• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
  • Tak Hanya Isi Beha yang Bikin 'Telan Ludah', Omset Jual Beha juga Mampu Membuat Mata Terpana
  • Menjelang Idul Fitri
  • Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
  • Seharusnya Berjudul Celana Dalam
  • JALAN PINTAS

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Archived For January 2013

Thursday, January 31, 2013

Distribusi dan Rezeki

Distribusi dan Rezeki

Kolom Cak Nun
Salah satu kalangan yang menjadi sahabat-sahabat hidup saya adalah para sopir taksi. Ada ratusan, atau bahkan mungkin ribuan sopir taksi diberbagai daerah, yang selalu saya sempatkan mengobrol dengan mereka—meskipun otak saya sudah cukup pikun untuk mengingat-ingat siapa saja nama mereka.

Setiap orang akan bahagia kalau kita mengingat dan menyebut namanya. Tapi karena keterbatasan daya ingat saya, maka saya memakai pedoman bahwa yang penting saya menghormati mereka sebagai manusia. Orang-orang itu mengajarkan kepada kita bahwa seseorang tidak menjadi terhormat karena ia seorang direktur atau menteri, serta tidak menjadi rendah karena ia seorang sopir, satpam atau tukang angkut barang. Kehormatan seseorang terletak pada bagaimana ia menyikapi posisinya, bagaimana ia berperilaku pada fungsinya. Di depan pintu sorga tidak ada antrean di mana para kepala negara dan kiai ada di rombongan terdepan sementara tukang cukur dan penjual bakso ada di ekor barisan.

Ukuran kemuliaan dan kehormatan terletak pada "direktur yang bagaimana" dan "satpam atau sopir yang bagaimana". Sopir yang tertib, disiplin, sopan dan jujur lebih terhormat dibanding juragannya kalau ia merendahkan atau tidak nguwongke sopirnya. Wong cilik di pelosok dusun yang jujur kepada alam dan manusia sesamanya, lebih mulia dibanding Raja di singgasana yang korup dan menindas rakyatnya. Manusia yang paling beruntung adalah kalau ia punya jabatan tinggi sekaligus memiliki kesantunan dan kearifan kepada bawah-bawahannya. Dan manusia yang paling sial adalah kalau sebagai seorang kuli ia suka tidak jujur dalam pekerjaannya.

Jadi, ada ukuran dunia, ada ukuran akhirat. Ada mata pandang manusia, ada mripat Allah. Terserah kepada masing-masing manusia apakah akan lebih mempedomani dunia dan penglihatan manusia ataukah berpihak pada penilaian Tuhan. Lebih baik orang memilih jadi orang kecil tapi jujur dan mulia dibanding jadi orang besar namun culas. Akan tetapi lebih baik lagi kalau kita memilih jadi wong pangkat [orang berkedudukan, priyayi] tapi jujur dan santun kepada siapa saja.

Maka sebagaimana para profesional yang lain, sebagaimana direktur, manager, ulama, dosen atau menteri—sopir taksi juga ada yang baik dan ada yang kurang baik. Ada yang menikmati pekerjaannya dan membanggakan jasa angkutannya karena bermanfaat bagi sesama manusia, ada yang pikirannya selalu ngincim [mengancam] bagaimana dan kapan bisa menjebak penumpangnya.
Ada yang cemas terus menerus sehingga mencari dan menempuh segala macam cara untuk membengkakkan pendapatannya, sementara ada juga yang lugu dan percaya kepada distribusi rejeki yang berada di tangan Tuhan.

Yang pertama mungkin berpikir begini, "Cari uang haram saja susah, apalagi cari uang halal. Rejeki tidak seratus persen ada di tangan Tuhan, melainkan di tangan konglomerat, di tangan para Boss, pemilik modal dan alat produksi. Maka kita harus bersikap konkret dan rasional: segala peluang rejeki harus diambil secepatnya." Mungkin dengan cara memanipulasi argo, merundingkan dengan penumpang agar tarikan ini borongan saja tanpa menghidupkan argometer, atau dengan cara memutar-mutarkan rute perjalanan, serta cara-cara yang lain.

Adapun yang kedua percaya bahwa disamping mekanisme ekonomi struktural, tetap berlangsung juga pembagian rejeki yang datang langsung dari Tuhan. Asalkan kita jujur, maka nanti ada saja rejeki yang datang. Sebagai sopir taksi, kita tidak bisa memperhitungkan pasar dan lapangan seratus persen. Pagi-pagi buta kita bisa nyegat [mencegat] penumpang di sekitar terminal dan stasiun serta jalan-jalan stretegis lainnya—tapi siapakah yang merancang seseorang keluar dari rumahnya pada jam tertentu dan nanti ketemu dengan taksi tertentu? Sebagai sopir taksi kita berkeliling seharian sambil selalu membayangkan akan ada orang berdiri di tepi jalan melambaikan tangannya: tapi siapakah yang menentukan seseorang ada di tepi jalan itu pada detik ketika kita lewat membawa taksi? Jadi hanya do'a dan kepasrahan kepada Tuhan yang bisa membawa kita ke wilayah distribusi yang bersifat sangat spekulatif seperti itu.

Kedua macam pandangan ini punya kebenarannya masing-masing. Dan setiap sopir taksi berhak memilih yang mana.

Di Jakarta berpuluh-puluh kali saya ditipu sopir taksi dengan berbagai cara. Anehnya meskipun akhirnya saya tahu bahwa saya ditipu, saya membiarkannya. Hanya menjelang turun saya katakan sambil saya kasih sedikit bonus, "Pak, ada baiknya Bapak tidak meneruskan cara-cara seperti itu. Sebab kelihatannya Bapak bisa menguras uang saya, tapi jatah Bapak di hari-hari besok akan langsung masuk dompet saya, padahal saya tidak tahu bagaimana cara mencari Bapak untuk memberikan uang itu kembali...."

Biasanya dia tidak bisa langsung paham apa yang saya maksudkan, karena itu saya berdoa semoga ketidak pahaman itu nanti ia perangi menjelang tidur malam atau waktu bangun pagi.

Di atas semua itu, ada yang sering dilupakan manusia: bahwa rejeki itu tidak sama dan sebangun dengan uang. Mendapatkan uang belumtentu rejeki, mungkin itu awal musibah. Dan tidak mendapatkan uang belum tentu bernama tidak dapat rejeki, sebab kalau jiwa kita siap: itu bisa menjadi awal dari datangnya rejeki di saat berikutnya—meskipun tak harus berupa uang.[]

Emha Ainun Nadjib
Admin Pada Thursday, January 31, 2013 Komentar

Tuesday, January 29, 2013

Cak Nun Kiai Kanjeng di Harlah NU 2013

Reportase Maiyah
Cak Nun Kiai Kanjeng di Harlah NU 2012

Pejalan-Sunyi.Com | EMHA AINUN NADJIB, akrab dipanggil Cak Nun dan Sujiwo Tejo akan menghadiri acara peringatan hari lahir (Harlah) NU di halaman kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat pada 31 Januari dan 1 Februari 2013 mendatang.

Seperti dilansir situs resmi nu.or.id, kegiatan yang dilaksanakan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU ini membidik “Atlas Wali Songo” satu karya besar sejarawan NU Agus Sunyoto. Buku yang diterbitkan LTN bersama penerbit Iman ini memaparkan perjalanan dan metode dakwah Wali Songo yang sedianya telah dan akan diteruskan oleh NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia.

Cak Nun dengan rombongan Kiai Kanjeng-nya juga sudah menyatakan positif akan meramaikan acara pada 31 Januari atau Kamis malamnya. Hal tersebut juga sempat diungkapkan oleh Cak Nun pada pengajian padhangmbulan Desember 2012 (28/12) yang lalu, bahwa kesediaan beliau menghadiri acara harlah NU itu dengan berbagai macam pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendesak adalah perlawanan dalam tanda kutip, atas upaya dari berbagai pihak melalui pelbagai media untuk mendistorsikan peran walisongo dalam perkembangan islam, khususnya di tanah jawa dalam waktu terakhir.

Menurut Ketua LTN PBNU Sulton Fathoni, Cak Nun dan Kiai Kanjeng-nya akan membawakan tema "Fikih Dakwah Wali Songo". Bahkan seperti biasanya, pihak managemen Kiai Kanjeng juga sudah memesan panitia untuk disiapkan sound system khusus dengan standar Kiai Kanjeng. Selain Agus Sunyoto, Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali dan sejumlah pengurus NU juga akan hadir. Panitia juga mengundang sejumlah menteri, pejabat pemerintahan, pihak sponsor dan awak media untuk menyemarakkan harlah NU.

Pada Jum'at malam, 1 Februari malam Sujiwo Tejo akan mementaskan wayang dengan lakon "Sunan Kalijaga", salah satu tokoh Wali Songo yang paling populer dan menggunakan wayang sebagai metode dakwah.

Di tengah-tengah pentas wayang itu, juga ada bedah buku Atlas Wali Songo. KH Said Aqil Siroj, Agus Sunyoto dan narasumber lain memaparkan banyak hal mengenai Wali Songo, sementara Sujiwo Tejo si dalang edan itu juga akan aktif mengikuti bedah buku sembari ndalang. Bedah buku dan pementasan wayang akan bersahut-sahutan di halaman gedung PBNU yang akan disulap menjadi ruang pertunjukan. [Red]
Admin Pada Tuesday, January 29, 2013 Komentar
Dari Gambang Syafaat Semarang

Dari Gambang Syafaat Semarang

Reportase Maiyah


Reportase Gambang Syafaat edisi 25 Januari 2013

Seperti bulan-bulan sebelumnya, Gambang Syafaat bulan Januari ini dimulai dengan tadarus Alquran dan dzikir munajat maiyah, walaupun jamaah yang hadir baru belasan karena hujan yang sangat deras mengguyur kota Semarang.

Diskusi awal dibuka oleh moderator dengan mempersilahkan mas Yanto Anto untuk memaparkan status facebooknya yang "mendadak terkenal" beberapa saat sebelum Gambang Syafaat dimulai, yang isinya tentang jamaah maiyah yang masih menanyakan tentang kehadiran Cak Nun dalam Gambang Syafaat. Menurut mas Yanto Anto cinta itu tidak layak dihargai dengan imbalan, karena cinta itu ketulusan. kedatangan kita ke maiyah seharusnya bukan karena ada jadwal Cak Nun datang, kalaupun Cak Nun tidak datang kita bisa bertemu dengan yang lain dan maiyahan bersama.

Selanjutnya Mas Agus "kriwil" berbicara tentang wirausaha, cara mudah berwirausaha itu diartikan bekerja dengan cara membuka lapangan kerja sendiri dan tidak terkait dengan bos, Mas Agus berpendapat prinsip bekerja itu mengabdi kepada Allah dengan jalan melayani sesama manusia, menjadi wirausahawan dan menjadi karyawan itu sama saja, bedanya saat menjadi karyawan bos kita hanya atasan kita, sedangkan saat menjadi wirausahawan bos kita menjadi banyak, yaitu para pelanggan kita.

Yang keliru menurut mas Agus adalah saat jadi karyawan kita menggap bos kita akan dapat mencukupi kebutuhan kita, begitu pula saat menjadi wirausahawan, kita menganggap diri kita mampu mencukupi kebutuhan hidup kita itu juga keliru, karena kecukupan, kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan itu yang memiliki hanya Allah. Prinsipnya dalam bekerja "juragan" kita adalah Allah.

Setelah mas Agus memaparkan tentang wirausaha, ada beberapa jamaah yang membuka wacana tentang ijazah dari ustad atau kiai, segitiga cinta dan perbedaan antara Muhammad dengan Muhammad bin Abdullah.

Kemudian Mas Nugroho menambahkan bahwa ada tidaknya Cak Nun dalam Gambang Syafaat bukan merupakan suatu masalah. Bahwa Alloh menciptakan Nur Muhammad dan darinya tercipta alam semesta dengan segala isinya, salah satu alasannya bahwa Allah bukan hanya ingin diketahui tetapi juga dikenal, maka dimulai dari Muhammad-lah maka akan mengenal Allah. Juga tentang ucapan Rasulullah bahwa ketika umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 yang diterima, mungkin bisa jadi merupakan pancingan agar terus menggali ilmu-ilmu Allah hingga mengenal Allah. Andai saja kalimatnya hanya 1 yang tidak di terima, bisa jadi umat akan tenang-tenang saja.

Juga kita tidak perlu mangkel terhadap media yang diskriminatif dengan Cak Nun dan juga maiyah, karena demikian itulah media, harus bisa menjadi "anjing", berani njegug, pandai njilat dan agresif memburu (berita). Media tidak sanggup memberitakan Cak Nun.

Sekitar pukul 12.00 WIB pak Saratri, Pak Ilyas dan Habib Anis sudah melingkar bersama jamaah dan bersama-sama jamaah Gambang Syafaat bersama-sama menikmati "ambengan".

Sesaat setelah menikmati ambengan, diputarlah orasi Cak Nun di Jakarta dalam acara "Merajut kembali Nusantara"

Kemudian acara dilanjutkan dengan diskusi sesi kedua.

Pak Saratri mengawali pembicaraan malam bahwa ketika kita berada di Gambang Syafaat itu lebih baik mencari ilmu dari pada menerima ilmu karena jika kita menerima ilmu sama saja seperti selalu disuapi.

Saat Rasulullah berada di Madinah, maka periode itu adalah periode action, periode muamalah, tidak hanya mengurusi fiqih saja.

Pak Ilyas menceritakan bahwa beliau mendapat undangan sebuah acara yang di dalam acara itu terdapat sebuah pemecahan rekor MURI, pak Ilyas bependapat bahwa rekor MURI tidak ada hubungannya dengan akademis dan spiritual, tetapi hanya soal yang "paling" saja.

Salah satu sifat Rasulullah adalah beliau tidak membanggakan diri, padahal beliau adalah orang yang sangat kaya, sangat dihormati. Itulah salah sifat yang harus kita tiru selain sifat-sifat terpuji yang lainnya.

Di akhir acara, Habib Anis juga menambahkan bahwa salah satu sifat terpuji dari Rasulullah adalah bahwa beliau sangat sedikit bicara jika tidak ditanya maka beliau tidak akan berbicara. Karena ucapan sangat berbahaya jika tidak berhati-hati, Habib Anis kemudian melanjutkan bahwa apapun yang kita katakan, maka kita akan diuji dengan apa yang kita katakan tersebut.

Pukul 01.30 WIB, Indal Qiyam mengakhiri Gambang syafaat malam ini, ditutup doa dari Habib Anis.

Doc. Gambang Creative Team
www.maiyah.net
Admin Pada Tuesday, January 29, 2013 Komentar

Kota Orang-orang Bisu

Cerpen

Cerpen Dadang Ari Murtono (Kompas, 13 Januari 2013)
SIAPA pun pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota dengan penghuni yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu.

Dan karena semua penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum atau menganggukkan wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka menunjuk barang apa saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena semua bisu, maka sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja begitu hening.

Kota itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua mengesankan bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun yang lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu sulit dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan letak kota itu), maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang ada di luar kota tersebut.

Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama seperti orang normal kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu itu, kota tersebut dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang begitu haus kekuasaan. Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain. Tidak sekali dua kali si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Misal: menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan penduduknya. Atau ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang besar selayaknya istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di sana tanpa upah. Persis kerja rodi. Atau romusa. Si penguasa juga menjadikan segala tambang yang ada di kota itu (dulu, kota itu memiliki banyak tambang, mulai tambang emas, tambang minyak bumi, hingga tambang batu bangunan) menjadi milik pribadinya.

Tidak ada yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki pasukan yang kuat dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang berani melawan, akan bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba melawan si penguasa. Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang takut, pada akhirnya, hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan segala sesuatu tentang si penguasa yang buruk-buruk.

Namun, seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah bagaimana, si penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu selalu menggunjingnya, membicarakan keburukannya.

“Suatu hari, gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan pemberontakan!” demikian kesimpulan si penguasa. “Ketika waktu itu tiba, bukan tidak mungkin sekuat apa pun pasukanku, tidak akan dapat meredam orang-orang itu,” pikirnya lagi.

Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan tujuan agar tak ada lagi penduduk kota yang membicarakan keburukannya, yang kemungkinan besar bisa membahayakan kedudukan si penguasa di kemudian hari, si penguasa mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan paling aneh yang pernah dibuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu.

Dan bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong, melainkan juga lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi. Lalu begitulah. Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong, setelah semua yang ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir, tiba-tiba saja sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga hari ini.

Itu memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua itu.

Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah orang-orang yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara. Bahkan, dalam tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin bicara. Semua selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang mendengar bila semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan keadaan seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata bualan! Bualan belaka!

Pada waktu itu, entah dari mana, seseorang yang konon adalah wali Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu terkejut mengetahui betapa orang-orang di kota itu teramat suka membual. Namun si wali tahu, lidah bisa membual, tetapi tidak halnya dengan mata. Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan dasar berupa hati. Itu pula sebabnya orang-orang menyebut mata sebagai jendela jiwa.

Konon, kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang di kota itu berhenti membual. Agar orang-orang di kota itu tidak lagi bicara dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata.

Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini.

Aku tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting benar bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di sini. Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan kami berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah hanya akan mengucap cinta kepadaku.

Waktu itu, aku percaya. Hingga kemudian, beberapa waktu yang lalu, aku tahu, ia menggunakan lidah dan mulutnya untuk mengucap cinta kepada lelaki lain. Dan bukan hanya mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga mengecup serta mengulum mulut dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin, bukan hanya lidah dan mulut lelaki lain itu saja yang ia kecup dan kulum. Mungkin juga bagian tubuh yang lain dari lelaki itu.

Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya. Tapi ia bilang aku terlalu mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu. Ia bilang ia tidak melakukan apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia berkata lagi, ia bersumpah lagi tetap mencintaiku. Dan aku meminta pembuktian. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal mengucap cinta kepada lelaki lain. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal menjilati tubuh lelaki lain.

Begitulah. Dengan bersusah payah, dengan cara yang teramat sulit dijelaskan, kami sampai ke kota ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada enggan di dalam hati kekasihku. Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi ada. Dan aku memaksanya.

Demi cinta.

“Di sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan. Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang aneh? Negeri di mana orang- orang suka meremehkan orang-orang yang mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang-orang bisu itu, kita tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang utuh, manusia normal ketika berada di sana,” kataku. Meyakinkan.

“Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?” desakku.

Begitulah mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap cinta. Mengucap nama masing-masing. Itulah kata-kata terakhir yang lidah kami ucapkan. Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling memotong lidah. Saling membisukan diri. (*)

Admin Pada Tuesday, January 29, 2013 Komentar
GENERASI KEMPONG

GENERASI KEMPONG

Kolom Cak Nun
SALAH-SATU jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham."

Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?"

"Kok kempong..maksudnya?"

"Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupukpun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana - maunya langsung ditelan sekali jadi"

Teman saya itu nyengenges.

"Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah. Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..."

Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.

Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat.

Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit sajapun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan teve sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel.

Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget.itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.

Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama.

Sebaliknya meskipun saya tidak nyolong, kalau saya bilang "saya ini orangnya Suharto, saya dikasih perusahan PT Dengkulmu Mlicet..", orang instantly percaya bahwa saya memang orangnya Suharto. Meskipun saya seekor anjing, tapi kalu saya katakana bahwa saya kambing, orang langsung yakin bahwa saya bukan anjing. Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja, termasuk informasi.

Tidak ada etos kerja. Tidak ada ideologi dharma, atau falya'mal 'amalan shalihan. Yang kita punyai hanya obsesi hasil, khayal pemilikan dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil copetan atau korupsi. Gus Dur kena gate, Akbar kena gate, ada AsaramaGate ada AsmaraGate dan beribu-ribu gate yang lain dari - asalkan yang nyolong semuanya kan kita relatif aman. Pak Amin Rais bilang kalau kita paksakan Pansus Buloggate-II dibentuk berarti akan terjadi pembubaran parlemen.

Bahasa jelasnya, maling yang ditangkap yang tertentu saja. Kalau benar-benar memberantas maling, nanti DPR/MPR bubar, pemerintah bubar, seluruh Indonesia jadi Lowok Waru, Cipinang, buen-buen. Maka betapa indahnya kalau Pak Amin Rais menjadi pahlawan pembubaran Parlemen Maling, sebagai salah satu jalan mendasar dan total perbaikan dan penyembuhan Indonesia?

Sebab, lambat atau cepat, hal itu akan terjadi, meskipun tidak harus dalam bentuk wantah. Kalau rakyat tidak sanggup menagih, maka akan ada yang lebih kuat dari rakyat yang akan menagih. Pak Harto dikempongi, Habibie dikempongi, Gus Dur dikempongi, dan sekarang sedang mulai gencar Megawati dikempongi...

'Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum. Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah - akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupan berbangsamu. Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu - akan nglinthek di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu.

Apa yang sesungguhnya egkau harapkan dari keadaan-keadaan yang semakin lama semakin menyiksamu ini? Siapa sebenarnya Imam-mu yang sungguh-sungguh bisa engkau percaya? Siapa presiden-sejatimu? Siapa pemimpin yang nasibmu bisa saling rebah bersamanya? Siapa yang menjamin sembako di pawon-mu dan uang sekolah anak-anakmu? Siapa yang menjaga keamanan keluargamu dan nyawa anak-anak serta istrimu, padahal engkau sudah membayar pajak?

Sampai kapan engkau menyanyikan lagu-lagu khayal siang malam di koran dan teve? Sampai kapan engkau berenang-renang di lautan takhayul? Apakah harus kita ubah Ajisoko kita menjadi Ho-no-co-ro-ko, Do-to-so-wo-lo, Po-dho-pe-kok-o, Mong-go-mo-dar-o..?

Sebenarnya diam-diam di dalam hatimu engkau sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, tetapi keangkuhan kolektifmu masih menjadi dinding bagi terbukanya kejujuranmu. Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi yang semakin kempong giginya, ataukah diam-diam engkau menumbuhkan lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa depannya.[]

EMHA AINUN NADJIB
Admin Pada Tuesday, January 29, 2013 Komentar

Monday, January 28, 2013

PODIUM

PODIUM

Cerpen
SEKARANG tugasku yang penting ialah menjadi muadzin keliling. Beredar tiap hari Jum’at dari masjid kampung ini, ke kampung itu, dan masjid kampung sana telah menunggu untuk giliran berikutnya. Nooriman Dutawaskita, yang memberiku tugas, selalu juga bertindak sebagai khotib di masjid-masjid itu.

Pada minggu-minggu terakhir ini bahkan ada tugas lain: Gus Nooriman (demikian orang-orang kampung memanggilnya) memberi pengajian dan aku mengawalinya dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Our’an. Ini sungguh-sungguh semangat baru yang memancar di kampung-kampung terutama di daerah Jombang timur. Semangat keagamaan yang dianugerahkan langsung dari langit, bagaikan hujan yang tumpah. Para jemaah di masjid atau muslimin dan muslimat di acara pengajian umum, berjejal-jejal dan terpesona mendengarkan uraian Gus Noor. Mereka bagaikan bermimpi menatap anak ajaib itu di podium. Aku sendiri yang selalu “diseret” Gus Noor ke mana-mana, merasakan getaran keajaiban itu.

Waktu beradzan dan mengaji serasa aku sedang turut membangun keajaiban. Bertumbuh kebanggaan yang besar. Aku sering menangis. Tetapi kebanggaan itu segera lebur ketika ingatanku melayang kepada kebesaran Allah. Segalanya niscaya kembali kepadaNya. Juga setiap kebanggaan yang bisa menggelincirkan.

Usiaku 12 tahun, dan Gus Noor kukira belum lebih 14 tahun. Aku berada di bulan-bulan terakhir SD, sekaligus Madrasah Ibtidaiyah. Sedangkan Gus Noor seingatku sudah 4 tahun terakhir ini berhenti sekolah, dari kelas IV Madrasah. Perihal kemampuanku mengaji Al-Qur’an, bukan hal yang mengherankan untuk situasi pendidikan mengaji di kampung. Sejak sebelum bersekolah, setiap mau tidur Ibu mengelus-elusku sambil mengajari lagu AlQur'an atau kasidahan. Di langgar, pelajaran mengaji dilatih terus menerus. Kepintaran mengaii bahkan menjadi ukuran gengsi seorang anak. Adikku yang berusia 9 tahun berani kupertandingkan mengaji dengan tamatan Mualimat Yogya yang terkenal di sana. Jadi tugasku itu bukan hal yang luar biasa. Gus Noor memilihku kukira hanya karena suaraku kabarnya bagus dan bisa mengalun lebih merdu dibanding teman-teman mengaji di langgar. Kuterima tugas itu dengan perasaan yang khusyu, seakan aku sedang ikut bepergian dengan seorang Malaikat.

Aku tidak bergurau. Soalnya kemampuan Gus Noor untuk berkhotbah, menguraikan masalah-masalah agama dan kemasyarakatan, hapalannya yang luar biasa akan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, tidaklah ia peroleh dari langgar, melainkan hanya bisa dijawab langsung oleh Allah swt. sendiri. Masyarakat di seluruh kampung mempergunjingkan bagaimana Nooriman, anak kecil tukang cangkul di sawah itu, bisa punya pengetahuan begitu luas. Kaum muslimin dan muslimat amat terkesima, dan banyak sudah di antara mereka yang menjadi bertambah tebal iman Islamnya, atau bertaubat dari keingkarannya. Gus Noor selalu dikerumuni orang untuk didengar uraiannya. Sekarang bahkan mulai datang undangan dari daerah-daerah lain yang jauh. Posisi psikologis Gus Noor di kalangan masyarakat luas sudah hampir menyamai kesan Nabi Muhammad saw. yang selama ini hanya mereka bayang-bayangkan saja. Orang-orang itu menatap Gus Noor bahkan seperti menatap Malaikat.

Sungguh tak masuk akal. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang istimewa pada Gus Noor yang mengarah ke situ. Di Madrasah Mansyaul Ulum, Nooriman ini murid biasa-biasa saja. Pelajaran tidak paling pandai, suara tak tergolong merdu, tubuhnya kurus tak pintar, olah raga apa pun. Atau barangkali dasar penilaian masyarakat tidak mampu menangkap tanda-tanda yang lebih dalam umpamanya yang terdapat dalam ruang batin Noor. Kurang jelas juga.

Orang tua Noor termasuk kalangan paling melarat di kampung. Sampai kelas IV, sekolah tak mampu ia lanjutkan. Noor keluar dan membantu kerja orang tuanya di sawah yang hanya sedikit. Noor amat rajin dan tetap pendiam. Di tahun-tahun berikutnya Noor membantu Bapaknya berjualan buah kelapa. Bergantianlah bapak-anak ini membawa puluhan butir kelapa ke pasar kota Jombang. Pakai sepeda. Kelapa dimasukkan ke dalam rengkek yang ditaruh di boncengan sepeda itu. Pada saat itulah Tuhan mentakdirkan keajaiban. Di tengah jalan waktu bersepeda membawa kelapa, Noor jatuh sakit. Beberapa orang penjaga gardu segera menolongnya. Membaringkannya di rumah terdekat dan merumatnya. Kurang jelas apa sakit Noor. Cuma dingin panas. Demam. Orang-orang desa tentu saja tidak segera punya inisiatif untuk memanggil Dokter. Hanya datang satu dua orang tua mengurutnya, memijat dan meminuminya jamu. Orang tuanya segera dipanggil. Tetapi kemudian datanglah seorang tamu. Seorang pemuda, pakai sarung, baju piyama dan ber-peci. Sopan sekali ia.

“Apakah di sini ada anak sakit bernama Nooriman?” ia bertanya. Dan orang-orang kampung itu, sambil terheran-heran, mengatakan memang anak ini bernama Nooriman dan ia sakit. “Apakah Saudara keluarganya?’ “O bukan. Saya diutus oleh Bapak Kyai Sahlan untuk mendatangi Nooriman dan beliau menyuruh membawanya ke rumah beliau untuk dirawat. Orang-orang kampung itu semula tak mengizinkan. Tapi setelah datang Bapak Nooriman, orang tua ini mengizinkannya. Panggilan seorang Kyai selalu menggetarkan dan merupakan kehormatan tak terhingga dari setiap muslim di desa. Akhirnya Nooriman pun dibawa, dengan perasaan yang bergelora pada semua orang yang menyaksikannva. Bapaknya tentu saja turut mengantarkan kesana.”Inilah saudaraku yang sejak lama kutunggu-tunggu,” demikian Kyai Sahlan menyambut Nooriman. Tersiraplah darah semua yang mendengarnya.

Kata-kata itu adalah sebuah pernyataan yang khusus dan luar biasa. Semua orang mengenal Kyai Sahlan sesepuh kaum muslimin yang waskita, orang yang berpuasa sepanjang hidupnya, ahli tarekat dan kyai yang khusyu. Nooriman adalah saudara beliau? Apa maksudnya? Tak seorang pun mengerti dengan jelas. Tetapi kemudian terjadilah keajaiban-kea’aiban itu. Setelah sembuh dari perawatan Kyal Sahlan, Noor diperkenankan pulang ke desanva. Namanya sekarang bertambah, menjadi Nooriman Dutawaskita. Begitu sampai di rumahnya, dan dikerumuni tetangga-tetangganya, ia mulai menunjukkan mukjizat.

“Umurku tak lama lagi akan berakhlr,” katanya, yang tentu saja mengejutkan kedua orang tuanya. “Tetapi sebelum ajal itu tiba, aku diberi tugas oleh Tuhan untuk memperbaiki kampung ini. Kalian semua tak boleh lagi melalaikan sembahyang dan rukun Islam lainnya semampu-mampunya. Pamong-pamong jangan seenaknya bertindak pada rakyat.

Jangan hanya bisa menjilat Lurah. Dan lurah kemarin baru saja mengambil uang pajak rakyat dan dipakainya untuk beli sepeda motor baru. Carik juga korupsi, lihat itu pakai uang siapa ia membangun rumahnya. Mana Sumadi? Cepat cari. Ia kini sedang membawa sepeda mertuanya dan akan dijualnya di pasar kota. Orang-orang kampung ini bagaimana tidak tahu anak-anaknya sering berbuat tak senonoh. Semalam Giman pura-pura mendatangi pertemuan di Jombang, padahal ia janji sama Sumalyah untuk ketemu di tanggul ujung selatan desa. Mereka bercumbuan di bawah pohon-pohon turi dan tanaman yang rimbun. Mana Samiran? Cepat, ia bertobat dan mulai sembahyang. Jangan suka mencopet lagi dan curi tebu di kebun atau ketela di tegalan. Sebab malaikat sudah mulai mengintainya. Si Darip, mataulu desa, mulai hari ini tidak boleh lagi memaksa pemilik sawah membayar pengaliran air, sebab desa sudah menentukan pembagiannya secara adil……

Mulut Gus Noor seperti memberondongkan peluru-peluru yang mengenai banyak para pedosa di kampung. Maka gaduhlah hari itu. Orang-orang yang dituduh mula-mula berang dan marah. Tapi kemudian takut dan menghentikan kejahatannya, setelah tak bisa menjawab dari mana gerangan Nooriman tahu sekian banyak hal. Terjadilah perubahan luar biasa di kampung. Perbincangan tentang Nooriman menyerap kesibukan masvarakat. Makin lama ia bertumbuh menjadi semacam kiblat kepercayaan baru. “Tapi saya ini bukan Nabi.” Ia menegaskan, “Nabi kita tetap Muhammad saw. dan Tuhan kita tetap Allah SwT”

Akhirnya Nooriman berkhotbah di masjid. Kyai Salam dengan rela memberinya kesempatan. Dan luar biasa. Orang-orang tak mengerti bagaimana anak ini bisa meniadi pintar, fasih dan mempesona. “Ia pasti seorang Wali!” kata salah seorang. Yang lain tak membantahnya, dan segera bersepakat untuk memanggil Nooriman dengan sebutan Gus Nooriman. Gus Noor. Ila menjadi cahaya baru di kampung. Cahaya yang benar-benar cahaya. Di dapur, beranda, di masjld, di sawah, di warung dan di mana pun, selalu Gus Noor yang diomongkan. Gus Noor, Gus Noor.

Demikianlah akhirnya aku dipilihnya untuk menjadi muadzin dan pengaji Qur’an. Bahkan kemudian ia minta untuk tinggal di rumahku, maksudku di rumah orang tuaku. Tentu saja suatu kehormatan besar yang tak mungkin kami tolak. Di samping itu maksud Gus Noor memang tepat. Kebetulan Bapakku pemuka agama dan masyarakat di kampung. Bapak memegang sekolah Madrasah dan Taman Kanak-kanak, sekaligus memangku masjid. Rumah kami sendiri adalah pos sosial. Anak-anak belajar malam di sini, yang besar-besar kumpul tiap malam di sini. Memusyawarahkan segala hal ikhwal kampung. Dari soal kegiatan pengajian, peringatan-peringatan Hari Besar Islam, pertanian, sepakbola, dan sekaiisekali soal kenegaraan. Dulu desaku dipecah oleh NU dan Muhammadiyah. Orang sibuk bertengkar seperti kerbau dungu, yang diadu oleh penggembalanya. Kini kami hapus semuanya. Kampung bersatu langsung di bawah atap Tuhan, tanpa tabir-tabir. Dan sejak keterlibatan langsung Gus Noor di sini, ditambah satu kegiatan, ialah Perpustakaan. Dari buku-buku cerita Nabi yang ringan, buku peribadatan, pengetahuan umum, langganan koran-koran, sampal literatur kelsiaman yang agak berat. Memang belum banyak anak-anak dusun yang gemar membaca, tetapi lingkungan baca-membaca sudah dimulai langsung dengan wadah dan sarananya.Di rumah kami sendiri suasana menjadi amat lain. Rasanya ada makhluk dari langit menetap dan hidup bersama kami.

Hubungan Gus Noor dengan orang tuanya biasa-biasa saja, tetapi orang tuanya pun tentu saja punya perasaan yang lebih dari kami orang kampung. Ketakjuban dan rasa bahagianya tentu lebih besar. Sehari-hari Gus Noor amat bersahaja. Sejak makanan sampai pakaian dan sikapnya. Pakaian hanya dua pasang, ditambah sarung dan peci. ia hanya mau makan gaplek. Sekali waktu Ibu mencampuri nasigapleknya dengan jagung atau sedikit nasi. Akibatnya Gus Noor tak mau memakannya, meskipun campuran itu begitu tersembunyi sehingga sukar diketahui. Gus Noor berpuasa tiap hari. Ia sibuk mengaji, melihat anak-anak sekolah, memberi pengajian, sembahyang dan berdoa. Seluruh penghuni rumahku mendapat tugas masing-masing. Bapak Ibu menjalankan kewajiban seperti biasa. Kakakku dan beberapa Guru Madrasah yang menetap di rumah kami, punya tugas paling berat. Di samping mengelola sekolah, belajar bersama, pengajian-pengajian dan perpustakaan, setiap malam mereka punya tugas khusus. Sehabis tengah malam lewat, mereka dibangunkan Gus Noor. Diajak berwudhu. Diajak sembahyang. Bersujud amat lama dan berdoa hampir tak henti-henti. Sesekali diajak mereka ke luar rumah. Ternyata menuju kuburan. Dan masuk. Satu ditinggal di pojok sini, satu di pojok sana, satu di tengah dan lainnya di dua pojok sisanya.

“Sunyi dan rasa takut akan mempertemukanmu lebih cepat dengan Allah!” kata Gus Noor. Aku sendiri punya tugas ringan. Menjadi muadzin dan pengaji, kemudian setiap sore harus melayani Gus Noor berdiskusi tentang hadis-hadis Nabi, sifat orang, dlsb. Aku tak pernah diseretnva ke kuburan. Gus Noor sendiri, begitu memperoleh kepercayaan dari seluruh masyarakat, sehingga dalam waktu sekitar setengah tahun, ia berhasil mengelola perencanaan pembangunan masjid di tiga desa sebelah. Biaya lengkap, material bangunan tersedia, dan pembangunan pun dilaksanakan secara gotong royong. Ini merupakan langkah maju masyarakat Islam di tiga desa itu yang semula amat rawan. Gus Noor sungguh-sungguh membawa kemajuan yang nyata, dan terutama menciptakan suasana yang nyata dan memeluk. Tuhan bagaikan hadir langsung. Pada suatu hari Gus Noor jatuh sakit. Pada rakaat terakhir sembahyang Isya, di mana ia bertindak sebagai imam di langgar mendadak ia ambruk. Jemaah tertegun sesaat. Kakakku, sambil mengucap “Subhanalloh,” segera maju ke ruang Imaman dan mengambil oper peran Gus Noor, sementara beberapa orang membatalkan sembahyang dan menggotong Gus Noor. Langgar ribut. Sesudah dalam tahiyat akhir orang segera sibuk. Gus Noor dipapah ke rumah. Ternyata pingsan. Cari minyak angin. Dipijit-pijit. Seluruh kampung segera bersibuk dengan sakit Gus Noor. Suasana menunjukkan kebingungan, rasa panik, tanpa ada pendapat atau kesimpulan apa-apa.

Di malam itu juga, di tengah kesibukan mengurus Gus Noor, datang tamu. Seorang pemuda santri. “Saya murid Kyai Sahlan. Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Saya datang untuk menyampaikan berita bahwa Kyai Sahlan telah diperkenankan untuk menemui Allah SWT. Kami mengharap kedatangan Gus Noor ke sana untuk turut pada upacara pemakaman beliau, besok, pagi.” Tetapi Gus Noor pun jatuh sakit. Pingsan. Tapi tak jelas karena apa. “Gus Noor benar-benar saudara Kyai Sahlan,” ujar pemuda santri itu, “semoga Allah mentakdirkan Gus Noor untuk menggantikan Kyai Sahlan.” Orang pun menghubungkan dua kejadian itu sekaligus. “Sudah mulai bergerak-gerak. Mungkin akan siuman,” berkata kakakku, tergopoh-gopoh ia dari kamar di mana Gus Noor dibaringkan.

“Mudah-mudahan. ”

Ternyata beberapa saat kemudian Gus Noor benar-benar telah siuman. Sesudah pingsan, kemudian menggigil dan seperti sedang melakukan suatu perjuangan, nafas Gus Noor yang semula menghempas-hempas, akhirnya mereda. Orang-orang berkerumun. Perlahan Gus Noor membuka matanya. “Gus Noor…. Gus Noor....” Kakakku memanggilnya, sambil memegang tubuhnya. Setengah sadar wajah Gus Noor seperti memancarkan ketidak-mengertian. Ia memandang beredar. “Gus Noor….” sahut kakakku lagi. “Gus Noor?” Gus Noor berkata lemah. “Siapa itu Gus Noor?” Orang yang berkerumun itu jadi terdiam. Kemudian saling berpandangan. Kakak mengerutkan keningnya.


Emha Ainun Nadjib
Taken From : Kumpulan Cerpen Yang Terhormat Nama Saya

Admin Pada Monday, January 28, 2013 Komentar
INFO UN, UAMBN, UASBN PAI 2013

INFO UN, UAMBN, UASBN PAI 2013

Berita Pendidikan

PERATURAN BSNP No. 0019/P/BSNP/XI/2012 Tentang Kisi-kisi Ujian Nasional Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2012/2013

  • PERATURAN BSNP No. 0019/P/BSNP/XI/2012 Tentang Kisi-kisi Ujian Nasional Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2012/2013
  • Kisi-Kisi-SD-MI-SDLB-tahun-2012-2013
  • Kisi-Kisi-SMP-SMA-SMK-PLB-tahun-2012-2013
  • Kisi-Kisi-PAKET-A-B-C
 

Keputusan Dirjen pendis No. 21 tahun 2013 Tentang Ketentuan Pelaksanaan UAMBN Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Arab Tingkat MI, MTsN, Dan MA Tahun 2013

  • Keputusan Dirjen pendis No. 21 tahun 2013 Tentang Ketentuan Pelaksanaan UAMBN Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Arab Tingkat MI, MTsN, Dan MA Tahun 2013
  • Lampiran 1 ( POS UAMBN Madrasah )
  • Lampiran 2 ( Kisi-Kisi UAMBN Madrasah )

 

SURAT KEMENTERIAN AGAMA R I TENTANG PEMBERITAHUAN UASBN PAI PADA SEKOLAH TAHUN 2013

  • SURAT KEMENTERIAN AGAMA R I TENTANG PEMBERITAHUAN UASBN PAI PADA SEKOLAH TAHUN 2013
  • Kisi-Kisi-UASBN PAI SD 2013
  • Kisi-Kisi-UASBN PAI SMP 2013
  • Kisi-Kisi-UASBN PAI SMA 2013
  • Kisi-Kisi-UASBN PAI SMK 2013



Admin Pada Monday, January 28, 2013 Komentar
Rumah Dalam Surau

Rumah Dalam Surau

Cerpen
Cerpen : Damhuri Muhammad

ORANG-ORANG kampung kami tak henti-henti membangun surau. Tak pernah lelah mereka mengumpulkan wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Menggalang dana untuk mendirikan surau. Setiap musim Lebaran, para perantau yang berdatangan dimintai bantuan. Ada yang berderma dalam bentuk bahan bangunan, ada pula yang menyumbang uang tunai. Untuk apa lagi kalau bukan buat pembangunan surau? Memang, hampir tiap sudut kampung kami, surau sudah berdiri. Tapi, itu belum cukup. Bagi kami, surau bukan saja tempat salat, wiridan, majelis taklim dan belajar mengaji, tapi juga tempat tinggal bagi semua anak laki-laki kampung kami yang sudah akil balig. Tengoklah! Rumah-rumah yang tampak berdiri kukuh itu memang rata-rata berukuran besar, pekarangannya luas. Tapi, di dalamnya tak bakal ditemukan kamar bagi anak laki-laki. Kalaupun ada, itu pasti diperuntukkan bagi anak perempuan. Laki-laki tak boleh ditinggal di rumah. Bila ada yang masih tinggal di rumah, ia bakal diolok-olok sebagai banci yang tidur di bawah ketiak emak.

Makanya, sejak usia sekolah dasar, kami sudah tidur di surau. Tak ada kamar di sana, hanya ruangan bagian belakang surau yang disekat papan tripleks menjadi beberapa bagian. Di situlah kami tidur. Berhimpit-himpitan serupa ikan pindang dalam wajan. Sebelum terlelap pulas, kerap ada yang berkelahi. Macam-macam sebabnya. Ada kawan yang iseng menyembunyikan selimut kain sarung kawan yang lain. Ada kawan yang mencaplok tempat tidur kawan lain atau ada yang sengaja kentut persis di mulut kawan lain yang sudah lebih dulu tidur. Lebih banyak waktu kami di surau ketimbang di rumah. Pulang ke rumah hanya siang hari, makan, ganti baju, sorenya balik ke surau. Ada pula yang sama sekali tidak pulang ke rumah. Semua pakaian dan perlengkapan sekolah diangkut ke surau. Di sana mereka mengaji, salat berjemaah dan bila malam mulai pekat, tibalah saatnya mereka belajar silat, (mereka kerap berkelahi itu kadang-kadang dalam rangka menghafal jurus-jurus silat). Dari surau pula mereka berangkat ke sekolah. Benar-benar seperti tidak punya rumah. Hanya surau itulah rumah mereka. Itu sebabnya surau-surau di kampung kami tak pernah sepi. Selalu riuh suara anak-anak mengaji. Tak hanya di bulan puasa, tapi juga di bulan-bulan biasa.

"Kalian belajar dan tinggal di surau, supaya kelak tidak canggung bila merantau!" begitu ajaran salah satu guru kami.

"Sabarlah! Tak lama lagi bakal tiba saatnya kalian harus merantau!"

"Anak laki-laki harus merantau! Tiada berguna tinggal di kampung bila kalian belum merantau!"

"Merantau bujang dahulu, di kampung perguna belum!"

Meskipun tidak merantau jauh, kami tetap saja akan merantau ke rumah orang. Pergi dari rumah, hidup dan tinggal di rumah anak bini. Salah seorang kawan kami, Sumanda, misalnya. Sejak dulu, ia tak berniat mengadu nasib di rantau orang. Tekadnya sudah bulat. Kelak bila tulang-tulangnya sudah kuat mengayun cangkul, mengolah sawah, menggarap ladang, laki-laki itu akan tetap di kampung. Ia ingin jadi petani. Banyak juga orang kampung kami yang bisa kaya tanpa harus merantau jauh-jauh. Lihat saja Sumanda! Selain mengolah sawah dan ladang, ia memelihara hewan-hewan ternak. Berkat gigih dan kerja keras, saat masih bujangan saja, Sumanda sudah mampu menyekolahkan adik-adiknya di kota, hingga semuanya sudah lulus jadi sarjana. Itu semua dibiayai Sumanda dari hasil sawah, ladang dan hewan-hewan ternak yang terus-menerus berkembang biak.

Kini, Sumanda bukan laki-laki lajang lagi. Sama seperti kami yang hidup di rantau, Sumanda juga sudah beranak pinak di rumah istrinya. Dua perempuan, satu laki-laki. Tahun lalu, Sumanda menikahkan Fatia, putri sulungnya. Tak terasa waktu berjalan. Sudah punya menantu kawan kami itu rupanya. Sudah pula punya cucu. Tapi, kami tak pernah lupa kenangan masa kecil saat mengaji dan tinggal bersama-sama di surau. Sumanda anak yang rajin. Pulang sekolah, ia menyabit rumput untuk kerbau-kerbau peliharaan bapaknya. Bila musim menuai tiba, Sumanda ikut pula membantu. Tapi sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pelajaran mengaji. Tetap kembali ke surau. Mungkin karena itu, ia menjadi anak kesayangan guru mengaji kami. Suara azannya merdu sekali. Mendayu-dayu. Merinding bulu kuduk dibuatnya.

Meski jarang pulang, kami tetap mendengar kabar tentang Sumanda. Hidupnya sudah tenang. Sebelum menikah, Fatiya dan Maimuna sudah dibuatkannya rumah batu. Anwar, anak laki-lakinya juga sudah bekerja sebagai teknisi komputer di sebuah jawatan di ibu kota kabupaten. Selesai sudah tanggung jawab Sumanda sebagai orang tua, sebagai bapak, sebagai suami. Kini, ia tidak ke sawah dan ke ladang lagi. Sumanda mulai tekun beribadah. Ia kembali ke surau, tempat kami mengaji dulu. Lebih banyak waktunya di surau daripada di rumah. Makin lama makin jarang Sumanda pulang ke rumah istrinya. Sehelai demi sehelai diangkutnya pakaian ke surau, hingga akhirnya Sumanda benar-benar menetap di surau. Bila waktu salat tiba, berkumandanglah suara mendayu-dayunya itu. Sehari-hari kesibukannya merawat surau. Menggelar dan menggulung tikar, menyapu, juga membersihkan tempat wudu.

Meski tidak punya penghasilan seperti dulu, Sumanda bisa makan dari persediaan beras surau hasil sedekah para jemaah. Selain ingin menghabiskan umur yang tersisa, keputusan Sumanda kembali surau juga disebabkan oleh makin kurangnya perhatian istri dan anak-anaknya. Tak ada lagi yang menanyakan keadaannya. Padahal, di usia renta seperti itu, Sumanda kerap sakit-sakitan. Batuknya menjadi-jadi. Suatu malam, saat sesak napasnya kambuh, darah kental keluar dari mulutnya. Rupanya Sumanda tidak ingin merepotkan istri dan anak-anaknya. Istri Sumanda jarang di rumah, karena sering berkunjung ke rumah dua anak perempuannya itu. Menjenguk cucu. Sumanda merasa kesepian, merasa sendiri, merasa tidak dilayani lagi. Lagi pula, tampaknya istri Sumanda memang lebih tenang jika suaminya itu tinggal di surau.

***

Zulfikar, salah seorang kawan masa kecil kami baru saja pulang dari kampung. Setiap Lebaran ia selalu mudik. Maklumlah, Fikar orang berada. Pengusaha sukses. Sekali sebulan pun (bila mau) ia bisa saja pulang kampung. Dari Fikar, kami mendengar banyak cerita tentang keadaan kampung. Perihal satu dua sahabat masa kecil kami yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan, tentang jalan kampung yang mulai kinclong sejak diaspal, tentang suasana musabaqah tilawatil Qur'an setiap Ramadan yang selalu meriah, tentang salat hari raya di lapangan hijau yang penuh sesak para perantau yang pulang dengan muka berseri-seri. Tentu perantau-perantau yang mudik dengan mobil-mobil pribadi mengkilat, bukan perantau yang kurang beruntung seperti kami.

Banyak yang berubah di kampung kami. Namun, ada satu kebiasaan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Kebiasaan orang-orang kampung kami mengumpulkan infak, wakaf, zakat dan sedekah guna membangun surau. Bagi kami, membangun surau sama artinya dengan membangun rumah. Rumah bagi anak-anak laki-laki kampung kami yang mulai beranjak besar. Bila tak ada surau, mereka tak bakal punya tempat bernaung. Rumah-rumah hanya untuk anak-anak perempuan. Beruntung sekali menjadi perempuan di kampung kami.

"Bantulah pembangunan surau baru yang terbengkalai!" begitu pesan yang dibawa Fikar untuk kami.

"Orang-orang kampung kita sangat membutuhkan surau itu!"

"Surau sudah seperti cendawan musim hujan, masih belum cukup rupanya?" tanya kami pada Fikar

"Surau-surau yang ada sudah penuh. Penghuninya membludak. Banyak yang tidak kebagian tempat!"

"Jangan mengada-ada kau! Seberapa banyak anak-anak yang belajar mengaji? Hingga tak tertampung lagi di surau-surau itu?"

"Bukan, bukan! Yang tinggal di surau bukan anak-anak mengaji seperti dulu. Surau penuh oleh duda-duda tua yang dicampakkan anak-bini. Pria-pria gaek tak berguna. Jumlah mereka makin banyak. Ini mendesak. Jadi, bantulah!"

"Akan telantar hidup mereka, bila pembangunan surau baru itu tidak segera selesai!"

"Lagi pula, bila kalian sudah pulang kelak, bukankah di surau itu juga kalian akan habiskan hari tua?!"

"Apa kalian mau mati di rantau, hah?"

Seketika kami teringat Sumanda. Jangan-jangan sahabat kami itu salah satu duda tua yang sudah tak berguna di rumah istrinya, lalu terbuang ke surau. Kecil di surau, setelah bau tanah, kembali ke surau. Menunggu mati di surau. Mengingat-ingat peruntungan Sumanda yang tak mujur, kami seperti sedang menatap bayangan kesuraman akhir hayat kami.

"Sumanda bagaimana kabarnya? Dia sehat-sehat saja?" tanya kami lagi pada Zulfikar.

"O iya, Sumanda salah satu penghuni surau yang perlu disantuni."

"Santuni? Dia kan punya istri dan anak-anak?"

"Iya, tapi ia lebih suka tinggal di surau tua tempat kita mengaji dulu. Sudah lapuk, dindingnya hampir roboh, atapnya tiris. Kasihan Sumanda! Apalagi dia sedang sakit-sakitan begitu."

"Nanti kalau surau baru sudah selesai, Sumanda kita pindahkan ke sana!"

"Tunggu apa lagi? Ayo, bantulah!"

Bergegas kami merogoh kantong. Mengeluarkan infak sesuai kemampuan sendiri-sendiri. Setelah dana terkumpul kami serahkan pada Zulfikar yang dalam waktu dekat ini juga akan pulang kampung. Ada urusan bisnis, katanya. Kami menyumbang untuk pembangunan surau baru itu, bukan semata-mata karena kasihan pada Sumanda yang bernasib malang. Kami seolah-olah sedang membangun rumah untuk tempat bernaung di hari tua. Kelak, bila kami sudah pulang dari rantau. Walau kami tak pernah tahu, apakah kami akan mati di rantau, atau mati di surau.

Kelapa Dua, 2006
Penulis adalah cerpenis, yang kini di Jakarta. Buku antologi cerpennya LARAS, Tubuhku Bukan Milikku (2005), Lidah Sembilu (2006)
Admin Pada Monday, January 28, 2013 Komentar

Sunday, January 27, 2013

Fenomena Emha (II)

Kolom Jamaah Maiyah Opini
oleh : Halim HD*)

Estetika Keprihatinan

Mengenal dirinya hampir seperempat abad, sebagaimana saya mengenal Linus Suryadu Ag. dan Murtijono atau teman-teman lain, saya melihat sosok dirinya sebagai figur yang dipenuhi oleh semangat kesetaraan, yang memiliki solidaritas yang mendalam, dan bahkan mempunyai kecenderungan menyisihkan hal-hal privasi, yang saya anggap sangat keterlaluan.

Pelayanan kepada publik, dari soal pribadi sampai masalah kenegaraan, menyita waktunya, dari pagi sampai larut malam. Seorang teman, Raziku, aktivis LSM menyebut tentang Emha sebagai orang yang “mewakafkan dirinya” bagi masyarakat.

Pada visi kebudayaan-keseniannya, saya meletakkan diri Emha dalam semangat “estetika keprihatinan”, suatu kerangka dan perspektif yang bukan hanya memandang dan menjalankan kesenian maupun aktivitas kebudayaan pada tiga kandungan hakikinya, yang menjadikan eksistensinya manusia dan masyarakat senantiasa berusaha untuk mencapai harapannya yang paling tinggi. Ketiga kandunga itu, sebagaimana dikatakan oleh YB. Mangunwijaya, kesenian dan kebudayaan yang memiliki keindahan-kebenaran-kebaikan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan.

“Estetika keprihatinan” merupakan konsekuensi logis dari kehadiran manusia di tengah-tengah masyarakat, lingkungannya, dan kapasitasnya untuk menuangkan masalah-masalah yang tumbuh dan berkembang. Keprihatinan pulalah yang mendorong untuk menciptakan segala sesuatu yang bersifat baru, pencairan kebenaran, demokrasi, hak asasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup, perbaikan nutrisi-gizi, sampai dengan penemuan teknologi yang sederhana, semisal sendok, sandal, baju, topi, palu, cangkul, dan sebagainya, seperti juga puisi, musik, tari dan sejenis kesenian yang lainnya.

Citra Keilahian
Memandang fenomena Emha dan keseniannya mau tak mau kita harus meletakkan pada kerangka latar belakang keyakinannya yang mendalam: Islam, yang bukan sekedar formalitas KTP dan upacara. Tapi lebih dari itu sebagai keyakinan pembebasan dan sumber penciptaan yang tak pernah tuntas habis. Inspirasi keyakinan inilah yang menurut saya bisa menjadi lebih jelas dalam kita memandang fenomena Emha dan keseniannya, dimana “citra keilahian (Theomorphic Being) mempunyai dua tuntutan dasar secara horizontal, sosiologis, maupun vertikal, theologis. Artinya, “citra keilahian” di dalam diri seseorang mendorong dirinya untuk bukan cuma meletakkan pada satu posisi secara dikotomis, secara vertikal saja atau hanya horizontal. Karena “citra keilahian” itulah konsekuensi secara sosiologis dan theologis menjadi tumpuan yang menyatu dan yang menghasilkan karya-karya sufistik yang mengandung nilai-nilai religiusitas maupun sosial. (Sumarno, Sastra Yang Tak Berhenti Pada Kata, paper diskusi “Forum Studi Seni & Sastra, 1994). Studi Sumarsono pada karya Emha, khususnya kumpulan puisinya yang berjudul 99 untuk Tuhanku membuktikan bahwa karya-karya sufistik atau karya-karya yang bersifat religius penuh dengan simbol, metafora dan isyarat-isyarat theologis yang berkaitan dengan masalah sosial. Studi itu juga menegaskan penolakan kepada asumsi yang berpandangan bahwa sastra atau puisi sufi atau sastra religius hanya berbicara soal Tuhan belaka. Emha menyatakannya dengan sederhana tapi menjadi “hot line” yang tidak pernah putus. Katanya: “Akhirnya saya berdoa kepada Allah: dalam hidup yang amat sejenak ini semoga ada juga satu-dua butir kata-yang saya terjemahkan dari rahasia-rahasia yang dipinjamNya-yang sedikit bermanfaat bagi sejumlah orang”. (Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, SIPRESS, cetakan ketiga, 1994, hal. XV)

Keterlibatan, atau komitmen, yang begitu populer di selingkungan mereka yang bergerak dalam kebudayaan-kesenian dan kemasyarakatan, pada fenomena Emha semakin menjadi jelas lewat aktivitas kebudayaan maupun proses kreativitas keseniannya, yang sementara itu di lingkungan NGO kata tersebut semakin cenderung menjadi slogan dan jargon yang memburuk lantaran ketidakkonsistenan, hanya sampai pada tingkat proposal, dan “gertak sambel” dalam diskusi. Di sisi lain, jika kebanyakan orang memiliki keterlibatan berdasar kepada kenyataan sosiologis belaka, sambil sesekali kadang kita menemui kecenderungan menyebelahmatakan atau menyepelekan kandungan religiusitas, maka dalam posisi dan diri “Kiai mBeling” kita ini, justru berangkat dari—seperti yang dikatakan Paul Tillich, seorang theolog dan filsuf—“ultimate concern”. Kreativitasnya bersumber dari puncak keprihatinan, dan kesadarannya kepada dimensi yang paling dalam, dimensi religiusitas. Dimensi ini pulalah yang membedakan Emha, seperti juga fenomena YB. Mangunwijaya, yang melebar dan mencair, yang tidak terkungkung dalam kerangka formalitas keyakinan, dan menjadikan dirinya pada posisi sosial yang unik, yang menjadi benih potensi bagi kehidupan ke-Indonesia-an yang akan datang, yang bisa bersapa tegur dalam perbedaan, kemajemukan dan saling menghargai, tanpa harus kehilangan esensi pilihannya kepada Sang Pencipta. Di antara begitu banyak masalah yang bersifat sektarian yang berlatarbelakang keagamaan, suku atau ideologi politik, dan juga ras, rasa-rasanya kita bersyukur atas kehadiran mereka yang bisa menjadi inspirasi bagi kehidupan pribadi, sosial maupun lingkup yang lebih luas, sebagaimana sosok Gus Dur, atau almarhum Hamka serta jamaah Muhammadiyah,Pak A.R. Fachruddin, yang mengisi keindonesiaan kita, yang menolak “nasionalisme Kumbakarna”: “Right or wrong my king!” Sosok mereka juga membekali kita kepada rasa keadilan dalam berbagai hal, yang mengilhami kita untuk menilai rasa keadilan dalam berbagai hal, yang mengilhami kita untuk menilai kembali soal “nasionalisme”. Ketika mekenisme kenegaraan hanya dikuasai oleh segelintir elite, dan lembaga-lembaga perwakilan hampir-hampir manjadi paduan suara, maka orkestrasi politik hanya ditentukan oleh seorang dirigen, tanpa melibatkan dan memberikan kesempatan kepada warga untuk ikut serta. Dan “nasionalisme” menjadi penggada-pemukul-pamungkas bagi mereka yang mencoba memberikan penilaian, penafsiran dan kritik kepada jalannya orkestrasi-politik. Karena “nasionalisme Kumbakarna” tidak dilandasi oleh rasa keadilan, demokrasi, hak asasi.

Goenawan, Sapardi
Pada tahun-tahun awal 70-an, Emha bersama PSK (Persada Studi Klub. Persatuan Sastrawan Muda) yang bermarkas di Yogyakarta, dengan bimbingan al-Mukarrom Ustadz-Sastra Umbu Landu Paranggi, bersama rekan-rekannya mengisi kehidupan dunia sastra. Pada awalnya di sekitar lingkungan sendiri; diskusi di antara sesama penyair, cerpenis dan penulis atau wartawan yang hampir setiap minggu diadakan di kantor surat kabar Pelopor Yogya. Sesekali kegiatan melebar dan menjelajah kampung dan kampus. Beberapa nama berkibar bersama Emha, seperti Linus, Yudhistira Adhi Noegraha, Iman Budhi Santosa, Suwarno Pragolapati, Bambang Indra Basuki (alm), Bambang Darto, Saiff Bakham.

Mengingat-ingat pada waktu itu, rasa-rasanya puisi Emha tidak beranjak dari Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono. Dan baru pada kumpulan puisinya M Frustasi, usaha pencarian pengucapannya nampak makin jelas. Dengan watak yang blak-blakan, agak brangasan dan rasa humor yang tinggi, serta daya gugat kepada masalah sosial dan keimanan,pusinya muncul sebagai salah satu fenomena yang melesat meninggalkan gaya pengucapan PSK, yang memiliki kecenderungan ber-goenawan, ber-sapardi dan ber-rendra-ria.

Pada proses selanjutnya, kehadiran Emha semakin meluas bukan di sekitar Yogya-Jakarta: rambahan di banyak wilayah untuk pembacaan puisi, merupakan sebuah usaha yang nampaknya dibekali oleh semangat PSK-Umbu yang selalu menekankan kepada cantriknya untuk membuka kemungkinan hubungan sasterawi, yang bukan hanya melalui media massa, namun juga kontak langsung dengan publik.

Sementara itu perjalanan Orde Baru (Orba) nampaknya juga tidak seiting dengan semangatnya semula. Kepincangan social, ekonomi semakin terjadi, khususnya setelah tahun 1974 dan dibarengi oleh semkin nampaknya saluran politik dan ikut dibarengi kesulitan lantaran birokrasi dalam hubungannya dengan kegiatan sastra atau kesenian. Yogyakarta, pada periode itu, mengalami masa vakum yang mencemaskan. Dewan kesenian, yang semula diharapkan jadi “payung” bagi kalangan kesenian dan pemikiran, masuk ke dalam sikap yang membisu, membiarkan peristiwa secara “alamiah”.

Pada waktu itulah kemungkinan untuk mencari peluang kegiatan semakin menemukan tantangan. Bersama Emha, Linus, Slamet Riyadi, Rahini “Ray” Ridwan, Dedet Er Moerad ikut mengisi kegiatan Sanggarbambu, yang sebenarnya lebih banyak berorientasi kepada senirupa. Diskusi, baca puisi dan penerbitan berjalan. Di antaranya juga Arisan Teater yang berangkat dari kebersahajaan, kemungkinan untuk berekspresi dengan cara murah meriah: maenArisan Teater bubar lantaran intervensi politik praktis dari oknum yang ingin memanfaatkan kelompok itu demi dirinya dan ambisi menjadi sutradara film. teater dan diskusi di kampung-kampung.

Emha dan Linus sering terkesan “bertolak belakang”. Jika Linus Suryadi Ag mempunyai kecenderungan bersahaja, agak masa bodoh, acuh tak acuh, menyendiri, introvert dan asyik denga dirinya sendiri ditambah lagi “kebatinan oriented”, sedangkan Emha punya keinginan untuk berbarengan, lebih komunal, sementara Linus lebih “bersepi sendiri” dan selalu merasa kelelahan denga lingkungannya yang sesak, banyak orang, apalagi banyak cakap! Tapi, keduanya mempunyai satu titik kesamaan: “liberal”/ artinya, kapasitas mengeksplorasi pikiran,pengucapan, dan “sakepenake dhewek” dalam menentukan karyanya. Berbeda dengan beberapa rekannya yang punya sikap menunggu dawuh dari Ustadz Umbu, yang dianggap sebagai “fatwa” dan “ijazah” untuk menentukan posisi kepenyairan. Kata di antara mereka, kalau ada sign up dari ustadz, pasti deh. Pak Jassin bakalan baca dan memperhatikan. Ustadz Umbu memang jeli dan telaten, walaupun bukan tanpa “cacat”.

Sekitar tahun 1973, hampir setiap hari saya ikut nongkrong bareng-bareng di depan Hotel Garuda di jalan Malioboro, di bawah teritisan perpustakaan umum dan kantor Pelopor Yogya, atau di sekitar Senisono dan kios-kios koran. Pernah Ustadz Umbu bilang, “Linus lebih penyair ketimbang Emha. Emha itu kuat dalam esei dan punya bakat dalam cerpen”.

Saya kurang tahu apakah Emha pernah juga mendengar pendapat ustadznya pada waktu itu. Tapi satu hal, “kompetisi” di antara keduanya melaju, apalagi setelah Linus pada akhir tahun 70-an melahirkan prosa lirik Pengakuan Pariyem, yang secara resmi cetakan pada awal tahun 80-an. “Kompetisi” itu semakin berkobar lantaran “gorengan-ati-rempelo” dari Ashadi Siregar dan “Daimnya kebudayaan” Yogyakarta, Umar Kayam, yang tampaknya lebih memilih orang yang dengkulnya lentur ketimbang sosok yang bisa melotot, bibir berkerut dan mendenguskan nafasnya. Barangkalijuga mereka, Ustadz Umbu, Kayam dan Ashadi tahu bahwa Emha memang perlu di”goreng ati-rempelo”nya agar terus bisa terjaga kreativitasnya.

Rasanya Emha paham benar dengan kondisi itu, kalau saya mengingat masa-masa di Sanggar Bambu dan Arisan Teater, serta makin melebarnya aktivitas Emha di berbagai kegiatan dan pengenalannya dengan lingkungan aktivis NGO yang juga berlatar belakang kesenian maupun pedesaan. Kalau Linus dan penyair lain terus berpuisi, juga Emha, ditambah dengan penulisan lakon secara sendiri maupun barengan dan kegiatan workshop teater untuk pendidikan, “teater penyadaran” bersama Simon HT, Agus Istianto dan Joko Kamto yang punya kecenderungan lebih “radikal” dalam memandang posisi dan peran kesenian-teater di dalam masyarakat.

Dinasti, Komunitas Kanjeng, Jamaah....

Pada waktu itulah, keikutsertaan Emha bersama kelompok Dinasti pimpinan Fajar Suharno dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama diri Emha, sebagai sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Rajutan ide untuk naskah bersama Gadjah Abiyoso, Fajar Suharno, juga Simon HT, Joko Kamto dan Agus Istiyanto membawa nama Teater Dinasti dalam kibaran kehidupan kesenian di Yogya.

Larangan demi larangan dihadapi dan menjadi bahan perenungan dan bahan naskah mereka yang berangkat dari kenyataan sosial, ketika proses “sterilisasi kesadaran” (Eduardo Galeano, Days and Nights of Love and War) begitu kuat dalam indoktrinasi dan iklan, sementara demokratisasi mengalami kebuntuan.

Dinasti-Emha, Emha-Dinasti dan puisi mengalir dalam bentuk pementasan musik yang “agak liar”, “norak” dan bisa memekakkan telinga mereka yang kurang jembar hatinya. Tak peduli dengan tatanan karawitan yang penting bisa bunyi dan rasanya sreg buat puisi, mengisi fenomena kesenian di nusantara. Otonomi puisi yang oleh kebanyakan orang dianggap dengan cara lebih nikmat dan enak dibaca sendirian, atau nonton Rendra, maka Dinasti-Emha atau Emha-Dinasti menelusup dan menguak cara hubungan dengan publik. Dengan sadar Emha memilih “bahasa jalanan” untuk puisi-puisi yang ditampilkan dengan iringan Dinasti dan tidak peduli dengan penilaian para “kritisi” (jika mereka ada dan hadir di belantara sastra nusantara). Yang penting, pesan bisa sampai dan orang-orang semoga mendapatkan “pencerahan” lewat dialog dalam peristiwa itu. Tapi ada juga publik yang mengeluh. Keluha itu disampaikan kepada saya, ketika Emha-Dinasti muncul di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat; setelah larangannya di Yogyakarta. Teman ngobrol yang etnomusikologis itu bilang, kupingnya nggaknggenah dan bukan asal kemplang model Dinasti. Tapi, barangkali juga teman kita itu nggak kuat mendengarkan saratnya pesan dan pengucapan yang energik dari puisi dan musik yang menampilkan kembali realitas kemasyarakatan di atas panggung, seperti cermin yang retak-remuk dalam bingkai yang memantulkan wajah bagian dalam diri kita dan masyarakat. Pada periode itu, kumpulan puisi Sajak Kaum Gelandangan Emha mengisi khasanah kesenian kita. kuat dan lari setelah setengah pertunjukkan Emha-Dinasti. Barangkali dia terbiasa dengan gamelan yang mengalun, ritmis, punya tatanan yang

Dinasti-Emha, Emha-Dinasti dan Yogya-Solo terjembatani oleh kehadirannya dan didukung oleh kejembaran sikap komodatif dari Taman Budaya Surakarta di bawah pimpinan Murtijono, sobat yang dikenal Emha ketika masih di PSK dan Murti di Fakultas Filsafat UGM. TBS menjadi penampung kesenian yang dianggap “limbah” oleh penguasa dan birokrat kesenian di tanah kelahirannya sendiri, hampir berjalan selama kurang lebih tujuh tahun.

Sekitar tahun 1987, kelompok Teater Dinasti “bubar jalan”/. “Bubar” lantaran intervensi NGO yang mencoba memproyekkan lewat salah seorang anggotanya tanpa musyawarah-mufakat. Malam itu juga, di rumah Sius—salah seorang desainer berbakat dan anggota Dinasti—disepakati untuk membubarkan diri dan mempertahankan komunitas tetap dilakukan lewat berbagai cara. Namun, tampaknya sejarah memang ingin berkata lain. Sementara itu berbagai kehendak serta kebutuhan darimasing-masing anggota tidak lagi dapat dibingkai oleh sebuah “nama” kelompok. Aktivitas tidak lagi berjalan lancar, sebagian memilih aktif di pedesaan dan menggunakan teater. Yang lain memilih profesi lain dan mengobrol sambil main gaple untuk melepaskan uneg-uneg pribadi maupun sosial.

Dan Emha—bukan lantaran dari desa—ia selalu diidentikkan guyub dan senantiasa barengan. Linus juga dari desa, tapi senang “sepi sendiri”, menikmati manuk perkututnya dan koleksi keris dan mempertajam “mata batinnya”, sambil terus menulis dan sesekali nyambi riset. Emha itu identik dengan jamaah, merupakan bagian tak terhindarkan dari kehidupan keyakinannya. Secara sosiologis maupun ideologis, Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk berkumpul, menyatukan diri bersama sesamanya dalam mencapai nilai tertinggi. Antara “ada bersama-sama” dan “ada bersama-Nya”, tak terpisahkan.

Emha-Jamaah dan Jamaah-Emha mempunyai implikasi sosial politik yang bukan main dahsyatnya. Larangan terhadap dirinya bukan sekedar karena kesenian yang diciptakannya,tapi keseniannya bersama Emha telah ikut membingkai sebuah kekuatan sosial yang kritis terhadap mekanisme sosial-politik dan segi-segi lain dalam kehidupan kemasyarakatan kita maupun kenegaraan. Bagi jamaahnya, Emha senantiasa diminta memberikan kesaksian dan keberpihakan kepada lapisan bawah atau mereka yang tersingkir. Pada posisi inilah Emha bukan tanpa masalah. Sebagai seorang yang senang berpikir kritis dan punya kapasitas “liberal”, dan tidak mudah dibingkai oleh sebuah organisasi, Emha sering mengalami keluhan, bahkan kejengkelan terhadap ulah seorang-dua jamaahnya, yang mempunyai ke-taqlid-an berlebihan, khususnya, yang suka menunggu dawuh “fatwa” dan ber”sendiko dawuh”.

Posisi yang paling unik Emha yang melebar dan mencair menelusup ke segala arah, seperti Romo Mangunwijaya, salah satunya tampak pada jamaahnya. Jamaah Emha bukan hanya dari selingkungan kesamaan keyakinan dalam beragama, tapi juga dari kalangan yang memiliki keyakinan berbeda, namun mempunyai satu tujuan yang sama: cita-cita meninggikan harkat kemanusiaan, melalui kegiatan kebudayaan.

Tahun 1993, 1414 Hijriyah, “Komunitas Pak Kanjeng” nampaknya secara resmi dikibarkan, sebagai suatu kelompok teater dan musik, setelah Sanggar Shalahuddin dan Kelompok Titian menyapih dirinya sendiri sesudah sekian tahun bersama Emha. “Komunitas” digunakan dan “Pak Kanjeng” disandang-pikulkan sebagai keyakinan sosial dan keberpihakan kepada lapisan tergusur secara ekonomis maupun politis. Saya sendiri nggak mengenal “Pak Kanjeng” dalam artian pribadi. Saya cuma melihat fotonya yang berjenggot dan pandangan matanya yang menatap ke depan penuh harap-harap cemas. Guratan wajahnya yang keras menahan beban kehidupan dan punya keberanian serta berani bilang “tidak” yang rasanya begitu monumental di antara makin mengakarnya sikap “menurut petunjuk Bapak....”

Barangkali “Pak Kanjeng” memang diilhami oleh sesosok figur yang bisa diteladani, misalnya dari kasus Kedongombo, yang memang Emha pernah terlibat secara langsung, kayak Romo Mangunwijaya san sejumlah orang lain. Dan “Pak Kanjeng” memang bukan cuma ada di Kedungombo, ia juga bisa ada di Sampang-Madura, Aceh, Irian Jaya, Kalimantan serta pelosok nusantara lainnya. Itu cuma nama disandang-pikul dan nancep dengan dasar pendirian yagn sama seperti jaman Dinasti: guyup, barengan dalam mengerjakan suatu kegiatan dan keprihatinan menjadi dasar langkahnya.

“Komunitas” juga bukan sekedar nama. Esensi dari kesenian, tujuan akhirnya, salah satunya, rasa-rasanya sih memang membentuk komunitas, seperti juga kesenian tradisi kita di mana-mana, dari yang di desa sampai di dalam lingkungan tembok yang menjulang serta di tengah-tengah hutan belantara.

Yang rasanya bakalan tambah menarik, seingat dan sepengetahuan saya, membandingkan musik Zaman Dinasti dan “Komunitas Pak Kanjeng” atau “Musik KiaiKanjeng”. Saya punyakesan yang terakhir ini lebih rapijali atau tidak terlalu norak dan sangat mungkin menjadi makin kaya oleh berbagai warna musik. Djaduk Ferianto memang lebih profesional dan beberapa anggota baru bukan cuma berbekal semangat tapi juga keterampilan yang lebih memadai. Zaman memang menuntut lebih dari yang dulu-dulu, secara teknis dan komitmen. []

(Pengantar dalam Terus Mencoba Budaya Tanding, oleh Halim HD, seorang networker pada jaringan kerja untuk kebudayaan)
Admin Pada Sunday, January 27, 2013 Komentar

EMHA: Saya Adalah Pekerja

Inspirasi
CAK NUN, begitu sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, lahir pada Hari Rabu Legi 27 Mei 1953 di Desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Ia anak keempat dari 14 bersaudara dengan kedua orang tua Alm. Muhammad Abdul Latief dan Halimah. Pendidikan formal yang ditempuhnya berjalan kurang mulus. Sekolah Dasar dilewati di desa Menturo, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur tetapi tidak selesai karena “dikeluarkan”. Selepas dari Gontor ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di SMA Muhammadiyah I, setelah itu mencicipi kuliah di Fakultas Ekonomi UGM yang dijalaninya hanya selama empat bulan. Sesudah semua itu Ia mencari ilmu di jalanan Malioboro sebagai pengembara.

Selain sebagai “juru penyampai” dalam berbagai acara pengajian, Cak Nun juga berperan sebagai vokalis ketika tampil bersama KiaiKanjeng. Meskipun tidak jarang pada saat berceramah sendirian atau tanpa didampingi Musik KiaiKanjeng ataupun grup-grup lainnya, Ia juga melantunkan lagu-lagu (atau lebih tepatnya membaca Al Quran dan Shalawat Nabi) langsung bersama-sama jamaah.

Kini Cak Nun sudah memasuki usianya yang ke-52. Di usianya yang sudah setengah abad ini dan ketika harus menengok biografinya maka mau tak mau kita musti memulainya dari “halaman-halaman awal” sejarah hidupnya karena memang sudah banyak yang Ia goreskan dan catatkan di buku harian Indonesia ini, setidaknya dimulai ketika Ia masih muda di akhir tahun 60-an.

Sejak muda Cak Nun sudah dikenal oleh banyak kalangan terutama sebagai penyair atau sastrawan. Puisi-puisi yang lahir dari ujung jarinya diminati oleh berderet-deret orang, khususnya generasi muda. Pentas-pentas pembacaan puisinya selalu dipadati pengunjung. Pekerjaan menulis puisi ini sendiri sudah Ia tekuni semenjak akhir tahun 60-an di bawah asuhan seorang guru yang bernama Umbu Landu Paranggi yang populer dengan sebutan “Presiden Penyair Malioboro Yogyakarta” dalam sebuah kelompok studi yang bernama PSK (Persada Studi Klub).

Pada perkembangannya Cak Nun bukan hanya aktif menulis puisi, tetapi juga menulis sejumlah naskah drama, essai, kolom atau artikel diberbagai media massa, pemateri dalam sejumlah acara seminar atau diskusi, mubaligh dalam acara-acara pengajian, dan sejumlah keterlibatan lainnya yang berwatak sosial kemasyarakatan seperti mendirikan Pondok Pesantren Yatim Zaituna, termasuk juga ngurusin “yang tidak-tidak” seperti manangani orang-orang bermasalah yang lalu lalang mendatanginya untuk minta bantuan. Kadang Cak Nun juga berlaku sebagai “dukun”.

Di akhir tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an bersama teman-temannya di Teater Dinasti, yang kemudian bermetamorfose menjadi komunitas Pak Kanjeng serta pada akhirnya mengerucut pada KiaiKanjeng sampai saat ini, ia aktif mementaskan berbagai naskah dramanya seperti Geger Wong Ngoyak Macan, Sunan Sableng, Baginda Farouk serta Pak Kanjeng. Di situ Cak Nun berperan sebagai penulis naskah atau semacam skenario. Pernah juga menulis naskah Duta Dari Masa Depan yang dipentaskan untuk keperluan acara Pisowanan Agung Ngarso Dalem Hamengkubuwono X di Yogyakarta.

Tahun 1994, mengawali pengajian Padhang mBulan di Jombang yang kemudian menjadi embrio dan model social movement. Belakangan sejak tahun 1996 bersama KiaiKanjeng, Cak Nun ikut merilis album kaset seperti Kado Muhammad, Wirid Padhang mBulan, Tombo Ati, Ilir-Ilir, Raja Diraja, Ya Allah Ya ‘Adhim, Perahu Nuh, Kepada Mu Kekasihku, Cinta Sepanjang Zaman, Duh Gusti, Kucari Surgaku dan Maiyah.

Karya puisinya cukup banyak dibukukan, seperti M Frustasi, Sajak-sajak Sepanjang Jalan, 99 Untuk Tuhanku, Suluk Pesisiran, Syair-syair Indonesia Raya, Syair-syair Lautan Jilbab, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Cahaya Mata Cahaya, Yang Terhormat Nama Saya, Sesobek Buku Harian Indonesia dan Doa Mohon Kutukan.

Sejumlah kolom dan esainya telah pula diterbitkan, diantaranya Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Dari Pojok Sejarah, Sastra yang Membebaskan, Slilit Sang Kiai, “Ikut Tidak Lemah, Ikut Tidak Melemahkan”, Kiai Sudrun Gugat, Sedang Tuhanpun Cemburu, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Bola-bola Kultural, Markesot Bertutur, Surat Kepada Kanjeng Nabi, Tuhan pun Berpuasa, Pilih Barokah atau Azab Allah, Keranjang Sampah, 2,5 Jam Bersama Soeharto, Mati Ketawa Cara Reformasi, Kiai Kocar-Kacir, Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan, Jogja Indonesia Pulang-Pergi, Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu, Folklore Madura, Puasa itu Puasa, Syair-Syair Asmaul Husna, dan Kerajaan Indonesia (kumpulan wawancara). Tulisan-tulisan ringan berjudul Kafir Liberal yang berisi catatan-catatan perjalanan selama di Eropa juga sudah diterbitkan.

Selain berkarya diatas ia juga bergiat di pergumulan masyarakat bawah, melalui forum-forum silaturahmi rutin seperti Padhang mBulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Jogja), Kenduri Cinta (Jakarta), Haflah Sholawat (Surabaya), Gambang Syafaat (Semarang), Tali Kasih (Bandung), Paparandeng Ate (Makasar), dan yang paling anyar adalah kesibukannya memandu kegiatan-kegiatan workshop Jamiyah Maiyah di beberapa kota di Indonesia.

Sedemikian banyak peran yang dipanggul oleh Cak Nun sehingga tak sedikit orang yang bingung memahami profesi Cak Nun. Terhadap hal ini Cak Nun menjelaskan bahwa dirinya bukan siapa-siapa, bukan penyair, bukan seniman, bukan mubaligh atau yang lain, melainkan seorang pekerja. Atau lebih tepatnya adalah seorang manusia. Yang dalam hidupnya memiliki kewajiban untuk bekerja. Baginya manusia sudahlah yang tertinggi. Kepenyairan, kesenimanan, kemuballighan, atau apapun hanyalah sebagian fungsi yang dimiliki dalam hidupnya justru untuk mengutuhkan kemanusiaannya. Sementara umumnya orang cenderung menyempitkan dirinya dalam kotak kecil primordialistik menjadi hanya sebagai penyair, seniman, bupati, gubernur, atau bisnisman. Padahal manusia jauh lebih besar dan lebih dari semua itu.

Begitulah kepenyairan, tulisan-tulisan di media massa, ceramah-ceramah dan diskusi, pementasan-pementasan, pengajian-pengajian, pembikinan kaset, aktivitas sosial atau politik lainnya yang dilakukan dan dilibati secara penuh oleh Cak Nun pada dasarnya hanyalah medium dan cara yang bisa dipakai untuk mengungkapkan dan mensilaturrahmikan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan yang diembannya kepada masyarakat luas. Gagasan-gagasan yang berintikan tauhid yakni menomorsatukan Allah di segala bidang dan urusan yang selama ini beliau coba perjuangkan. Segala macam cara dan medium tersebut berposisi thoriqoh atau washilah terhadap cita-cita dan idealisme semacam itu.

Dan khusus soal musik, suatu ketika Cak Nun menulis: “Persentuhan saya dengan dunia musik beserta para pemusiknya hanyalah persentuhan rasa mesra kemanusiaan, persentuhan empati dan apresiasi, atau kesediaan untuk menghargai, menghormati dan menerima dengan keihkhlasan setiap fenomenanya.” (Progress Publisher/Padhangmbulan doc)
Admin Pada Sunday, January 27, 2013 Komentar
Subscribe to: Posts (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design