TUGAS terberat kemanusiaan adalah bagaimana manusia mampu mempertahankan diri tetap menjadi manusia, tidak menjadi binatang atau bahkan iblis. Hal itulah setidaknya yang memompakan energi dalam diri saya, sehingga sampai hari ini tetap berusaha untuk istiqomah datang ke pengajian maiyah, khususnya Padhang Mbulan Jombang. Sebab di Padhang Mbulan, saya menemukan formulasi pengajian yang berbeda seperti pengajian pada umumnya. Tema penting yang selalu diangkat adalah bagaimana manusia harus berfikir, bersikap, dan bertindak baik terhadap dirinya sendiri, komunitas di sekelilingnya, lebih luas terhadap alam semesta, dalam merespon fenomena yang berjalin-kelindan. Manusia sebagai penghuni jagad raya, yang memanggul fungsi khilafah memang harus terus berjuang mempertahankan ketinggian maqamnya. Namun, karena perjalanan kehidupan tidak selalu lurus, dimana teramat banyak warna dan persimpangan yang menyilaukan mata, manusia terkadang memilih jalan tak sesuai dengan jalan yang dikehendaki penciptanya. Alhasil, Padhang Mbulan bagi diri saya pribadi adalah semacam wasilah. Setidaknya, sebagai manusia, saya ingin tetap konsisten berbuat sebagai manusia, sehingga kedudukan sebagai ahsani taqwim, tidak terperosok jatuh pada pengapnya jurang asfalaa saafilin.
Yang paling menarik dari Maiyah adalah tiadanya jarak antar jamaah. Jamaah yang hadir adalah manusia yang telah menanggalkan baju artifisialnya, dengan mengenakan pakaian keikhlasan dan kesejatian. Siapapun bisa diterima asalkan memiliki prasyarat yang telah ditentukan. Dalam Maiyah, selalu ditekankan bagaimana manusia harus berlaku dalam kehidupan. Tak ada tokoh, tak ada bintang, tak ada kiai, tak ada orang besar, tak ada publik figur, tak ada apapun embel-embel sosial yang terlanjur di-tahayul-kan masyarakat. Bahkan, Cak Nun sendiri sebagai ‘begawan’nya Maiyah sama sekali tak pernah mau disebut tokoh. Disinilah ciri khas Maiyah. Disaat hampir sebagian besar umat manusia berlomba menampilkan eksistensi dirinya dalam panggung kehidupan yang penuh kepalsuan dan hipokrisi, Maiyah sanggup membuang dirinya. Ia bersedia ketlingsut dan tak diperhitungkan oleh siapapun. Cak Nun sendiri bahkan sering mengungkapkan, manifestasi tauhid sesungguhnya bukan hanya kesadaran bahwa Allah itu satu, tapi bagaimana manusia terus-menerus berjuang menyatukan diri dengan Allah. Syarat utamanya adalah dengan meniadakan diri, menihilkan eksistensi, mencampakkan ego, dan lain sebagainya.
Banyak hal telah dilakukan orang Maiyah untuk kemaslahatan negeri ini. Banyak 'pekerjaan besar' telah dilakukan orang Maiyah, baik di lingkaran nasioanal maupun internasional, demi supaya negeri yang bernama Indonesia Raya ini tetap sebagai jelmaan surga turun dari langit, yang tak dipandang sebelah mata oleh masyarakat dunia. Orang berlalu-lalang, orang berkejar-kejaran, orang bertengkar dengan saudaranya sendiri, orang menangis karena pemerintahannya tak pernah sanggup menjamin agar orang itu tak menangis, orang kelimpungan, dan tak pernah tahu bagaimana caranya agar tidak kelimpungan. Di saat itulah Maiyah datang menyodorkan tangannya. Maiyah mempersilahkan punggungnya agar dijadikan tempat sandaran. Tapi ketahuilah, pernahkah lembaran-lembaran media massa menyisihkan sedikit ruangnya untuk memuat wajah teduh Maiyah? Pernahkah mereka mengganggap, bahwa apa yang dilakukan Maiyah itu pernah ada? Tidakkah kamera-kamera industri itu lebih suka menyorot ketiak para artis, membuka pantat selebritis, serta melambungkan ustadz-ustadz globalisasi?
Maiyah memang bukan siapa-siapa. Maiyah bukanlah Emha. Bukan Cak Fuad. Bukan Sabrang. Bukan siapapun yang lain. Bahkan Maiyah itu bukanlah agama. Yang dikumandangkan setiap kali Maiyah diselenggarakan adalah bagaimana jamaah yang hadir menyadari sepenuh hatinya bahwa ia hanyalah sebutir debu dari kemahabesaran Allah azza wa jalla. Dan karena saham manusia atas kehidupan ini hanyalah nol persen, maka tidak boleh tidak, manusia harus rela mengikut apa yang menjadi kehendakNya. Seratus persen orang Maiyah mengerti itu. Karena Allah sendiri yang mengomandani bershalawat kepada Rasulullah. Tak ada alasan bagi warga Maiyah untuk tidak mencintai Rasulullah. Maka, saksikanlah! Hampir di setiap pengajian yang digelar 5 sampai 8 jam itu, tak ada satu jengkal waktupun yang membuat mereka lupa bahwa Allah ada, dan Rasulullah hadir dalam persaudaraan mereka. Maka dapat kau lihat, betapa khusyu’ perkumpulan mereka. Betapa riangnya hati mereka tatkala bercengkrama dengan kekasih lubuk hati, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Tak terasa sudah, kurang lebih dua puluh tahun pengajian maiyah telah diselenggarakan. Selama kurun waktu tersebut, banyak dinamika yang telah terjadi. Kurun waktu tersebut tentu tak bisa dipandang remeh dalam hal memperjuangkan nilai dan makna. Kanjeng Nabi sendiri diperkenankan Allah berjuang dalam menyebarkan berita keselamatan selama 23 tahun, 13 tahun di Mekkah, dan 10 tahun di Madinah. Artinya, manusia memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Bisa dimengerti jika beberapa tahun terakhir Cak Nun sering melemparkan sejumlah isyarat tentang apa dan bagaimana Maiyah dalam kurun waktu ke depan. Begitu juga dengan Maiyah (baca: padhang mbulan) di penghujung tahun kemarin (28/12/2012). Tulisan beliau bertajuk Maiyah 2013: ‘Mamayu Hayuning Maiyah’ adalah sebentuk tantangan (atau bahkan tamparan keras) kepada jamaah: apakah Maiyah akan hanya berhenti menjadi sebuah kegiatan rutin bulanan? Apakah maiyah akan hanya berfungsi sebagai tempat nge-charge, tempat menumpahkan keluh-kesah atas kebrengsekan hidup. Akan hanya menjelma sebagai tempat klangenan, dan segala macamnya. Ataukah Maiyah bisa berbuat lebih besar dari itu, tidak hanya bisa berfungsi ‘ke dalam’ tapi juga ‘ke luar’, bisa menjadi anti-toxin dari gelombang racun peradaban yang hampir sebagian besar penghuni dunia telah menjadi korbannya.
Dengan sangat gamblang Cak Nun menuturkan kondisi mutakhir yang berlangsung secara mondial, bahwa tantangan global yang kini dengan sangat dahsyat menenggelamkan Bangsa Indonesia dan umat islam sesungguhnya adalah gelombang perusakan agama dan kemanusiaan yang sudah berlangsung sejak munculnya kerasulan Isa AS, memuncak pada penyaliban atas beliau, sehingga Allah menggantikannya dengan orang lain dan menaikkannya ke langit. 37 tahun sesudah itu -masih menurut Cak Nun-, desain penguasaan dan penghancuran manusia dan agama itu dilembagakan, sampai kemudian di awal abad 17 gerakan penghancuran kemanusiaan itu diorganisir secara global.
Harapan Cak Nun, kenyataan yang sudah berlangsung lebih dari 20 abad itu harus menjadi sebuah kesadaran hari ini bagi jamaah: bahwa mayoritas penduduk dunia telah menjadi korban yang hampir sempurna dari gerakan penghancuran itu. Masyarakat global garda depan mainstream peradaban 20-21 telah ‘berhasil’ ditenggelamkan secara internasional untuk meng-agamakan yang bukan agama, men-tuhan-kan yang bukan Tuhan. Bahkan pada satu dekade terakhir, umat islam Indonesia telah dengan sangat sukses diguyur racun, sehingga memiliki kedangkalan mata pandang, kekerdilan mental, kesempitan jiwa, mata kuda materialisme, sehingga melahirkan watak-watak primitivisme dan ketidak-beradaban.
Memang teramat berat memfungsikan diri sebagai salikul maiyah di tengah zaman yang abai terhadap makna. Tapi bukankah para pencari makna memang harus siaga terhadap segala kemungkinan? Maka, hal penting yang tentu saja harus segera dipahami adalah menjawab tantangan yang telah dilontarkan Cak Nun. Waktu demikian terbatas. Tak ada pilihan lain, para salikul maiyah harus kembali berhitung, kemudian menentukan sikap, apakah bersedia ditenggelamkan oleh gerakan itu, ataukah memastikan diri tidak termasuk korban sebagaimana mainstream dunia.
Kalimat Cak Nun yang masih terngiang di telinga saya hari ini: Anda harus bisa men-jariyah-kah Maiyah dalam kehidupan Anda. Kalau memang karena kelemahan, kita tidak bisa mengubah negara, tak bisa me'rekayasa' dunia sesuai dengan nilai yang telah diyakini. Paling tidak, yang harus diubah adalah negara dan dunia dalam diri masing-masing. Orang maiyah harus njangkungi kahanan (mengatasi keadaan). Njangkuni itu bukan ngungguli, tapi situasi dimana seseorang selalu berada di atas namun tetap sumeleh, sehingga sanggup mengatasi setiap tekanan yang mungkin datang bertubi-tubi. Pada keadaan itu, sangat terbuka kemungkinan bahwa orang maiyah tak akan mudah kintir dalam situasi apapun.
Pertanyaan yang kemudian harus menjadi perenungan bersama: apa yang harus dilakukan agar nilai yang telah bersama-sama digali itu bisa diakrabi tidak hanya hari ini, tapi bahkan bisa menjadi warisan sejarah bagi anak cucu kita mendatang?(*)
Ditulis oleh :
Em. Syuhada’,
Jamaah Maiyah Padhang Bulan Jombang berdomisili di Lamongan - Mojokerto.
Maiyah dan Gerakan Penghancuran
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>