SEKARANG giliran Syekh Nursamad Kamba angkat suara, “Saya nggak paham musik, tapi dari yang disuguhkan sejak awal jadi mengerti, Oh ini to yang namanya jazz. Ini sebenarnya tanpa ceramah sudah paham. Jazz ini kalau bahasa agamanya tauhid, tauhid yang sejati. Dalam beragama ada proses pendidikan. Kalau dalam antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama, ada perkembangan dari keberagamaan. Dari yang awalnya melihat Tuhan itu banyak, sampai kemudian berkembang ke kesadaran bahwa Tuhan itu Mahaesa.”
Dalam proses penerapannya juga mengalami perkembangan. Kita masih terikat oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kita masih merasa perlu melembagakan diri dalam institusi tertentu. Kita mengikat diri untuk beragama. Sepanjang kita mengurung diri dalam lembaga-lembaga, dalam pengkotak-kotakan agama, kita tidak akan sampai pada seni dalam beragama atau seni tauhid. Tauhid itu keesaan Allah yang kita merupakan bagian di dalamnya.
Tauhid yang sesungguhnya adalah dengan seni jazz yang tersimpul dalam asmaul husna. Dalam asmaul husna, Tuhan itu Maha Kaya tapi juga Maha Miskin. Kalau orang sampai pada taraf tauhid sejati, dia memberi atas nama Tuhan, dan menerima juga atas nama Tuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia dalam tataran yang berbeda. Maka dikatakan bahwa TUhan itu lathiful kabir, lebih halus daripada yang paling halus.
Dalam kitab suci, Tuhan seolah-oleh menampakkan Diri-Nya sebagai Maha narsis. Itu maksudnya supaya Tuhan bisa menjadi sosok idola bagi setiap makhluk-Nya. Kalau sudah menjadi idola, seorang idola kalau meminta kepada yang diidolakannya, sudah bukan merupakan beban, melainkan terdengar sebagai perintah yang dengan senang hati ditunaikan.
“Setiap agama yang datang ke Indonesia itu kan menciptakan peradaban, kerajaan. Karena pemahaman agama yang seperti itu yang menciptakan dorongan untuk berinteraksi secara individual maupun sosial, maka pendidikan agama harus berkembang supaya orang-orang beragama menjadi efektif, aktif dalam interaksi sosial untuk bisa membangun peradaban. Saya rasa itu penting bagi kita untuk menyikapi keterikatan kita pada institusi-institusi agama.”
Orang yang sampai pada taraf seni tauhid tidak perlu terikat dengan batasan-batasan tertentu untuk melangkah pada kebaikan. Dia punya logikanya sendiri, seperti orang yang ahli beladiri yang sudah tidak lagi memikirkan teori-teori untuk bergerak. Mereka sudah melampaui teori, mereka sudah sampai pada taraf kreatif.
Tujuh Langit di Dalam Tuhan
“Tujuh langit itu bukan Anda di langit pertama terus mau ke langit kedua. Bukan Bumi berada di langit keberapa. Yang dimaksud bukanlah lapisan-lapisan jasad. Bukan bumi ‘dan’ langit, melainkan ‘di dalam’. Langit yang di dalamnya ada Bumi itu ada di dalam kita, dan manusia ada di dalam Tuhan. Jadi bukannya Tuhan ada di sana, langit ada di sana. Anda bisa mencapai langit ketujuh sekarang juga, tergantung apakah Anda telah suwung atau tidak.”
“Kalau di dalam dirimu masih ada yang membebanimu, kalau di dalam dirimu masih ada dirimu, kalau di dalam dirimu masih ada yang seharusnya tidak membebanimu, maka kamu tak akan bisa terbang. Di dalam dirimu jangan ada dirimu. Kebanyakan orang, di dalam dirinya hanya ada dirinya, hanya ada ego dan eksistensinya. Kalau dirimu suwung, berarti yang ada di dalam dirimu hanyalah iradlah Allah. Kamu jadi presiden, itu iradlah Allah. Kamu bikin KC, itu iradlah Allah, karena kita di dalam Allah. Lalu, apakah kita di dalam Allah atau sebaliknya? Itu soal dialektika, soal sawang-sinawang.”
Mbak Tedjo kemudian bernyanyi diiringi gamelan Kiai Kanjeng, menyanyikan lagu Jancuk.
“Supaya Anda tidak salah paham, supaya para ulama tidak marah sama Tedjo, saya kasih tahu epistemologi ‘jancuk’. Jawa Timur bagian timur menyebutnya ‘jancuk’, sementara Jawa Timur bagian barat menyebutnya ‘dancuk’. Ini hanya soal aksentuasi pendengaran tiap orang yang berbeda-beda.”
“Banyak orang salah paham, pengajian kok pakai misuh-misuh. Sebentar, ‘dancuk’ itu berasal dari kata ‘diencuk’, itu kan menunjuk pada yang paling dasar dari harga diri manusia. ‘Diancuk’ merupakan reaksi kemarahan orang terhadap perbuatan jahat. Tidak ada kata ‘dancuk’ yang diucapkan dalam rangka kejahatan. Justru dia merupakan protes terhadap kejahatan. Itu semua dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman. Jadi Jancukers adalah kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman.”
“Semua yang buruk-buruk aku tunjukkan baiknya, dan aku menolak untuk menunjukkan buruknya yang baik-baik meskipun aku tahu. Biar engkau kembali pada cita-cita yang suwung.”
Dengan diiringi gamelan Kiai Kanjeng, Mbak Inna dan Mbak Via membawakan lagu Gerimis Aje
“Saya minta doa, bersama Pak Nursamad, saya dan teman-teman Kiai Kanjeng diundang ke Maroko bulan Juni, kemudian dikejar juga oleh Madagaskar. Ini segera kita urus. Mungkin dibantu temen-temen KC untuk pengurusannya ke Maroko.”
“Saya kira di sana Zainul yang akan paling senang karena menurut Ustadz Nursamad di sana kebanyakan penganut Qodiriyah. Kalau orang Syiah kan dimarahi karena syahadatnya ditambahi. Itu jazz dalam bdang tauhid. Kan boleh to diterusin? Misalkan ditambahi ‘saya bersaksi bahwa pohon itu hiijau, bahwa kacang itu enak pol’. Di Iran, ada sebagian Syiah yang menambah syahadat dengan ‘Imam Khomeini waliyulloh’. Itu dianggap kafir, sesat.”
“Kalau suaranya Zainul diperdengarkan di sana, insya Allah pingsan-pingsan orang sana, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Mereka sampai hari ini masih terngiang-ngiang dan minta-minta betul, cuman kita suruh sembuhkan dulu lah itu keroyokan di sepakbola.”
“Dulu kami sudah ada rencana untuk mengunjungi Moammar Khadafi, tapi rupanya dia sudah berniat untuk jihad fisabilillah, sehingga akhirnya nggak jadi. Khadafi itu seorang politisi jazz yang tidak mau naik pangkat, jadi kolonel terus. Maka dia disikat oleh seluruh aturan militer dunia. Kalau Indonesia kan diapusi dengan televisi dan koran sudah selesai.”
“Kalau Anda masih terikat oleh ritme yang konvensional, belum nge-jazz. Saya ini dari dulu sudah nge-jazz, tidurnya lima menit, setengah jam, dan jam berapa saja. Yon Koeswoyo pernah saya ajak ke sini. Lalu dia bertanya, ‘Jam piro Cak?’ Saya jawab, ‘Yo jam sepuluh munggah lah’.”
“Dia nggak bisa, karena ternyata tidurnya selalu jam 10. Saya bilang, ‘Lho kok sama dengan saya?’ Dia bingung, ‘Lho jare mau acarane jam 10 munggah?’”
“Ya kalau kata perjanjian kan jam 10 itu tadi, tapi kalau kita bikin sendiri jam 10 itu nanti jam 5 pagi, kan nggak apa-apa to? Lajeng kulo kedah matur wow ngaten? Sinambi jumpalitan? Iki aku diweruhi anakku cilik iku.”
Kemudian Mas Zainul Arifin, seorang Qodiriyah dari Trowulan, bersama dengan Mbak Via dan diiringi musik Kiai Kanjeng, membawakan satu nomor sholawat yang dipadukan dengan lagu Barat L-O-V-E.
“Itu yang saya sebut jazz dalam perolehan budaya, bukan hanya musik. Jadi hasilnya adalah mempersatukan apa-apa yang sebelumnya tidak tersambung. Ini tadi dari Alexandria ke Madura, mampir Situbondo bentar, baru ke Amerika. Tapi diantarkan oleh Madura juga. Untuk supaya tahu bahwa yang bisa bikin komposisi begini ini cuma Indonesia. Yang punya ide seperti ini hanya Indonesia karena calonnya, dua tahun lagi insyaAllah Indonesia akan ada kebangkitan-kebangkitan kecil. Akan ada penguasaan-penguasaan, akan ada nasionalisasi di beberapa bidang. Jadi tidak seenaknya investor-investor luar negeri datang mengeruk. Akan ada aturan-aturan baru, tidak boleh menjual bahan mentah di bidang mining dan sebagainya. Akan ada perbaikan-perbaikan. Nah nanti secara internasional mereka akan ikut. Pada suatu hari, mereka capek juga. Selama ini ada pertarungan-pertarungan antara penjajah dengan kita yang dijajah, seharusnya kita membela orang yang dijajah. Tapi soal politik kapan-kapan saja.”
Mbah Tedjo, yang juga sering tampil bersama Kiai Kanjeng, mengatakan bahwa dia menikmati musik kothekan barusan. Kemudian dia bertanya kepada Cak Nun mengapa masyarakat kita belakangan ini menghadapi kematian dalam nuansa kesedihan, hitam-hitam, dengan cara Barat semua? Di mana sikap hidup Ono tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, gedhongono kuncenono, wong mati mongso wurungo?
“Anak saya yang paling kecil, si Rampak, suatu hari menari-nari kayak Tedjo tadi sambil teriak-teriak.”
“Jadi anak saya itu lari-lari sambil teriak ‘Ibu mati, yes, hore! Ibu mati, yes!’ begitu,” cerita Mbak Via, “Karena Tante saya tidak terbiasa dengan yang begitu, dia panik, dipikirnya saya mau mati beneran. Lalu dipanggillah Rampak, ditanya kenapa teriak-teriak begitu.”
“Dia jawabnya, ‘Lho kenapa memangnya? Nggak seneng po mati? Yo seneng to mati, nggak seneng po ketemu Allah?’ Maksud dia, orang mati itu ketemu Allah, maka bersenang-senanglah. Menurut dia ketemu Allah itu menggembirakan, maka sia lari-lari keliling seperti itu.”
“Pembelajaran menyangkut ilmu Tuhan, meneliti sendiri seperti apapun, wacana utamanya tetap informasi Tuhan,” lanjut Cak Nun, “Kalimat tayyibah (astaghfirullah, alhamdulilah, Allahu akbar, masyaAllah) sebenarnya tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau memang ada psikologi susah atau senang, mending kita milih senang. Karena tidak ada apapun yang tidak menyenangkan. Di tahun 73 saya menulis di majalah Basis, judulnya ‘Ia Mati, Alhamdulillah’.”
“Sekarang ini kebudayaan dan psikologi sosial manusia sudah mendegradasikan kalimat-kalimat Tuhan itu untuk fakultas-fakultas budaya. Jadi kalau dapat duit, alhamdulillah. Jadi alhamdulillah direndahkan. Padahal tidak ada yang tidak alhamdulillah, tidak ada yang tidak Allahu akbar, tidak ada yang tidak masya Allah, tidak ada yang tidak Subhanallah.”
“Bahkan ualma-ulama tidak memandu masyarakat untuk konvensinya dulu. Apa bedanya masyaAllah dengan subhanallah? Konvensinya dulu? Kalau misalnya ada pohon tumbang, itu apa yang harus diucapkan? Karena kalimat tayyibah sudah sedemikian terdegradasi dalam masyarakat kita, kalau suatu ketika ada rumah kebakaran lalu kita bilang alhamdulilah, ya dikepruki wong. Itu yang salah bukan alhamdulillah-nya, tapi degradasi yang dilakukan oleh cara berpikir manusia terhadap kata-kata itu. Padahal tidak ada yang tidak memenuhi syarat untuk dikasih ucapan kalimat tayyibah.”
“Kamu manusia, harus berangkat dari fakultas-fakultas ini menuju universitas. Sekarang kan tidak ada universitas. Yang ada adalah kumpulan fakultas-fakultas. Yang ada kan sarjana fakultas. Jadi universitas itu penipuan. Yang ada adalah paguyuban fakultas-fakultas.”
“Yang ditanyakan Tedjo adalah secara kebudayaan rakyat kita sudah sampai universitas, tiba-tiba kita menjadi orang modern balik menjadi fakultas lagi. Kalau gini alhamdulillah kalau gini subhanallah.”
“Misal dulu ada golnya David Villa, penyiar pertandingannya orang Arab, ada kejadian di mana kipernya maju hampir ke depan gawang lawan, sama David Villa direbut bolanya, maju dikit, dilambungkan menuju gawang kiper yang sudah lari tadi. Ini kiper sipat kuping mlayu mbalik sampai gawangnya, dan betul pada langkah terakhir dia bisa menepis bolanya. Penyiarnya teriak-teriak ‘Masya Allah! Allahu akbar! Masya Allah Allahu Akbar!’”
“Kenapa Masya Allah? Karena sesungguhnya hal itu tidak mampu dilakukan manusia. Karena Allah menghendaki, maka jadi mampu. Jadi masya Allah diucapkan atas sesuatu yang seharusnya tidak terjadi tapi bisa terjadi. Tapi kalau sesuatu yang memang mesti terjadi dan benar-benar terjadi, lalu kamu terharu atas itu, maka Subhanallah. Itu ada posisinya sendiri-sendiri, tapi daripada susah-susah, sebut apa saja, itu sudah bener.”
“Yang dimaksud Tedjo, masyarakat kita dulu sudah universitas, tidak primordial, sudah bukan firqah-firqah, sudah bukan syu’ub wa qobail. Di atasnya kan insan, manusia. Anda mempersatukan diri dengan siapapun saja, maka menjadi manusia. Nanti manusia diganggu lagi oleh gender, misalnya. Pokoknya kalau perwakilan wanita harus 30% segala macem. Kalau memang niat, ya wanita diberi kesempatan yang sama, bukan minta jatah sekian persen. Maka saya tak pernah ikut ideologi gender, karena saya tidak pernah urusan wanita kecuali dengan istri saya. Selebihnya kan manusia.”
“Di atasnya ada Abdullah, memposisikan diri terhadap Allah. Anda bersama dengan Allah. Lalu di atasnya kita menjadi khalifatullah. Anda ditugasi Allah, Anda karyawannya Allah, sudah digaji, bayar pajak dikit kepada Allah karena sudah digaji luar biasa banyak.”
“Kemarin ibunya Mas Nevi kan meninggal dunia. Situasinya memang cenderung seperti itu, tapi saya guyon. Waktu memberi sambutan saya guyon dan orang-orang tertawa. Lho gimana sih, wong Beliau suci, murni, perintis, jujur, dan Beliau masuk surga?”
“Orang-orang bertanya kok bisa yakin. Lho mosok aku terus dikongkon ngomong ‘Iki mlebu neroko’, ngono? Atau ‘Ya, mungkin dia masuk neraka ya’ gitu? Memang nggak ada yang bisa kita pastikan. Saya husnudzon dan saya tidak menemukan faktor-faktor pada ibunya Mas Nevi yang kira-kira bisa membuatnya masuk neraka.”
“Aku husnudzon, dan punya keyakinan tentang yang dimaksud surga itu kayak gimana, neraka itu kayak gimana. Siapa yang harus masuk, siapa yang tidak. Lho ini keyakinan, jadi jangan amin. Nek amin lak ijek mugo-mugo. Kalau kita nggak pernah punya keyakinan tentang kebaikan, terus gimana? Hatiku beneran kok, ikhlas kok. Ini bukan sombong. Yakin kok sombong. Wong saiki ki gak nduwe keyakinan tentang kebaikan.”
“Mas Beben, saya mau tanya, mungkin Mas Beben punya wawasan jazz secara musik dengan 7, trus jazz dalam arti karakter. Dan lalu ternyata masyarakat jazz lebih luas daripada masyarakat musik jazz. Ini kan yang kita temukan di KC.”
“Ini yang saya ceritakan adalah fakta dari sesuatu yang saya amati,” jawab Mas Beben, “Kenapa 7? Satu oktaf terdiri dari 7 note. Kebetulan Allah memberikan tanda-tanda. Kalau di musik, scale itu menunjukkan abjad, interval atau jarak antarnot itu menujukkan suku kata, dan chord (tiga nada yang dibunyikan sekaligus) itu merupakan kata. Lagu secara keseluruhan merupakan satu karangan.”
“Ada sebuah buku berjudul Jazz for Rock Guitarist, itu isinya pendalaman tentang chord, karena memang ciri khas jazz salah satunya adalah penggunaan chord yang banyak – tapi bukan untuk pamer. Ada hal-hal yang kadang-kadang bisa dimasukkan, tapi karena kurang pengetahuan maka dia tidak dimasukkan. Dan kita bayangkan, otang yang memilii perbendaharaan kata yang sedikit, akan terbatas untuk menyampaikan pikirannya. Orang jazz bilang, banyakin chord, mungkin kamu bisa bicara lebih banyak.”
“Cak Nun adalah orang yang perbendaharaan katanya luar biasa, maka tulisannya luar biasa. Maka Cak Nun adalah seorang mahajazz. Selain perbendaharaan kata yang banyak, Beliau juga tahu persis cara menempatkannya, bagaimana timing-nya.”
Bumi dan planetnya diukur menurut jarak tertentu yang kalau diubah sedikit saja akan menyebabkan kekacauan. Ini tanda-tanda dari Allah. Phytagoras, ahli Matematika, Kosmologi, dan bisa bermain musik, menemukan hal ini secara lengkap. Bahwa jarak dari satu planet ke planet lain merupakan interval. Ketika belajar filsafat dan mentok, Phytagoras pergi ke Mesir. Di sana dia menemukan 4 nada suci. Waktu itu ada alat musik namanya lyra, menggambarkan 4 unsur alam semesta. Karena penasaran, dibawalah alat musik itu ke Yunani. Phytagoras mencoba menambahkan 4 nada lagi, tapi ternyata kacau. Dengan ilmu Kosmologi Kuno, dia mengetahui bahwa ada 7 planet selain Bumi di dalam tata surya. Dia hitung menggunakan monochord, sampai mendapatkan apa yang kini kita kenal dengan 1, 1 ½, dan seterusnya. Phytagoras membagi satu oktaf menjadi delapan. Ada tujuh not. Delapan itu dari Do ke Do lagi.
Phytagoras menemukan bumi berputar pada porosnya mengeluarkan bunyi, tapi pada waktu itu belum diketahui jelas. Planet Bumi berputar, sebagaimana Saturnus, Uranus, berputar mengeluarkan bunyi. Tahun 1619 ketika Keppler menemukan bahwa Bumi berputar dengan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Penemuannya lebih detil dari apa yang ditemukan pendahulunya.
Menurut kepercayaannya, suatu ketika bumi dan benda-benda langit pernah mengalami harmoni sempurna, bunyinya doremifasolasido, yaitu ketika terjadi Big Bang, penciptaan alam semesta.
Buku itu Harmoni Alam Semesta dibukukan tahun 1619, bersamaan dengan pertama kali orang kulit hitam Afrika didatangkan sebagai budak di Amerika. Kalau orang hitam tak pernah datang ke Amerika, musik akan lurus-lurus saja. Itu dari desa Swahili.
“Lalu ada 7 warna (modes) dalam major scale. Ada 7 warna dalam harmonic minor, ada 7 warna dalam melodic minor. Kalau seni rupa menggambarkan dengan warna : sedih, sedih banget. Kalau baru belajar musik akan diberi gambaran, ini biru. Di musikpun ada biru muda, biru tua.”
Seven modes in major scale itu adalah sebagai berikut : ionian, dorian, phrygian, lydian, mixolydian, aeolian, locrian.
“Dari 7 ini dibagi lagi menjadi 7 lagi, ada tujuh tingkat. Ini gunanya untuk apa? Kalau Beethoven mengatakan bahwa belajar musik itu untuk menghancurkannya, orang jazz bilang belajar musik untuk bermain-main. Panjang ceritanya, tapi yang pasti Phytagoras-lah yang membagi satu oktaf menjadi tujuh. Bukan tidak mungkin dia – dan juga penemu-penemu lain – melihat informasi itu di dalam Alquran.”[3]
Sumber : Kenduricinta.com
Dalam proses penerapannya juga mengalami perkembangan. Kita masih terikat oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kita masih merasa perlu melembagakan diri dalam institusi tertentu. Kita mengikat diri untuk beragama. Sepanjang kita mengurung diri dalam lembaga-lembaga, dalam pengkotak-kotakan agama, kita tidak akan sampai pada seni dalam beragama atau seni tauhid. Tauhid itu keesaan Allah yang kita merupakan bagian di dalamnya.
Tauhid yang sesungguhnya adalah dengan seni jazz yang tersimpul dalam asmaul husna. Dalam asmaul husna, Tuhan itu Maha Kaya tapi juga Maha Miskin. Kalau orang sampai pada taraf tauhid sejati, dia memberi atas nama Tuhan, dan menerima juga atas nama Tuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia dalam tataran yang berbeda. Maka dikatakan bahwa TUhan itu lathiful kabir, lebih halus daripada yang paling halus.
Dalam kitab suci, Tuhan seolah-oleh menampakkan Diri-Nya sebagai Maha narsis. Itu maksudnya supaya Tuhan bisa menjadi sosok idola bagi setiap makhluk-Nya. Kalau sudah menjadi idola, seorang idola kalau meminta kepada yang diidolakannya, sudah bukan merupakan beban, melainkan terdengar sebagai perintah yang dengan senang hati ditunaikan.
“Setiap agama yang datang ke Indonesia itu kan menciptakan peradaban, kerajaan. Karena pemahaman agama yang seperti itu yang menciptakan dorongan untuk berinteraksi secara individual maupun sosial, maka pendidikan agama harus berkembang supaya orang-orang beragama menjadi efektif, aktif dalam interaksi sosial untuk bisa membangun peradaban. Saya rasa itu penting bagi kita untuk menyikapi keterikatan kita pada institusi-institusi agama.”
Orang yang sampai pada taraf seni tauhid tidak perlu terikat dengan batasan-batasan tertentu untuk melangkah pada kebaikan. Dia punya logikanya sendiri, seperti orang yang ahli beladiri yang sudah tidak lagi memikirkan teori-teori untuk bergerak. Mereka sudah melampaui teori, mereka sudah sampai pada taraf kreatif.
Tujuh Langit di Dalam Tuhan
“Tujuh langit itu bukan Anda di langit pertama terus mau ke langit kedua. Bukan Bumi berada di langit keberapa. Yang dimaksud bukanlah lapisan-lapisan jasad. Bukan bumi ‘dan’ langit, melainkan ‘di dalam’. Langit yang di dalamnya ada Bumi itu ada di dalam kita, dan manusia ada di dalam Tuhan. Jadi bukannya Tuhan ada di sana, langit ada di sana. Anda bisa mencapai langit ketujuh sekarang juga, tergantung apakah Anda telah suwung atau tidak.”
“Kalau di dalam dirimu masih ada yang membebanimu, kalau di dalam dirimu masih ada dirimu, kalau di dalam dirimu masih ada yang seharusnya tidak membebanimu, maka kamu tak akan bisa terbang. Di dalam dirimu jangan ada dirimu. Kebanyakan orang, di dalam dirinya hanya ada dirinya, hanya ada ego dan eksistensinya. Kalau dirimu suwung, berarti yang ada di dalam dirimu hanyalah iradlah Allah. Kamu jadi presiden, itu iradlah Allah. Kamu bikin KC, itu iradlah Allah, karena kita di dalam Allah. Lalu, apakah kita di dalam Allah atau sebaliknya? Itu soal dialektika, soal sawang-sinawang.”
Mbak Tedjo kemudian bernyanyi diiringi gamelan Kiai Kanjeng, menyanyikan lagu Jancuk.
“Supaya Anda tidak salah paham, supaya para ulama tidak marah sama Tedjo, saya kasih tahu epistemologi ‘jancuk’. Jawa Timur bagian timur menyebutnya ‘jancuk’, sementara Jawa Timur bagian barat menyebutnya ‘dancuk’. Ini hanya soal aksentuasi pendengaran tiap orang yang berbeda-beda.”
“Banyak orang salah paham, pengajian kok pakai misuh-misuh. Sebentar, ‘dancuk’ itu berasal dari kata ‘diencuk’, itu kan menunjuk pada yang paling dasar dari harga diri manusia. ‘Diancuk’ merupakan reaksi kemarahan orang terhadap perbuatan jahat. Tidak ada kata ‘dancuk’ yang diucapkan dalam rangka kejahatan. Justru dia merupakan protes terhadap kejahatan. Itu semua dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman. Jadi Jancukers adalah kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman.”
“Semua yang buruk-buruk aku tunjukkan baiknya, dan aku menolak untuk menunjukkan buruknya yang baik-baik meskipun aku tahu. Biar engkau kembali pada cita-cita yang suwung.”
Dengan diiringi gamelan Kiai Kanjeng, Mbak Inna dan Mbak Via membawakan lagu Gerimis Aje
“Saya minta doa, bersama Pak Nursamad, saya dan teman-teman Kiai Kanjeng diundang ke Maroko bulan Juni, kemudian dikejar juga oleh Madagaskar. Ini segera kita urus. Mungkin dibantu temen-temen KC untuk pengurusannya ke Maroko.”
“Saya kira di sana Zainul yang akan paling senang karena menurut Ustadz Nursamad di sana kebanyakan penganut Qodiriyah. Kalau orang Syiah kan dimarahi karena syahadatnya ditambahi. Itu jazz dalam bdang tauhid. Kan boleh to diterusin? Misalkan ditambahi ‘saya bersaksi bahwa pohon itu hiijau, bahwa kacang itu enak pol’. Di Iran, ada sebagian Syiah yang menambah syahadat dengan ‘Imam Khomeini waliyulloh’. Itu dianggap kafir, sesat.”
“Kalau suaranya Zainul diperdengarkan di sana, insya Allah pingsan-pingsan orang sana, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Mereka sampai hari ini masih terngiang-ngiang dan minta-minta betul, cuman kita suruh sembuhkan dulu lah itu keroyokan di sepakbola.”
“Dulu kami sudah ada rencana untuk mengunjungi Moammar Khadafi, tapi rupanya dia sudah berniat untuk jihad fisabilillah, sehingga akhirnya nggak jadi. Khadafi itu seorang politisi jazz yang tidak mau naik pangkat, jadi kolonel terus. Maka dia disikat oleh seluruh aturan militer dunia. Kalau Indonesia kan diapusi dengan televisi dan koran sudah selesai.”
“Kalau Anda masih terikat oleh ritme yang konvensional, belum nge-jazz. Saya ini dari dulu sudah nge-jazz, tidurnya lima menit, setengah jam, dan jam berapa saja. Yon Koeswoyo pernah saya ajak ke sini. Lalu dia bertanya, ‘Jam piro Cak?’ Saya jawab, ‘Yo jam sepuluh munggah lah’.”
“Dia nggak bisa, karena ternyata tidurnya selalu jam 10. Saya bilang, ‘Lho kok sama dengan saya?’ Dia bingung, ‘Lho jare mau acarane jam 10 munggah?’”
“Ya kalau kata perjanjian kan jam 10 itu tadi, tapi kalau kita bikin sendiri jam 10 itu nanti jam 5 pagi, kan nggak apa-apa to? Lajeng kulo kedah matur wow ngaten? Sinambi jumpalitan? Iki aku diweruhi anakku cilik iku.”
Kemudian Mas Zainul Arifin, seorang Qodiriyah dari Trowulan, bersama dengan Mbak Via dan diiringi musik Kiai Kanjeng, membawakan satu nomor sholawat yang dipadukan dengan lagu Barat L-O-V-E.
“Itu yang saya sebut jazz dalam perolehan budaya, bukan hanya musik. Jadi hasilnya adalah mempersatukan apa-apa yang sebelumnya tidak tersambung. Ini tadi dari Alexandria ke Madura, mampir Situbondo bentar, baru ke Amerika. Tapi diantarkan oleh Madura juga. Untuk supaya tahu bahwa yang bisa bikin komposisi begini ini cuma Indonesia. Yang punya ide seperti ini hanya Indonesia karena calonnya, dua tahun lagi insyaAllah Indonesia akan ada kebangkitan-kebangkitan kecil. Akan ada penguasaan-penguasaan, akan ada nasionalisasi di beberapa bidang. Jadi tidak seenaknya investor-investor luar negeri datang mengeruk. Akan ada aturan-aturan baru, tidak boleh menjual bahan mentah di bidang mining dan sebagainya. Akan ada perbaikan-perbaikan. Nah nanti secara internasional mereka akan ikut. Pada suatu hari, mereka capek juga. Selama ini ada pertarungan-pertarungan antara penjajah dengan kita yang dijajah, seharusnya kita membela orang yang dijajah. Tapi soal politik kapan-kapan saja.”
Mbah Tedjo, yang juga sering tampil bersama Kiai Kanjeng, mengatakan bahwa dia menikmati musik kothekan barusan. Kemudian dia bertanya kepada Cak Nun mengapa masyarakat kita belakangan ini menghadapi kematian dalam nuansa kesedihan, hitam-hitam, dengan cara Barat semua? Di mana sikap hidup Ono tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, gedhongono kuncenono, wong mati mongso wurungo?
“Anak saya yang paling kecil, si Rampak, suatu hari menari-nari kayak Tedjo tadi sambil teriak-teriak.”
“Jadi anak saya itu lari-lari sambil teriak ‘Ibu mati, yes, hore! Ibu mati, yes!’ begitu,” cerita Mbak Via, “Karena Tante saya tidak terbiasa dengan yang begitu, dia panik, dipikirnya saya mau mati beneran. Lalu dipanggillah Rampak, ditanya kenapa teriak-teriak begitu.”
“Dia jawabnya, ‘Lho kenapa memangnya? Nggak seneng po mati? Yo seneng to mati, nggak seneng po ketemu Allah?’ Maksud dia, orang mati itu ketemu Allah, maka bersenang-senanglah. Menurut dia ketemu Allah itu menggembirakan, maka sia lari-lari keliling seperti itu.”
“Pembelajaran menyangkut ilmu Tuhan, meneliti sendiri seperti apapun, wacana utamanya tetap informasi Tuhan,” lanjut Cak Nun, “Kalimat tayyibah (astaghfirullah, alhamdulilah, Allahu akbar, masyaAllah) sebenarnya tidak ada hubungannya dengan susah atau senang. Kalau memang ada psikologi susah atau senang, mending kita milih senang. Karena tidak ada apapun yang tidak menyenangkan. Di tahun 73 saya menulis di majalah Basis, judulnya ‘Ia Mati, Alhamdulillah’.”
“Sekarang ini kebudayaan dan psikologi sosial manusia sudah mendegradasikan kalimat-kalimat Tuhan itu untuk fakultas-fakultas budaya. Jadi kalau dapat duit, alhamdulillah. Jadi alhamdulillah direndahkan. Padahal tidak ada yang tidak alhamdulillah, tidak ada yang tidak Allahu akbar, tidak ada yang tidak masya Allah, tidak ada yang tidak Subhanallah.”
“Bahkan ualma-ulama tidak memandu masyarakat untuk konvensinya dulu. Apa bedanya masyaAllah dengan subhanallah? Konvensinya dulu? Kalau misalnya ada pohon tumbang, itu apa yang harus diucapkan? Karena kalimat tayyibah sudah sedemikian terdegradasi dalam masyarakat kita, kalau suatu ketika ada rumah kebakaran lalu kita bilang alhamdulilah, ya dikepruki wong. Itu yang salah bukan alhamdulillah-nya, tapi degradasi yang dilakukan oleh cara berpikir manusia terhadap kata-kata itu. Padahal tidak ada yang tidak memenuhi syarat untuk dikasih ucapan kalimat tayyibah.”
“Kamu manusia, harus berangkat dari fakultas-fakultas ini menuju universitas. Sekarang kan tidak ada universitas. Yang ada adalah kumpulan fakultas-fakultas. Yang ada kan sarjana fakultas. Jadi universitas itu penipuan. Yang ada adalah paguyuban fakultas-fakultas.”
“Yang ditanyakan Tedjo adalah secara kebudayaan rakyat kita sudah sampai universitas, tiba-tiba kita menjadi orang modern balik menjadi fakultas lagi. Kalau gini alhamdulillah kalau gini subhanallah.”
“Misal dulu ada golnya David Villa, penyiar pertandingannya orang Arab, ada kejadian di mana kipernya maju hampir ke depan gawang lawan, sama David Villa direbut bolanya, maju dikit, dilambungkan menuju gawang kiper yang sudah lari tadi. Ini kiper sipat kuping mlayu mbalik sampai gawangnya, dan betul pada langkah terakhir dia bisa menepis bolanya. Penyiarnya teriak-teriak ‘Masya Allah! Allahu akbar! Masya Allah Allahu Akbar!’”
“Kenapa Masya Allah? Karena sesungguhnya hal itu tidak mampu dilakukan manusia. Karena Allah menghendaki, maka jadi mampu. Jadi masya Allah diucapkan atas sesuatu yang seharusnya tidak terjadi tapi bisa terjadi. Tapi kalau sesuatu yang memang mesti terjadi dan benar-benar terjadi, lalu kamu terharu atas itu, maka Subhanallah. Itu ada posisinya sendiri-sendiri, tapi daripada susah-susah, sebut apa saja, itu sudah bener.”
“Yang dimaksud Tedjo, masyarakat kita dulu sudah universitas, tidak primordial, sudah bukan firqah-firqah, sudah bukan syu’ub wa qobail. Di atasnya kan insan, manusia. Anda mempersatukan diri dengan siapapun saja, maka menjadi manusia. Nanti manusia diganggu lagi oleh gender, misalnya. Pokoknya kalau perwakilan wanita harus 30% segala macem. Kalau memang niat, ya wanita diberi kesempatan yang sama, bukan minta jatah sekian persen. Maka saya tak pernah ikut ideologi gender, karena saya tidak pernah urusan wanita kecuali dengan istri saya. Selebihnya kan manusia.”
“Di atasnya ada Abdullah, memposisikan diri terhadap Allah. Anda bersama dengan Allah. Lalu di atasnya kita menjadi khalifatullah. Anda ditugasi Allah, Anda karyawannya Allah, sudah digaji, bayar pajak dikit kepada Allah karena sudah digaji luar biasa banyak.”
“Kemarin ibunya Mas Nevi kan meninggal dunia. Situasinya memang cenderung seperti itu, tapi saya guyon. Waktu memberi sambutan saya guyon dan orang-orang tertawa. Lho gimana sih, wong Beliau suci, murni, perintis, jujur, dan Beliau masuk surga?”
“Orang-orang bertanya kok bisa yakin. Lho mosok aku terus dikongkon ngomong ‘Iki mlebu neroko’, ngono? Atau ‘Ya, mungkin dia masuk neraka ya’ gitu? Memang nggak ada yang bisa kita pastikan. Saya husnudzon dan saya tidak menemukan faktor-faktor pada ibunya Mas Nevi yang kira-kira bisa membuatnya masuk neraka.”
“Aku husnudzon, dan punya keyakinan tentang yang dimaksud surga itu kayak gimana, neraka itu kayak gimana. Siapa yang harus masuk, siapa yang tidak. Lho ini keyakinan, jadi jangan amin. Nek amin lak ijek mugo-mugo. Kalau kita nggak pernah punya keyakinan tentang kebaikan, terus gimana? Hatiku beneran kok, ikhlas kok. Ini bukan sombong. Yakin kok sombong. Wong saiki ki gak nduwe keyakinan tentang kebaikan.”
“Mas Beben, saya mau tanya, mungkin Mas Beben punya wawasan jazz secara musik dengan 7, trus jazz dalam arti karakter. Dan lalu ternyata masyarakat jazz lebih luas daripada masyarakat musik jazz. Ini kan yang kita temukan di KC.”
“Ini yang saya ceritakan adalah fakta dari sesuatu yang saya amati,” jawab Mas Beben, “Kenapa 7? Satu oktaf terdiri dari 7 note. Kebetulan Allah memberikan tanda-tanda. Kalau di musik, scale itu menunjukkan abjad, interval atau jarak antarnot itu menujukkan suku kata, dan chord (tiga nada yang dibunyikan sekaligus) itu merupakan kata. Lagu secara keseluruhan merupakan satu karangan.”
“Ada sebuah buku berjudul Jazz for Rock Guitarist, itu isinya pendalaman tentang chord, karena memang ciri khas jazz salah satunya adalah penggunaan chord yang banyak – tapi bukan untuk pamer. Ada hal-hal yang kadang-kadang bisa dimasukkan, tapi karena kurang pengetahuan maka dia tidak dimasukkan. Dan kita bayangkan, otang yang memilii perbendaharaan kata yang sedikit, akan terbatas untuk menyampaikan pikirannya. Orang jazz bilang, banyakin chord, mungkin kamu bisa bicara lebih banyak.”
“Cak Nun adalah orang yang perbendaharaan katanya luar biasa, maka tulisannya luar biasa. Maka Cak Nun adalah seorang mahajazz. Selain perbendaharaan kata yang banyak, Beliau juga tahu persis cara menempatkannya, bagaimana timing-nya.”
Bumi dan planetnya diukur menurut jarak tertentu yang kalau diubah sedikit saja akan menyebabkan kekacauan. Ini tanda-tanda dari Allah. Phytagoras, ahli Matematika, Kosmologi, dan bisa bermain musik, menemukan hal ini secara lengkap. Bahwa jarak dari satu planet ke planet lain merupakan interval. Ketika belajar filsafat dan mentok, Phytagoras pergi ke Mesir. Di sana dia menemukan 4 nada suci. Waktu itu ada alat musik namanya lyra, menggambarkan 4 unsur alam semesta. Karena penasaran, dibawalah alat musik itu ke Yunani. Phytagoras mencoba menambahkan 4 nada lagi, tapi ternyata kacau. Dengan ilmu Kosmologi Kuno, dia mengetahui bahwa ada 7 planet selain Bumi di dalam tata surya. Dia hitung menggunakan monochord, sampai mendapatkan apa yang kini kita kenal dengan 1, 1 ½, dan seterusnya. Phytagoras membagi satu oktaf menjadi delapan. Ada tujuh not. Delapan itu dari Do ke Do lagi.
Phytagoras menemukan bumi berputar pada porosnya mengeluarkan bunyi, tapi pada waktu itu belum diketahui jelas. Planet Bumi berputar, sebagaimana Saturnus, Uranus, berputar mengeluarkan bunyi. Tahun 1619 ketika Keppler menemukan bahwa Bumi berputar dengan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Penemuannya lebih detil dari apa yang ditemukan pendahulunya.
Menurut kepercayaannya, suatu ketika bumi dan benda-benda langit pernah mengalami harmoni sempurna, bunyinya doremifasolasido, yaitu ketika terjadi Big Bang, penciptaan alam semesta.
Buku itu Harmoni Alam Semesta dibukukan tahun 1619, bersamaan dengan pertama kali orang kulit hitam Afrika didatangkan sebagai budak di Amerika. Kalau orang hitam tak pernah datang ke Amerika, musik akan lurus-lurus saja. Itu dari desa Swahili.
“Lalu ada 7 warna (modes) dalam major scale. Ada 7 warna dalam harmonic minor, ada 7 warna dalam melodic minor. Kalau seni rupa menggambarkan dengan warna : sedih, sedih banget. Kalau baru belajar musik akan diberi gambaran, ini biru. Di musikpun ada biru muda, biru tua.”
Seven modes in major scale itu adalah sebagai berikut : ionian, dorian, phrygian, lydian, mixolydian, aeolian, locrian.
“Dari 7 ini dibagi lagi menjadi 7 lagi, ada tujuh tingkat. Ini gunanya untuk apa? Kalau Beethoven mengatakan bahwa belajar musik itu untuk menghancurkannya, orang jazz bilang belajar musik untuk bermain-main. Panjang ceritanya, tapi yang pasti Phytagoras-lah yang membagi satu oktaf menjadi tujuh. Bukan tidak mungkin dia – dan juga penemu-penemu lain – melihat informasi itu di dalam Alquran.”[3]
Sumber : Kenduricinta.com
KENDURI CINTA APRIL 2013: Menuju Tauhid
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>