Cerpen : Damhuri Muhammad
ORANG-ORANG kampung kami tak henti-henti membangun surau. Tak pernah lelah mereka mengumpulkan wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Menggalang dana untuk mendirikan surau. Setiap musim Lebaran, para perantau yang berdatangan dimintai bantuan. Ada yang berderma dalam bentuk bahan bangunan, ada pula yang menyumbang uang tunai. Untuk apa lagi kalau bukan buat pembangunan surau? Memang, hampir tiap sudut kampung kami, surau sudah berdiri. Tapi, itu belum cukup. Bagi kami, surau bukan saja tempat salat, wiridan, majelis taklim dan belajar mengaji, tapi juga tempat tinggal bagi semua anak laki-laki kampung kami yang sudah akil balig. Tengoklah! Rumah-rumah yang tampak berdiri kukuh itu memang rata-rata berukuran besar, pekarangannya luas. Tapi, di dalamnya tak bakal ditemukan kamar bagi anak laki-laki. Kalaupun ada, itu pasti diperuntukkan bagi anak perempuan. Laki-laki tak boleh ditinggal di rumah. Bila ada yang masih tinggal di rumah, ia bakal diolok-olok sebagai banci yang tidur di bawah ketiak emak.
Makanya, sejak usia sekolah dasar, kami sudah tidur di surau. Tak ada kamar di sana, hanya ruangan bagian belakang surau yang disekat papan tripleks menjadi beberapa bagian. Di situlah kami tidur. Berhimpit-himpitan serupa ikan pindang dalam wajan. Sebelum terlelap pulas, kerap ada yang berkelahi. Macam-macam sebabnya. Ada kawan yang iseng menyembunyikan selimut kain sarung kawan yang lain. Ada kawan yang mencaplok tempat tidur kawan lain atau ada yang sengaja kentut persis di mulut kawan lain yang sudah lebih dulu tidur. Lebih banyak waktu kami di surau ketimbang di rumah. Pulang ke rumah hanya siang hari, makan, ganti baju, sorenya balik ke surau. Ada pula yang sama sekali tidak pulang ke rumah. Semua pakaian dan perlengkapan sekolah diangkut ke surau. Di sana mereka mengaji, salat berjemaah dan bila malam mulai pekat, tibalah saatnya mereka belajar silat, (mereka kerap berkelahi itu kadang-kadang dalam rangka menghafal jurus-jurus silat). Dari surau pula mereka berangkat ke sekolah. Benar-benar seperti tidak punya rumah. Hanya surau itulah rumah mereka. Itu sebabnya surau-surau di kampung kami tak pernah sepi. Selalu riuh suara anak-anak mengaji. Tak hanya di bulan puasa, tapi juga di bulan-bulan biasa.
"Kalian belajar dan tinggal di surau, supaya kelak tidak canggung bila merantau!" begitu ajaran salah satu guru kami.
"Sabarlah! Tak lama lagi bakal tiba saatnya kalian harus merantau!"
"Anak laki-laki harus merantau! Tiada berguna tinggal di kampung bila kalian belum merantau!"
"Merantau bujang dahulu, di kampung perguna belum!"
Meskipun tidak merantau jauh, kami tetap saja akan merantau ke rumah orang. Pergi dari rumah, hidup dan tinggal di rumah anak bini. Salah seorang kawan kami, Sumanda, misalnya. Sejak dulu, ia tak berniat mengadu nasib di rantau orang. Tekadnya sudah bulat. Kelak bila tulang-tulangnya sudah kuat mengayun cangkul, mengolah sawah, menggarap ladang, laki-laki itu akan tetap di kampung. Ia ingin jadi petani. Banyak juga orang kampung kami yang bisa kaya tanpa harus merantau jauh-jauh. Lihat saja Sumanda! Selain mengolah sawah dan ladang, ia memelihara hewan-hewan ternak. Berkat gigih dan kerja keras, saat masih bujangan saja, Sumanda sudah mampu menyekolahkan adik-adiknya di kota, hingga semuanya sudah lulus jadi sarjana. Itu semua dibiayai Sumanda dari hasil sawah, ladang dan hewan-hewan ternak yang terus-menerus berkembang biak.
Kini, Sumanda bukan laki-laki lajang lagi. Sama seperti kami yang hidup di rantau, Sumanda juga sudah beranak pinak di rumah istrinya. Dua perempuan, satu laki-laki. Tahun lalu, Sumanda menikahkan Fatia, putri sulungnya. Tak terasa waktu berjalan. Sudah punya menantu kawan kami itu rupanya. Sudah pula punya cucu. Tapi, kami tak pernah lupa kenangan masa kecil saat mengaji dan tinggal bersama-sama di surau. Sumanda anak yang rajin. Pulang sekolah, ia menyabit rumput untuk kerbau-kerbau peliharaan bapaknya. Bila musim menuai tiba, Sumanda ikut pula membantu. Tapi sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pelajaran mengaji. Tetap kembali ke surau. Mungkin karena itu, ia menjadi anak kesayangan guru mengaji kami. Suara azannya merdu sekali. Mendayu-dayu. Merinding bulu kuduk dibuatnya.
Meski jarang pulang, kami tetap mendengar kabar tentang Sumanda. Hidupnya sudah tenang. Sebelum menikah, Fatiya dan Maimuna sudah dibuatkannya rumah batu. Anwar, anak laki-lakinya juga sudah bekerja sebagai teknisi komputer di sebuah jawatan di ibu kota kabupaten. Selesai sudah tanggung jawab Sumanda sebagai orang tua, sebagai bapak, sebagai suami. Kini, ia tidak ke sawah dan ke ladang lagi. Sumanda mulai tekun beribadah. Ia kembali ke surau, tempat kami mengaji dulu. Lebih banyak waktunya di surau daripada di rumah. Makin lama makin jarang Sumanda pulang ke rumah istrinya. Sehelai demi sehelai diangkutnya pakaian ke surau, hingga akhirnya Sumanda benar-benar menetap di surau. Bila waktu salat tiba, berkumandanglah suara mendayu-dayunya itu. Sehari-hari kesibukannya merawat surau. Menggelar dan menggulung tikar, menyapu, juga membersihkan tempat wudu.
Meski tidak punya penghasilan seperti dulu, Sumanda bisa makan dari persediaan beras surau hasil sedekah para jemaah. Selain ingin menghabiskan umur yang tersisa, keputusan Sumanda kembali surau juga disebabkan oleh makin kurangnya perhatian istri dan anak-anaknya. Tak ada lagi yang menanyakan keadaannya. Padahal, di usia renta seperti itu, Sumanda kerap sakit-sakitan. Batuknya menjadi-jadi. Suatu malam, saat sesak napasnya kambuh, darah kental keluar dari mulutnya. Rupanya Sumanda tidak ingin merepotkan istri dan anak-anaknya. Istri Sumanda jarang di rumah, karena sering berkunjung ke rumah dua anak perempuannya itu. Menjenguk cucu. Sumanda merasa kesepian, merasa sendiri, merasa tidak dilayani lagi. Lagi pula, tampaknya istri Sumanda memang lebih tenang jika suaminya itu tinggal di surau.
***
Zulfikar, salah seorang kawan masa kecil kami baru saja pulang dari kampung. Setiap Lebaran ia selalu mudik. Maklumlah, Fikar orang berada. Pengusaha sukses. Sekali sebulan pun (bila mau) ia bisa saja pulang kampung. Dari Fikar, kami mendengar banyak cerita tentang keadaan kampung. Perihal satu dua sahabat masa kecil kami yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan, tentang jalan kampung yang mulai kinclong sejak diaspal, tentang suasana musabaqah tilawatil Qur'an setiap Ramadan yang selalu meriah, tentang salat hari raya di lapangan hijau yang penuh sesak para perantau yang pulang dengan muka berseri-seri. Tentu perantau-perantau yang mudik dengan mobil-mobil pribadi mengkilat, bukan perantau yang kurang beruntung seperti kami.
Banyak yang berubah di kampung kami. Namun, ada satu kebiasaan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Kebiasaan orang-orang kampung kami mengumpulkan infak, wakaf, zakat dan sedekah guna membangun surau. Bagi kami, membangun surau sama artinya dengan membangun rumah. Rumah bagi anak-anak laki-laki kampung kami yang mulai beranjak besar. Bila tak ada surau, mereka tak bakal punya tempat bernaung. Rumah-rumah hanya untuk anak-anak perempuan. Beruntung sekali menjadi perempuan di kampung kami.
"Bantulah pembangunan surau baru yang terbengkalai!" begitu pesan yang dibawa Fikar untuk kami.
"Orang-orang kampung kita sangat membutuhkan surau itu!"
"Surau sudah seperti cendawan musim hujan, masih belum cukup rupanya?" tanya kami pada Fikar
"Surau-surau yang ada sudah penuh. Penghuninya membludak. Banyak yang tidak kebagian tempat!"
"Jangan mengada-ada kau! Seberapa banyak anak-anak yang belajar mengaji? Hingga tak tertampung lagi di surau-surau itu?"
"Bukan, bukan! Yang tinggal di surau bukan anak-anak mengaji seperti dulu. Surau penuh oleh duda-duda tua yang dicampakkan anak-bini. Pria-pria gaek tak berguna. Jumlah mereka makin banyak. Ini mendesak. Jadi, bantulah!"
"Akan telantar hidup mereka, bila pembangunan surau baru itu tidak segera selesai!"
"Lagi pula, bila kalian sudah pulang kelak, bukankah di surau itu juga kalian akan habiskan hari tua?!"
"Apa kalian mau mati di rantau, hah?"
Seketika kami teringat Sumanda. Jangan-jangan sahabat kami itu salah satu duda tua yang sudah tak berguna di rumah istrinya, lalu terbuang ke surau. Kecil di surau, setelah bau tanah, kembali ke surau. Menunggu mati di surau. Mengingat-ingat peruntungan Sumanda yang tak mujur, kami seperti sedang menatap bayangan kesuraman akhir hayat kami.
"Sumanda bagaimana kabarnya? Dia sehat-sehat saja?" tanya kami lagi pada Zulfikar.
"O iya, Sumanda salah satu penghuni surau yang perlu disantuni."
"Santuni? Dia kan punya istri dan anak-anak?"
"Iya, tapi ia lebih suka tinggal di surau tua tempat kita mengaji dulu. Sudah lapuk, dindingnya hampir roboh, atapnya tiris. Kasihan Sumanda! Apalagi dia sedang sakit-sakitan begitu."
"Nanti kalau surau baru sudah selesai, Sumanda kita pindahkan ke sana!"
"Tunggu apa lagi? Ayo, bantulah!"
Bergegas kami merogoh kantong. Mengeluarkan infak sesuai kemampuan sendiri-sendiri. Setelah dana terkumpul kami serahkan pada Zulfikar yang dalam waktu dekat ini juga akan pulang kampung. Ada urusan bisnis, katanya. Kami menyumbang untuk pembangunan surau baru itu, bukan semata-mata karena kasihan pada Sumanda yang bernasib malang. Kami seolah-olah sedang membangun rumah untuk tempat bernaung di hari tua. Kelak, bila kami sudah pulang dari rantau. Walau kami tak pernah tahu, apakah kami akan mati di rantau, atau mati di surau.
Kelapa Dua, 2006
Penulis adalah cerpenis, yang kini di Jakarta. Buku antologi cerpennya LARAS, Tubuhku Bukan Milikku (2005), Lidah Sembilu (2006)
ORANG-ORANG kampung kami tak henti-henti membangun surau. Tak pernah lelah mereka mengumpulkan wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Menggalang dana untuk mendirikan surau. Setiap musim Lebaran, para perantau yang berdatangan dimintai bantuan. Ada yang berderma dalam bentuk bahan bangunan, ada pula yang menyumbang uang tunai. Untuk apa lagi kalau bukan buat pembangunan surau? Memang, hampir tiap sudut kampung kami, surau sudah berdiri. Tapi, itu belum cukup. Bagi kami, surau bukan saja tempat salat, wiridan, majelis taklim dan belajar mengaji, tapi juga tempat tinggal bagi semua anak laki-laki kampung kami yang sudah akil balig. Tengoklah! Rumah-rumah yang tampak berdiri kukuh itu memang rata-rata berukuran besar, pekarangannya luas. Tapi, di dalamnya tak bakal ditemukan kamar bagi anak laki-laki. Kalaupun ada, itu pasti diperuntukkan bagi anak perempuan. Laki-laki tak boleh ditinggal di rumah. Bila ada yang masih tinggal di rumah, ia bakal diolok-olok sebagai banci yang tidur di bawah ketiak emak.
Makanya, sejak usia sekolah dasar, kami sudah tidur di surau. Tak ada kamar di sana, hanya ruangan bagian belakang surau yang disekat papan tripleks menjadi beberapa bagian. Di situlah kami tidur. Berhimpit-himpitan serupa ikan pindang dalam wajan. Sebelum terlelap pulas, kerap ada yang berkelahi. Macam-macam sebabnya. Ada kawan yang iseng menyembunyikan selimut kain sarung kawan yang lain. Ada kawan yang mencaplok tempat tidur kawan lain atau ada yang sengaja kentut persis di mulut kawan lain yang sudah lebih dulu tidur. Lebih banyak waktu kami di surau ketimbang di rumah. Pulang ke rumah hanya siang hari, makan, ganti baju, sorenya balik ke surau. Ada pula yang sama sekali tidak pulang ke rumah. Semua pakaian dan perlengkapan sekolah diangkut ke surau. Di sana mereka mengaji, salat berjemaah dan bila malam mulai pekat, tibalah saatnya mereka belajar silat, (mereka kerap berkelahi itu kadang-kadang dalam rangka menghafal jurus-jurus silat). Dari surau pula mereka berangkat ke sekolah. Benar-benar seperti tidak punya rumah. Hanya surau itulah rumah mereka. Itu sebabnya surau-surau di kampung kami tak pernah sepi. Selalu riuh suara anak-anak mengaji. Tak hanya di bulan puasa, tapi juga di bulan-bulan biasa.
"Kalian belajar dan tinggal di surau, supaya kelak tidak canggung bila merantau!" begitu ajaran salah satu guru kami.
"Sabarlah! Tak lama lagi bakal tiba saatnya kalian harus merantau!"
"Anak laki-laki harus merantau! Tiada berguna tinggal di kampung bila kalian belum merantau!"
"Merantau bujang dahulu, di kampung perguna belum!"
Meskipun tidak merantau jauh, kami tetap saja akan merantau ke rumah orang. Pergi dari rumah, hidup dan tinggal di rumah anak bini. Salah seorang kawan kami, Sumanda, misalnya. Sejak dulu, ia tak berniat mengadu nasib di rantau orang. Tekadnya sudah bulat. Kelak bila tulang-tulangnya sudah kuat mengayun cangkul, mengolah sawah, menggarap ladang, laki-laki itu akan tetap di kampung. Ia ingin jadi petani. Banyak juga orang kampung kami yang bisa kaya tanpa harus merantau jauh-jauh. Lihat saja Sumanda! Selain mengolah sawah dan ladang, ia memelihara hewan-hewan ternak. Berkat gigih dan kerja keras, saat masih bujangan saja, Sumanda sudah mampu menyekolahkan adik-adiknya di kota, hingga semuanya sudah lulus jadi sarjana. Itu semua dibiayai Sumanda dari hasil sawah, ladang dan hewan-hewan ternak yang terus-menerus berkembang biak.
Kini, Sumanda bukan laki-laki lajang lagi. Sama seperti kami yang hidup di rantau, Sumanda juga sudah beranak pinak di rumah istrinya. Dua perempuan, satu laki-laki. Tahun lalu, Sumanda menikahkan Fatia, putri sulungnya. Tak terasa waktu berjalan. Sudah punya menantu kawan kami itu rupanya. Sudah pula punya cucu. Tapi, kami tak pernah lupa kenangan masa kecil saat mengaji dan tinggal bersama-sama di surau. Sumanda anak yang rajin. Pulang sekolah, ia menyabit rumput untuk kerbau-kerbau peliharaan bapaknya. Bila musim menuai tiba, Sumanda ikut pula membantu. Tapi sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pelajaran mengaji. Tetap kembali ke surau. Mungkin karena itu, ia menjadi anak kesayangan guru mengaji kami. Suara azannya merdu sekali. Mendayu-dayu. Merinding bulu kuduk dibuatnya.
Meski jarang pulang, kami tetap mendengar kabar tentang Sumanda. Hidupnya sudah tenang. Sebelum menikah, Fatiya dan Maimuna sudah dibuatkannya rumah batu. Anwar, anak laki-lakinya juga sudah bekerja sebagai teknisi komputer di sebuah jawatan di ibu kota kabupaten. Selesai sudah tanggung jawab Sumanda sebagai orang tua, sebagai bapak, sebagai suami. Kini, ia tidak ke sawah dan ke ladang lagi. Sumanda mulai tekun beribadah. Ia kembali ke surau, tempat kami mengaji dulu. Lebih banyak waktunya di surau daripada di rumah. Makin lama makin jarang Sumanda pulang ke rumah istrinya. Sehelai demi sehelai diangkutnya pakaian ke surau, hingga akhirnya Sumanda benar-benar menetap di surau. Bila waktu salat tiba, berkumandanglah suara mendayu-dayunya itu. Sehari-hari kesibukannya merawat surau. Menggelar dan menggulung tikar, menyapu, juga membersihkan tempat wudu.
Meski tidak punya penghasilan seperti dulu, Sumanda bisa makan dari persediaan beras surau hasil sedekah para jemaah. Selain ingin menghabiskan umur yang tersisa, keputusan Sumanda kembali surau juga disebabkan oleh makin kurangnya perhatian istri dan anak-anaknya. Tak ada lagi yang menanyakan keadaannya. Padahal, di usia renta seperti itu, Sumanda kerap sakit-sakitan. Batuknya menjadi-jadi. Suatu malam, saat sesak napasnya kambuh, darah kental keluar dari mulutnya. Rupanya Sumanda tidak ingin merepotkan istri dan anak-anaknya. Istri Sumanda jarang di rumah, karena sering berkunjung ke rumah dua anak perempuannya itu. Menjenguk cucu. Sumanda merasa kesepian, merasa sendiri, merasa tidak dilayani lagi. Lagi pula, tampaknya istri Sumanda memang lebih tenang jika suaminya itu tinggal di surau.
***
Zulfikar, salah seorang kawan masa kecil kami baru saja pulang dari kampung. Setiap Lebaran ia selalu mudik. Maklumlah, Fikar orang berada. Pengusaha sukses. Sekali sebulan pun (bila mau) ia bisa saja pulang kampung. Dari Fikar, kami mendengar banyak cerita tentang keadaan kampung. Perihal satu dua sahabat masa kecil kami yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan, tentang jalan kampung yang mulai kinclong sejak diaspal, tentang suasana musabaqah tilawatil Qur'an setiap Ramadan yang selalu meriah, tentang salat hari raya di lapangan hijau yang penuh sesak para perantau yang pulang dengan muka berseri-seri. Tentu perantau-perantau yang mudik dengan mobil-mobil pribadi mengkilat, bukan perantau yang kurang beruntung seperti kami.
Banyak yang berubah di kampung kami. Namun, ada satu kebiasaan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Kebiasaan orang-orang kampung kami mengumpulkan infak, wakaf, zakat dan sedekah guna membangun surau. Bagi kami, membangun surau sama artinya dengan membangun rumah. Rumah bagi anak-anak laki-laki kampung kami yang mulai beranjak besar. Bila tak ada surau, mereka tak bakal punya tempat bernaung. Rumah-rumah hanya untuk anak-anak perempuan. Beruntung sekali menjadi perempuan di kampung kami.
"Bantulah pembangunan surau baru yang terbengkalai!" begitu pesan yang dibawa Fikar untuk kami.
"Orang-orang kampung kita sangat membutuhkan surau itu!"
"Surau sudah seperti cendawan musim hujan, masih belum cukup rupanya?" tanya kami pada Fikar
"Surau-surau yang ada sudah penuh. Penghuninya membludak. Banyak yang tidak kebagian tempat!"
"Jangan mengada-ada kau! Seberapa banyak anak-anak yang belajar mengaji? Hingga tak tertampung lagi di surau-surau itu?"
"Bukan, bukan! Yang tinggal di surau bukan anak-anak mengaji seperti dulu. Surau penuh oleh duda-duda tua yang dicampakkan anak-bini. Pria-pria gaek tak berguna. Jumlah mereka makin banyak. Ini mendesak. Jadi, bantulah!"
"Akan telantar hidup mereka, bila pembangunan surau baru itu tidak segera selesai!"
"Lagi pula, bila kalian sudah pulang kelak, bukankah di surau itu juga kalian akan habiskan hari tua?!"
"Apa kalian mau mati di rantau, hah?"
Seketika kami teringat Sumanda. Jangan-jangan sahabat kami itu salah satu duda tua yang sudah tak berguna di rumah istrinya, lalu terbuang ke surau. Kecil di surau, setelah bau tanah, kembali ke surau. Menunggu mati di surau. Mengingat-ingat peruntungan Sumanda yang tak mujur, kami seperti sedang menatap bayangan kesuraman akhir hayat kami.
"Sumanda bagaimana kabarnya? Dia sehat-sehat saja?" tanya kami lagi pada Zulfikar.
"O iya, Sumanda salah satu penghuni surau yang perlu disantuni."
"Santuni? Dia kan punya istri dan anak-anak?"
"Iya, tapi ia lebih suka tinggal di surau tua tempat kita mengaji dulu. Sudah lapuk, dindingnya hampir roboh, atapnya tiris. Kasihan Sumanda! Apalagi dia sedang sakit-sakitan begitu."
"Nanti kalau surau baru sudah selesai, Sumanda kita pindahkan ke sana!"
"Tunggu apa lagi? Ayo, bantulah!"
Bergegas kami merogoh kantong. Mengeluarkan infak sesuai kemampuan sendiri-sendiri. Setelah dana terkumpul kami serahkan pada Zulfikar yang dalam waktu dekat ini juga akan pulang kampung. Ada urusan bisnis, katanya. Kami menyumbang untuk pembangunan surau baru itu, bukan semata-mata karena kasihan pada Sumanda yang bernasib malang. Kami seolah-olah sedang membangun rumah untuk tempat bernaung di hari tua. Kelak, bila kami sudah pulang dari rantau. Walau kami tak pernah tahu, apakah kami akan mati di rantau, atau mati di surau.
Kelapa Dua, 2006
Penulis adalah cerpenis, yang kini di Jakarta. Buku antologi cerpennya LARAS, Tubuhku Bukan Milikku (2005), Lidah Sembilu (2006)
Rumah Dalam Surau
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>