbingan tangan Tuhan bisa merubah zaman dan mengatasi peradaban.
Tapi apalah artinya manusia macam dia. Manusia yang selalu dicampakkan oleh nasib, yang terpinggirkan oleh kesejahteraan hidup, yang setiap saat terpesona dengan megahnya kata kemakmuran. Sementara sekedar mempertahankan hidup anak istrinya saja ia bahkan selalu dilanda kebingungan.
Kang Thowil akhirnya hanya mampu menerawang, membiarkan dirinya menatap sebuah dunia baru yang sama sekali berbeda, jauh di seberang sana, di ketinggian awan, di pucuk-pucuk langit, sampai kemudian ia disentakkan oleh sebuah suara perempuan, suara istrinya:
"Pak, seragam Iwik sobeknya makin melebar. Pagi tadi ia sudah tidak mau lagi pergi sekolah. Sepertinya ia sudah tak tahan dengan ejekan teman-temannya."
Kang Thowil tersentak. Seketika ia tersadar bahwa kakinya masih berpijak di bumi. Ia mendesah ketika menyadari bahwa ia memang tak pernah bisa berbuat apa-apa.***
Lamongan, 2005
*)Cerpen : Em. Syuhada'
Cerita Tentang Kang Thowil
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>