SESUNGGUHNYA, agama memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama tidak hanya memberikan petunjuk bagaimana manusia harus berhubungan dengan Tuhan melalui ritual-ritual keagamaan yang bersifat mahdlah. Lebih dari itu, ia diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur segala sesuatu yang menyangkut peri kehidupan di dunia dengan segala aktifitasnya. Tentang bagaimana manusia harus bersikap terhadap dirinya sendiri, tata cara bergaul dengan sesama, bagaimana mestinya memberlakukan alam semesta, dan lain sebagainya. Tujuan akhir dari semua itu tak lain keselamatan dan kebahagian manusia itu sendiri. Dengan kata lain, ketika suatu hari nanti kehidupan dunia ini harus berakhir, manusia tetap berada pada jalan yang dikehendakiNya, bukan jalan menyimpang yang sama sekali berada di luar arah dan petunjukNya.
Namun disadari atau tidak, pemahaman tentang makna agama itu mengalami pergeseran sedemikian rupa di benak sebagian orang pada kurun waktu terakhir. Ketika kata agama didengungkan, barangkali yang muncul di alam bawah sadar adalah segala sesuatu yang sejatinya bukan agama, tapi merupakan simbol dari agama itu sendiri. Orang melakukan shalat, haji, kegiatan-kegitan di majelis taklim, dan kegiatan-kegiatan bersifat “akherat” lainnya. Agama pada akhirnya dikotakkan hanya pada tempat-tempat tertentu, dan tidak berlaku di tempat-tempat lain. Hal itu dapat kita lihat, umpamanya dalam tayangan sinetron-sinetron “islam” di layar televisi. Bagaimana agama didefinisikan secara dangkal dengan mengedepankan simbol-simbol dan mengesampingkan inti dari agama. Padahal, ketika ada seorang petani yang dengan tekun mengerjakan sawahnya, ketika ada tukang becak dengan gigih berkeringat mengayuh becak demi menafkahi anak istrinya. Bukankah ia sama sekali tak berjauhan dengan agama?
Pada titik inilah, pemberian mata pelajaran agama di sekolah-sekolah formal menemukan tantangannya. Sebab diakui atau tidak, pendidikan agama –dan juga pendidikan-pendidikan normatif lainnya- ketika diformulasikan dalam sebuah kurikulum yang wajib diterapkan di lembaga pendidikan formal, yang kerap terjadi adalah tidak sampainya ruh pendidikan itu dalam perilaku siswanya. Artinya, pendidikan agama pada siswa belum sampai pada tahap bagaimana beragama dengan benar. Yang terjadi adalah siswa belajar tentang agama, dan tak ada jaminan jika pengetahuan tentang agama itu akan menjadi spirit yang mendasari perilaku siswa dalam kehidupan sehari-harinya.
Padahal, jika berbicara pada arasy ideal, pedoman kurikulum PAI di sekolah sudah sangat lengkap meliputi seluruh unsur domain peserta didik, baik dari kognitif, afektif maupun psikomotorik. Bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Akhlak mulia yang dimaksud mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama itu sendiri. Sedangkan peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Namun dalam kenyataannya, adakah semua hal seperti yang tertuang dalam pedoman kurikulum itu telah terpenuhi? Bukankah masih ada bagian ruang lingkup, fungsi dan pendekatan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang belum dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan dan guru agama pada umumnya. Bukti yang paling kongkrit dari analisa itu adalah produk pendidikan itu sendiri. Bahwa setelah para peserta didik digembleng pendidikan agama dalam jangka sekian waktu di lembaga sekolah mulai SD hingga SMA, adakah jaminan bahwa nilai-nilai luhur itu telah tertanam dan melekat dalam jiwa peserta didik yang akan memengaruhi segala perilaku sehari-hari dalam kehidupan individual, maupun sosial kemasyarakatan?
Sebetulnya, banyak pendekatan pembelajaran pendidikan agama yang bisa dilakukan tidak hanya oleh guru agama, tapi semua guru di sekolah pada umumnya. Yang terpenting sesungguhnya para guru tidak bertindak sebagai tukang khutbah yang menjejali murid-muridnya dengan berbagai pengetahuan agama tanpa upaya merefleksikannya dalam kehidupan nyata. Tentang keimanan misalnya, yang terutama bukan informasi tentang adanya Tuhan, namun bagaimana seorang guru bisa memberikan peluang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan melalui media-media yang ada di sekelilingnya.
Hal yang sama bisa diterapkan pada persoalan budi pekerti atau akhlak mulia. Guru tak perlu menjelaskan apa dan bagaimana budi pekerti. Akan lebih mengena jika guru melakukan pembiasaan dengan terus memantau segala hal terkait perilaku peserta didiknya. Pada tahap ini, keteladananlah yang terpenting. Artinya, sebelum berbicara akhlak mulia, guru harus memosisikan dirinya sebagai figur yang patut menjadi teladan bagi anak didiknya.
Terkait dengan pendidikan agama ini, menarik untuk mendengarkan penuturan Emha Ainun Nadjib (2001). Menurutnya, dalam kehidupan ini manusia boleh menyandang predikat budaya apapun dalam kehidupan. Namun yang terpenting adalah bagaimana manusia bisa lulus dengan tetap menjadi manusia. Kurikulum dasar pendidikan agama menurutnya hanya ada dua, ialah ketakjuban dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Sesempat-sempatnya seorang guru, orang tua, atau siapapun yang terlibat dalam pendidikan anak (terutama tingkat dasar) menumbuh-kembangkan dua potensialitas rohaniah dan intelektual tersebut. Setiap kali berkomunikasi dengan peserta didik, diusahakan agar mengarahkannya pada dua hal itu. Siswa melihat air, diajak menemukan asal muasal dan manfaat air, sehingga ia takjub kepada Allah. Siswa melihat pagi hari, matahari bersinar, embun yang jatuh, daun tertiup angin, cacing menembus bumi, menatap, mendengar, dan mengalami apapun saja dalam kehidupan selalu diajak mencenderungkannya pada kesadaran ketuhanan.
Pada titik yang sama, siswa juga dilatih bertanggung jawab. Artinya, bahwa segala yang tersebar di alam semesta ini adalah milikNya semata. Yang harus dilakukan guru (terutama guru agama) adalah membangun kesadaran pada jiwa peserta didik, bahwa ia tak berhak menentukan apa yang harus dan tak boleh dilakukan. Satu-satunya jalan adalah mendengarkan kata si Pemilik Kehidupan. Maka tak ada kemungkinan lain bagi mereka selain harus taat kepada-Nya. Insya Allah, jika kedua hal itu telah tertanam dalam sanubari siswa sejak dini, kelak ketika ia melakukan apapun saja dalam kehidupan, semata-mata sedang menjalankan kegembiraan bertanggung jawab pada pencipta-Nya. Bukan lantaran taat pada kita, atau takut pada polisi atau negara.
Alhasil, memang tidak gampang untuk menjalankan semua itu. Namun setidaknya, jika ada upaya yang sungguh-sungguh dan serius untuk melakukankannya, sangat tidak tertutup kemungkinan bahwa ke depan, siswa tidak hanya sedang belajar agama selama di sekolah. Mereka bahkan telah belajar beragama dengan benar. Sehingga ketika suatu hari nanti harus betul-betul berkiprah dalam dunia nyata, ia akan berusaha menjalankan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan pelajaran agama yang pernah diperolehnya selama di sekolah. Wallahua’lam bisshawab (*)
Namun disadari atau tidak, pemahaman tentang makna agama itu mengalami pergeseran sedemikian rupa di benak sebagian orang pada kurun waktu terakhir. Ketika kata agama didengungkan, barangkali yang muncul di alam bawah sadar adalah segala sesuatu yang sejatinya bukan agama, tapi merupakan simbol dari agama itu sendiri. Orang melakukan shalat, haji, kegiatan-kegitan di majelis taklim, dan kegiatan-kegiatan bersifat “akherat” lainnya. Agama pada akhirnya dikotakkan hanya pada tempat-tempat tertentu, dan tidak berlaku di tempat-tempat lain. Hal itu dapat kita lihat, umpamanya dalam tayangan sinetron-sinetron “islam” di layar televisi. Bagaimana agama didefinisikan secara dangkal dengan mengedepankan simbol-simbol dan mengesampingkan inti dari agama. Padahal, ketika ada seorang petani yang dengan tekun mengerjakan sawahnya, ketika ada tukang becak dengan gigih berkeringat mengayuh becak demi menafkahi anak istrinya. Bukankah ia sama sekali tak berjauhan dengan agama?
Pada titik inilah, pemberian mata pelajaran agama di sekolah-sekolah formal menemukan tantangannya. Sebab diakui atau tidak, pendidikan agama –dan juga pendidikan-pendidikan normatif lainnya- ketika diformulasikan dalam sebuah kurikulum yang wajib diterapkan di lembaga pendidikan formal, yang kerap terjadi adalah tidak sampainya ruh pendidikan itu dalam perilaku siswanya. Artinya, pendidikan agama pada siswa belum sampai pada tahap bagaimana beragama dengan benar. Yang terjadi adalah siswa belajar tentang agama, dan tak ada jaminan jika pengetahuan tentang agama itu akan menjadi spirit yang mendasari perilaku siswa dalam kehidupan sehari-harinya.
Padahal, jika berbicara pada arasy ideal, pedoman kurikulum PAI di sekolah sudah sangat lengkap meliputi seluruh unsur domain peserta didik, baik dari kognitif, afektif maupun psikomotorik. Bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Akhlak mulia yang dimaksud mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama itu sendiri. Sedangkan peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Namun dalam kenyataannya, adakah semua hal seperti yang tertuang dalam pedoman kurikulum itu telah terpenuhi? Bukankah masih ada bagian ruang lingkup, fungsi dan pendekatan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang belum dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan dan guru agama pada umumnya. Bukti yang paling kongkrit dari analisa itu adalah produk pendidikan itu sendiri. Bahwa setelah para peserta didik digembleng pendidikan agama dalam jangka sekian waktu di lembaga sekolah mulai SD hingga SMA, adakah jaminan bahwa nilai-nilai luhur itu telah tertanam dan melekat dalam jiwa peserta didik yang akan memengaruhi segala perilaku sehari-hari dalam kehidupan individual, maupun sosial kemasyarakatan?
Sebetulnya, banyak pendekatan pembelajaran pendidikan agama yang bisa dilakukan tidak hanya oleh guru agama, tapi semua guru di sekolah pada umumnya. Yang terpenting sesungguhnya para guru tidak bertindak sebagai tukang khutbah yang menjejali murid-muridnya dengan berbagai pengetahuan agama tanpa upaya merefleksikannya dalam kehidupan nyata. Tentang keimanan misalnya, yang terutama bukan informasi tentang adanya Tuhan, namun bagaimana seorang guru bisa memberikan peluang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan melalui media-media yang ada di sekelilingnya.
Hal yang sama bisa diterapkan pada persoalan budi pekerti atau akhlak mulia. Guru tak perlu menjelaskan apa dan bagaimana budi pekerti. Akan lebih mengena jika guru melakukan pembiasaan dengan terus memantau segala hal terkait perilaku peserta didiknya. Pada tahap ini, keteladananlah yang terpenting. Artinya, sebelum berbicara akhlak mulia, guru harus memosisikan dirinya sebagai figur yang patut menjadi teladan bagi anak didiknya.
Terkait dengan pendidikan agama ini, menarik untuk mendengarkan penuturan Emha Ainun Nadjib (2001). Menurutnya, dalam kehidupan ini manusia boleh menyandang predikat budaya apapun dalam kehidupan. Namun yang terpenting adalah bagaimana manusia bisa lulus dengan tetap menjadi manusia. Kurikulum dasar pendidikan agama menurutnya hanya ada dua, ialah ketakjuban dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Sesempat-sempatnya seorang guru, orang tua, atau siapapun yang terlibat dalam pendidikan anak (terutama tingkat dasar) menumbuh-kembangkan dua potensialitas rohaniah dan intelektual tersebut. Setiap kali berkomunikasi dengan peserta didik, diusahakan agar mengarahkannya pada dua hal itu. Siswa melihat air, diajak menemukan asal muasal dan manfaat air, sehingga ia takjub kepada Allah. Siswa melihat pagi hari, matahari bersinar, embun yang jatuh, daun tertiup angin, cacing menembus bumi, menatap, mendengar, dan mengalami apapun saja dalam kehidupan selalu diajak mencenderungkannya pada kesadaran ketuhanan.
Pada titik yang sama, siswa juga dilatih bertanggung jawab. Artinya, bahwa segala yang tersebar di alam semesta ini adalah milikNya semata. Yang harus dilakukan guru (terutama guru agama) adalah membangun kesadaran pada jiwa peserta didik, bahwa ia tak berhak menentukan apa yang harus dan tak boleh dilakukan. Satu-satunya jalan adalah mendengarkan kata si Pemilik Kehidupan. Maka tak ada kemungkinan lain bagi mereka selain harus taat kepada-Nya. Insya Allah, jika kedua hal itu telah tertanam dalam sanubari siswa sejak dini, kelak ketika ia melakukan apapun saja dalam kehidupan, semata-mata sedang menjalankan kegembiraan bertanggung jawab pada pencipta-Nya. Bukan lantaran taat pada kita, atau takut pada polisi atau negara.
Alhasil, memang tidak gampang untuk menjalankan semua itu. Namun setidaknya, jika ada upaya yang sungguh-sungguh dan serius untuk melakukankannya, sangat tidak tertutup kemungkinan bahwa ke depan, siswa tidak hanya sedang belajar agama selama di sekolah. Mereka bahkan telah belajar beragama dengan benar. Sehingga ketika suatu hari nanti harus betul-betul berkiprah dalam dunia nyata, ia akan berusaha menjalankan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan pelajaran agama yang pernah diperolehnya selama di sekolah. Wallahua’lam bisshawab (*)
*) Ditulis oleh Em. Syuhada, Guru PAI SDN Talunrejo III Bluluk Lamongan
TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>