SEORANG berbadan
hitam dan berkumis dari Bangkalan, Madura menemui saya di Jakarta, hanya untuk
membawa satu pertanyaan. Betapa tak ekonomisnya dan tak produktifnya orang ini,
jika dinilai dari ideologi ekonomi modern. Berapa biaya yang ia keluarkan untuk
mengongkosi pertanyaan yang sangat tak luar biasa itu :” Apa sesungguhnya arti
beribadah kepada Tuhan ? “
Asyik juga kalau
dianggap kiai, sehingga dianggap bisa menjawab segala pertanyaan-meskipun
sekaligus sangat membahayakan. Untunglah “kiai” itu bukan term dari islam. Kiai
juga tak ada hubungannya dengan keunggulan, kesalehan, atau kepandaian.
Pendekar yang kalau berkelahi kalah melulu disebut Kiai Kocar-Kacir. Raja yang
sangat banyak berbuat tak adil namun selalu beruntung dengan kekuasaannya
disebut Kiai Bejo. Kerbau kraton Jawa yang berkeliaran semaunya tanpa ada orang
berani mengusirnya bernama Kiai Slamet.
Jadi kalau saya
dikiaikan terkadang malah timbul rasa tersinggung. Emang-saya kerbau. Sementara
kalau saya dianggap bisa menjawab segala pertanyaannya itu karena Allah SWT.
Jadi, celakalah kalau Anda di-Allah-kan orang lain. Lambat atau cepat, anda
akan hangus luluh lantak bak laron yang diterbangkan ke permukaan matahari.
Seandainya anda
pernah terpaksa menuhankan seseorang, sehingga ia Anda nomor satukan, anda bela
sampai titik darah penghabisan dengan segala jenis penjilatan dan keindahan
retorika – misalnya penguasa yang seluruh hidup anda tergantung
kepadanya-—kalau bisa jangan didengar orang lain. Pernah ada seorang raja
pulang dari kunjungan ke luar negeri. Sang wakil raja menyongsong dibandara.
Dan takala ia beradu muka, sang wakil raja sepontan menyeru, “ Ya Allah! “ ,
saking terharunya atas pertemuan itu. Maka sang rajapun memeluknya dan berbisik
ke telinganya, “ Jangan keras –keras kalau memanggil nama saya “.
Kalau ada
seseorang yang seolah - olah bisa menjawab semua pertanyaan, sehingga menjadi
muara orang banyak menumpahkan problem, percayalah, apa yang keluar dari mulut
orang itu sama sekali bukan miliknya, melainkan milik Allah.
Manusia menggali
jawaban dari pertanyaan yang dihadirkan Allah kepadanya melalui manusia lain.
Seorang bengkel motor belajar dari setiap kerusakan motor. Universitas manusia
adalah problemnya. Disisi itu semua ada rumus: “ Kalau Tuhan mengamanatkan
problem, Ia menyertakan fasilitas atau rezikinya, berupa apapun. Sebaliknya
kalau Allah memberikan gagasan, Ia juga menyertakan masalah yang harus dicari
sehingga jawaban gagasan itu bisa diterapkan. Atau kalau Tuhan memberikan
fasilitas atau rezeki, tentu ada amanat di sisi-Nya yang harus kita selesaikan
“.
Problem yang
menimpa kita itupun ada takaran dan substansinya. Terkadang ia merupakan ujian
atau cobaan. Di kondisi tertentu ia merupakan peringatan. Di saat lain ia
merukan peringatan . di saat lain ia hukuman .Kriisis moneter dan segala macam
krisis lainnya yang akut dan yng melatarbelakangi mesti kita hitung dengan
seksama, apakah merupakan ujian, peringatan ataukah hukumanTuhan. Atau mungkin
krisis ekonomi merupakan hukuman Allah.atau mungkin krisis ekonomo sesudah
krisis politik dan kebudayaan yang tak kita atasi sebagaimana seharusnya.
Mengingat itu semua , tiba tiba saya menyadari bahwa pertanyaan bersahaja yang
diangkut sahabat kita jauh jauh dari Bangkalan itu ternyata tak mudah dijawab.
Apa arti sebenarnya dari beribadah kepada Tuhan.
Karena saya
kawatir dianggap terlalu bodoh maka saya menjawab sekenanya: “Beribadah kepada
Allah adalah mempelajari isihati-Nya. Meraba bagaimana perasaan-Nya kepada
kita. Menyelami apa kehendaknya atas kehidupan kita dan kita siap menaati-Nya.
Bagaimana memproses pemahaman dan perenungan terus menerus tentang apa
iradah-Nya tentang semua realitas penciptaan ini sejak big bang sampai krisis
di Indonesia dan kita lakukan gerakan hanya yang sudah terlebih dahulu
dinegosiasikan dengan amr-Nya.kalau tidak nanti kita jadi kiai dan santri
kocar-kacir “
Jawaban sekenanya
itu justru tidak mengamankan saya, melainkan memprosokan saya kejurang
pertanyaan berikutnya yang lebih dalam dan remang-remang:
“Bagaimana cara
meraba isi hati allah? Lewat tarikat atau intelektualitas postmo. Bagaimana
menyimpulkan apa yang dikehendaki-Nya? Kenapa kita harus tahu itu semua? Apakah
manusia tak diberi otoritas untuk memiliki political will sendiri dan
melaksanakan sesuai dengan aspirasinya? Bagaimana kita akan memilih warung dan
makanan pada suatu siang, bagaimana kita akan mantap menyelenggarakan
demontrasi, menggagas reformasi, bagaimana kita akan pernah mampu sekali saja
berbuat agak mendasar dan total untuk mengubah Indonesia – kalau prosedurnya
begitu abstrak ?”
Terpaksa saya
mencoba mempertahankan pendapat saya.” Siapa bilang itu abstrak? Meraba
kehendak Tuhan jangan diseram-seramkan dengan terminologi dan citra tentang
tarikat dan kebatinan. Memahami kemauan Tuhan itu masalah biasa, tidak luks.
Ondedilnya yang kita butuhkan cuma dua, pertama hati yang tulus, yang bersyukur
dan berposisi mohon petunjuk kedua pakai akal”.
Hati yang tulus
itu bersahaja juga : kosongkan ia dari keributan kemauan kita sendiri, nafsu,
emosi, pelampiasan dan obsesi kita sendiri. Pakai akal itu pun sederhana: kalau
mau menanam sesuatu, harus jelas kebunnya,kondisi tanahnya, irigasinya kesiapan
kita untuk menyiraminya, dan memelihara sampai berbuah.Kalau main bola
kesebelasannya mesti kompak, tak ada egoisme gawangnya harus disepakati, pola
kerja samanya harus sudah disusun. Jadi bukan hanya sekedar memain-mainkan
bola. Bukan sekedar membuang –buang biji tanaaman tanpa kita siapkan proses
pertumbuhannya, itu namanya pelampiasan. Kehendak Tuhan menjauhkan kita dari
ideologi pelampiasan, dan mendekatkan kita kepada pengendalian dan ketetapan. []
EMHA AINUN NADJIB
Sumber: , Kiai Kocar Kacir, Zaituna
KIAI KOCAR KACIR
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>