sumber foto: rahimimajinasi.wordpress.com |
DI PENGHUJUNG tahun kemarin, saya kembali mendapatkan bingkisan dari penerbit buku ternama, yakni sebuah kalender kerja terbaru. Maklum, sekolah saya adalah satu dari sekian banyak sekolah yang memakai buku-buku penerbit yang memiliki motto Kami Melayani Ilmu Pengetahuan itu. Sebetulnya tak ada yang menarik dari kalender itu. Disamping karena desain cetakannya yang tidak lux, kalender itu pada dasarnya sama dengan kalender lain, yang berfungsi menawarkan informasi tentang hari dan tanggal. Namun yang membuat kalender itu menarik perhatian saya adalah sebuah tulisan yang termuat di dalamnya. Sebuah kalimat matematika tertulis, B – B = 0, yang diterjemahkan kedalam kalimat dengan tulisan kecil dibawahnya, Belajar Tanpa Buku adalah Omong Kosong.
Awalnya saya tidak mengalami peristiwa apa-apa. Namun ketika saya mencoba mencerna sederet kalimat yang dicetak dengan warna merah itu, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal dibenak saya. Pertanyaan yang kemudian begitu menggelitik, betulkah buku adalah sesuatu yang vital, sehingga keberdaannya mutlak diperlukan dalam proses belajar? Betulkah belajar tanpa buku, akan menyebabkan manusia tak akan memperoleh hasil apa-apa selain hanya omong kosong belaka?
Berangkat dari kegelisahan itu, saya kemudian mencoba melakukan semacam transendensi. Bahwa Erlangga, jamak diketahui adalah penerbit yang sebagian besar produknya adalah buku-buku sekolahan. Itu artinya, sesungguhnya kalimat yang terpampang di kalender itu lebih ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam dunia akademisi, dalam hal ini menyangkut guru, siswa, serta para praktisi dunia pendidikan formal pada umumnya.
Namun satu hal yang patut digarisbawahi, apa yang dipopulerkan oleh Erlangga melalui kalender itu harus dipahami bahwa ia tidak berlaku untuk semua manusia pada umumnya. Bukankah Sang Nabi SAW pernah bersabda, bahwa mencari ilmu ( baca; belajar ) tidak dibatasi usia. Bahwa kewajiban mencari ilmu berlaku untuk setiap makhluk yang bernama manusia, dan tidak hanya didominasi oleh mereka yang kebetulan diperkenankan mengenyam bangku sekolah? Maka, pada tulisan ini saya mencoba memfokuskan lebih jauh kaitan antara belajar dan buku jika dihubungkan dengan kemanusiaan secara utuh.
Tak dapat dipungkiri, bahwa belajar adalah hal yang sangat esensial dalam kehidupan. Manusia sebagai makhluk yang memiliki nalar intelektual, tentu harus belajar untuk mempertahankan harkat kemanusiaannya. Ia harus secara ajeg melakukan aktifitas itu tanpa kenal lelah selagi hayat masih dikandung badan. Permasalahannya kemudian, bagaimana manusia harus belajar? Apakah jalan satu-satunya belajar adalah dengan melalui sebuah lorong yang bernama sekolah, mulai TK hingga Perguruan Tinggi? Dan dengan demikian, manusia tak memiliki kemungkinan untuk memasuki lorong-lorong yang lain?
Dilihat dari ranah kognitif, belajar adalah aktivitas yang dilakukan untuk merubah dari kondisi tidak tahu menjadi tahu. Pada titik ini, ketika seseorang tidak tahu terhadap disiplin ilmu tertentu, ia bisa belajar dengan menggunakan bantuan media, baik yang berupa sekolahan, guru maupun buku-buku secara umum. Namun yang perlu diingat, pengertian belajar dari sudut pandang ini sifatnya parsial. Artinya, ilmu yang diperoleh masihlah ilmu al-madrasah. Ia masih berada dalam tahap pengetahuan, dan tak ada jaminan apakah pengetahuan itu akan diterjemahkan kedalam sikap maupun perilaku, sehingga menjadi akhlak. Ini bisa dibuktikan dengan keadaan riil masyarakat modern seperti sekarang ini, dimana peningkatan jumlah sarjana universitas ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral atau akhlaq. Bukankah tiap hari dapat kita saksikan lewat layar televisi, betapa degradasi moral telah demikian akutnya merambah kebudayaan masyarakat?
Namun ada model belajar yang kedua, ialah belajar dengan pengertian secara utuh. Proses dimana manusia berusaha sedemikian rupa untuk secara terus menerus memahami kemanusiaannya. Belajar dengan pengertian semacam ini sungguh sangat berbeda dengan pengertian yang pertama. Dalam menjalani proses ini, manusia dituntut untuk setia kepada hati nuraninya, dan tentu saja harus menghidupkan sedemikian rupa potensi pada dirinya untuk menghayati, merenungi dan mengapresiasi segala sesuatu yang tersebar di alam semesta. Pada tahap ini, yang diutamakan bukanlah mengetahui, tapi mengalami. Inilah yang dinamakan ilmu al-hayat. Pada tahap ini, keberadaan buku, guru atau bahkan sekolahan menjadi bukan sesuatu hal yang niscaya.
Sebenarnya, Tuhan menciptakan seremeh apapun makhluk dimuka bumi ini tak ada satupun yang sia-sia. Manusia sebagai makrokosmos dapat belajar pada alam semesta yang mikrokosmos. Ketika manusia melihat langit terbentang di cakrawala, dedaunan yang gugur dan meremah, matahari yang demikian gagahnya menyinari bumi, hujan yang turun dari langit, desiran angin, gejolak ombak, burung-burung yang beterbangan di angkasa, itu semua adalah media yang disediakan Tuhan untuk proses pembelajaran manusia. Lebih dari itu, manusia juga bisa belajar kepada dirinya sendiri, kepada kesalahan-kesalahan masa lalu, kepada pengalaman-pengalaman, dan bahkan kepada setan sekalipun. Bukankah setan yang notabene telah menyatakan perlawanan kepada-Nya ternyata masih menyimpan rasa takut kepada Tuhan? Bandingkan dengan perilaku kehidupan kebanyakan manusia modern. Bukankah mereka mengakui Tuhan? Namun apakah segala perilaku dan budaya hidup sehari-harinya telah mencerminkan rasa takut kepada-Nya?
Belajar memang perlu, dan bahkan harus. Tanpa belajar, manusia hanyalah akan menjadi organ yang mati. Ia sama sekali tak berbeda dengan batu, keledai, kambing, atau mungkin kucing. Tapi bagaimanakah belajar yang benar-benar belajar? Apakah cukup hanya dengan mengandalkan ilmu-ilmu sekolahan, dengan mengandalkan buku-buku yang ditulis oleh para pakar? Ataukah berupaya naik setingkat lebih tinggi dari keadaan itu dengan memaksimalkan potensi ruhaniyah untuk memahami realitas kehidupan? Semuanya berpulang kepada diri kita masing-masing, sebab kitalah yang akan menentukan siapa kita, bukan orang lain.(*)
Awalnya saya tidak mengalami peristiwa apa-apa. Namun ketika saya mencoba mencerna sederet kalimat yang dicetak dengan warna merah itu, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal dibenak saya. Pertanyaan yang kemudian begitu menggelitik, betulkah buku adalah sesuatu yang vital, sehingga keberdaannya mutlak diperlukan dalam proses belajar? Betulkah belajar tanpa buku, akan menyebabkan manusia tak akan memperoleh hasil apa-apa selain hanya omong kosong belaka?
Berangkat dari kegelisahan itu, saya kemudian mencoba melakukan semacam transendensi. Bahwa Erlangga, jamak diketahui adalah penerbit yang sebagian besar produknya adalah buku-buku sekolahan. Itu artinya, sesungguhnya kalimat yang terpampang di kalender itu lebih ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam dunia akademisi, dalam hal ini menyangkut guru, siswa, serta para praktisi dunia pendidikan formal pada umumnya.
Namun satu hal yang patut digarisbawahi, apa yang dipopulerkan oleh Erlangga melalui kalender itu harus dipahami bahwa ia tidak berlaku untuk semua manusia pada umumnya. Bukankah Sang Nabi SAW pernah bersabda, bahwa mencari ilmu ( baca; belajar ) tidak dibatasi usia. Bahwa kewajiban mencari ilmu berlaku untuk setiap makhluk yang bernama manusia, dan tidak hanya didominasi oleh mereka yang kebetulan diperkenankan mengenyam bangku sekolah? Maka, pada tulisan ini saya mencoba memfokuskan lebih jauh kaitan antara belajar dan buku jika dihubungkan dengan kemanusiaan secara utuh.
Tak dapat dipungkiri, bahwa belajar adalah hal yang sangat esensial dalam kehidupan. Manusia sebagai makhluk yang memiliki nalar intelektual, tentu harus belajar untuk mempertahankan harkat kemanusiaannya. Ia harus secara ajeg melakukan aktifitas itu tanpa kenal lelah selagi hayat masih dikandung badan. Permasalahannya kemudian, bagaimana manusia harus belajar? Apakah jalan satu-satunya belajar adalah dengan melalui sebuah lorong yang bernama sekolah, mulai TK hingga Perguruan Tinggi? Dan dengan demikian, manusia tak memiliki kemungkinan untuk memasuki lorong-lorong yang lain?
Dilihat dari ranah kognitif, belajar adalah aktivitas yang dilakukan untuk merubah dari kondisi tidak tahu menjadi tahu. Pada titik ini, ketika seseorang tidak tahu terhadap disiplin ilmu tertentu, ia bisa belajar dengan menggunakan bantuan media, baik yang berupa sekolahan, guru maupun buku-buku secara umum. Namun yang perlu diingat, pengertian belajar dari sudut pandang ini sifatnya parsial. Artinya, ilmu yang diperoleh masihlah ilmu al-madrasah. Ia masih berada dalam tahap pengetahuan, dan tak ada jaminan apakah pengetahuan itu akan diterjemahkan kedalam sikap maupun perilaku, sehingga menjadi akhlak. Ini bisa dibuktikan dengan keadaan riil masyarakat modern seperti sekarang ini, dimana peningkatan jumlah sarjana universitas ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral atau akhlaq. Bukankah tiap hari dapat kita saksikan lewat layar televisi, betapa degradasi moral telah demikian akutnya merambah kebudayaan masyarakat?
Namun ada model belajar yang kedua, ialah belajar dengan pengertian secara utuh. Proses dimana manusia berusaha sedemikian rupa untuk secara terus menerus memahami kemanusiaannya. Belajar dengan pengertian semacam ini sungguh sangat berbeda dengan pengertian yang pertama. Dalam menjalani proses ini, manusia dituntut untuk setia kepada hati nuraninya, dan tentu saja harus menghidupkan sedemikian rupa potensi pada dirinya untuk menghayati, merenungi dan mengapresiasi segala sesuatu yang tersebar di alam semesta. Pada tahap ini, yang diutamakan bukanlah mengetahui, tapi mengalami. Inilah yang dinamakan ilmu al-hayat. Pada tahap ini, keberadaan buku, guru atau bahkan sekolahan menjadi bukan sesuatu hal yang niscaya.
Sebenarnya, Tuhan menciptakan seremeh apapun makhluk dimuka bumi ini tak ada satupun yang sia-sia. Manusia sebagai makrokosmos dapat belajar pada alam semesta yang mikrokosmos. Ketika manusia melihat langit terbentang di cakrawala, dedaunan yang gugur dan meremah, matahari yang demikian gagahnya menyinari bumi, hujan yang turun dari langit, desiran angin, gejolak ombak, burung-burung yang beterbangan di angkasa, itu semua adalah media yang disediakan Tuhan untuk proses pembelajaran manusia. Lebih dari itu, manusia juga bisa belajar kepada dirinya sendiri, kepada kesalahan-kesalahan masa lalu, kepada pengalaman-pengalaman, dan bahkan kepada setan sekalipun. Bukankah setan yang notabene telah menyatakan perlawanan kepada-Nya ternyata masih menyimpan rasa takut kepada Tuhan? Bandingkan dengan perilaku kehidupan kebanyakan manusia modern. Bukankah mereka mengakui Tuhan? Namun apakah segala perilaku dan budaya hidup sehari-harinya telah mencerminkan rasa takut kepada-Nya?
Belajar memang perlu, dan bahkan harus. Tanpa belajar, manusia hanyalah akan menjadi organ yang mati. Ia sama sekali tak berbeda dengan batu, keledai, kambing, atau mungkin kucing. Tapi bagaimanakah belajar yang benar-benar belajar? Apakah cukup hanya dengan mengandalkan ilmu-ilmu sekolahan, dengan mengandalkan buku-buku yang ditulis oleh para pakar? Ataukah berupaya naik setingkat lebih tinggi dari keadaan itu dengan memaksimalkan potensi ruhaniyah untuk memahami realitas kehidupan? Semuanya berpulang kepada diri kita masing-masing, sebab kitalah yang akan menentukan siapa kita, bukan orang lain.(*)
Ditulis oleh:
Em. Syuhada'
Lamongan-Mojokerto
B-B =O; Belajar - Buku = Omong Kosong
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>