• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • Wajah Baru Dapodik 2013 dan Jadwal TOT Dapodik Propinsi dan Kabupaten/Kota
  • Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
  • Makhluk dari Manakah Sertifikasi itu?
  • Seharusnya Berjudul Celana Dalam
  • Kapitalisme, Sosialisme dan Islam

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Resensi Buku / BELAJAR MENJADI MANUSIA

Wednesday, January 16, 2013

BELAJAR MENJADI MANUSIA

Baca Juga

DALAM setiap acara Maiyah Padhang mBulan Jombang, Cak Nun – Panggilan akrab Emha Ainun Nadjib – sering bertutur seputar eksistensi manusia. Menurutnya, manusia sebagai khalifah memiliki kemungkinan mencapai derajat tertinggi jika ia mampu menggunakan perangkat kemanusiaan ( baca; akal ) dengan benar. Namun, jika manusia tidak berbuat sebagaimana manusia, dengan kata lain membiarkan akalnya tidak berfungsi sedemikian rupa, maka hakekat manusia akan hilang pada saat itu juga. Sebab, yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain hanyalah akal yang bersemayam dalam dirinya.
Pada acara Maiyah Padhang mBulan Juli (29/07), Cak Nun lantas mengelompokkan manusia menjadi empat jenis: Manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang banyak hal, manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang sedikit hal, manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang banyak hal, dan yang terakhir adalah manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang sedikit hal.
Apa yang dilakukan Cak Nun sebenarnya telah dituturkan jauh sebelumnya oleh Imam Al Ghazali. Sang Hujjatul Islam itu menggolongkan manusia menjadi empat macam berdasar pada situasi akal dan mentalitas: Rajuulun yadrii wa yadrii annahu yadri ( Manusia yang mengerti, dan mengerti bahwa dia mengerti ), Rajuulun yadri wa laa yadri annahu yadri ( Manusia yang mengerti dan dia tidak mengerti bahwa dia mengerti ), Rajuulun laa yadrii, wa yadrii annahu laa yadrii ( manusia yang tidak mengerti, dan mengerti bahwa dia tidak mengerti ), Rajuulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadri ( Manusia yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti ).
Pembahasan mengenai manusia memang selalu menarik. Manusia sebagai penghuni jagad raya, tak hanya tersusun dari materi berupa badan wadag yang kasat mata. Lebih dari itu, ia juga tersusun dari benda non materi berupa ruh yang berasal dari penguasa semesta. Ketika perlakuan manusia terhadap dirinya sendiri mengalami kesenjangan begitu rupa, dengan mengutamakan kebutuhan materi dan membiarkan ruhaninya gersang dan terlunta-lunta, yang terjadi adalah ketimpangan individu dimana manusia tak sempurna sebagai manusia. Pada skala yang jauh, ia akan tiba pada situasi seperti yang dituliskan Cak Nun: “ Sukma, jiwa dan ruh akan ‘memberontak’ karena tak diberi makan oleh penyandangnya “.
Membaca tulisan-tulisan Cak Nun yang terangkum dalam buku ini, kita akan disodori beragam hal yang bermakna, terutama yang berkaitan dengan bagaimana menjadi manusia yang kaffah. Dengan gaya bahasanya yang khas, mengalir, kritis dan kontemplatif, Cak Nun mengajak pembaca untuk memejamkan mata, sejenak berkontemplasi guna menelaah kembali cara berfikir, sikap hidup, sekaligus praktek keberagamaan yang kadang cenderung tak sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan oleh-Nya. Pada sisi lain, Cak Nun juga mengkritisi perilaku sebagian umat islam yang lebih mengutamakan simbol daripada isi dalam merumuskan kegiatan peribadatan. Membengkaknya jumlah ibadah haji dari tahun ke tahun, yang ternyata  tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman serta perubahan sosial hanyalah sekedar contoh. Padahal, haji menurutnya adalah ibadah yang menyodorkan kemungkinan kepada para pelakunya untuk mencapai cakrawala tertinggi dari kematangan sikap hidup menuju hakekat kemanusiaan.
Salah satu kelebihan Cak Nun adalah dia jarang terjebak dalam formalisme yang kaku. Meski berpijak pada ajaran-ajaran islam yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, tapi ia tidak secara legal formal membawa idiom-idiom itu kedalam tulisan-tulisannya. Dengan memakai kultur budaya, Cak Nun mengkontekstualisasikan setiap ajaran yang dipahaminya untuk menjawab setiap gejala yang muncul dalam kehidupan, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan tuhan, dengan masyarakat, bahkan terhadap sebuah sistem yang bernama negara. Keberbaurannya secara langsung dengan segenap elemen masyarakat, membuat tulisan-tulisannya terasa hidup dan kaya makna. Memang, Cak Nun bukanlah tipe manusia yang suka melihat permasalahan dari jendela menara gading nun jauh disana. Ia adalah pekerja sosial yang ajur ajer, terjun secara langsung dengan permasalahan masyarakat.
Dalam waktu yang lampau, saat menulis pengantar buku berumbul Nasionalisme Muhammad ( Sipress: 1995 ), Cak Nun mengakui bahwa salah-satu kelemahannya adalah belum memiliki kesanggupan untuk benar-benar berfikir dan bekerja menuliskan sebuah buku yang sejak awal dirancang benar-benar sebagai buku. Kendalanya, disamping waktu juga kelemahannya dalam pendidikan formal. Buku ini pun, sama seperti kebanyakan bukunya yang lain, tidak diniatkan sebagai buku yang sengaja ditulis secara sistematis dan utuh. Buku ini adalah kumpulan esainya yang pernah terserak di media massa rentang 1980-an sampai 2000-an, yang oleh Progress kemudian diterbitkan sebagai penebus ‘dosa‘ karena sejak Kerajaan Indonesia (2006), Progress belum menerbitkan karya-karya Cak Nun yang masuk dalam kategori buku ‘tebal’. Tidak. Jibril Tidak Pensiun sendiri adalah sebuah esai yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat, tanggal 21 Desember 1986 yang menjelaskan eksistensi Jibril ketika wahyu kenabian telah berakhir pada Muhammad, Sang Rasul Pamungkas.
Terlepas dari pengakuan Cak Nun tersebut, kehadiran buku ini tetaplah berarti. Dan, upaya Progress menghadirkan tulisan Cak Nun ke tangan pembaca ini mesti disambut dengan semangat kesadaran: bahwa sampai kapanpun manusia harus terus berjuang untuk memelihara kemanusiaannya. Bukankah secara empiris banyak dijumpai manusia yang secara fisik memang manusia, namun hakekatnya adalah serigala yang tak segan-segan mencakar dan membunuh saudaranya sendiri? Maka sebagai manusia, tak ada kemungkinan lain kecuali kita harus berjuang untuk tetap menjadi manusia. Supaya pada penghujung kehidupan nanti, kita tetap menjadi  manusia yang ahsani taqwiim, dan tidak terjerembab kedalam pengapnya jurang asfalaa saafiliin!(*)

Judul Buku    : Tidak. Jibril Tidak Pensiun 
Penulis      : Emha Ainun Nadjib
Penerbit        : Progress, Yogjakarta
Cetakan           : I, Juli 2007
Tebal               : 244 halaman

Tweet

Related Posts

BELAJAR MENJADI MANUSIA
4/ 5
Oleh Admin
Admin Pada Wednesday, January 16, 2013 Komentar
Pejalan Sunyi

Tentang Pejalan Sunyi

Pejalan Sunyi berusaha berbagi apa saja yang bermanfaat. Jika menurut Anda, artikel dalam blog ini bermanfaat, silahkan dibagi, jangan lupa meletakkan link BELAJAR MENJADI MANUSIA sebagai sumbernya. Tabik!.

Berlanggangan via Surel

Suka dengan artikel di atas? Silahkan berlangganan melalui email untuk mendapatkan artikel terbaru dari Pejalan Sunyi.

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design