DALAM setiap acara Maiyah Padhang mBulan Jombang, Cak Nun – Panggilan akrab Emha
Ainun Nadjib – sering bertutur seputar eksistensi manusia. Menurutnya, manusia
sebagai khalifah memiliki kemungkinan mencapai derajat tertinggi jika ia mampu
menggunakan perangkat kemanusiaan ( baca; akal ) dengan benar. Namun, jika
manusia tidak berbuat sebagaimana manusia, dengan kata lain membiarkan akalnya
tidak berfungsi sedemikian rupa, maka hakekat manusia akan hilang pada saat itu
juga. Sebab, yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain hanyalah
akal yang bersemayam dalam dirinya.
Pada acara Maiyah Padhang mBulan Juli (29/07), Cak
Nun lantas mengelompokkan manusia menjadi empat jenis: Manusia yang berfikir
dan mengetahui banyak tentang banyak hal, manusia yang berfikir dan mengetahui
banyak tentang sedikit hal, manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit
tentang banyak hal, dan yang terakhir adalah manusia yang berfikir dan
mengetahui sedikit tentang sedikit hal.
Apa yang dilakukan Cak Nun sebenarnya telah
dituturkan jauh sebelumnya oleh Imam Al Ghazali. Sang Hujjatul Islam itu
menggolongkan manusia menjadi empat macam berdasar pada situasi akal dan
mentalitas: Rajuulun yadrii wa yadrii annahu yadri ( Manusia yang
mengerti, dan mengerti bahwa dia mengerti ), Rajuulun yadri wa laa yadri
annahu yadri ( Manusia yang mengerti dan dia tidak mengerti bahwa dia
mengerti ), Rajuulun laa yadrii, wa yadrii annahu laa yadrii ( manusia
yang tidak mengerti, dan mengerti bahwa dia tidak mengerti ), Rajuulun laa
yadrii wa laa yadrii annahu laa yadri ( Manusia yang tidak mengerti, dan
tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti ).
Pembahasan mengenai manusia memang selalu menarik.
Manusia sebagai penghuni jagad raya, tak hanya tersusun dari materi berupa
badan wadag yang kasat mata. Lebih dari itu, ia juga tersusun dari benda
non materi berupa ruh yang berasal dari penguasa semesta. Ketika perlakuan
manusia terhadap dirinya sendiri mengalami kesenjangan begitu rupa, dengan
mengutamakan kebutuhan materi dan membiarkan ruhaninya gersang dan
terlunta-lunta, yang terjadi adalah ketimpangan individu dimana manusia tak
sempurna sebagai manusia. Pada skala yang jauh, ia akan tiba pada situasi
seperti yang dituliskan Cak Nun: “ Sukma, jiwa dan ruh akan ‘memberontak’
karena tak diberi makan oleh penyandangnya “.
Membaca tulisan-tulisan Cak Nun yang terangkum
dalam buku ini, kita akan disodori beragam hal yang bermakna, terutama yang
berkaitan dengan bagaimana menjadi manusia yang kaffah. Dengan gaya
bahasanya yang khas, mengalir, kritis dan kontemplatif, Cak Nun mengajak
pembaca untuk memejamkan mata, sejenak berkontemplasi guna menelaah kembali
cara berfikir, sikap hidup, sekaligus praktek keberagamaan yang kadang
cenderung tak sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan oleh-Nya. Pada
sisi lain, Cak Nun juga mengkritisi perilaku sebagian umat islam yang lebih
mengutamakan simbol daripada isi dalam merumuskan kegiatan peribadatan.
Membengkaknya jumlah ibadah haji dari tahun ke tahun, yang ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas
iman serta perubahan sosial hanyalah sekedar contoh. Padahal, haji menurutnya
adalah ibadah yang menyodorkan kemungkinan kepada para pelakunya untuk mencapai
cakrawala tertinggi dari kematangan sikap hidup menuju hakekat kemanusiaan.
Salah satu kelebihan Cak Nun adalah dia jarang
terjebak dalam formalisme yang kaku. Meski berpijak pada ajaran-ajaran islam
yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, tapi ia tidak secara legal formal
membawa idiom-idiom itu kedalam tulisan-tulisannya. Dengan memakai kultur
budaya, Cak Nun mengkontekstualisasikan setiap ajaran yang dipahaminya untuk
menjawab setiap gejala yang muncul dalam kehidupan, baik yang menyangkut
hubungan manusia dengan tuhan, dengan masyarakat, bahkan terhadap sebuah sistem
yang bernama negara. Keberbaurannya secara langsung dengan segenap elemen
masyarakat, membuat tulisan-tulisannya terasa hidup dan kaya makna. Memang, Cak
Nun bukanlah tipe manusia yang suka melihat permasalahan dari jendela menara
gading nun jauh disana. Ia adalah pekerja sosial yang ajur ajer, terjun
secara langsung dengan permasalahan masyarakat.
Dalam waktu yang lampau, saat menulis pengantar
buku berumbul Nasionalisme Muhammad ( Sipress: 1995 ), Cak Nun mengakui
bahwa salah-satu kelemahannya adalah belum memiliki kesanggupan untuk benar-benar
berfikir dan bekerja menuliskan sebuah buku yang sejak awal dirancang
benar-benar sebagai buku. Kendalanya, disamping waktu juga kelemahannya dalam
pendidikan formal. Buku ini pun, sama seperti kebanyakan bukunya yang lain,
tidak diniatkan sebagai buku yang sengaja ditulis secara sistematis dan utuh.
Buku ini adalah kumpulan esainya yang pernah terserak di media massa rentang
1980-an sampai 2000-an, yang oleh Progress kemudian diterbitkan sebagai penebus
‘dosa‘ karena sejak Kerajaan Indonesia (2006), Progress belum
menerbitkan karya-karya Cak Nun yang masuk dalam kategori buku ‘tebal’. Tidak.
Jibril Tidak Pensiun sendiri adalah sebuah esai yang pernah dimuat di
majalah Panji Masyarakat, tanggal 21 Desember 1986 yang menjelaskan eksistensi
Jibril ketika wahyu kenabian telah berakhir pada Muhammad, Sang Rasul
Pamungkas.
Terlepas dari pengakuan Cak Nun tersebut,
kehadiran buku ini tetaplah berarti. Dan, upaya Progress menghadirkan
tulisan Cak Nun ke tangan pembaca ini mesti disambut dengan semangat kesadaran:
bahwa sampai kapanpun manusia harus terus berjuang untuk memelihara
kemanusiaannya. Bukankah secara empiris banyak dijumpai manusia yang secara
fisik memang manusia, namun hakekatnya adalah serigala yang tak segan-segan
mencakar dan membunuh saudaranya sendiri? Maka sebagai manusia, tak ada
kemungkinan lain kecuali kita harus berjuang untuk tetap menjadi manusia.
Supaya pada penghujung kehidupan nanti, kita tetap menjadi manusia yang ahsani
taqwiim, dan tidak terjerembab kedalam pengapnya jurang asfalaa
saafiliin!(*)
Judul Buku : Tidak. Jibril Tidak Pensiun
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress, Yogjakarta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 244 halaman
BELAJAR MENJADI MANUSIA
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>