Revolusi itu ekspresi transparan ketidaksetujuan total rakyat terhadap
penguasa. Diselenggarakan dengan memaksa penguasa berhenti dan
prinsip-prinsip manajemen bernegara diganti. Tetapi bangsa Indonesia
tidak punya cukup kecenderungan dan "hobi" berevolusi, karena dua sebab.
Pertama, kondisi dan posisi kelas menengah dan "perwakilan rakyat"
tidak berkecenderungan atau bahkan berlawanan dengan revolusi. Kedua,
karena rakyat sendiri sudah sangat revolusioner atas kehidupannya.
Wujud revolusi-diri rakyat Indonesia adalah ketangguhan dan kemandirian hidup. "Tidak patheken" siapa pun presidennya, bagaimanapun kelakuan pemerintahnya. Mereka terus kerja keras tanpa membebankan "nasionalisme" kepada pemerintahnya. Tidak bergantung pada "national plan of development", rakyat Indonesia terus maju bagaikan petinju slugger, tidak peduli berapa parah tikus got dan selebriti politik menggerogoti nasib mereka. Rakyat Indonesia terus melakukan "ground to pound" memukuli dan menaklukkan nasibnya sendiri-sendiri.
15 Januari 2013 lalu, Hariman Siregar tampil di TIM, Jakarta, mempersegar ingatan bangsa atas peran Malari 1974-nya. Bersama dengan Yayasan Kalimasada dan berbagai segmen aktivis mengarahkan acara itu ke "keharusan revolusi" untuk Indonesia menjelang 2014. Hadir Pak Try Sutrisno, Bang Buyung Nasution, Akbar Tandjung, dan banyak tokoh bangsa lain. Karena saya dipaksa ikut bicara, maka saya bikin "kunci": "Kalau 2014 nanti masih ada pilpres, maka pertemuan ini omong kosong."
Itu tidak exposed di media, sebab tugas media massa adalah menjaga ketenteraman dan kemuliaan hidup dengan cara memelihara kehidupan ini apa adanya, menghindarkan segala kemungkinan anarkisme dan perubahan yang tidak signifikan menurut posisi kepentingan mereka. Demikian juga, misalnya, tentang hari-hari terpenting reformasi, misalnya tanggal 11-21 Mei 1998, kita jaga bersama jangan sampai rakyat tahu apa saja yang sesungguhnya terjadi, siapa yang bikin lengser Soeharto, bagaimana plan seturunnya dia, berapa jumlah bom dan di mana saja dipasang untuk antisipasi "negara tidak boleh vacum kekuasaan" ketika posisi Soeharto sedang dinegosiasikan.
Kemudian seberapa jarak prinsipilnya dengan yang kemudian berlangsung sampai hari ini. Secara naluriah, rakyat juga tahu dusta reformasi, tapi itu tak membuat mereka bergeming dari ketangguhan dan kemandiriannya. Di tepi-tepi jalan, orang-orang kecil mengerti bahwa 1998 adalah revolusi kecil dari "merampok sendirian" menuju "merampok bareng". Idiom ludruk memelesetkan "kapal keruk taline kenceng, Wak Jan ngantuk pe ne nga***" menjadi "kapal keruk taline kenceng, reformasi dancuk malinge nemen".
***
Dimuliakan Tuhanlah di bumi maupun di surga para patriot bangsa yang siap menghibahkan hidupnya untuk revolusi bangsa menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Bingkai besar di benak kaum revolusioner itu adalah "merajut kembali Nusantara".
Tetapi memang perlu waktu untuk penelitian objektif dan diskusi expert maupun publik untuk memastikan bangsa Indonesia ini: 1. Bangsa garuda ataukah bangsa emprit, 2. Bangsa besar ataukah bangsa kerdil, 3. Bangsa merdeka atau bangsa jajahan, 4. Bangsa anak turun Atlantis, Bahureksa Sunda Land, ataukah hibrida gagal produk, bangsa yang pendekarnya mampu menangkap petir tapi kalah melawan satpam VOC?
Kalau melihat kondisi objektif NKRI: 1. Kinerja pemerintah dan mental pejabatnya, 2. Filosofi kebangsaan dan konstitusi kenegaraannya, 3. Semakin terkikisnya martabat dan harga diri bangsa dan manusia Indonesia, 4. Tidak berlakunya akal sehat dan rendahnya moral pengelolaan negara yg sampai ke tingkat hina, 5. Terlalu banyaknya harta benda rakyat dan negara yg dirampok oleh kekuatan asing dan dimalingi oleh pengurus-pengurusnya sendiri --maka urgensi revolusi adalah 100%.
Kan, gunanya orang bikin negara itu untuk memastikan bahwa tiga hal, yakni harta benda, martabat, dan nyawa, aman pada rakyat. Tapi, kalau melihat, 1. Kualitas dan fakta-fakta politik ketidakberpihakan kelas menengah kepada rakyat, 2. Tingginya tingkat ketanggungan rakyat atas hidupnya, yang sekaligus merupakan tingginya kerapuhan mereka sebagai rakyat suatu negara, 3. Subhat ideologi dan nasionalisme kaum aktivis di berbagai level dan segmen, 4. Mustahilnya lahir kepimimpinan nasional yang sejati melaui pintu sistem dan undang-undang perpolitikan yg ada sekarang --maka kans terjadinya revolusi insya Allah di bawah 10%.
Dan aslinya, semakin merambah dan menguatnya atmosfer psikologi "kedengkian nasional" (yang merupakan dasar dan rujukan utama semua inisiatif pemetaan nasional di bidang apa pun): sesungguhnya takkan ada pemimpin revolusi yang diterima dan diakui, kecuali di sejumlah kantong sosio-politik yang merancap bersama pemimpin revolusi subjektifnya masing-masing.
Tetapi, kalau melihat potensi watak revolusioner-radikal-anarkisnya bangsa Indonesia, sesungguhnya revolusi sangat tinggi kemungkinannya.
Tangguhnya kehidupan rakyat, ngawur-nya para pemimpin, beribu perilaku nekat dalam berbagai bentuk, bidang, dan ranah nilai --menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selalu siap tidak hanya untuk menghancurkan kebobrokan, melainkan juga lebih siap lagi untuk membiarkan kebobrokan.
Saking hebatnya bangsa kita, insya Allah mereka juga siap bahkan untuk kehilangan negara atau untuk terpecah menjadi sekian belas negara bagian. Bangsa Indonesia sudah belasan abad makan asam garam sejarah, sehingga mereka bisa tenang-tenang saja kalau suatu saat benar-benar menjadi bangsa dan negara setan. Sebaliknya, mereka tidak kagum, tidak kaget, bahkan memiliki kefasihan, serban, jilbab, tasbih, warna hitam-hitam di jidat --untuk menjadi negara malaikat. Atau negara hibrida baru komposisi harmonis antara setan dan malaikat.
***
Terserah mau revolusi karena alasan harta benda dicuri habis-habisan atau makin sirnanya martabat dan harga diri bangsa serta manusia Indonesia hingga terpuruk sampai ke kerendahan dan kehinaan yg amat memalukan di mata dunia, atau murni karena alasan perjuangan moral.
Kalau "iseng-iseng" mau revolusi, ada sekurang-kurangnya tujuh (7) jalan. Pertama, Mahkamah Konstitusi bisa nyicil revolusi dengan menganulir sejumlah pasal konstitusi dan undang-undang yang antirakyat dan mengkhianati prinsip nasionalisme serta membatalkan keabsahan presiden dan pemerintahnya.
Kedua, Presiden SBY melakukan tindakan revolusioner mengacu pada Hayam Wuruk yang membatasi diri sebagai kepala kerajaan/negara dan menyerahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada Perdana Menteri Gadjah Mada. SBY bisa bikin Dewan Negara sebelum 2014 untuk merevolusi kekeliruan mendasar kehidupan NKRI.
Ketiga, sesungguhnya alat produksi sejarah yang primer berada di genggaman tangan media massa, karena merekalah yang punya kemampuan primer untuk menentukan "nasib" setiap langkah pelaku dan peristiwa sejarah. Di langit ada "Lauhul Mahfud", di bumi ada media massa. Maka, rakyat Indonesia bisa memasrahkan nasib mereka pada tokoh-tokoh pers nasional untuk direvolusi seradikal mungkin menuju Indonesia baru yang adil makmur dan disukai Tuhan.
Keempat, pengumpulan tanda tangan dan ragam gerakan di berbagai lapisan dan wilayah untuk mosi tidak percaya kepada pemerintah dan sejumlah hal lain NKRI. Boikot total atas Pemilu 2014. Kelima, santet massal, "no love qishas" di "leher" NKRI atau bunuh diri nasional. Keenam, sehubungan dengan gerakan 15 Januari 2013 "Revolusi yang kita perlukan", kenapa tidak kita daulat Hariman Siregar untuk tampil kembali. Di acara itu, sampai serak saya berteriak: "Hariman is back to the street of revolution. Turun ke jalan dan tidak akan beranjak dari tanah pijakan di jalan itu sebelum cita-cita revolusi tercapai."
Atau jalan ke-7: ya, sudah, gini-gini aja, Gangnam Style, Tukang Bubur Naik Haji, menteri ngepel bandara, Thariqat ar-Ruhuth Batughaniyah, mengulum arang panas mulut mengeluh "Anaaas, anaas". No, ah!... Gini-gini ajalah. Gitu saja kok repot. Toh, kita sudah terlatih untuk tidak jujur satu sama lain.
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan
Majalah Gatra Edisi 13 / XIX 6 Peb 2013
Wujud revolusi-diri rakyat Indonesia adalah ketangguhan dan kemandirian hidup. "Tidak patheken" siapa pun presidennya, bagaimanapun kelakuan pemerintahnya. Mereka terus kerja keras tanpa membebankan "nasionalisme" kepada pemerintahnya. Tidak bergantung pada "national plan of development", rakyat Indonesia terus maju bagaikan petinju slugger, tidak peduli berapa parah tikus got dan selebriti politik menggerogoti nasib mereka. Rakyat Indonesia terus melakukan "ground to pound" memukuli dan menaklukkan nasibnya sendiri-sendiri.
15 Januari 2013 lalu, Hariman Siregar tampil di TIM, Jakarta, mempersegar ingatan bangsa atas peran Malari 1974-nya. Bersama dengan Yayasan Kalimasada dan berbagai segmen aktivis mengarahkan acara itu ke "keharusan revolusi" untuk Indonesia menjelang 2014. Hadir Pak Try Sutrisno, Bang Buyung Nasution, Akbar Tandjung, dan banyak tokoh bangsa lain. Karena saya dipaksa ikut bicara, maka saya bikin "kunci": "Kalau 2014 nanti masih ada pilpres, maka pertemuan ini omong kosong."
Itu tidak exposed di media, sebab tugas media massa adalah menjaga ketenteraman dan kemuliaan hidup dengan cara memelihara kehidupan ini apa adanya, menghindarkan segala kemungkinan anarkisme dan perubahan yang tidak signifikan menurut posisi kepentingan mereka. Demikian juga, misalnya, tentang hari-hari terpenting reformasi, misalnya tanggal 11-21 Mei 1998, kita jaga bersama jangan sampai rakyat tahu apa saja yang sesungguhnya terjadi, siapa yang bikin lengser Soeharto, bagaimana plan seturunnya dia, berapa jumlah bom dan di mana saja dipasang untuk antisipasi "negara tidak boleh vacum kekuasaan" ketika posisi Soeharto sedang dinegosiasikan.
Kemudian seberapa jarak prinsipilnya dengan yang kemudian berlangsung sampai hari ini. Secara naluriah, rakyat juga tahu dusta reformasi, tapi itu tak membuat mereka bergeming dari ketangguhan dan kemandiriannya. Di tepi-tepi jalan, orang-orang kecil mengerti bahwa 1998 adalah revolusi kecil dari "merampok sendirian" menuju "merampok bareng". Idiom ludruk memelesetkan "kapal keruk taline kenceng, Wak Jan ngantuk pe ne nga***" menjadi "kapal keruk taline kenceng, reformasi dancuk malinge nemen".
***
Dimuliakan Tuhanlah di bumi maupun di surga para patriot bangsa yang siap menghibahkan hidupnya untuk revolusi bangsa menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Bingkai besar di benak kaum revolusioner itu adalah "merajut kembali Nusantara".
Tetapi memang perlu waktu untuk penelitian objektif dan diskusi expert maupun publik untuk memastikan bangsa Indonesia ini: 1. Bangsa garuda ataukah bangsa emprit, 2. Bangsa besar ataukah bangsa kerdil, 3. Bangsa merdeka atau bangsa jajahan, 4. Bangsa anak turun Atlantis, Bahureksa Sunda Land, ataukah hibrida gagal produk, bangsa yang pendekarnya mampu menangkap petir tapi kalah melawan satpam VOC?
Kalau melihat kondisi objektif NKRI: 1. Kinerja pemerintah dan mental pejabatnya, 2. Filosofi kebangsaan dan konstitusi kenegaraannya, 3. Semakin terkikisnya martabat dan harga diri bangsa dan manusia Indonesia, 4. Tidak berlakunya akal sehat dan rendahnya moral pengelolaan negara yg sampai ke tingkat hina, 5. Terlalu banyaknya harta benda rakyat dan negara yg dirampok oleh kekuatan asing dan dimalingi oleh pengurus-pengurusnya sendiri --maka urgensi revolusi adalah 100%.
Kan, gunanya orang bikin negara itu untuk memastikan bahwa tiga hal, yakni harta benda, martabat, dan nyawa, aman pada rakyat. Tapi, kalau melihat, 1. Kualitas dan fakta-fakta politik ketidakberpihakan kelas menengah kepada rakyat, 2. Tingginya tingkat ketanggungan rakyat atas hidupnya, yang sekaligus merupakan tingginya kerapuhan mereka sebagai rakyat suatu negara, 3. Subhat ideologi dan nasionalisme kaum aktivis di berbagai level dan segmen, 4. Mustahilnya lahir kepimimpinan nasional yang sejati melaui pintu sistem dan undang-undang perpolitikan yg ada sekarang --maka kans terjadinya revolusi insya Allah di bawah 10%.
Dan aslinya, semakin merambah dan menguatnya atmosfer psikologi "kedengkian nasional" (yang merupakan dasar dan rujukan utama semua inisiatif pemetaan nasional di bidang apa pun): sesungguhnya takkan ada pemimpin revolusi yang diterima dan diakui, kecuali di sejumlah kantong sosio-politik yang merancap bersama pemimpin revolusi subjektifnya masing-masing.
Tetapi, kalau melihat potensi watak revolusioner-radikal-anarkisnya bangsa Indonesia, sesungguhnya revolusi sangat tinggi kemungkinannya.
Tangguhnya kehidupan rakyat, ngawur-nya para pemimpin, beribu perilaku nekat dalam berbagai bentuk, bidang, dan ranah nilai --menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selalu siap tidak hanya untuk menghancurkan kebobrokan, melainkan juga lebih siap lagi untuk membiarkan kebobrokan.
Saking hebatnya bangsa kita, insya Allah mereka juga siap bahkan untuk kehilangan negara atau untuk terpecah menjadi sekian belas negara bagian. Bangsa Indonesia sudah belasan abad makan asam garam sejarah, sehingga mereka bisa tenang-tenang saja kalau suatu saat benar-benar menjadi bangsa dan negara setan. Sebaliknya, mereka tidak kagum, tidak kaget, bahkan memiliki kefasihan, serban, jilbab, tasbih, warna hitam-hitam di jidat --untuk menjadi negara malaikat. Atau negara hibrida baru komposisi harmonis antara setan dan malaikat.
***
Terserah mau revolusi karena alasan harta benda dicuri habis-habisan atau makin sirnanya martabat dan harga diri bangsa serta manusia Indonesia hingga terpuruk sampai ke kerendahan dan kehinaan yg amat memalukan di mata dunia, atau murni karena alasan perjuangan moral.
Kalau "iseng-iseng" mau revolusi, ada sekurang-kurangnya tujuh (7) jalan. Pertama, Mahkamah Konstitusi bisa nyicil revolusi dengan menganulir sejumlah pasal konstitusi dan undang-undang yang antirakyat dan mengkhianati prinsip nasionalisme serta membatalkan keabsahan presiden dan pemerintahnya.
Kedua, Presiden SBY melakukan tindakan revolusioner mengacu pada Hayam Wuruk yang membatasi diri sebagai kepala kerajaan/negara dan menyerahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada Perdana Menteri Gadjah Mada. SBY bisa bikin Dewan Negara sebelum 2014 untuk merevolusi kekeliruan mendasar kehidupan NKRI.
Ketiga, sesungguhnya alat produksi sejarah yang primer berada di genggaman tangan media massa, karena merekalah yang punya kemampuan primer untuk menentukan "nasib" setiap langkah pelaku dan peristiwa sejarah. Di langit ada "Lauhul Mahfud", di bumi ada media massa. Maka, rakyat Indonesia bisa memasrahkan nasib mereka pada tokoh-tokoh pers nasional untuk direvolusi seradikal mungkin menuju Indonesia baru yang adil makmur dan disukai Tuhan.
Keempat, pengumpulan tanda tangan dan ragam gerakan di berbagai lapisan dan wilayah untuk mosi tidak percaya kepada pemerintah dan sejumlah hal lain NKRI. Boikot total atas Pemilu 2014. Kelima, santet massal, "no love qishas" di "leher" NKRI atau bunuh diri nasional. Keenam, sehubungan dengan gerakan 15 Januari 2013 "Revolusi yang kita perlukan", kenapa tidak kita daulat Hariman Siregar untuk tampil kembali. Di acara itu, sampai serak saya berteriak: "Hariman is back to the street of revolution. Turun ke jalan dan tidak akan beranjak dari tanah pijakan di jalan itu sebelum cita-cita revolusi tercapai."
Atau jalan ke-7: ya, sudah, gini-gini aja, Gangnam Style, Tukang Bubur Naik Haji, menteri ngepel bandara, Thariqat ar-Ruhuth Batughaniyah, mengulum arang panas mulut mengeluh "Anaaas, anaas". No, ah!... Gini-gini ajalah. Gitu saja kok repot. Toh, kita sudah terlatih untuk tidak jujur satu sama lain.
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan
Majalah Gatra Edisi 13 / XIX 6 Peb 2013
Jalan Ke-7 Revolusi
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>