PADA tahun 1968, Jogja mempunyai
kelompok sastra yang telah melahirkan penyair besar seperti Emha Ainun
Nadjib, Ebiet G. Ade, Linus Suryadi A. G., Landung R. Simatupang, dll.
Mereka tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK), yang biasa berkumpul di
kawasan Malioboro, di gedung Senisono, selatan Kantor Pos Besar.
Kelompok ini dipimpin oleh penyair Umbu Landu Paranggi. Tujuan utama
dari kelompok ini adalah untuk mewujudkan asah, asih, asuh di dalam
dunia sastra. Mereka belajar berproses menciptakan karya sastra,
pembacaan karya-karya mereka, diskusi. Mereka juga hadir dalam salah
satu rubrik dalam mingguan Pelopor Jogja.
Kelompok ini tidak lama eksis karena persoalan banyak dari karya
mereka yang dianggap menentang pemerintahan Orde Baru. Memang, saat itu
kebebasan berekspresi sudah mulai dibatasi. Kira-kira sekitar tahun 1978
dengan anggota sekitar 1200-an orang, kelompok ini bubar.
Jumat (15/3) malam, bertempat di EAN Rumah Budaya, Kadipiro, kelompok
PSK kembali berkumpul untuk memperingati 45 tahun keberadaan mereka.
Sastrawan-sastrawan tersebut saat ini telah memasuki usia senja dan
tidak sedikit pula yang telah mendahului untuk berpulang, seperti Budi
Ismanto, yang mempunyai gagasan untuk mengadakan reuni ini, dan Ragil
Suwarno Pragolapati.
Acara pada Jum’at malam itu diisi dengan banyak pembacaan puisi dari
anggota PSK, seperti karya Linus Suryadi AG yang berjudul Gerhana Bulan,
karya Suwarno Progolapati yang berjudul Yogya Selamat Pagi, karya Umbu
Landu Paranggi yang berjudul Denpasar Selatan dari Sebuah Lorong, dll.
Puisi-puisi tersebut dibacakan oleh para penyair muda Ada pula yang
berkenan untuk membacakan puisinya sendiri. Seperti Mustofa W. Hasyim,
yang membacakan puisinya yang berjudul Berita yang Menyakitkan di Pagi
Hari.
Salah satu penggalan puisinya seperti ini, “Kamu menanam pohon
tidak mengajak tanah. Kamu menanam pohon tidak mengajak air. Kamu
menanam pohon tidak mengajak musim. Kamu menanam pohon tidak mengajak
pohon. Kamu hanya menanam dirimu sendiri.”
Selain pembacaan puisi, ada pula pembacaan cerpen karya Arwan Tuti
Artha yang berjudul Main Catur. Untung Basuki membawakan musikalisasi
puisi dengan membawakan karya dari Slamet Riyadi Sabrawi yang berjudul
Perhelatan Pagi, puisi dari Iman Budi Santoso yang berjudul Kemerdekaan
Aqua dan Coca-cola serta Bunga-bunga puisi ciptaannya.
Banyak pula cerita tentang sejarah berdiri dan masa-masa jaya PSK di
dunia sastra. Pada saat itu, yang benar-benar terjun untuk
mendokumentasikannya hanyalah Suwarno Pragolapati (alm.) dan dokumentsi
tersebut saat ini dapat dilihat oleh siapa saja di lantai 2 EAN Rumah
Budaya.
Sebagai acara puncak, penyair Iman Budi Santoso menjelaskan rencana
kedepan PSK yang ingin merintis penerbitan majalah sastra. Hal tersebut
menjadi kerinduan teman-teman PSK karena hingga saat ini majalah sastra
dikuasai oleh Jakarta, padahal, banyak sekali sastrawan besar Indonesia
yang lahir dari Jogja.
Selain itu, majalah sastra yang akan bernama Sabana tersebut, akan
memberikan ruang pada komunitas-komunitas sastra yang tersebar di
seluruh Indonesia. Mereka sering kali terpinggirkan oleh pusat-pusat
sastra Indonesia, seperti Balai Bahasa, Horison, dll.
Menurut Iman Budi Santosa, komunitas-komunitas tersebut yang menjadi
penyangga utama kehidupan sastra Indonesia. Rencananya, Sabana akan
terbit perdana pada bulan Mei tahun ini.[]
Penulis : Sabbatiansyah Aji
Sumber : Jogjanews.com
Peringatan 45 Tahun Persada Studi Klub (PSK), Bersiap Terbitkan Majalah Sastra "Sabana"
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>