Korupsi bukan hanya terjadi di pusat, melainkan sudah sangat merata di seluruh wilayah Indonesia. Media nasional lebih sering memberitakan korupsi di pusat, padahal korupsi di daerah tidak kalah dahsyatnya. Ada 7 Gubernur, 3 wakil Gubernur, 62 Bupati/Walikota, dan 327 Anggota DPRD yg tersangkut kasus korupsi. Otonomi Daerah yang tujuan semula untuk pemerataan kesejahteraan rakyat, beralih menjadi pemerataan korupsi.
sumber foto : fb Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia |
Kebijakan itu sendiri merupakan program Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Seperti diketahui, Propinsi Jawa Timur melalui Dinas Pendidikan adalah lembaga pemerintahan daerah pertama di Indonesia yang menerapkan pendidikan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi kurikulum pendidikan di sekolah. Program diterapkan setelah sebelumnya dilaunching Gubernur Jatim, Dr H Soekarwo bersama Jaksa Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Dr Marwan Effendy SH dengan bupati/walikota di kantor Gubernur Jatim Surabaya tahun 2008 silam. Sebelum diberlakukan merata di seluruh kabupaten, ada tiga daerah yang ditetapkan sebagai pilot project. Yakni, Surabaya, Pasuruan, dan Bangkalan.
Upaya tersebut diikhtiyari sebagai usaha memerangi korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Seperti disentil status facebook diatas, korupsi telah menyebar dengan begitu cepatnya dari pusat hingga daerah. Hampir tidak ada satu pun departemen dan atau lembaga di negara ini yang tidak terjangkit virus korupsi. Bahkan, departemen/lembaga yang mestinya mewakili unsur moralitas dan penegakan hukum pun tak terelakkan. Korupsi benar-benar telah merasuk dalam urat nadi kehidupan masyarakat. Ia bukan lagi milik pejabat atau birokrat, tetapi mengalami polarisasi dan menyebar ke seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Barangkali berdasarkan pertimbangan itulah, memasukkan pendidikan anti KKN ke dalam kurikulum sekolah dirasakan begitu mendesak. Dengan memasukkan pedidikan anti KKN, diharapkan secara dini dapat menanamkan nilai-nilai dan sikap hidup anti KKN kepada warga sekolah. Disisi lain, pendidikan anti KKN juga diharapkan mampu menumbuhkan kebiasaan perilaku anti KKN, serta mengembangkan kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan membudayakan perilaku anti KKN. Tujuan akhir program ini tak lain memutus mata rantai perilaku korupsi agar kelak tidak lagi dipandang sebagai budaya, tetapi sebagai penyakit yang harus dibasmi.
Di Jawa Timur sendiri, kasus korupsi sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Hasil riset Malang Corruption Watch (MCW) tentang korupsi di Jawa Timur menemukan, nilai kerugian negara akibat korupsi pada 2008 sebesar Rp 1,3 triliun. Jumlah ini merupakan akumulasi dari 20 kota/kabupaten. Hasil riset juga menunjukkan, modus korupsi antara lain dengan cara menyelewengkan anggaran (28 %), melakukan penggelapan dana (25 %), mark up (48 %), mark down (2 %), dan menyalahgunakan wewenang (11 %). (korantempo, 22/12/2008)
Sementara tahun 2009, Jaringan Kerja Antikorupsi (JKAK) Jawa Timur mencatat, nilai kerugian akibat korupsi per 30 November di Jawa Timur mencapai Rp1,1 triliun. Kasus korupsi yang terjadi mencapai 112 kasus menyebar di 28 kabupaten/kota. Nilai korupsi tertinggi adalah Kota Surabaya Rp439,9 miliar, Bondowoso Rp197,1 miliar, Kabupaten Kediri Rp119,4 miliar, Sidoarjo Rp80,2 miliar, dan Kabupaten Pasuruan Rp74 miliar. Dari 112 kasus tersebut, 66 kasus diantaranya melibatkan eksekutif (59 %), 31 kasus melibatkan masyarakat umum, swasta, dan LSM (28 %), dan 15 kasus melibatkan legislatif (13 %) (Antaran news)
Hal tersebut mungkin tak menimbulkan masalah jika pendidikan anti KKN dilaksanakan dengan mengintegrasikannya pada mata pelajaran tertentu, namun yang perlu digarisbawahi adalah ketika pendidikan anti KKN dijadikan mata pelajaran tersendiri sebagaimana yang telah direncanakan. Efektifkah hal tersebut jika benar-benar diberlakukan? Tidakkah beberapa permasalahan akan timbul dikemudian hari?
Kegamangan tersebut setidaknya didasarkan pada beberapa sebab. Selama ini, siswa sudah terbebani dengan sekian banyak mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dengan adanya tambahan mata pelajaran baru, disadari atau tidak, hal tersebut akan berdampak pada kondisi psikologis siswa? Yang patut dikhawatirkan adalah jika siswa maupun guru terjebak pada verbalisme dengan mempelajari materi pelajaran tanpa adanya upaya merepresentasikannya dalam kehidupan nyata. Disisi lain, pemerintah sendiri akan mengalami beberapa kesulitan, seperti pengadaan buku-buku anti KKN, susahnya mencari guru anti KKN, dan sebagainya.
Secara empiris, ketika nilai-nilai tertentu dimasukkan dalam kurikulum sekolah, hal tersebut rentan mengalami kegagalan (terutama dari segi afeksi dan praksis). Sebut saja pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama (PA). Mestinya, bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan solusi memasukkannya dalam kurikulum sekolah, maka kedua pelajaran tersebut sudah sangat cukup menjadi alat menumbuh-kembangkan norma dan nilai-nilai terpuji dalam kehidupan. Namun faktanya, justru degradasi moral semakin akut merambah kehidupan sosial masyarakat pada kurun waktu terakhir. Maka, diakui atau tidak, memasukkan pelajaran anti KKN ke dalam kurikulum sekolah adalah bukti bahwa pendidikan moral dan agama yang selama ini dijalankan belum sepenuhnya menuai hasil seperti yang diharapkan.
Alhasil, korupsi memang bahaya laten yang harus dibasmi. Memasukkan pendidikan anti KKN ke dalam kurikulum sekolah hanyalah salah satu upaya agar perkara korupsi bisa diatasi, demi supaya Indonesia ke depan bisa menjadi lebih baik. Tidak boleh tidak, harus ada komitmen total dari para stakeholder dunia pendidikan (terutama guru sebagai ujung tombaknya) agar program tersebut bisa dijalankan dengan maksimal. Sejak awal guru harus menyadari, pendidikan anti KKN adalah pendidikan nilai, yang memiliki karakteristik berbeda dengan pembelajaran pengetahuan dan ketrampilan. Maka perlakuan terhadapnya pun jauh lebih sulit dan rumit. Akankah program tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Kita lihat saja!(*)
*) Penulis :
Em. Syuhada’. pengelola Taman Bacaan “Alam Sunyi”. Aktifitas sehari-harinya sebagai Guru PAI SDN Talunrejo III Kec. Bluluk. Tinggal di Ngimbang Lamongan.
Upaya tersebut diikhtiyari sebagai usaha memerangi korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Seperti disentil status facebook diatas, korupsi telah menyebar dengan begitu cepatnya dari pusat hingga daerah. Hampir tidak ada satu pun departemen dan atau lembaga di negara ini yang tidak terjangkit virus korupsi. Bahkan, departemen/lembaga yang mestinya mewakili unsur moralitas dan penegakan hukum pun tak terelakkan. Korupsi benar-benar telah merasuk dalam urat nadi kehidupan masyarakat. Ia bukan lagi milik pejabat atau birokrat, tetapi mengalami polarisasi dan menyebar ke seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Barangkali berdasarkan pertimbangan itulah, memasukkan pendidikan anti KKN ke dalam kurikulum sekolah dirasakan begitu mendesak. Dengan memasukkan pedidikan anti KKN, diharapkan secara dini dapat menanamkan nilai-nilai dan sikap hidup anti KKN kepada warga sekolah. Disisi lain, pendidikan anti KKN juga diharapkan mampu menumbuhkan kebiasaan perilaku anti KKN, serta mengembangkan kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan membudayakan perilaku anti KKN. Tujuan akhir program ini tak lain memutus mata rantai perilaku korupsi agar kelak tidak lagi dipandang sebagai budaya, tetapi sebagai penyakit yang harus dibasmi.
Di Jawa Timur sendiri, kasus korupsi sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Hasil riset Malang Corruption Watch (MCW) tentang korupsi di Jawa Timur menemukan, nilai kerugian negara akibat korupsi pada 2008 sebesar Rp 1,3 triliun. Jumlah ini merupakan akumulasi dari 20 kota/kabupaten. Hasil riset juga menunjukkan, modus korupsi antara lain dengan cara menyelewengkan anggaran (28 %), melakukan penggelapan dana (25 %), mark up (48 %), mark down (2 %), dan menyalahgunakan wewenang (11 %). (korantempo, 22/12/2008)
Sementara tahun 2009, Jaringan Kerja Antikorupsi (JKAK) Jawa Timur mencatat, nilai kerugian akibat korupsi per 30 November di Jawa Timur mencapai Rp1,1 triliun. Kasus korupsi yang terjadi mencapai 112 kasus menyebar di 28 kabupaten/kota. Nilai korupsi tertinggi adalah Kota Surabaya Rp439,9 miliar, Bondowoso Rp197,1 miliar, Kabupaten Kediri Rp119,4 miliar, Sidoarjo Rp80,2 miliar, dan Kabupaten Pasuruan Rp74 miliar. Dari 112 kasus tersebut, 66 kasus diantaranya melibatkan eksekutif (59 %), 31 kasus melibatkan masyarakat umum, swasta, dan LSM (28 %), dan 15 kasus melibatkan legislatif (13 %) (Antaran news)
Pendidikan Nilai
Dilihat dari tujuannya, memasukkan pendidikan anti KKN di sekolah merupakan langkah yang cerdas. Anak usia SD, SMP, hingga SMA adalah kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya. Disisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan cenderung terfokus pada upaya kuratif berupa penegakan hukum dengan menindak para koruptor, dan sebagainya. Itulah sebabnya, ide memasukkan pendidikan anti KKN di sekolah adalah tindakan preventif mencegah perilaku korupsi melalui reinternalisasi nilai, peneguhan sikap hidup, serta pembudayaan perilaku anti KKN kepada anak didik, maupun kepada warga sekolah secara keseluruhan.Hal tersebut mungkin tak menimbulkan masalah jika pendidikan anti KKN dilaksanakan dengan mengintegrasikannya pada mata pelajaran tertentu, namun yang perlu digarisbawahi adalah ketika pendidikan anti KKN dijadikan mata pelajaran tersendiri sebagaimana yang telah direncanakan. Efektifkah hal tersebut jika benar-benar diberlakukan? Tidakkah beberapa permasalahan akan timbul dikemudian hari?
Kegamangan tersebut setidaknya didasarkan pada beberapa sebab. Selama ini, siswa sudah terbebani dengan sekian banyak mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dengan adanya tambahan mata pelajaran baru, disadari atau tidak, hal tersebut akan berdampak pada kondisi psikologis siswa? Yang patut dikhawatirkan adalah jika siswa maupun guru terjebak pada verbalisme dengan mempelajari materi pelajaran tanpa adanya upaya merepresentasikannya dalam kehidupan nyata. Disisi lain, pemerintah sendiri akan mengalami beberapa kesulitan, seperti pengadaan buku-buku anti KKN, susahnya mencari guru anti KKN, dan sebagainya.
Secara empiris, ketika nilai-nilai tertentu dimasukkan dalam kurikulum sekolah, hal tersebut rentan mengalami kegagalan (terutama dari segi afeksi dan praksis). Sebut saja pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama (PA). Mestinya, bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan solusi memasukkannya dalam kurikulum sekolah, maka kedua pelajaran tersebut sudah sangat cukup menjadi alat menumbuh-kembangkan norma dan nilai-nilai terpuji dalam kehidupan. Namun faktanya, justru degradasi moral semakin akut merambah kehidupan sosial masyarakat pada kurun waktu terakhir. Maka, diakui atau tidak, memasukkan pelajaran anti KKN ke dalam kurikulum sekolah adalah bukti bahwa pendidikan moral dan agama yang selama ini dijalankan belum sepenuhnya menuai hasil seperti yang diharapkan.
Alhasil, korupsi memang bahaya laten yang harus dibasmi. Memasukkan pendidikan anti KKN ke dalam kurikulum sekolah hanyalah salah satu upaya agar perkara korupsi bisa diatasi, demi supaya Indonesia ke depan bisa menjadi lebih baik. Tidak boleh tidak, harus ada komitmen total dari para stakeholder dunia pendidikan (terutama guru sebagai ujung tombaknya) agar program tersebut bisa dijalankan dengan maksimal. Sejak awal guru harus menyadari, pendidikan anti KKN adalah pendidikan nilai, yang memiliki karakteristik berbeda dengan pembelajaran pengetahuan dan ketrampilan. Maka perlakuan terhadapnya pun jauh lebih sulit dan rumit. Akankah program tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Kita lihat saja!(*)
*) Penulis :
Em. Syuhada’. pengelola Taman Bacaan “Alam Sunyi”. Aktifitas sehari-harinya sebagai Guru PAI SDN Talunrejo III Kec. Bluluk. Tinggal di Ngimbang Lamongan.
Pendidikan Anti KKN: Efektifkah?
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>