BAGI Anda yang suka mencari jalan pintas, berhati-hatilah! Sebab, jika jalan yang Anda pilih ternyata terlarang dan tak dibenarkan, Anda mungkin bernasib sama seperti dua orang yang tewas di Tangerang beberapa waktu yang lalu. Gara-gara memilih jalan pintas yang kebetulan adalah lintasan pacu bandara, keduanya tewas mengenaskan setelah sepeda motor yang dikendarainya tertabrak pesawat yang sedang landing.................
Peristiwa naas dan mungkin baru pertama kalinya itu terjadi pada senin (19/4) di Tangerang. Kejadian bermula ketika pesawat latih jenis TB 10 PK AGU milik Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan (STIP) Curug sedang melakukan pendaratan di lintasan pacu bandara Budiarto, Curug, Tangerang. Ketika roda pesawat sudah hampir menyentuh tanah, sebuah sepeda motor Honda Vario yang dikendarai berboncengan oleh Aljumar (24) dan Yopie Hermawan (16) dengan begitu saja melintas. Tak pelak, kecelakaan tak bisa dihindarkan. Kedua pengemudi sepeda motor itu tewas tertabrak pesawat. Sementara kru pesawat harus dilarikan ke rumah sakit. Beberapa waktu kemudian, Jum’at (23/04), sang instruktur menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah kakinya diamputansi dan sempat kritis di Rumah Sakit beberapa hari.
Begitulah jika orang suka mencari jalan pintas. Resiko tak hanya menyangkut dirinya sendiri, namun juga mengancam keselamatan orang lain. Mungkin masih bisa dimafhumi jika jalan pintas yang dipilih dalam kategori wajar, tidak menyimpang, serta tidak mengganggu orang lain. Namun, jika jalan yang dilalui adalah jalan terlarang dan berbahaya, hal tersebut bisa berakibat fatal. Tragedi Curug itu memang patut disayangkan. Andaikan saja lintasan pacu bandara itu tak dijadikan jalan pintas oleh masyarakat, kecelakaan maut itu mungkin masih bisa dihindarkan. Tapi kenyataan berkata lain. Meskipun pagar pembatas telah terpasang di kawasan runway, pagar tersebut seringkali dijebol. Masyarakat lebih senang menerobos dan menggunakan lintasan itu sebagai jalan pintas, karena menghemat waktu, dan juga tenaga.
****
Jika menelisik sejenak peristiwa demi peristiwa yang berjalin-kelindan di negeri ini, kita mungkin menemukan kenyataan yang tak jauh berbeda dengan insiden yang terjadi di Curug Tangerang itu. Tragedi kemanusiaan yang terjadi, korupsi yang tak pernah mati dan terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, heboh makelar kasus di lembaga penegak hukum, mafia pajak, serta berbagai perbuatan menyimpang lainnya adalah wujud kongkrit dari usaha mencari jalan pintas yang dilakukan oleh sebagian manusia. Meskipun jalan pintas yang dipilih itu sesungguhnya diketahui sebagai jalan yang salah karena telah melanggar norma dan aturan, namun jalan itu tetap dipilih. Sebagian orang bahkan terlanjur menikmati jalan itu, dan terus berusaha mempertahankannya
Kebiasaan mencari jalan pintas tersebut -disadari atau tidak- tak bisa dilepaskan dari perkembangan tekhnologi yang begitu dahsyat menghantam kehidupan. Tak dimungkiri, bangsa ini sedang dilanda budaya instan yang sedemikian akutnya merambah kehidupan masyarakat. Budaya instan itulah yang mendorong manusia cenderung mencari jalan pintas. Memang, ditengah kepungan arus tekhnologi dan informasi yang begitu niscaya menyentuh tiap titik peradaban, kehidupan manusia semakin dipermudah. Segalanya bisa diperoleh serba cepat. Hal tersebut, mau tidak mau, mempengaruhi pola pikir masyarakat, sekaligus berdampak pada sikap dan perilaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Edward Burnett Tylor menyatakan, bahwa budaya atau kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan segala kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Instan dikatakan sebagai budaya karena hal tersebut telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, yakni kebiasaan yang ingin mendapatkan segala sesuatu diperoleh secara serba cepat.
Ada banyak perubahan pesat terjadi dalam kehidupan. Orang lebih suka menempuh jalan pintas tanpa mau melihat resiko. Pada titik ini, proses tak lagi penting, karena orang terlanjur hanya mementingkan hasil. Banyaknya produk instan yang bisa ditemui di mana saja, baik berupa makanan, pakaian, alat komunikasi, dan teknologi merupakan salah satu faktor utama dari merebaknya budaya instan tanpa disadari. Hal ini, secara langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi mentalitas manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Daniel Bell, seorang sosiolog asal Amerika mengatakan, masyarakat instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya dalam menghadapi sesuatu. Masyarakat yang tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang dan pembelajaran tiada henti. Masyarakat instan, masih menurut Bell, adalah masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya sepenuhnya bahwa satu-satunya keinginan hanya bisa dicapai dengan perantaraan uang. Itulah sebabnya, satu-satunya jalan adalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk melampiaskan hajat kehidupan.
Pandangan Bell tersebut, setidaknya relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada kurun waktu terakhir. Ketika permasalahan hidup semakin kompleks menimpa bangsa ini, orang tidak lagi bisa berfikir panjang dalam menentukan sesuatu. Segalanya disikapi dengan cepat dan serba permukaan. Pada sisi lain, televisi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat juga ikut andil dalam menumbuhkembangkan budaya tersebut. Betapa banyak tayangan televisi yang mampu menyihir pemirsanya agar menyikapi segala permasalahan kehidupan ini dengan jalan pintas dan tergesa-gesa.
Maka tak heran jika kemudian bangsa ini terpuruk pada krisis tiada henti. Memang, ketika kebiasaan mencari jalan pintas terus dipertahankan karena didorong cara berfikir instan, dan uang –seperti yang dikatakan Bell- dijadikan ujung pangkal aktifitas kehidupan, maka kehancuran demi kehancuran akan tampak semakin nyata di depan mata. Tragedi di Curug Tangerang sebagaimana disebut diatas hanyalah contoh lahir dan kasat mata, bahwa ketika jalan pintas terlarang itu yang dipilih, malapetaka dengan begitu saja akan datang menghantam. Kita bisa bayangkan jika jalan pintas yang dilalui adalah kebiasaan memperoleh materi dengan jalan tak wajar, baik dengan korupsi, kolusi, atau cara-cara menyimpang lainnya. Bukankah bencana kemanusiaan akan semakin nyata menimpa perikehidupan umat manusia?
Walhasil, pertanyaan penting yang harus terus didengungkan. Akankah kebiasaan mencari jalan pintas itu akan terus dipertahankan untuk kebaikan Indonesia ke depan? Wallahu a'lam bisshawab.***
Begitulah jika orang suka mencari jalan pintas. Resiko tak hanya menyangkut dirinya sendiri, namun juga mengancam keselamatan orang lain. Mungkin masih bisa dimafhumi jika jalan pintas yang dipilih dalam kategori wajar, tidak menyimpang, serta tidak mengganggu orang lain. Namun, jika jalan yang dilalui adalah jalan terlarang dan berbahaya, hal tersebut bisa berakibat fatal. Tragedi Curug itu memang patut disayangkan. Andaikan saja lintasan pacu bandara itu tak dijadikan jalan pintas oleh masyarakat, kecelakaan maut itu mungkin masih bisa dihindarkan. Tapi kenyataan berkata lain. Meskipun pagar pembatas telah terpasang di kawasan runway, pagar tersebut seringkali dijebol. Masyarakat lebih senang menerobos dan menggunakan lintasan itu sebagai jalan pintas, karena menghemat waktu, dan juga tenaga.
****
Jika menelisik sejenak peristiwa demi peristiwa yang berjalin-kelindan di negeri ini, kita mungkin menemukan kenyataan yang tak jauh berbeda dengan insiden yang terjadi di Curug Tangerang itu. Tragedi kemanusiaan yang terjadi, korupsi yang tak pernah mati dan terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, heboh makelar kasus di lembaga penegak hukum, mafia pajak, serta berbagai perbuatan menyimpang lainnya adalah wujud kongkrit dari usaha mencari jalan pintas yang dilakukan oleh sebagian manusia. Meskipun jalan pintas yang dipilih itu sesungguhnya diketahui sebagai jalan yang salah karena telah melanggar norma dan aturan, namun jalan itu tetap dipilih. Sebagian orang bahkan terlanjur menikmati jalan itu, dan terus berusaha mempertahankannya
Kebiasaan mencari jalan pintas tersebut -disadari atau tidak- tak bisa dilepaskan dari perkembangan tekhnologi yang begitu dahsyat menghantam kehidupan. Tak dimungkiri, bangsa ini sedang dilanda budaya instan yang sedemikian akutnya merambah kehidupan masyarakat. Budaya instan itulah yang mendorong manusia cenderung mencari jalan pintas. Memang, ditengah kepungan arus tekhnologi dan informasi yang begitu niscaya menyentuh tiap titik peradaban, kehidupan manusia semakin dipermudah. Segalanya bisa diperoleh serba cepat. Hal tersebut, mau tidak mau, mempengaruhi pola pikir masyarakat, sekaligus berdampak pada sikap dan perilaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Edward Burnett Tylor menyatakan, bahwa budaya atau kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan segala kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Instan dikatakan sebagai budaya karena hal tersebut telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, yakni kebiasaan yang ingin mendapatkan segala sesuatu diperoleh secara serba cepat.
Ada banyak perubahan pesat terjadi dalam kehidupan. Orang lebih suka menempuh jalan pintas tanpa mau melihat resiko. Pada titik ini, proses tak lagi penting, karena orang terlanjur hanya mementingkan hasil. Banyaknya produk instan yang bisa ditemui di mana saja, baik berupa makanan, pakaian, alat komunikasi, dan teknologi merupakan salah satu faktor utama dari merebaknya budaya instan tanpa disadari. Hal ini, secara langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi mentalitas manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Daniel Bell, seorang sosiolog asal Amerika mengatakan, masyarakat instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya dalam menghadapi sesuatu. Masyarakat yang tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang dan pembelajaran tiada henti. Masyarakat instan, masih menurut Bell, adalah masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya sepenuhnya bahwa satu-satunya keinginan hanya bisa dicapai dengan perantaraan uang. Itulah sebabnya, satu-satunya jalan adalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk melampiaskan hajat kehidupan.
Pandangan Bell tersebut, setidaknya relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada kurun waktu terakhir. Ketika permasalahan hidup semakin kompleks menimpa bangsa ini, orang tidak lagi bisa berfikir panjang dalam menentukan sesuatu. Segalanya disikapi dengan cepat dan serba permukaan. Pada sisi lain, televisi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat juga ikut andil dalam menumbuhkembangkan budaya tersebut. Betapa banyak tayangan televisi yang mampu menyihir pemirsanya agar menyikapi segala permasalahan kehidupan ini dengan jalan pintas dan tergesa-gesa.
Maka tak heran jika kemudian bangsa ini terpuruk pada krisis tiada henti. Memang, ketika kebiasaan mencari jalan pintas terus dipertahankan karena didorong cara berfikir instan, dan uang –seperti yang dikatakan Bell- dijadikan ujung pangkal aktifitas kehidupan, maka kehancuran demi kehancuran akan tampak semakin nyata di depan mata. Tragedi di Curug Tangerang sebagaimana disebut diatas hanyalah contoh lahir dan kasat mata, bahwa ketika jalan pintas terlarang itu yang dipilih, malapetaka dengan begitu saja akan datang menghantam. Kita bisa bayangkan jika jalan pintas yang dilalui adalah kebiasaan memperoleh materi dengan jalan tak wajar, baik dengan korupsi, kolusi, atau cara-cara menyimpang lainnya. Bukankah bencana kemanusiaan akan semakin nyata menimpa perikehidupan umat manusia?
Walhasil, pertanyaan penting yang harus terus didengungkan. Akankah kebiasaan mencari jalan pintas itu akan terus dipertahankan untuk kebaikan Indonesia ke depan? Wallahu a'lam bisshawab.***
Oleh : Em. Syuhada'
JALAN PINTAS
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>