SABTU malam, 22 Desember 2012, Cak Nun dan Kiaikanjeng beserta Ibu Novia Kolopaking memenuhi undangan bermaiyahan di SMAN 1 Yogyakarta dalam rangka lustrum ke-11 SMA yang popular dengan sebutan SMA Teladan ini. Dalam sambutannya, Kepala Sekolah menyampaikan bahwa komitmen SMA 1 adalah melakukan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat melalui pendidikan dengan semangat nasionalisme, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Karena itulah, dalam Maiyahan Lustrum ini, tak hanya siswa yang datang, melainkan juga masyarakat sekitar diundang.
Menyinggung soal komitmen pelayanan itu, Cak Nun menanggapi bahwa itu berarti sekolah ini telah meletakkan prinsip kesalehan (yaitu pelayanan kepada masyarakat) ke dalam pengembanan amanah menjalankan proses belajar-mengajar di sekolah ini. Cak Nun mengingatkan bahwa dalam bahasa Inggris melayani itu adalah “serve”, lalu beliau menanyakan kalau dalam bahasa Arabnya apa. Sunyi, tak ada yang menyahut. Kemudian Cak Nun menegaskan bahwa pelayanan itu dalam bahasa Arabnya adalah “ibadah. Abid atau abd berarti pelayan. Abdullah adalah pelayan Allah. “Selama ini istilah pelayanan dan abiid atau abd seolah-olah tak ada hubungannya.
Lebih jauh Cak Nun mengajak semua hadirin berpikir. “Kalau kita sudah berjanji akan mengabdi hanya kepada Allah (Iyyaka Na’budu), apakah itu berarti kita tidak boleh mengabdi kepada yang selain Allah, apakah kita boleh mengangkat tangan untuk hormat bendera?” Tanya Cak Nun. Sengaja beliau bertanya demikian karena belakang banyak orang yang dengan mudah menyesatkan atau memusyrikkan penghormatan yang bukan kepada Allah. Beberapa perwakilan siswa yang sudah berada di atas panggung diajak untuk menjawab pertanyaan ini. Di antaranya dijawab ‘boleh’ asal tidak menomorsatukan yang selain Allah. Yang lainnya lagi menjawab ‘boleh’ dan tergantung niatnya pula.
Secara lebih skematis Cak Nun memaparkan dan meminta semuanya mengingat mengenai empat hal yang perlu diperhatikan setiap kali kita berbicara tentang segala sesuatu, termasuk dalam kaitannya dengan menentukan bid’ah tidaknya sesuatu, serta baik-tidak baiknya suatu hal. Empat hal itu adalah identififikasi, definisi, lokasi, dan fungsi. “Maka mengenai pelayanan tadi jawabnya jelas: kalau kita melayani Allah maka kita terikat kepada Allah untuk taat kepada orangtua, melayani siswa, melayani masyarakat, dan seterusnya,” tegas Cak Nun.
Malam itu KiaiKanjeng tampil dengan busana yang lain dari biasanya, yaitu baju putih dipadu celana jeans biru. Di segmen awal KiaiKanjeng mengajak semua hadirin untuk berdiri dan menyanyikan lagu Padamu Negeri demi meneguhkan semengat nasionalisme dan cinta tanah air. Dua orang guru SMA Teladan juga diajak naik ke panggung untuk bersama-sama KiaiKanjeng menyanyikan beberapa lagu. Beberapa siswa yang turut naik ke panggung ini ketika ditanya minta lagu apa, mereka meminta lagunya Letto “Sebelum Cahaya” dan “Ruang Rindu” dan mereka pun diajak bersama menembangkan kedua lagu yang sangat akrab di telinga kaum remaja ini.
Sebagaimana biasa, Cak Nun mengajak berdialog dengan para siswa ini, dan di tengah dialog itu, beliau menyinggung pendidikan karakter yang belakangan ini diusung oleh Depdiknas sebagai suatu spirit pendidikan nasional. Tetapi sebelum itu Cak Nun menanyakan mengenai apa yang para siswa pahami mengenai pendidikan karakter ini. Salah seorang di antara mereka menjelaskan bahwa kita diberi ilmu, tetapi kalau kita bersikap atau berperilaku yang baik maka tidak akan bermanfaat pula ilmu kita di masyarakat. Cak Nun menanggapi, kalau yang demikian itu maka itu bukan berkaitan dengan pendidikan karakter melainkan pendidikan sosial.
Siswa yang lain menjawab bahwa karakter adalah ciri khusus. Berangkat dari jawaban terakhir ini Cak Nun memaparkan bahwa selama ini kita mengacaukan arti moral dan karakter. Moral itu kaitannya dengan baik atau buruk. Selama ini kita menyebut pendidikan karakter tetapi maksudnya pendidikan moral atau ditujukan agar siswa berperilaku baik. Padahal karakter itu bukan seperti itu. Karakter itu adalah ciri khusus, karakter itu hubungannya dengan kecenderungan spesifikasi. Kalau singa itu berbeda dengan kuda. Pendidikan karakter berurusan dengan pengembangan potensi-potensi khusus atau unik setiap manusia. “Kalau memang maksudnya adalah pendidikan moral ya sebut saja pendidikan moral, tetapi kalau yang dimaksud adalah pendidikan karakter, maka kita harus mengerti betul mengenai apa yang dimaksud dengan karakter,” tegas Cak Nun mengajak seluruh hadirin dan civitas akademika SMA Teladan untuk berpikir mendasar, tetapi juga luas.
Pembenahan konsepsi mengenai pendidikan karakter di atas adalah satu upaya yang oleh Cak Nun disebut sebagai proses detoksifikasi yang harus dilakukan karena selama ini boleh jadi kita telah mengandungi toksin-toksin yang sangat banyak, toksin-toksin pemahaman, pemikiran, makna maupun asosiasi kata yang selama ini mapan dalam pikiran kita. “Maka salah satu usaha untuk melakukan detokfisikasi dapat dimulai dari ‘kata’,” pesan Cak Nun. [Progress/23 Desember 2012]
Ditulis Oleh Helmi Mustofa
dari www.caknun.com
Menyinggung soal komitmen pelayanan itu, Cak Nun menanggapi bahwa itu berarti sekolah ini telah meletakkan prinsip kesalehan (yaitu pelayanan kepada masyarakat) ke dalam pengembanan amanah menjalankan proses belajar-mengajar di sekolah ini. Cak Nun mengingatkan bahwa dalam bahasa Inggris melayani itu adalah “serve”, lalu beliau menanyakan kalau dalam bahasa Arabnya apa. Sunyi, tak ada yang menyahut. Kemudian Cak Nun menegaskan bahwa pelayanan itu dalam bahasa Arabnya adalah “ibadah. Abid atau abd berarti pelayan. Abdullah adalah pelayan Allah. “Selama ini istilah pelayanan dan abiid atau abd seolah-olah tak ada hubungannya.
Lebih jauh Cak Nun mengajak semua hadirin berpikir. “Kalau kita sudah berjanji akan mengabdi hanya kepada Allah (Iyyaka Na’budu), apakah itu berarti kita tidak boleh mengabdi kepada yang selain Allah, apakah kita boleh mengangkat tangan untuk hormat bendera?” Tanya Cak Nun. Sengaja beliau bertanya demikian karena belakang banyak orang yang dengan mudah menyesatkan atau memusyrikkan penghormatan yang bukan kepada Allah. Beberapa perwakilan siswa yang sudah berada di atas panggung diajak untuk menjawab pertanyaan ini. Di antaranya dijawab ‘boleh’ asal tidak menomorsatukan yang selain Allah. Yang lainnya lagi menjawab ‘boleh’ dan tergantung niatnya pula.
Secara lebih skematis Cak Nun memaparkan dan meminta semuanya mengingat mengenai empat hal yang perlu diperhatikan setiap kali kita berbicara tentang segala sesuatu, termasuk dalam kaitannya dengan menentukan bid’ah tidaknya sesuatu, serta baik-tidak baiknya suatu hal. Empat hal itu adalah identififikasi, definisi, lokasi, dan fungsi. “Maka mengenai pelayanan tadi jawabnya jelas: kalau kita melayani Allah maka kita terikat kepada Allah untuk taat kepada orangtua, melayani siswa, melayani masyarakat, dan seterusnya,” tegas Cak Nun.
Malam itu KiaiKanjeng tampil dengan busana yang lain dari biasanya, yaitu baju putih dipadu celana jeans biru. Di segmen awal KiaiKanjeng mengajak semua hadirin untuk berdiri dan menyanyikan lagu Padamu Negeri demi meneguhkan semengat nasionalisme dan cinta tanah air. Dua orang guru SMA Teladan juga diajak naik ke panggung untuk bersama-sama KiaiKanjeng menyanyikan beberapa lagu. Beberapa siswa yang turut naik ke panggung ini ketika ditanya minta lagu apa, mereka meminta lagunya Letto “Sebelum Cahaya” dan “Ruang Rindu” dan mereka pun diajak bersama menembangkan kedua lagu yang sangat akrab di telinga kaum remaja ini.
Sebagaimana biasa, Cak Nun mengajak berdialog dengan para siswa ini, dan di tengah dialog itu, beliau menyinggung pendidikan karakter yang belakangan ini diusung oleh Depdiknas sebagai suatu spirit pendidikan nasional. Tetapi sebelum itu Cak Nun menanyakan mengenai apa yang para siswa pahami mengenai pendidikan karakter ini. Salah seorang di antara mereka menjelaskan bahwa kita diberi ilmu, tetapi kalau kita bersikap atau berperilaku yang baik maka tidak akan bermanfaat pula ilmu kita di masyarakat. Cak Nun menanggapi, kalau yang demikian itu maka itu bukan berkaitan dengan pendidikan karakter melainkan pendidikan sosial.
Siswa yang lain menjawab bahwa karakter adalah ciri khusus. Berangkat dari jawaban terakhir ini Cak Nun memaparkan bahwa selama ini kita mengacaukan arti moral dan karakter. Moral itu kaitannya dengan baik atau buruk. Selama ini kita menyebut pendidikan karakter tetapi maksudnya pendidikan moral atau ditujukan agar siswa berperilaku baik. Padahal karakter itu bukan seperti itu. Karakter itu adalah ciri khusus, karakter itu hubungannya dengan kecenderungan spesifikasi. Kalau singa itu berbeda dengan kuda. Pendidikan karakter berurusan dengan pengembangan potensi-potensi khusus atau unik setiap manusia. “Kalau memang maksudnya adalah pendidikan moral ya sebut saja pendidikan moral, tetapi kalau yang dimaksud adalah pendidikan karakter, maka kita harus mengerti betul mengenai apa yang dimaksud dengan karakter,” tegas Cak Nun mengajak seluruh hadirin dan civitas akademika SMA Teladan untuk berpikir mendasar, tetapi juga luas.
Pembenahan konsepsi mengenai pendidikan karakter di atas adalah satu upaya yang oleh Cak Nun disebut sebagai proses detoksifikasi yang harus dilakukan karena selama ini boleh jadi kita telah mengandungi toksin-toksin yang sangat banyak, toksin-toksin pemahaman, pemikiran, makna maupun asosiasi kata yang selama ini mapan dalam pikiran kita. “Maka salah satu usaha untuk melakukan detokfisikasi dapat dimulai dari ‘kata’,” pesan Cak Nun. [Progress/23 Desember 2012]
Ditulis Oleh Helmi Mustofa
dari www.caknun.com
Pendidikan Karakter atau Pendidikan Moral?
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>