Judul Buku : KOMPENSASI
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penyunting : SH Sadewo, R. Wijaya
Penerbit : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : vi + 230 halama
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penyunting : SH Sadewo, R. Wijaya
Penerbit : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : vi + 230 halama
Peresensi : Em. Syuhada'
SALAH SATU persoalan penting yang harus disadari manusia ketika menjalani kehidupan di muka bumi adalah kesadaran mengambil jarak atas semua peristiwa yang terjadi. Kesadaran ini mutlak diperlukan, karena dari waktu ke waktu, peristiwa demi peristiwa tak henti menyapa kehidupan manusia. Selama kehidupan ada, selama itu pula peristiwa akan mewarnai kehidupan. Bahkan ketika kehidupan mencapai garis akhir berupa hancurnya alam semesta, yang lahir kemudian adalah peristiwa baru dengan formulasi berbeda dengan yang pernah dialami manusia sebelumnya.
Keniscayaan bersentuhan dengan peristiwa, seyogyanya dihadapi manusia dengan tindakan nyata, yakni secara kontinyu menciptakan jarak antara diri dengan peristiwa supaya tidak kehilangan kejernihan cara pandang. Ibarat melihat benda, dibutuhkan jarak pandang yang memadai agar benda dapat terlihat dengan jelas. Ketika manusia sama sekali tak berjarak dan cenderung terseret dengan peristiwa, yang terjadi adalah tumpulnya kepekaan jiwa, munculnya realitas yang absurd, bahkan pada skala tertentu manusia akan menuai dampak yang lebih ekstrem berupa kebebalan cara berfikir ( Zaituna, 1999 ).
Tulisan-tulisan KH. A. Musthofa Bisri yang terkumpul dalam buku ini mencerminkan sikap seorang manusia yang tak pernah bosan melakukan penjarakan. Sebagai seorang kyai yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, Gus Mus – demikian ia kerap dipanggil – memiliki kemungkinan terlibat dengan peristiwa besar maupun kecil dalam kehidupan. Saat menjadi bagian dari sebuah peristiwa, dimana dia terlibat secara langsung dan menjadi pusat persoalan, tidak serta merta membuat Gus Mus kehilangan jarak. Ia tetap mampu bersikap kritis dengan membuang jauh-jauh rasa subyektif-emosionil.
Sebaliknya, ketika pengasuh PP. Raudlatut Thalibin Rembang ini berposisi sebagai penonton dari peristiwa besar yang berjalin-kelindan dalam tatanan kehidupan sosial politik, baik yang menyangkut negara, masyarakat, atau bahkan peristiwa global yang melampaui sekat geografis, Gus Mus mampu menjadi penonton yang apresiatif. Artinya, dari jarak tertentu dia memotret peristiwa itu dengan memakai kaca pandang universal sebagai seorang manusia yang tidak tersekat oleh bingkai kehidupan jenis apapun. Disinilah kelebihan Gus Mus. Ketika sebagian orang sering terjebak oleh subyektifitas cara berfikir, ia tetap mampu obyektif dengan meletakkan permasalahan sesuai dengan konteksnya.
Tulisan berumbul Salah Anggapan ( hal. 79 ) sangat menggambarkan transendental Gus Mus. Ketika didesak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD pada pemilu langsung beberapa tahun lalu, tidak begitu saja dia terhanyut dengan desakan-desakan itu. Beliau justru menciptakan jarak dengan mempertanyakan kapabilitasnya menjadi anggota DPD. Hal ini dapat dimengerti, sebab DPD adalah makhluk yang sama sekali asing baginya. Bagi Gus Mus, setiap tugas yang dibebankan kepadanya harus berkorelasi dengan kemampuan dirinya. Terbukti, ketika mengetahui secara detail tugas-tugas DPD, dan ia merasa tak mampu, Gus Mus akhirnya mengundurkan diri dari bursa pencalonan.
Senada dengan hal tersebut, waktu banyak sekali tokoh yang mendesaknya – dan bahkan Gus Dur sendiri – agar Gus Mus bersedia menjadi Ketua Umum PKB saat muktamar pertama kali di Surabaya, atau ketika didorong-dorong sebagai kandidat pada pencalonan Ketua PBNU saat Muktamar NU di Lirboyo dan Donohudan beberapa waktu silam, Gus Mus tetap mengedepankan sikap pengambilan jarak semacam itu. Dengan berpedoman pada hadits nabi – Jika suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kiamatnya – Gus Mus akhirnya menolak dengan alasan yang sama. Ia sama sekali tak peduli, meski di NU ia lantas dituduh sebagai orang yang hanya bisa mengkritik, namun lari ketika diserahi tanggung jawab.
Menarik untuk dicermati adalah alasan Gus Mus yang selalu merasa tak mampu ketika didaulat menjadi pemimpin dalam skala keumatan. Apakah hal itu benar secara realitas. Ataukah sebatas retorika sebagai wujud kerendah-hatian seorang kyai yang sadar akan keterbatasan. Namun pengakuan itu sungguh menyentil realitas yang berkembang. Bukankah banyak kyai yang justru berbondong-bondong hengkang dari maqam asalnya berda’wah di jalur kultural, dengan memasuki wilayah politik praktis tanpa mempertimbangkan bahwa wilayah itu adalah wilayah abu-abu ( grey area ) yang kebanyakan mereka tergolong awam?
Membaca tulisan Gus Mus dalam buku ini, kita akan menemukan sisi-sisi lain dari seorang Gus Mus. Ada sisi kemerdekaan. Simak misalnya Golkar & PKB ( hlm. 20 ), betapa enjoynya Gus Mus mengkritik PKB yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan Golkar. Bukankah kritikan itu mencerminkan “kemerdekaan” Gus Mus yang mampu melawan arus ditengah fanatisme buta yang kerap melanda warga NU. Tersirat juga keprihatinan, atau bahkan rasa muak ketika menyaksikan ulah wakil rakyat atau elite politik negeri ini yang kebijakannya tak pernah menyentuh kepentingan rakyat ( Si Cebol dan Si Jangkung, hlm. 32 ). Juga kejengkelan yang membuncah, tatkala menyaksikan kemunafikan negara-negara adidaya semacam Amerika atau Israel yang terus menancapkan hegemoninya di negara-negara berkembang ( Kekejaman Israel dan Semangat Jihad, hlm. 70 ).
Sebagai kumpulan tulisan, wajar jika buku setebal 230 halaman ini menghadirkan wajah beragam. Namun setidaknya, SH Sadewo dan R. Wijaya sebagai penyunting berusaha mengumpulkan keberagaman itu dalam enam buah sub judul sesuai dengan karakter masing-masing tulisan. Ada Fenomena, yang memuat 25 tulisan. Keyakinan, berisi 2 tulisan. Dakwah dan Amar Ma’ruf 6 tulisan. Kiai-kiai, 6 tulisan. Marhaban Ya Ramadlan, 7 tulisan. Dan terakhir, Akhlak Mulia sebagai pamungkas sebanyak 5 tulisan.
Namun sayang, sebagai sebuah buku, buku berlabel Kompensasi ini tak dirancang benar-benar sebagai buku. Tak ada pengantar dari penyunting yang bisa menjelaskan latar belakang “ kelahiran “ buku ini. Juga tak ada penjelasan mengapa Kompensasi – tulisan yang menyoroti kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM – dijadikan judul buku. Mungkin penyunting menganggap hal itu tak perlu. Sebab, tanpa itu toh pembaca tak akan kehilangan apa-apa. Pembaca dapat langsung memasuki wilayah esensial dengan menjelajah tiap detak peristiwa yang dihadirkan.
Terlepas dari itu semua, kita akan menemukan banyak sekali fenomena ketika membaca buku ini. Dan bukankah Gus Mus sendiri adalah sebuah fenomena? Ditengah meruyaknya elite agama yang melenggang ke ranah politik sejak reformasi bergulir, Gus Mus tak goyah dengan pendiriannya berda’wah di jalur kultular. Sembari mengurusi pesantren dengan segala pernak-perniknya, kyai yang penyair ini tetap intens menulis, sebuah aktifitas yang jarang dilirik oleh kyai-kyai abad ini. (*)
Keniscayaan bersentuhan dengan peristiwa, seyogyanya dihadapi manusia dengan tindakan nyata, yakni secara kontinyu menciptakan jarak antara diri dengan peristiwa supaya tidak kehilangan kejernihan cara pandang. Ibarat melihat benda, dibutuhkan jarak pandang yang memadai agar benda dapat terlihat dengan jelas. Ketika manusia sama sekali tak berjarak dan cenderung terseret dengan peristiwa, yang terjadi adalah tumpulnya kepekaan jiwa, munculnya realitas yang absurd, bahkan pada skala tertentu manusia akan menuai dampak yang lebih ekstrem berupa kebebalan cara berfikir ( Zaituna, 1999 ).
Tulisan-tulisan KH. A. Musthofa Bisri yang terkumpul dalam buku ini mencerminkan sikap seorang manusia yang tak pernah bosan melakukan penjarakan. Sebagai seorang kyai yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, Gus Mus – demikian ia kerap dipanggil – memiliki kemungkinan terlibat dengan peristiwa besar maupun kecil dalam kehidupan. Saat menjadi bagian dari sebuah peristiwa, dimana dia terlibat secara langsung dan menjadi pusat persoalan, tidak serta merta membuat Gus Mus kehilangan jarak. Ia tetap mampu bersikap kritis dengan membuang jauh-jauh rasa subyektif-emosionil.
Sebaliknya, ketika pengasuh PP. Raudlatut Thalibin Rembang ini berposisi sebagai penonton dari peristiwa besar yang berjalin-kelindan dalam tatanan kehidupan sosial politik, baik yang menyangkut negara, masyarakat, atau bahkan peristiwa global yang melampaui sekat geografis, Gus Mus mampu menjadi penonton yang apresiatif. Artinya, dari jarak tertentu dia memotret peristiwa itu dengan memakai kaca pandang universal sebagai seorang manusia yang tidak tersekat oleh bingkai kehidupan jenis apapun. Disinilah kelebihan Gus Mus. Ketika sebagian orang sering terjebak oleh subyektifitas cara berfikir, ia tetap mampu obyektif dengan meletakkan permasalahan sesuai dengan konteksnya.
Tulisan berumbul Salah Anggapan ( hal. 79 ) sangat menggambarkan transendental Gus Mus. Ketika didesak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD pada pemilu langsung beberapa tahun lalu, tidak begitu saja dia terhanyut dengan desakan-desakan itu. Beliau justru menciptakan jarak dengan mempertanyakan kapabilitasnya menjadi anggota DPD. Hal ini dapat dimengerti, sebab DPD adalah makhluk yang sama sekali asing baginya. Bagi Gus Mus, setiap tugas yang dibebankan kepadanya harus berkorelasi dengan kemampuan dirinya. Terbukti, ketika mengetahui secara detail tugas-tugas DPD, dan ia merasa tak mampu, Gus Mus akhirnya mengundurkan diri dari bursa pencalonan.
Senada dengan hal tersebut, waktu banyak sekali tokoh yang mendesaknya – dan bahkan Gus Dur sendiri – agar Gus Mus bersedia menjadi Ketua Umum PKB saat muktamar pertama kali di Surabaya, atau ketika didorong-dorong sebagai kandidat pada pencalonan Ketua PBNU saat Muktamar NU di Lirboyo dan Donohudan beberapa waktu silam, Gus Mus tetap mengedepankan sikap pengambilan jarak semacam itu. Dengan berpedoman pada hadits nabi – Jika suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kiamatnya – Gus Mus akhirnya menolak dengan alasan yang sama. Ia sama sekali tak peduli, meski di NU ia lantas dituduh sebagai orang yang hanya bisa mengkritik, namun lari ketika diserahi tanggung jawab.
Menarik untuk dicermati adalah alasan Gus Mus yang selalu merasa tak mampu ketika didaulat menjadi pemimpin dalam skala keumatan. Apakah hal itu benar secara realitas. Ataukah sebatas retorika sebagai wujud kerendah-hatian seorang kyai yang sadar akan keterbatasan. Namun pengakuan itu sungguh menyentil realitas yang berkembang. Bukankah banyak kyai yang justru berbondong-bondong hengkang dari maqam asalnya berda’wah di jalur kultural, dengan memasuki wilayah politik praktis tanpa mempertimbangkan bahwa wilayah itu adalah wilayah abu-abu ( grey area ) yang kebanyakan mereka tergolong awam?
Membaca tulisan Gus Mus dalam buku ini, kita akan menemukan sisi-sisi lain dari seorang Gus Mus. Ada sisi kemerdekaan. Simak misalnya Golkar & PKB ( hlm. 20 ), betapa enjoynya Gus Mus mengkritik PKB yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan Golkar. Bukankah kritikan itu mencerminkan “kemerdekaan” Gus Mus yang mampu melawan arus ditengah fanatisme buta yang kerap melanda warga NU. Tersirat juga keprihatinan, atau bahkan rasa muak ketika menyaksikan ulah wakil rakyat atau elite politik negeri ini yang kebijakannya tak pernah menyentuh kepentingan rakyat ( Si Cebol dan Si Jangkung, hlm. 32 ). Juga kejengkelan yang membuncah, tatkala menyaksikan kemunafikan negara-negara adidaya semacam Amerika atau Israel yang terus menancapkan hegemoninya di negara-negara berkembang ( Kekejaman Israel dan Semangat Jihad, hlm. 70 ).
Sebagai kumpulan tulisan, wajar jika buku setebal 230 halaman ini menghadirkan wajah beragam. Namun setidaknya, SH Sadewo dan R. Wijaya sebagai penyunting berusaha mengumpulkan keberagaman itu dalam enam buah sub judul sesuai dengan karakter masing-masing tulisan. Ada Fenomena, yang memuat 25 tulisan. Keyakinan, berisi 2 tulisan. Dakwah dan Amar Ma’ruf 6 tulisan. Kiai-kiai, 6 tulisan. Marhaban Ya Ramadlan, 7 tulisan. Dan terakhir, Akhlak Mulia sebagai pamungkas sebanyak 5 tulisan.
Namun sayang, sebagai sebuah buku, buku berlabel Kompensasi ini tak dirancang benar-benar sebagai buku. Tak ada pengantar dari penyunting yang bisa menjelaskan latar belakang “ kelahiran “ buku ini. Juga tak ada penjelasan mengapa Kompensasi – tulisan yang menyoroti kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM – dijadikan judul buku. Mungkin penyunting menganggap hal itu tak perlu. Sebab, tanpa itu toh pembaca tak akan kehilangan apa-apa. Pembaca dapat langsung memasuki wilayah esensial dengan menjelajah tiap detak peristiwa yang dihadirkan.
Terlepas dari itu semua, kita akan menemukan banyak sekali fenomena ketika membaca buku ini. Dan bukankah Gus Mus sendiri adalah sebuah fenomena? Ditengah meruyaknya elite agama yang melenggang ke ranah politik sejak reformasi bergulir, Gus Mus tak goyah dengan pendiriannya berda’wah di jalur kultular. Sembari mengurusi pesantren dengan segala pernak-perniknya, kyai yang penyair ini tetap intens menulis, sebuah aktifitas yang jarang dilirik oleh kyai-kyai abad ini. (*)
Kesadaran Mengambil Jarak
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>