Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
ILMU Rasulullah Muhammad, “hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”, telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi makhluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah “langit” tertinggi dalam kosmos “ahsani taqwin” sebaik-baik makhluk – manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta. Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkadang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala manapun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Makan yang Sejati
Rasanya tak enak untuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelit pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata “Muhammad adalah juga yang terpuji”. Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra “Ya Muhammad kekasih”, rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
“Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang” adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut “diperbudak oleh perut”. Para koruptor kita gelari “hamba perut” yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur dan peradaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Maka yang bernama “makan sejati” ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah “memberi makan kepada nafsu”.
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia, maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Kebutuhan Sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan – dan memang benar demikian – sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”. Untuk tidak makan dari Subuh hingga Maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar sajapun sudah sanggup. Untuk “tidak makan”, jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk “tidak bernafsu makan”, terutama bagi para penghayat “makan yang sejati”.
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda “biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting.” Padahal ilmu “makan sejati” atau “makan pas”-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahayul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahayul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahayul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata “purba”, yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang – setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya – akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apapun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan “lapar sejati”, bukan dalam keadaan “merasa lapar karena nafsu”.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.(*)
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi makhluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah “langit” tertinggi dalam kosmos “ahsani taqwin” sebaik-baik makhluk – manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta. Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkadang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala manapun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu, jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau dengan kata lain “bersuami-istri dengan hubb” atau cinta, maka tercapailah tataran “taqwa”.
Taqwa, itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan “liga rabb”, yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina-dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja, dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjadi tikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang Sejati
Rasanya tak enak untuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelit pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata “Muhammad adalah juga yang terpuji”. Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra “Ya Muhammad kekasih”, rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
“Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang” adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut “diperbudak oleh perut”. Para koruptor kita gelari “hamba perut” yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang. Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.Makhluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur dan peradaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan “makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Maka yang bernama “makan sejati” ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah “memberi makan kepada nafsu”.
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia, maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Kebutuhan Sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan – dan memang benar demikian – sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”. Untuk tidak makan dari Subuh hingga Maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar sajapun sudah sanggup. Untuk “tidak makan”, jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk “tidak bernafsu makan”, terutama bagi para penghayat “makan yang sejati”.
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda “biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting.” Padahal ilmu “makan sejati” atau “makan pas”-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahayul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahayul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahayul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata “purba”, yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang – setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya – akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apapun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan “lapar sejati”, bukan dalam keadaan “merasa lapar karena nafsu”.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati”. Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah “makanan palsu”.Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.(*)
sumber :http://sangnanang.wordpress.com/2013/07/12/puasa-menuju-makan-sejati
Puasa, Menuju Makan Sejati
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>