CAK NUN, begitu sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, lahir pada Hari Rabu Legi 27 Mei 1953 di Desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Ia anak keempat dari 14 bersaudara dengan kedua orang tua Alm. Muhammad Abdul Latief dan Halimah. Pendidikan formal yang ditempuhnya berjalan kurang mulus. Sekolah Dasar dilewati di desa Menturo, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur tetapi tidak selesai karena “dikeluarkan”. Selepas dari Gontor ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di SMA Muhammadiyah I, setelah itu mencicipi kuliah di Fakultas Ekonomi UGM yang dijalaninya hanya selama empat bulan. Sesudah semua itu Ia mencari ilmu di jalanan Malioboro sebagai pengembara.
Selain sebagai “juru penyampai” dalam berbagai acara pengajian, Cak Nun juga berperan sebagai vokalis ketika tampil bersama KiaiKanjeng. Meskipun tidak jarang pada saat berceramah sendirian atau tanpa didampingi Musik KiaiKanjeng ataupun grup-grup lainnya, Ia juga melantunkan lagu-lagu (atau lebih tepatnya membaca Al Quran dan Shalawat Nabi) langsung bersama-sama jamaah.
Kini Cak Nun sudah memasuki usianya yang ke-52. Di usianya yang sudah setengah abad ini dan ketika harus menengok biografinya maka mau tak mau kita musti memulainya dari “halaman-halaman awal” sejarah hidupnya karena memang sudah banyak yang Ia goreskan dan catatkan di buku harian Indonesia ini, setidaknya dimulai ketika Ia masih muda di akhir tahun 60-an.
Sejak muda Cak Nun sudah dikenal oleh banyak kalangan terutama sebagai penyair atau sastrawan. Puisi-puisi yang lahir dari ujung jarinya diminati oleh berderet-deret orang, khususnya generasi muda. Pentas-pentas pembacaan puisinya selalu dipadati pengunjung. Pekerjaan menulis puisi ini sendiri sudah Ia tekuni semenjak akhir tahun 60-an di bawah asuhan seorang guru yang bernama Umbu Landu Paranggi yang populer dengan sebutan “Presiden Penyair Malioboro Yogyakarta” dalam sebuah kelompok studi yang bernama PSK (Persada Studi Klub).
Pada perkembangannya Cak Nun bukan hanya aktif menulis puisi, tetapi juga menulis sejumlah naskah drama, essai, kolom atau artikel diberbagai media massa, pemateri dalam sejumlah acara seminar atau diskusi, mubaligh dalam acara-acara pengajian, dan sejumlah keterlibatan lainnya yang berwatak sosial kemasyarakatan seperti mendirikan Pondok Pesantren Yatim Zaituna, termasuk juga ngurusin “yang tidak-tidak” seperti manangani orang-orang bermasalah yang lalu lalang mendatanginya untuk minta bantuan. Kadang Cak Nun juga berlaku sebagai “dukun”.
Di akhir tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an bersama teman-temannya di Teater Dinasti, yang kemudian bermetamorfose menjadi komunitas Pak Kanjeng serta pada akhirnya mengerucut pada KiaiKanjeng sampai saat ini, ia aktif mementaskan berbagai naskah dramanya seperti Geger Wong Ngoyak Macan, Sunan Sableng, Baginda Farouk serta Pak Kanjeng. Di situ Cak Nun berperan sebagai penulis naskah atau semacam skenario. Pernah juga menulis naskah Duta Dari Masa Depan yang dipentaskan untuk keperluan acara Pisowanan Agung Ngarso Dalem Hamengkubuwono X di Yogyakarta.
Tahun 1994, mengawali pengajian Padhang mBulan di Jombang yang kemudian menjadi embrio dan model social movement. Belakangan sejak tahun 1996 bersama KiaiKanjeng, Cak Nun ikut merilis album kaset seperti Kado Muhammad, Wirid Padhang mBulan, Tombo Ati, Ilir-Ilir, Raja Diraja, Ya Allah Ya ‘Adhim, Perahu Nuh, Kepada Mu Kekasihku, Cinta Sepanjang Zaman, Duh Gusti, Kucari Surgaku dan Maiyah.
Karya puisinya cukup banyak dibukukan, seperti M Frustasi, Sajak-sajak Sepanjang Jalan, 99 Untuk Tuhanku, Suluk Pesisiran, Syair-syair Indonesia Raya, Syair-syair Lautan Jilbab, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Cahaya Mata Cahaya, Yang Terhormat Nama Saya, Sesobek Buku Harian Indonesia dan Doa Mohon Kutukan.
Sejumlah kolom dan esainya telah pula diterbitkan, diantaranya Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Dari Pojok Sejarah, Sastra yang Membebaskan, Slilit Sang Kiai, “Ikut Tidak Lemah, Ikut Tidak Melemahkan”, Kiai Sudrun Gugat, Sedang Tuhanpun Cemburu, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Bola-bola Kultural, Markesot Bertutur, Surat Kepada Kanjeng Nabi, Tuhan pun Berpuasa, Pilih Barokah atau Azab Allah, Keranjang Sampah, 2,5 Jam Bersama Soeharto, Mati Ketawa Cara Reformasi, Kiai Kocar-Kacir, Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan, Jogja Indonesia Pulang-Pergi, Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu, Folklore Madura, Puasa itu Puasa, Syair-Syair Asmaul Husna, dan Kerajaan Indonesia (kumpulan wawancara). Tulisan-tulisan ringan berjudul Kafir Liberal yang berisi catatan-catatan perjalanan selama di Eropa juga sudah diterbitkan.
Selain berkarya diatas ia juga bergiat di pergumulan masyarakat bawah, melalui forum-forum silaturahmi rutin seperti Padhang mBulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Jogja), Kenduri Cinta (Jakarta), Haflah Sholawat (Surabaya), Gambang Syafaat (Semarang), Tali Kasih (Bandung), Paparandeng Ate (Makasar), dan yang paling anyar adalah kesibukannya memandu kegiatan-kegiatan workshop Jamiyah Maiyah di beberapa kota di Indonesia.
Sedemikian banyak peran yang dipanggul oleh Cak Nun sehingga tak sedikit orang yang bingung memahami profesi Cak Nun. Terhadap hal ini Cak Nun menjelaskan bahwa dirinya bukan siapa-siapa, bukan penyair, bukan seniman, bukan mubaligh atau yang lain, melainkan seorang pekerja. Atau lebih tepatnya adalah seorang manusia. Yang dalam hidupnya memiliki kewajiban untuk bekerja. Baginya manusia sudahlah yang tertinggi. Kepenyairan, kesenimanan, kemuballighan, atau apapun hanyalah sebagian fungsi yang dimiliki dalam hidupnya justru untuk mengutuhkan kemanusiaannya. Sementara umumnya orang cenderung menyempitkan dirinya dalam kotak kecil primordialistik menjadi hanya sebagai penyair, seniman, bupati, gubernur, atau bisnisman. Padahal manusia jauh lebih besar dan lebih dari semua itu.
Begitulah kepenyairan, tulisan-tulisan di media massa, ceramah-ceramah dan diskusi, pementasan-pementasan, pengajian-pengajian, pembikinan kaset, aktivitas sosial atau politik lainnya yang dilakukan dan dilibati secara penuh oleh Cak Nun pada dasarnya hanyalah medium dan cara yang bisa dipakai untuk mengungkapkan dan mensilaturrahmikan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan yang diembannya kepada masyarakat luas. Gagasan-gagasan yang berintikan tauhid yakni menomorsatukan Allah di segala bidang dan urusan yang selama ini beliau coba perjuangkan. Segala macam cara dan medium tersebut berposisi thoriqoh atau washilah terhadap cita-cita dan idealisme semacam itu.
Dan khusus soal musik, suatu ketika Cak Nun menulis: “Persentuhan saya dengan dunia musik beserta para pemusiknya hanyalah persentuhan rasa mesra kemanusiaan, persentuhan empati dan apresiasi, atau kesediaan untuk menghargai, menghormati dan menerima dengan keihkhlasan setiap fenomenanya.” (Progress Publisher/Padhangmbulan doc)
Selain sebagai “juru penyampai” dalam berbagai acara pengajian, Cak Nun juga berperan sebagai vokalis ketika tampil bersama KiaiKanjeng. Meskipun tidak jarang pada saat berceramah sendirian atau tanpa didampingi Musik KiaiKanjeng ataupun grup-grup lainnya, Ia juga melantunkan lagu-lagu (atau lebih tepatnya membaca Al Quran dan Shalawat Nabi) langsung bersama-sama jamaah.
Kini Cak Nun sudah memasuki usianya yang ke-52. Di usianya yang sudah setengah abad ini dan ketika harus menengok biografinya maka mau tak mau kita musti memulainya dari “halaman-halaman awal” sejarah hidupnya karena memang sudah banyak yang Ia goreskan dan catatkan di buku harian Indonesia ini, setidaknya dimulai ketika Ia masih muda di akhir tahun 60-an.
Sejak muda Cak Nun sudah dikenal oleh banyak kalangan terutama sebagai penyair atau sastrawan. Puisi-puisi yang lahir dari ujung jarinya diminati oleh berderet-deret orang, khususnya generasi muda. Pentas-pentas pembacaan puisinya selalu dipadati pengunjung. Pekerjaan menulis puisi ini sendiri sudah Ia tekuni semenjak akhir tahun 60-an di bawah asuhan seorang guru yang bernama Umbu Landu Paranggi yang populer dengan sebutan “Presiden Penyair Malioboro Yogyakarta” dalam sebuah kelompok studi yang bernama PSK (Persada Studi Klub).
Pada perkembangannya Cak Nun bukan hanya aktif menulis puisi, tetapi juga menulis sejumlah naskah drama, essai, kolom atau artikel diberbagai media massa, pemateri dalam sejumlah acara seminar atau diskusi, mubaligh dalam acara-acara pengajian, dan sejumlah keterlibatan lainnya yang berwatak sosial kemasyarakatan seperti mendirikan Pondok Pesantren Yatim Zaituna, termasuk juga ngurusin “yang tidak-tidak” seperti manangani orang-orang bermasalah yang lalu lalang mendatanginya untuk minta bantuan. Kadang Cak Nun juga berlaku sebagai “dukun”.
Di akhir tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an bersama teman-temannya di Teater Dinasti, yang kemudian bermetamorfose menjadi komunitas Pak Kanjeng serta pada akhirnya mengerucut pada KiaiKanjeng sampai saat ini, ia aktif mementaskan berbagai naskah dramanya seperti Geger Wong Ngoyak Macan, Sunan Sableng, Baginda Farouk serta Pak Kanjeng. Di situ Cak Nun berperan sebagai penulis naskah atau semacam skenario. Pernah juga menulis naskah Duta Dari Masa Depan yang dipentaskan untuk keperluan acara Pisowanan Agung Ngarso Dalem Hamengkubuwono X di Yogyakarta.
Tahun 1994, mengawali pengajian Padhang mBulan di Jombang yang kemudian menjadi embrio dan model social movement. Belakangan sejak tahun 1996 bersama KiaiKanjeng, Cak Nun ikut merilis album kaset seperti Kado Muhammad, Wirid Padhang mBulan, Tombo Ati, Ilir-Ilir, Raja Diraja, Ya Allah Ya ‘Adhim, Perahu Nuh, Kepada Mu Kekasihku, Cinta Sepanjang Zaman, Duh Gusti, Kucari Surgaku dan Maiyah.
Karya puisinya cukup banyak dibukukan, seperti M Frustasi, Sajak-sajak Sepanjang Jalan, 99 Untuk Tuhanku, Suluk Pesisiran, Syair-syair Indonesia Raya, Syair-syair Lautan Jilbab, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Cahaya Mata Cahaya, Yang Terhormat Nama Saya, Sesobek Buku Harian Indonesia dan Doa Mohon Kutukan.
Sejumlah kolom dan esainya telah pula diterbitkan, diantaranya Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Dari Pojok Sejarah, Sastra yang Membebaskan, Slilit Sang Kiai, “Ikut Tidak Lemah, Ikut Tidak Melemahkan”, Kiai Sudrun Gugat, Sedang Tuhanpun Cemburu, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Bola-bola Kultural, Markesot Bertutur, Surat Kepada Kanjeng Nabi, Tuhan pun Berpuasa, Pilih Barokah atau Azab Allah, Keranjang Sampah, 2,5 Jam Bersama Soeharto, Mati Ketawa Cara Reformasi, Kiai Kocar-Kacir, Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan, Jogja Indonesia Pulang-Pergi, Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu, Folklore Madura, Puasa itu Puasa, Syair-Syair Asmaul Husna, dan Kerajaan Indonesia (kumpulan wawancara). Tulisan-tulisan ringan berjudul Kafir Liberal yang berisi catatan-catatan perjalanan selama di Eropa juga sudah diterbitkan.
Selain berkarya diatas ia juga bergiat di pergumulan masyarakat bawah, melalui forum-forum silaturahmi rutin seperti Padhang mBulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Jogja), Kenduri Cinta (Jakarta), Haflah Sholawat (Surabaya), Gambang Syafaat (Semarang), Tali Kasih (Bandung), Paparandeng Ate (Makasar), dan yang paling anyar adalah kesibukannya memandu kegiatan-kegiatan workshop Jamiyah Maiyah di beberapa kota di Indonesia.
Sedemikian banyak peran yang dipanggul oleh Cak Nun sehingga tak sedikit orang yang bingung memahami profesi Cak Nun. Terhadap hal ini Cak Nun menjelaskan bahwa dirinya bukan siapa-siapa, bukan penyair, bukan seniman, bukan mubaligh atau yang lain, melainkan seorang pekerja. Atau lebih tepatnya adalah seorang manusia. Yang dalam hidupnya memiliki kewajiban untuk bekerja. Baginya manusia sudahlah yang tertinggi. Kepenyairan, kesenimanan, kemuballighan, atau apapun hanyalah sebagian fungsi yang dimiliki dalam hidupnya justru untuk mengutuhkan kemanusiaannya. Sementara umumnya orang cenderung menyempitkan dirinya dalam kotak kecil primordialistik menjadi hanya sebagai penyair, seniman, bupati, gubernur, atau bisnisman. Padahal manusia jauh lebih besar dan lebih dari semua itu.
Begitulah kepenyairan, tulisan-tulisan di media massa, ceramah-ceramah dan diskusi, pementasan-pementasan, pengajian-pengajian, pembikinan kaset, aktivitas sosial atau politik lainnya yang dilakukan dan dilibati secara penuh oleh Cak Nun pada dasarnya hanyalah medium dan cara yang bisa dipakai untuk mengungkapkan dan mensilaturrahmikan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan yang diembannya kepada masyarakat luas. Gagasan-gagasan yang berintikan tauhid yakni menomorsatukan Allah di segala bidang dan urusan yang selama ini beliau coba perjuangkan. Segala macam cara dan medium tersebut berposisi thoriqoh atau washilah terhadap cita-cita dan idealisme semacam itu.
Dan khusus soal musik, suatu ketika Cak Nun menulis: “Persentuhan saya dengan dunia musik beserta para pemusiknya hanyalah persentuhan rasa mesra kemanusiaan, persentuhan empati dan apresiasi, atau kesediaan untuk menghargai, menghormati dan menerima dengan keihkhlasan setiap fenomenanya.” (Progress Publisher/Padhangmbulan doc)
EMHA: Saya Adalah Pekerja
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>