PERBINCANGAN seputar
pendidikan memang selalu menarik. Diskusi tentangnya menawarkan berbagai pintu
kemungkinan yang tak habis digali, bahkan mungkin tak pernah selesai. Konsep
belajar sepanjang hayat (long live education) atau dalam terminologi
islam ‘belajarlah sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat’ adalah sepenggal
bukti bahwa pendidikan identik dengan kemanusiaan. Selama kehidupan ada, selama
itu pula pendidikan harus tetap dilangsungkan demi mempertahankan identitas
kemanusiaan.
Dewasa ini, buruknya mutu pendidikan di Indonesia menjadi
kenyataan yang tak hanya memprihatinkan, bahkan menjadi persoalan serius yang
harus menjadi pemikiran bersama. Berbagai riset terkait dunia pendidikan
meletakkan Indonesia pada kenyataan yang mengenaskan. Data yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 lalu menyebutkan, masyarakat Indonesia
belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi.
Mereka lebih memilih menonton TV (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada
membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id).
Kondisi serupa dialami juga oleh guru di wilayah Mojokerto. Data pengunjung
perpustakaan di Kota Mojokerto sampai September 2008 menunjukkan, dari total
pengunjung sejumlah 14.610 orang, guru sebagai sosok yang diharapkan mampu meningkatkan
minat baca di kalangan peserta didik justru terbilang sangat minim. Jumlah guru
yang tercatat mengunjungi perpustakaan sebanyak 230 orang dengan rincian 60
guru laki-laki dan 170 guru perempuan. Dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
bahkan lebih parah, yakni 140 orang. Peringkat tertinggi didominasi oleh
kalangan pelajar (6.200 orang), mahasiswa (1.510 orang), masyarakat umum (5.830
orang), serta kalangan swasta (700 orang). (Radar Mojokerto, 12/10/2008)
Meski bersifat lokal, kondisi tersebut patut disayangkan. Sebab, guru
adalah sosok yang tak boleh bosan melakukan penjelajahan intelektual.
Keberadaan guru yang belum menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk
memperluas cakrawala pemikiran tak bisa dipandang remeh begitu saja. Perpustakaan
identik dengan membaca. Ketika guru enggan ke perpustakaan, ada kemungkinan ia
kurang memiliki greget untuk mengembangkan potensi keguruannya. Padahal,
dengan banyak membaca, guru akan mendapatkan ide-ide baru sehingga bisa
melahirkan berbagai terobosan kreatif untuk mendongkrak kualitas peserta didik
sesuai dengan profesi yang digelutinya.
Menjadi Guru Kreatif
Di era reformasi ini, upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan
menunjukkan geliat yang sedikit menggembirakan. Salah satunya dengan menerbitkan
Undang-undang No.14 Tahun 2005 yang melindungi hak guru dan dosen sebagai
pekerja profesional. Undang-undang yang merupakan embrio pelaksanaan
sertifikasi tersebut, selain bertujuan meningkatkan mutu guru dan dosen sebagai
pelaksana pendidikan di tingkat praktis, juga bermuara pada peningkatan
kesejahteraan guru secara finansial. Hal penting yang patut dicatat,
pelaksanaan sertifikasi bukanlah tujuan yang harus dicapai, melainkan sarana
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Maka, sudah selayaknya
jika sertifikasi tidak dimaknai oleh guru dengan “kegiatan mengumpulkan
sertifikat”, yang ujung-ujungnya hanya keinginan mendapatkan kesejahteraan
finansial semata.
Yang harus dicermati dalam pelaksanaan sertifikasi adalah komponen karya
pengembangan profesi yang seringkali tak bisa dipenuhi. Alih-alih melakukan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menulis buku pelajaran, bahkan karya tulis
sebangsa artikelpun kadang jarang dilakukan. Saya sendiri sering menjumpai,
untuk melengkapi berkas portofolio, sebagian guru kerap memaksakan diri
memasukkan karya tulis yang sejatinya tidak termasuk dalam kategori (berupa
buku, artikel (jurnal/majalah/koran), modul, ataupun buku yang dicetak lokal).
Yang dilakukan justru memasukkan makalah yang notabene tugas semasa kuliah.
Itupun terkadang bukan orisinal karya mereka. Bahkan kasus yang lebih miris,
ada seorang teman yang memasukkan buku penghubung siswa sebagai hasil
karya tulis. Bukankah hal tersebut tak perlu terjadi, jika seandainya sejak
awal guru terbiasa menuangkan pemikirannya dalam karya tulis, sebagai
implementasi dari intelektualitas mereka.
Ada baiknya para guru belajar dari Alexander Mongot Jaya, akrab dipanggil
Pak Mongot. Ia adalah guru Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan, Jepara,
Jawa Tengah. Lelaki kelahiran Jepara, 24 April 1982, yang memiliki nama asli
Agus Siswanto itu terbilang oke dalam hal berkarya (tulis). Sejak 2005
silam, Pak Mongot telah menorehkan karya berupa menulis buku Bahasa Inggris
untuk pegangan siswa. Beberapa judul buku telah dihasilkannya: English
Revolution, Genre in Use, Listening Hand Book, dan English
Smart Book. Saat ini, Pak Mongot sedang mempersiapkan buku Genre in Use
kolaborasi dengan Branti, guru SMAN 1 Jepara. Rencananya, buku itu akan
diterbitkan pada semester genap mendatang.
Yang unik dari buku-buku karya Pak Mongot, mulai isi buku hingga tata letak
adalah garapan tangan kreatifnya. Ditengah aktifitas mengajarnya, Pak Mongot
tak mau tinggal diam. Ia berjuang untuk kreatif melakukan inovasi terhadap mata
pelajaran yang ditekuni. Salah satunya, menulis buku yang lain daripada yang
lain. Meski substansinya sama, harus ada hal yang menarik yang perlu
ditonjolkan. Maka tak mengherankan, jika buku-buku yang ditulis Pak Mongot
mendapatkan tempat di hati guru-guru lain sehingga dijadikan referensi bagi
peserta didik, baik di kalangan sekolah negeri maupun swasta.
Memang tidak gampang untuk mengikuti jejak Pak Mongot. Namun, berbekal
kemauan yang kuat, saya kira tak ada hal yang tidak mungkin. Saya yakin,
bukannya para guru tidak mampu. Ketika Jawa Pos bekerja sama dengan Dinas
Pendidikan Jawa Timur beberapa tahun lalu menyediakan rubrik khusus yang memuat
artikel guru, tulisan guru tak kalah dengan penulis profesional. Hanya saja,
kemauan untuk memulai memang membutuhkan perjuangan berat dan juga
berdarah-darah. Kreatifitas tidak bisa datang sendiri. Harus ada perjuangan
untuk memulai. Maka, tak ada jalan lain. Ayo menulis, wahai para guru! Jadikan
kreatifitas itu air liur yang terus mengucur sepanjang umur. Jangan jadikan
kreatifitas itu air kencing yang hanya mengalir ketika mulut direguki air.***
*)Ditulis Em. Syuhada', kebetulan seorang guru.
Ayo Menulis, Wahai Para Guru!
4/
5
Oleh
Admin
1 komentar:
Tulis komentaralmarhum pak mongot adalah mahaguruku. karya-karya yang ditorehkannya tak akan hilang meski ia telah tiada.
Replyhttp://syaifulmustaqim.blogspot.com
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>