Musibah dan Musibah : Mungkin bangsa Indonesia memang perlu diruwat. Ruwat dalam bahasa Jawa, kurang lebih berarti bebas. Diruwat, artinya diupayakan agar terbebas dari tenung dan malapetaka.
Saya menggunakan istilah itu – terlepas dari pengertian ruwatan dalam upacara adat Jawa—dalam pengertian harfiahnya. Rasanya bangsa ini memang perlu mengupayakan agar dirinya terbebas dari musibah.
Lebih dari dua tahun, bahkan menginjak tahun ketiga, secara beruntun kita didera berbagai musibah. Mulai dari tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, angin ribut, lumpur panas, kecelakaan di darat; di laut; dan di udara, pertikaian antar etnis dan golongan, per-gulat-an di kalangan politisi, hingga musibah besar yang sering luput dari hitungan: korupsi. Bahkan sudah ke luar negeri, di tempat suci Arafah lagi, musibah masih ‘mengejar’ orang Indonesia.
Memang ada kesadaran bahwa terjadinya musibah-musibah itu terutama disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Akan tetapi tampaknya pemaknaan manusia dalam kaitan musibah ini, masih dibatasi pada manusia lain saja. Artinya, musibah terjadi karena ulah orang lain, bukan ulahku, bukan ulah kita. Seolah-olah hanya orang lain yang manusia dan bersalah. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya saling menyalahkan dan mencari kambing hitam setiap kali dan sesudah terjadi musibah.
Yang di luar pemerintahan apalagi yang ingin masuk ke pemerintahan, biasanya menyalahkan dan meng-kambing-hitam-kan pemerintah. Yang di pemerintahan menyalahkan dan meng-kambing-hitam-kan yang mudah disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Yang di atas menyalahkan yang di bawah, yang di bawah menyalahkan yang di atas. Sehingga sering kali terjadi penanganan musibah malah justru menambah musibah baru.
Dalam keadaan seperti itu, sering kali orang tidak dapat berpikir jejeg, adil. Simpati dan prihatin terhadap korban musibah pun acap kali dijadikan atau dibarengi alasan untuk menyalahkan pihak lain. Apalagi bila kepentingan politik --yang kini agaknya menjadi panglima lagi-- ikut meng-error-kan akal. Orang tidak lagi bisa atau perlu membedakan antara musibah yang disebabkan kekhilafan, kecerobohan, salah urus, dengan musibah yang disebabkan kesengajaan; antara musibah yang masih dalam lingkup kemampuan manusia untuk mengantisipasi hingga mencegahnya dengan musibah yang terjadi di luar kemampuan manusia. Padahal masing-masing memerlukan penyikapan yang berbeda.
Musibah kebakaran hutan dan korupsi, mungkin kita bisa menunjuk secara tegas kambing hitamnya, yaitu maling-maling besar yang serakah dan rakus. Atau tepatnya, menyalahkan niat keserakahan dan kerakusan mereka. Hampir sama dengan itu --dengan adanya perbedaan faktor alam – ialah semisal musibah banjir, longsor, dan lumpur panas. Ini sama sekali berbeda dengan misalnya, musibah katering jamaah haji dan karamnya kapal Senopati Nusantara yang jelas-jelas tidak terkait dengan niat mencelakakan.
Lain lagi dengan musibah tsunami di Aceh atau gempa di Yogya misalnya. Ini merupakan musibah yang boleh dikata di luar kemampuan manusia –minimal manusia Indonesia—untuk mencegah atau menolaknya; bahkan sekedar mengantisipasinya.
Juga kapal atau pesawat yang tiba-tiba diterjang badai besar. Kecanggihan peralatan untuk mendeteksi alam memang bisa menjadi faktor dan diperlukan sebagai upaya berjaga-jaga, namun hal itu tentu tidak berarti melenyapkan keyakinan kita bahwa alam ini milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia berkuasa berbuat apa saja terhadap alam ini, termasuk menghajar manusia yang tak tahu diri.
Kita masih bisa memaklumi apabila mereka yang terkena musibah baik langsung atau tidak langsung, secara tidak sadar bereaksi kurang logis; seperti kemarahan korban lumpur panas atau keluarga korban kecelakaan pesawat Adam Air. Tapi mereka yang bersimpati, kiranya tidak perlu kehilangan penalaran; lalu dengan ngawur mencari-cari kambing hitam. Kalau pun ingin melakukan evaluasi dan koreksi untuk kemaslahatan ke depan, hendaklah disertai pengetahuan atau pun penguasaan masalah dan dilandasi itikad baik bagi kepentingan bersama. Hal ini untuk menjaga agar tidak selalu terjadi saling menyalahkan secara tidak proporsional. Saling menyalahkan yang demikian, apalagi didorong oleh kepentingan-kepentingan sesaat, jangan-jangan justru mengundang musibah susulan. Na’udzu billahi min dzaalik!
Wabadu; untuk ‘meruwat’ diri, kita perlu disamping melakukan apa yang bisa kita lakukan dan menyerahkan apa yang kita tidak bisa melakukannya kepada yang bisa, sungguh sangat mendesak bagi masing-masing kita untuk dengan rendah hati mengoreksi diri. Jangan-jangan karena hanya sibuk mengoreksi pihak lain, banyak kesalahan kita sendiri yang tidak terdeteksi. Lalu kita merasa tidak bersalah dan karenanya tidak melakukan perbaikan dan tidak memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Lebih baik kita mengasumsikan diri kita berdosa dan memohon ampunan Allah, daripada mengandalkan kehebatan diri sendiri dan mengabaikanNya. Adalah musykil bahwa terjadinya musibah yang beruntun di negeri ini tidak sedikit pun mempengaruhi batin kita yang mengaku beriman ini dan tidak melakukan perbaikan sikap. Wallahu alam.
*) A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang
Saya menggunakan istilah itu – terlepas dari pengertian ruwatan dalam upacara adat Jawa—dalam pengertian harfiahnya. Rasanya bangsa ini memang perlu mengupayakan agar dirinya terbebas dari musibah.
Lebih dari dua tahun, bahkan menginjak tahun ketiga, secara beruntun kita didera berbagai musibah. Mulai dari tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, angin ribut, lumpur panas, kecelakaan di darat; di laut; dan di udara, pertikaian antar etnis dan golongan, per-gulat-an di kalangan politisi, hingga musibah besar yang sering luput dari hitungan: korupsi. Bahkan sudah ke luar negeri, di tempat suci Arafah lagi, musibah masih ‘mengejar’ orang Indonesia.
Memang ada kesadaran bahwa terjadinya musibah-musibah itu terutama disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Akan tetapi tampaknya pemaknaan manusia dalam kaitan musibah ini, masih dibatasi pada manusia lain saja. Artinya, musibah terjadi karena ulah orang lain, bukan ulahku, bukan ulah kita. Seolah-olah hanya orang lain yang manusia dan bersalah. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya saling menyalahkan dan mencari kambing hitam setiap kali dan sesudah terjadi musibah.
Yang di luar pemerintahan apalagi yang ingin masuk ke pemerintahan, biasanya menyalahkan dan meng-kambing-hitam-kan pemerintah. Yang di pemerintahan menyalahkan dan meng-kambing-hitam-kan yang mudah disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Yang di atas menyalahkan yang di bawah, yang di bawah menyalahkan yang di atas. Sehingga sering kali terjadi penanganan musibah malah justru menambah musibah baru.
Dalam keadaan seperti itu, sering kali orang tidak dapat berpikir jejeg, adil. Simpati dan prihatin terhadap korban musibah pun acap kali dijadikan atau dibarengi alasan untuk menyalahkan pihak lain. Apalagi bila kepentingan politik --yang kini agaknya menjadi panglima lagi-- ikut meng-error-kan akal. Orang tidak lagi bisa atau perlu membedakan antara musibah yang disebabkan kekhilafan, kecerobohan, salah urus, dengan musibah yang disebabkan kesengajaan; antara musibah yang masih dalam lingkup kemampuan manusia untuk mengantisipasi hingga mencegahnya dengan musibah yang terjadi di luar kemampuan manusia. Padahal masing-masing memerlukan penyikapan yang berbeda.
Musibah kebakaran hutan dan korupsi, mungkin kita bisa menunjuk secara tegas kambing hitamnya, yaitu maling-maling besar yang serakah dan rakus. Atau tepatnya, menyalahkan niat keserakahan dan kerakusan mereka. Hampir sama dengan itu --dengan adanya perbedaan faktor alam – ialah semisal musibah banjir, longsor, dan lumpur panas. Ini sama sekali berbeda dengan misalnya, musibah katering jamaah haji dan karamnya kapal Senopati Nusantara yang jelas-jelas tidak terkait dengan niat mencelakakan.
Lain lagi dengan musibah tsunami di Aceh atau gempa di Yogya misalnya. Ini merupakan musibah yang boleh dikata di luar kemampuan manusia –minimal manusia Indonesia—untuk mencegah atau menolaknya; bahkan sekedar mengantisipasinya.
Juga kapal atau pesawat yang tiba-tiba diterjang badai besar. Kecanggihan peralatan untuk mendeteksi alam memang bisa menjadi faktor dan diperlukan sebagai upaya berjaga-jaga, namun hal itu tentu tidak berarti melenyapkan keyakinan kita bahwa alam ini milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia berkuasa berbuat apa saja terhadap alam ini, termasuk menghajar manusia yang tak tahu diri.
Kita masih bisa memaklumi apabila mereka yang terkena musibah baik langsung atau tidak langsung, secara tidak sadar bereaksi kurang logis; seperti kemarahan korban lumpur panas atau keluarga korban kecelakaan pesawat Adam Air. Tapi mereka yang bersimpati, kiranya tidak perlu kehilangan penalaran; lalu dengan ngawur mencari-cari kambing hitam. Kalau pun ingin melakukan evaluasi dan koreksi untuk kemaslahatan ke depan, hendaklah disertai pengetahuan atau pun penguasaan masalah dan dilandasi itikad baik bagi kepentingan bersama. Hal ini untuk menjaga agar tidak selalu terjadi saling menyalahkan secara tidak proporsional. Saling menyalahkan yang demikian, apalagi didorong oleh kepentingan-kepentingan sesaat, jangan-jangan justru mengundang musibah susulan. Na’udzu billahi min dzaalik!
Wabadu; untuk ‘meruwat’ diri, kita perlu disamping melakukan apa yang bisa kita lakukan dan menyerahkan apa yang kita tidak bisa melakukannya kepada yang bisa, sungguh sangat mendesak bagi masing-masing kita untuk dengan rendah hati mengoreksi diri. Jangan-jangan karena hanya sibuk mengoreksi pihak lain, banyak kesalahan kita sendiri yang tidak terdeteksi. Lalu kita merasa tidak bersalah dan karenanya tidak melakukan perbaikan dan tidak memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Lebih baik kita mengasumsikan diri kita berdosa dan memohon ampunan Allah, daripada mengandalkan kehebatan diri sendiri dan mengabaikanNya. Adalah musykil bahwa terjadinya musibah yang beruntun di negeri ini tidak sedikit pun mempengaruhi batin kita yang mengaku beriman ini dan tidak melakukan perbaikan sikap. Wallahu alam.
*) A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang
Bangsa Yang Harus di Ruwat
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>