TEPUK TANGAN riuh rendah dari jamaah begitu Kiai Kanjeng membunyikan gamelan. Di vokal ada Mas Zainul Arifin dan Mbak Via, menyanyikan lagu Kelahiran.
“Tadinya saya bilang nggak bisa waktu diajak Cak Nun untuk nge-jazz, karena saya ini kan penyanyi pop, nggak bisa nyanyi jazz yang meliuk-liuk. Di bayangan saya jazz itu kan keren. Tapi lalu Cak Nun menjelaskan apa yang dimaksud jazz di sini, maka saya baru ngerti,” Mbak Via menyapa jamaah, “Saking senengnya Kiai Kanjeng mau main jazz, terus bikin baju baru. Tak pesenke ning tonggoku.”
“Setelah mendengar penjelasan Cak Nun mengenai jazz, lho kalau begitu ternyata setiap hari kami ini nge-jazz. Nomor satunya keikhlasan, kadang nggak latihan untuk memunculkan spontanitas. Setiap pentas kita selalu nge-jazz, karena nggak pernah tahu lagu apa yang mau dibawakan. Kadang sudah menyiapkan lagu ini, tapi di panggung, Cak Nun menyuruh kami membawakan lagu yang lain. Karena Cak Nun itu Mr. Suddenly.”
Lagu kedua dari Kiai Kanjeng dan Mbak Via ada Tembang Setan, lalu disusul dengan Semua Bernyanyi, dan kemudian Gundul Pacul.
Kolaborasi Kiai Kanjeng dan Inna Kamarie
Sesi ketiga, kolaborasi antara Kiai Kanjeng dan Mbak Inna Kamarie, membawakan tiga lagu. Yang pertama lagu Menungso dengan beberapa adaptasi, lagu kedua Someone Like You; lagu ketiga Summer Time.
Tiga Tingkat Jazz
“Jadi ada tiga tingkat jazz yang akan saya jelaskan pada Anda,” Cak Nun menyampaikan konsep mengenai jazz, “Jazz itu ada outputnya di bidang musik, ada outputnya di bidang kebudayaan yang lebih luas, dan ada outputnya di bidang kehidupan yang bukan hanya budaya tapi juga ada agama, politik, ekonomi. Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari segala yang gaib.”
Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik.
“Maka di dalam Islam ada jazzakumullah. Jadi jazz ini orang yang sudah mendapat ijazah. Kalau di kalangan kiai, ijazah diberikan pada santri yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia dikasih kepercayaan untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian kata ‘ijazah’ direbut oleh dunia sekolahan yang sangat kapitalistik seolah-olah dari mereka.”
“Jazz itu sikap hidup, jadi tidak setiap orang punya kewajiban untuk seperti Beben yang mengaplikasikannya dalam aransemen dan composing nada dan irama. Orang boleh menerapkan watak jazz itu di berbagai bidang. Anda kalau berdagang tidak jazzy ya gitu-gitu aja. Anda harus menguak kemungkinan-kemungkinan baru. Anda harus ber-ijtihad. Anda harus kembali pada dasar, yaitu orang hidup itu cuma ada tiga : Anda milih untuk ijtihad (inovatif dan kreatif), ittiba’ (mengikuti sesuatu yang dipahami), atau taqlid (anut grubyuk, pokoke melok).”
“Tapi ini tidak berlaku untuk orang pikun. Orang pikun tidak terikat pada tiga hal itu. misalnya dia lupa bahwa dirinya presiden, maka dia jadi Ketua Partai Demokrat. Itu pikun. Dia pikir puncak kariernya adalah menjadi ketua partai, padahal dia sudah presiden. Dan itu tidak bisa disalahkan karena dia pikun. Jadi Anda jangan marah-marah. Ini saya selalu mencarikan alasan supaya semua orang masuk surga. Enak to nek karo aku.”
“Jadi Kiai Kanjeng ini bersikap jazz, tapi mereka tidak punya peluang untuk bener-bener menciptakan output musikal karena waktu mereka digunakan untuk melayani masyarakat secara sosial, kebudayaan, dan agama. Maka jazz-nya muncrat-muncrat pada berbagai hal. Output musik sedikit-sedikit ya bisa, tapi tidak bisa secara total menjadi musisi jazz karena waktu. Nek ndelok raine kan gak cocok blas, jan ra ono potongan. Maka di luar negeri mereka selalu diremehkan awalnya, tapi setelah selesai bermain orang-orang menciumi tangan mereka.”
“Mereka kalau sudah sampai pada puncak jazzy-nya selalu merem. Waktu di Conservatorio, pusat musik klasik di Napoli – kotanya Maradonna waktu dia main sepakbola, mereka mainnya sampai memejamkan mata. Tangannya sudah nggak tahu ke mana. Begitu sukses waktu itu, karena orang Italy nggak ngerti not gamelan.”
“Tapi mereka nge-jazz di wilayah kedua, yaitu di wilayah kebudayaan. Misalnya, tadi Mbak Inna menyanyikan lagu Menungso, itu kan lagu Jawa asli, tapi kemudian oleh Sabrang di-Bahasa Inggris-kan menjadi Man on the land.”
Kiai Kanjeng membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada bedanya manusia di dunia ini. Kenapa kemudian jazz hanya ada di Amerika? Kalau blues di New Orleans, di Chicago? Kenapa jazz hanya berbentuk seperti itu tadi? Kenapa tidak mungkin dia muncul di warung-warung, tidak muncul di perilaku-perilaku yang penuh terobosan?
Kiai Kanjeng menyambung semua kemungkinan kebudayaan itu. Misal, pernah lagu Israel, lagu Arab, lagu Jawa, diuleg jadi satu oleh Kiai Kanjeng. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi orang Arab, orang Yahudi, orang Jawa? Wong kamu berasal dari gen yang sama.”
“Kita semua terkotak-kotak dan dan akan menyatu kembali dengan watak jazz. Kalau tidak, manusia tidak akan pernah bersatu lagi.”
Bahkan tidak ada yang membayangkan bahwa puncak jazz adalah tilawatil Quran. Se-jazz-jazz-nya musik, dia masih memerlukan kunci awal, masih ada disiplin, meskipun dia cari peluang masuk di antara dua ketukan. Tapi qiro’ah, tidak memerlukan kunci awal dan setiap titik bunyinya merupakan improvisasi.
“Qori’ adalah pelaku jazz yang sebenarnya, kecuali yang kuliah akhir-akhir ini karena mereka kemudian dipaket-paket, ada qiro’ah sab’ah, ada model Mesir, model apa. Kalau jazz ya sakmodel-modele.”
“Level ketiga adalah nggak cuma di kebudayaan, tapi sampai ke agama dan segala macam. Anda jangan menyangka lagu Summer Time itu lagu Amerika. Ya memang dari Amerika, tapi apakah Anda pernah mempelajari nasabnya? Kayak kata ‘jazz’ itu dari mana? Dalam Bahasa Inggris tidak ada lho kebiasaan kata j-a-z-z. itu pasti agak Arab-Arab dikit. Dalam habitat Bahasa Inggris kata ‘jazz’ itu kan aneh.”
“Kayak lagu Summer Time, orang mendengarkannya kan tergantung pada khasanah sejarahnya. Kalay kayak saya, saya pernah hidup di Amerika dalam kesengsaraan, jadi saya nggak bisa romantik dengan summer time. Apalagi saya kemudian direpotin dengan Negro-Negro; saya mendidik mereka untuk bisa jadi manusia modern, dan itu susah banget.”
“Dan, di dalam jazz tidak ada lho yang namanya fals. Kalau Anda ngomong ada suara fals, itu buakn fals tapi tidak pada tempatnya. Seharusnya bukan dia yang nongol, tapi kok dia. Misalnya Do kurang dikit, lho kenapa dia di situ?”
“Yang disebut fals sebenarnya adalah kekeliruan manajemen, karena seluruh benda, bunyi, dan apapun saja dalam kehidupan ini, dijamin oleh Tuhan tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang mubadzir.”
“Kalau mau cari fals, itu adalah menteri yang seharusnya tidak jadi menteri. Ini kan serba fals semua, dan karena semuanya fals, maka menjadi satu harmoni. Presidene fals, partaine fals, menterine fals, saiki rakyate melu fals sisan.”
Cak Nun kemudian meminta untuk dibunyikan kembali lagu Summer Time, dan Beliau menyanyikan sholawat dalam iringan musik tersebut.
“Ini bukan pementasan, ini memberi contoh kepada Anda bahwa Anda bisa melakukan terobosan-terobosan. Saat ini Indonesia sedang buntu berat, kalau Anda tidak punya daya terobosan dalam hidup Anda, Anda mau nunggu siapa? Anda yang harus melakukannya sendiri. Jadi sebenarnya jazz ini dzikir, yang mengingatkan Anda kalau Anda bisa menembus.”
“Dalam pola-pola pembacaan Alquran maupun dialek etniknya, ada 7 macam. ‘Alimul ghoibi wa syahadah merupakan sifat Tuhan yang utama. Allah itu menguak kegaiban. Dia menyaksikan dan mengalami. Dia menyamar seolah belum tahu, padahal kan dia juga yang bikin, itu semata-mata untuk supaya kita belajar menjadi muta’alimul ghoibi wa syahadah.”
“Pada ayat lain Tuhan bilang, ‘Wahai jin dan manusia!’ Selalu jin dulu, baru manusia. Ini belum ada tafsirnya – mau Jalalain, Ibnu Katsir. Kenapa jin dulu yang disebut? Karena manusia kalau meningkat dia akan menjadi jenius, maka dia menjadi bagian dari jin.” Sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.
“Pernah ada pentas jazz pake ngaji? Itu karena kurang jazz! Bagaimana dunia ngaji nyambung banget sama jazz. Sehebat-hebatnya jazz dia masih pakai gitar, tapi ngaji, sudah nggak ada bunyi alat musik yang berani berbunyi saking utuhnya improvisasi entitas ngaji itu.”
Cak Nun kemudian memperdengarkan satu dialek ngaji yang terdengar ‘tradisional’ dan sangat Jawa. Tapi rupanya itu bukan Jawa, melainkan Sudan.
“Ini juga terobosan. Boleh dong ada jazz Arab, jazz Jawa. Palaran-palaran itu juga jazzy sekali. Mari kita men-jazz-kan dunia.”
“Silahkan ikut naik untuk Sudjiwo Tedjo! Pak Tedjo ini vokalnya terbaik, dia masuk surga karena suaranya,” Cak Nun menyambut Presiden Jancuker itu dengan gojegan, “Maksude sing mlebu surgo suarane thok, nek wonge mbuh.” [2]
Sumber : Kenduricinta.Com
“Tadinya saya bilang nggak bisa waktu diajak Cak Nun untuk nge-jazz, karena saya ini kan penyanyi pop, nggak bisa nyanyi jazz yang meliuk-liuk. Di bayangan saya jazz itu kan keren. Tapi lalu Cak Nun menjelaskan apa yang dimaksud jazz di sini, maka saya baru ngerti,” Mbak Via menyapa jamaah, “Saking senengnya Kiai Kanjeng mau main jazz, terus bikin baju baru. Tak pesenke ning tonggoku.”
“Setelah mendengar penjelasan Cak Nun mengenai jazz, lho kalau begitu ternyata setiap hari kami ini nge-jazz. Nomor satunya keikhlasan, kadang nggak latihan untuk memunculkan spontanitas. Setiap pentas kita selalu nge-jazz, karena nggak pernah tahu lagu apa yang mau dibawakan. Kadang sudah menyiapkan lagu ini, tapi di panggung, Cak Nun menyuruh kami membawakan lagu yang lain. Karena Cak Nun itu Mr. Suddenly.”
Lagu kedua dari Kiai Kanjeng dan Mbak Via ada Tembang Setan, lalu disusul dengan Semua Bernyanyi, dan kemudian Gundul Pacul.
Kolaborasi Kiai Kanjeng dan Inna Kamarie
Sesi ketiga, kolaborasi antara Kiai Kanjeng dan Mbak Inna Kamarie, membawakan tiga lagu. Yang pertama lagu Menungso dengan beberapa adaptasi, lagu kedua Someone Like You; lagu ketiga Summer Time.
Tiga Tingkat Jazz
“Jadi ada tiga tingkat jazz yang akan saya jelaskan pada Anda,” Cak Nun menyampaikan konsep mengenai jazz, “Jazz itu ada outputnya di bidang musik, ada outputnya di bidang kebudayaan yang lebih luas, dan ada outputnya di bidang kehidupan yang bukan hanya budaya tapi juga ada agama, politik, ekonomi. Jazz itu satu sikap hidup, satu cara memperlakukan hidup. Dia berpedoman pada sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang pertama itu selalu menguak yang gaib. Kalau Allah itu ‘alimul ghoib, Mengetahui segala yang gaib. Kalau manusia mempelajari segala yang gaib.”
Jazz adalah pekerjaan untuk selalu mencari peluang-peluang yang belum pernah ada, selalu melakukan ijtihad atau jihad hati dan pikiran, mencari kemungkinan-kemungkinan. Dan itu bisa terjadi bukan hanya pada musik.
“Maka di dalam Islam ada jazzakumullah. Jadi jazz ini orang yang sudah mendapat ijazah. Kalau di kalangan kiai, ijazah diberikan pada santri yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia dikasih kepercayaan untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian kata ‘ijazah’ direbut oleh dunia sekolahan yang sangat kapitalistik seolah-olah dari mereka.”
“Jazz itu sikap hidup, jadi tidak setiap orang punya kewajiban untuk seperti Beben yang mengaplikasikannya dalam aransemen dan composing nada dan irama. Orang boleh menerapkan watak jazz itu di berbagai bidang. Anda kalau berdagang tidak jazzy ya gitu-gitu aja. Anda harus menguak kemungkinan-kemungkinan baru. Anda harus ber-ijtihad. Anda harus kembali pada dasar, yaitu orang hidup itu cuma ada tiga : Anda milih untuk ijtihad (inovatif dan kreatif), ittiba’ (mengikuti sesuatu yang dipahami), atau taqlid (anut grubyuk, pokoke melok).”
“Tapi ini tidak berlaku untuk orang pikun. Orang pikun tidak terikat pada tiga hal itu. misalnya dia lupa bahwa dirinya presiden, maka dia jadi Ketua Partai Demokrat. Itu pikun. Dia pikir puncak kariernya adalah menjadi ketua partai, padahal dia sudah presiden. Dan itu tidak bisa disalahkan karena dia pikun. Jadi Anda jangan marah-marah. Ini saya selalu mencarikan alasan supaya semua orang masuk surga. Enak to nek karo aku.”
“Jadi Kiai Kanjeng ini bersikap jazz, tapi mereka tidak punya peluang untuk bener-bener menciptakan output musikal karena waktu mereka digunakan untuk melayani masyarakat secara sosial, kebudayaan, dan agama. Maka jazz-nya muncrat-muncrat pada berbagai hal. Output musik sedikit-sedikit ya bisa, tapi tidak bisa secara total menjadi musisi jazz karena waktu. Nek ndelok raine kan gak cocok blas, jan ra ono potongan. Maka di luar negeri mereka selalu diremehkan awalnya, tapi setelah selesai bermain orang-orang menciumi tangan mereka.”
“Mereka kalau sudah sampai pada puncak jazzy-nya selalu merem. Waktu di Conservatorio, pusat musik klasik di Napoli – kotanya Maradonna waktu dia main sepakbola, mereka mainnya sampai memejamkan mata. Tangannya sudah nggak tahu ke mana. Begitu sukses waktu itu, karena orang Italy nggak ngerti not gamelan.”
“Tapi mereka nge-jazz di wilayah kedua, yaitu di wilayah kebudayaan. Misalnya, tadi Mbak Inna menyanyikan lagu Menungso, itu kan lagu Jawa asli, tapi kemudian oleh Sabrang di-Bahasa Inggris-kan menjadi Man on the land.”
Kiai Kanjeng membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada bedanya manusia di dunia ini. Kenapa kemudian jazz hanya ada di Amerika? Kalau blues di New Orleans, di Chicago? Kenapa jazz hanya berbentuk seperti itu tadi? Kenapa tidak mungkin dia muncul di warung-warung, tidak muncul di perilaku-perilaku yang penuh terobosan?
Kiai Kanjeng menyambung semua kemungkinan kebudayaan itu. Misal, pernah lagu Israel, lagu Arab, lagu Jawa, diuleg jadi satu oleh Kiai Kanjeng. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi orang Arab, orang Yahudi, orang Jawa? Wong kamu berasal dari gen yang sama.”
“Kita semua terkotak-kotak dan dan akan menyatu kembali dengan watak jazz. Kalau tidak, manusia tidak akan pernah bersatu lagi.”
Bahkan tidak ada yang membayangkan bahwa puncak jazz adalah tilawatil Quran. Se-jazz-jazz-nya musik, dia masih memerlukan kunci awal, masih ada disiplin, meskipun dia cari peluang masuk di antara dua ketukan. Tapi qiro’ah, tidak memerlukan kunci awal dan setiap titik bunyinya merupakan improvisasi.
“Qori’ adalah pelaku jazz yang sebenarnya, kecuali yang kuliah akhir-akhir ini karena mereka kemudian dipaket-paket, ada qiro’ah sab’ah, ada model Mesir, model apa. Kalau jazz ya sakmodel-modele.”
“Level ketiga adalah nggak cuma di kebudayaan, tapi sampai ke agama dan segala macam. Anda jangan menyangka lagu Summer Time itu lagu Amerika. Ya memang dari Amerika, tapi apakah Anda pernah mempelajari nasabnya? Kayak kata ‘jazz’ itu dari mana? Dalam Bahasa Inggris tidak ada lho kebiasaan kata j-a-z-z. itu pasti agak Arab-Arab dikit. Dalam habitat Bahasa Inggris kata ‘jazz’ itu kan aneh.”
“Kayak lagu Summer Time, orang mendengarkannya kan tergantung pada khasanah sejarahnya. Kalay kayak saya, saya pernah hidup di Amerika dalam kesengsaraan, jadi saya nggak bisa romantik dengan summer time. Apalagi saya kemudian direpotin dengan Negro-Negro; saya mendidik mereka untuk bisa jadi manusia modern, dan itu susah banget.”
“Dan, di dalam jazz tidak ada lho yang namanya fals. Kalau Anda ngomong ada suara fals, itu buakn fals tapi tidak pada tempatnya. Seharusnya bukan dia yang nongol, tapi kok dia. Misalnya Do kurang dikit, lho kenapa dia di situ?”
“Yang disebut fals sebenarnya adalah kekeliruan manajemen, karena seluruh benda, bunyi, dan apapun saja dalam kehidupan ini, dijamin oleh Tuhan tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang mubadzir.”
“Kalau mau cari fals, itu adalah menteri yang seharusnya tidak jadi menteri. Ini kan serba fals semua, dan karena semuanya fals, maka menjadi satu harmoni. Presidene fals, partaine fals, menterine fals, saiki rakyate melu fals sisan.”
Cak Nun kemudian meminta untuk dibunyikan kembali lagu Summer Time, dan Beliau menyanyikan sholawat dalam iringan musik tersebut.
“Ini bukan pementasan, ini memberi contoh kepada Anda bahwa Anda bisa melakukan terobosan-terobosan. Saat ini Indonesia sedang buntu berat, kalau Anda tidak punya daya terobosan dalam hidup Anda, Anda mau nunggu siapa? Anda yang harus melakukannya sendiri. Jadi sebenarnya jazz ini dzikir, yang mengingatkan Anda kalau Anda bisa menembus.”
“Dalam pola-pola pembacaan Alquran maupun dialek etniknya, ada 7 macam. ‘Alimul ghoibi wa syahadah merupakan sifat Tuhan yang utama. Allah itu menguak kegaiban. Dia menyaksikan dan mengalami. Dia menyamar seolah belum tahu, padahal kan dia juga yang bikin, itu semata-mata untuk supaya kita belajar menjadi muta’alimul ghoibi wa syahadah.”
“Pada ayat lain Tuhan bilang, ‘Wahai jin dan manusia!’ Selalu jin dulu, baru manusia. Ini belum ada tafsirnya – mau Jalalain, Ibnu Katsir. Kenapa jin dulu yang disebut? Karena manusia kalau meningkat dia akan menjadi jenius, maka dia menjadi bagian dari jin.” Sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.
“Pernah ada pentas jazz pake ngaji? Itu karena kurang jazz! Bagaimana dunia ngaji nyambung banget sama jazz. Sehebat-hebatnya jazz dia masih pakai gitar, tapi ngaji, sudah nggak ada bunyi alat musik yang berani berbunyi saking utuhnya improvisasi entitas ngaji itu.”
Cak Nun kemudian memperdengarkan satu dialek ngaji yang terdengar ‘tradisional’ dan sangat Jawa. Tapi rupanya itu bukan Jawa, melainkan Sudan.
“Ini juga terobosan. Boleh dong ada jazz Arab, jazz Jawa. Palaran-palaran itu juga jazzy sekali. Mari kita men-jazz-kan dunia.”
“Silahkan ikut naik untuk Sudjiwo Tedjo! Pak Tedjo ini vokalnya terbaik, dia masuk surga karena suaranya,” Cak Nun menyambut Presiden Jancuker itu dengan gojegan, “Maksude sing mlebu surgo suarane thok, nek wonge mbuh.” [2]
Sumber : Kenduricinta.Com
KENDURI CINTA APRIL 2013: Bergembira Bersama Kiai Kanjeng dan Mbak Via
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>