DI Maiyahan Mocopat Syafaat 17 Maret 2013 yang lalu saya mendapatkan bahan baru dari Cak Nun, yakni ketika beliau mengatakan bahwa Surat An Nur ayat 35 merupakan sebuah “metode penelitian“ yang canggih. Saya tentu saja bengong, kaget dan bercampur penasaran. Meski sudah doktor dan insya Allah hampir profesor, otak saya ternyata masih bundel, sehingga tidak pernah berfikir sejauh ini. Jika benar (dan kita harus yakin benar) apa yang dikatakan Cak Nun, barangkali ini satu “lompatan ilmiah” yang belum dilakukan oleh orang yang mengaku ilmuwan di mananpun di dunia ini.
Apa yang dikemukakan Cak Nun tersebut membuktikan bahwa Qur’an merupakan gudangnya ilmu pengetahuan. Sayang sampai saat ini orang hanya membacanya saja dalam arti literer, sehingga yang didapatkan „hanyalah“ kesadaran religus atau kepuasan spiritual, namun kurang mendapatkan informasi intelektual (yang nantinya juga akan berpuncak kepada spiritual).
Dalam dunia ilmiah, saat ini setidaknya ada dua metode penelitian yang sangat populer, yang umumnya juga sering dipertentangkan penggunaannya, dan bukan disandingkan. Metode itu ialah metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kualitatif-naturalistik memiliki karakter : 1). Bertujuan memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang suatu fenomena; 2). Bertujuan untuk memahami makna dari suatu fenomena; 3). Memandang fenomena secara utuh dan holistik; 4). Desain penelitian bersifat emergensi, artinya terbuka untuk disempurnakan.
Metode kualitatif memulai dengan definisi dan konsep yang umum, melakukan pengamatan dengan lensa yang lebar, mencari pola-pola antarhubungan dan antarkonsep yang sebelumnya tidak ditentukan. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif seperti ini, langkah yang diambil adalah : (l) membangun model teori melalui pengembangan unsur teori dan unsur kajian yang telah ada, (2) mengumpulkan data melalui informan sesuai dengan data yang dibutuhkan, (3) menetapkan peneliti sendiri sebagai instrumen utama penelitian, (4) melakukan analisis data secara kualitatif, yang dilakukan baik ketika berada di lapangan maupun setelah pekerjaan lapangan selesai.
Sedangkan yang disebut metode penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan logika positivistik dan menghindari hal-hal yang bersifat subyektif. Untuk itu, proses penelitiannya mengikuti prosedur yang telah direncanakan, karena tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyusun ilmu nomotetik yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum-hukum dari generalisasinya. Jadi subyek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuhkan, serta alat pengumpul data yang dipakai, harus sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat yang obyektif dan baku, melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
Karenanya dapat dipahami jika peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan obyek penelitian, dalam arti dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subyek penelitian. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul, dan dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik. Hasil akhir dari penelitian kuantitatif adalah generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan situasi.
Metode lain yang populer adalah grounded research diperkenalkan oleh Glaserdan Strauss (1967). Dalam metode ini berlawanan sama sekali dengan pendekatan klasikal, karena pada pendekatan klasikal, penelitian menggunakan logika deduksi-hipotesis-verifikatif atau disebut juga dengan penelitian verifikatif. Umumnya penelitian ex post facto, beranjak dari teori kemudian dijabarkan menjadi hipotesa-hipotesa sesuai dengan masalah yang ingin dipecahkan, lalu diadakan verifikasi untuk menguji kebenaran hipotesa.
Namun grounded research bertolak dari level fakta (empirik), dan dari fakta (empirik) tanpa teori bergerak menuju level konseptual. Pada pendekatan ini, dari data suatu konsep, hipotesa dan teori dibangun. Pada penelitian Grounded, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori dan hipotesis tertentu. Bahkan secara provokatif sering dikatakan agar peneliti ketika terjun ke lapangan dengan “kepala kosong” untuk menyingkirkan sikap, pandangan, keberpihakkan terhadap teori atau mazhab ilmu tertentu, yang dikhawatirkan menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori, dan sepenuhnya berpedoman kepada apa yang ditemukannya di lapangan
Walaupun barangkali peneliti memiliki desain atau perencanaan penelitian hingga tuntas, namun kesemuanya itu bersifat fleksibel, bahkan boleh jadi tidak dipakai sama sekali dalam proses penelitian sehingga tidak terjebak pada kecenderungan studi verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri dengan level konseptual teoritikal, dengan demikian, apa yang ditemukan berupa konsep, proposisi, dan teori, benar-benar berdasarkan data yang dikembangkan secara induktif.
Lalu Bagaimana An Nur 35 ?
Difirmankan dalam Surat An Nur 35 :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35)
Tentu banyak tafsir mengenai apa itu cahaya. Menurut Cak Nun, Surat An Nur 35 ini merupakan satu “metode penelitian” yang ditawarkan Allah kepada manusia secara luar biasa. Metode ini tentu saja mengatasi berbagai metode penelitian yang ditawarkan manusia sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Dalam An Nur 35 tersebut jelas Allah adalah cahaya itu sendiri, dan manusia diperintahkan untuk mencarinya! Bukankah proses mencari adalah “ruh” utama sebuah penelitian? Tentu surat an Nur 35 lebih lengkap lagi dibanding metode kualitatif-kuantitatif dan grounded di atas, karena pencarian yang dimaksud di surat ini sampai kepada puncak tertinggi, yakni Allah.
Sebaliknya metode penelitian yang ditawarkan manusia hanya sampai pada tingkat fenomena atau gejala alam dan sosial, yang hanya merupakan bagian kecil dari kehadiran Allah. Istilah nuurun ala nur sungguh luar biasa. Cahaya yang berlapis-lapis, dan manusia diperintahkan menuju cahaya ! Karena cahaya berlapis-lapis, berarti tidak ada kata berkesudahan. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya.” boleh jadi orang yang dikehendakiNya, untuk diresapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Ini hak prerogratif Allah, dan manusia harus mencarinya, atau menawarkan diri kepada Allah agar dipilih untuk diberi cahayaNya.
Perumpamaan ini adalah satu kerja besar mencari dan mencari. Kerja besar itu diantaranya meningkatkan daya kompatibilitas kita agar dapat menyesuaikan diri dengan “chip” yang diberikan Allah sehingga kerja “komputer” di badan dan jiwa kita sesuai dengan kehendakNya. Proses mempersiapkan diri ini adalah proses yang tak berkesudahan sampai optimal program “komputer” di badan dan jiwa kita, agar selalu up to date, tidak letoy apalagi hang! Istilah zujajah (tabung kaca) bisa jadi itu akal pikiran dan sebagainya sebagai alat untuk mengolah itu semua.
Firman Allah: “Perumpamaan cahaya-Nya,” ada dua pendapat berkaitan dengan dhamir (kata ganti orang ketiga) dalam ayat ini, yakni Dhamir tersebut kembali kepada Allah, atau perumpamaan petunjuk-Nya dalam hati seorang Mukmin seperti misykaah (lubang yang tak tembus) atau ada yang memaknai jasad manusia. Allah juga menyamakan kemurnian hati seorang Mukmin dengan lentera dari kaca yang tipis dan mengkilat, menyamakan hidayah al-Qur-an dan syari’at yang dimintanya dengan minyak zaitun yang bagus lagi jernih, bercahaya dan tegak, tidak kotor dan tidak bengkok.
Kalau Cak Nun mengatakan mishbaah itu qolbu, maka ia memiliki kompatibilitas yang tinggi sehingga tidak memiliki batas-batas. Karenanya qolbu harus ditempatkan dalam zujajah (tabung kaca) justru agar dapat “mengatur’ kompatibilitasnya. Boleh jadi qolbu ini ada beberapa tingkatannya. Pertama, qalbun ajrad (hati yang polos tak bernoda) di dalamnya seperti ada pelita yang bersinar. Kedua, qalbun aghlaf (hati yang tertutup) yang terikat tutupnya. Ketiga, qalbun mankuus (hati yang terbalik). Keempat, qalbun mushfah (hati yang terlapis). Adapun qalbun ajrad adalah hati seorang Mukmin, pelita dalam hatinya adalah cahaya, qalbun aghlaf adalah hati orang kafir, qalbun mankuus adalah hati orang munafik, yang mengetahui kemudian mengingkari. Qalbun mushfah adalah hati yang di dalamnya bercampur iman dan nifak, iman yang ada di dalamnya seperti tanaman yang disirami air yang segar dan nifak yang ada di dalamnya seperti bisul yang disirami darah dan nanah, mana dari dua unsur di atas yang lebih dominan, maka itulah yang akan menguasai hatinya.
Kalau Allah berfirman “Pelita itu di dalam kaca,” cahaya tersebut memancar dalam kaca yang bening, maka maksudnya adalah perumpamaan hati seorang Mukmin, (Dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,” Karena bintang apabila dilontarkan akan lebih bercahaya daripada kondisi-kondisi lainnya. Berbeda dengan cahaya matahari, bulan, bintang atau lampu, yang baru menampakkan benda-benda yang ia tuju, sebaliknya cahaya Allah adalah abadi dan akan menuntun manusia sampai menuju kebahagiaan sejati di akherat nanti.
Firman Allah: “Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” yaitu berasal dari minyak zaitun, pohon yang penuh berkah, yakni pohon zaitun, Yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” tempat tumbuhnya bukan di sebelah timur hingga tidak terkena sinar matahari di awal siang dan bukan pula di sebelah barat hingga tertutupi bayangan sebelum matahari terbenam, namun letaknya di tengah, terus disinari matahari sejak pagi sampai sore. Sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, sedang dan bercahaya (Tafsir Ibnu Katsir).
Tafsirnya barangkali seorang Mukmin yang terpelihara dari fitnah-fitnah. Adakalanya memang ia tertimpa fitnah, namun Allah meneguhkannya, ia selalu berada dalam empat keadaan berikut: Jika berkata ia jujur, jika menghukum ia berlaku adil, jika diberi cobaan ia bersabar dan jika diberi, ia bersyukur. Firman Allah: “(Yaitu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Firman ini juga menunjukkan kekuasaan bahwa Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah membimbing kepada hidayah bagi siapa yang Dia kehendaki. Selanjutnya pohon zaitun yang tidak tumbuh di Barat atau Timur juga menunjukkan ajaran Islam yang moderat, demokratis, dan di tengah-tengah, atau Rasululloh SAW mengatakan yang sedang-sedang saja.
Betapa dahsyatnya surat An Nur 35 ini karena menegaskan manusia untuk menuju cahaya. Ini berarti proses yang maha panjang, tidak berkesudahan, dan berarti pula manusia disuruh selalu berpikir, meneliti, berdiskusi, mempertanyakan kembali, tanpa putus-putusnya. Proses ini boleh jadi dapat dilalui dengan berbagai ”metode”, syariah, sahadah, mekanisme tauhid dan seterusnya untuk menuju cahaya Allah. Sudah pasti ”metode” untuk sampai pada tataran ini sangat canggih, melebihi metode penelitian ciptaan manusia.
Jadi ibadah mahdoh dan sebagainya, hanyalah ”metode” dan bukan ”tujuan”. Untuk menuju cahaya Allah, Rosululloh SAW mengajarkan ”metode riset aksi (action research)” di Madinah, yakni untuk memajukan kesejahteraan dan peradaban. Perubahan ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dst, hanya dapat diperoleh dari ”riset aksi” yang metodenya ada di Surat An Nur 35 tersebut. Orang yang sampai kepada cahaya Allah barangkali tidak dapat diukur atau dilihat secara pasti, namun setidaknya dapat dilihat dari output sosial-nya. Jadi jangan dibalik, dilihat input mahdoh-nya.
Ruar biasa!
Saratri Wilonoyudho
www.caknun.com
Apa yang dikemukakan Cak Nun tersebut membuktikan bahwa Qur’an merupakan gudangnya ilmu pengetahuan. Sayang sampai saat ini orang hanya membacanya saja dalam arti literer, sehingga yang didapatkan „hanyalah“ kesadaran religus atau kepuasan spiritual, namun kurang mendapatkan informasi intelektual (yang nantinya juga akan berpuncak kepada spiritual).
Dalam dunia ilmiah, saat ini setidaknya ada dua metode penelitian yang sangat populer, yang umumnya juga sering dipertentangkan penggunaannya, dan bukan disandingkan. Metode itu ialah metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kualitatif-naturalistik memiliki karakter : 1). Bertujuan memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang suatu fenomena; 2). Bertujuan untuk memahami makna dari suatu fenomena; 3). Memandang fenomena secara utuh dan holistik; 4). Desain penelitian bersifat emergensi, artinya terbuka untuk disempurnakan.
Metode kualitatif memulai dengan definisi dan konsep yang umum, melakukan pengamatan dengan lensa yang lebar, mencari pola-pola antarhubungan dan antarkonsep yang sebelumnya tidak ditentukan. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif seperti ini, langkah yang diambil adalah : (l) membangun model teori melalui pengembangan unsur teori dan unsur kajian yang telah ada, (2) mengumpulkan data melalui informan sesuai dengan data yang dibutuhkan, (3) menetapkan peneliti sendiri sebagai instrumen utama penelitian, (4) melakukan analisis data secara kualitatif, yang dilakukan baik ketika berada di lapangan maupun setelah pekerjaan lapangan selesai.
Sedangkan yang disebut metode penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan logika positivistik dan menghindari hal-hal yang bersifat subyektif. Untuk itu, proses penelitiannya mengikuti prosedur yang telah direncanakan, karena tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyusun ilmu nomotetik yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum-hukum dari generalisasinya. Jadi subyek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuhkan, serta alat pengumpul data yang dipakai, harus sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat yang obyektif dan baku, melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
Karenanya dapat dipahami jika peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan obyek penelitian, dalam arti dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subyek penelitian. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul, dan dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik. Hasil akhir dari penelitian kuantitatif adalah generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan situasi.
Metode lain yang populer adalah grounded research diperkenalkan oleh Glaserdan Strauss (1967). Dalam metode ini berlawanan sama sekali dengan pendekatan klasikal, karena pada pendekatan klasikal, penelitian menggunakan logika deduksi-hipotesis-verifikatif atau disebut juga dengan penelitian verifikatif. Umumnya penelitian ex post facto, beranjak dari teori kemudian dijabarkan menjadi hipotesa-hipotesa sesuai dengan masalah yang ingin dipecahkan, lalu diadakan verifikasi untuk menguji kebenaran hipotesa.
Namun grounded research bertolak dari level fakta (empirik), dan dari fakta (empirik) tanpa teori bergerak menuju level konseptual. Pada pendekatan ini, dari data suatu konsep, hipotesa dan teori dibangun. Pada penelitian Grounded, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori dan hipotesis tertentu. Bahkan secara provokatif sering dikatakan agar peneliti ketika terjun ke lapangan dengan “kepala kosong” untuk menyingkirkan sikap, pandangan, keberpihakkan terhadap teori atau mazhab ilmu tertentu, yang dikhawatirkan menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori, dan sepenuhnya berpedoman kepada apa yang ditemukannya di lapangan
Walaupun barangkali peneliti memiliki desain atau perencanaan penelitian hingga tuntas, namun kesemuanya itu bersifat fleksibel, bahkan boleh jadi tidak dipakai sama sekali dalam proses penelitian sehingga tidak terjebak pada kecenderungan studi verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri dengan level konseptual teoritikal, dengan demikian, apa yang ditemukan berupa konsep, proposisi, dan teori, benar-benar berdasarkan data yang dikembangkan secara induktif.
Lalu Bagaimana An Nur 35 ?
Difirmankan dalam Surat An Nur 35 :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35)
Tentu banyak tafsir mengenai apa itu cahaya. Menurut Cak Nun, Surat An Nur 35 ini merupakan satu “metode penelitian” yang ditawarkan Allah kepada manusia secara luar biasa. Metode ini tentu saja mengatasi berbagai metode penelitian yang ditawarkan manusia sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Dalam An Nur 35 tersebut jelas Allah adalah cahaya itu sendiri, dan manusia diperintahkan untuk mencarinya! Bukankah proses mencari adalah “ruh” utama sebuah penelitian? Tentu surat an Nur 35 lebih lengkap lagi dibanding metode kualitatif-kuantitatif dan grounded di atas, karena pencarian yang dimaksud di surat ini sampai kepada puncak tertinggi, yakni Allah.
Sebaliknya metode penelitian yang ditawarkan manusia hanya sampai pada tingkat fenomena atau gejala alam dan sosial, yang hanya merupakan bagian kecil dari kehadiran Allah. Istilah nuurun ala nur sungguh luar biasa. Cahaya yang berlapis-lapis, dan manusia diperintahkan menuju cahaya ! Karena cahaya berlapis-lapis, berarti tidak ada kata berkesudahan. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya.” boleh jadi orang yang dikehendakiNya, untuk diresapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Ini hak prerogratif Allah, dan manusia harus mencarinya, atau menawarkan diri kepada Allah agar dipilih untuk diberi cahayaNya.
Perumpamaan ini adalah satu kerja besar mencari dan mencari. Kerja besar itu diantaranya meningkatkan daya kompatibilitas kita agar dapat menyesuaikan diri dengan “chip” yang diberikan Allah sehingga kerja “komputer” di badan dan jiwa kita sesuai dengan kehendakNya. Proses mempersiapkan diri ini adalah proses yang tak berkesudahan sampai optimal program “komputer” di badan dan jiwa kita, agar selalu up to date, tidak letoy apalagi hang! Istilah zujajah (tabung kaca) bisa jadi itu akal pikiran dan sebagainya sebagai alat untuk mengolah itu semua.
Firman Allah: “Perumpamaan cahaya-Nya,” ada dua pendapat berkaitan dengan dhamir (kata ganti orang ketiga) dalam ayat ini, yakni Dhamir tersebut kembali kepada Allah, atau perumpamaan petunjuk-Nya dalam hati seorang Mukmin seperti misykaah (lubang yang tak tembus) atau ada yang memaknai jasad manusia. Allah juga menyamakan kemurnian hati seorang Mukmin dengan lentera dari kaca yang tipis dan mengkilat, menyamakan hidayah al-Qur-an dan syari’at yang dimintanya dengan minyak zaitun yang bagus lagi jernih, bercahaya dan tegak, tidak kotor dan tidak bengkok.
Kalau Cak Nun mengatakan mishbaah itu qolbu, maka ia memiliki kompatibilitas yang tinggi sehingga tidak memiliki batas-batas. Karenanya qolbu harus ditempatkan dalam zujajah (tabung kaca) justru agar dapat “mengatur’ kompatibilitasnya. Boleh jadi qolbu ini ada beberapa tingkatannya. Pertama, qalbun ajrad (hati yang polos tak bernoda) di dalamnya seperti ada pelita yang bersinar. Kedua, qalbun aghlaf (hati yang tertutup) yang terikat tutupnya. Ketiga, qalbun mankuus (hati yang terbalik). Keempat, qalbun mushfah (hati yang terlapis). Adapun qalbun ajrad adalah hati seorang Mukmin, pelita dalam hatinya adalah cahaya, qalbun aghlaf adalah hati orang kafir, qalbun mankuus adalah hati orang munafik, yang mengetahui kemudian mengingkari. Qalbun mushfah adalah hati yang di dalamnya bercampur iman dan nifak, iman yang ada di dalamnya seperti tanaman yang disirami air yang segar dan nifak yang ada di dalamnya seperti bisul yang disirami darah dan nanah, mana dari dua unsur di atas yang lebih dominan, maka itulah yang akan menguasai hatinya.
Kalau Allah berfirman “Pelita itu di dalam kaca,” cahaya tersebut memancar dalam kaca yang bening, maka maksudnya adalah perumpamaan hati seorang Mukmin, (Dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,” Karena bintang apabila dilontarkan akan lebih bercahaya daripada kondisi-kondisi lainnya. Berbeda dengan cahaya matahari, bulan, bintang atau lampu, yang baru menampakkan benda-benda yang ia tuju, sebaliknya cahaya Allah adalah abadi dan akan menuntun manusia sampai menuju kebahagiaan sejati di akherat nanti.
Firman Allah: “Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” yaitu berasal dari minyak zaitun, pohon yang penuh berkah, yakni pohon zaitun, Yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” tempat tumbuhnya bukan di sebelah timur hingga tidak terkena sinar matahari di awal siang dan bukan pula di sebelah barat hingga tertutupi bayangan sebelum matahari terbenam, namun letaknya di tengah, terus disinari matahari sejak pagi sampai sore. Sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, sedang dan bercahaya (Tafsir Ibnu Katsir).
Tafsirnya barangkali seorang Mukmin yang terpelihara dari fitnah-fitnah. Adakalanya memang ia tertimpa fitnah, namun Allah meneguhkannya, ia selalu berada dalam empat keadaan berikut: Jika berkata ia jujur, jika menghukum ia berlaku adil, jika diberi cobaan ia bersabar dan jika diberi, ia bersyukur. Firman Allah: “(Yaitu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Firman ini juga menunjukkan kekuasaan bahwa Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah membimbing kepada hidayah bagi siapa yang Dia kehendaki. Selanjutnya pohon zaitun yang tidak tumbuh di Barat atau Timur juga menunjukkan ajaran Islam yang moderat, demokratis, dan di tengah-tengah, atau Rasululloh SAW mengatakan yang sedang-sedang saja.
Betapa dahsyatnya surat An Nur 35 ini karena menegaskan manusia untuk menuju cahaya. Ini berarti proses yang maha panjang, tidak berkesudahan, dan berarti pula manusia disuruh selalu berpikir, meneliti, berdiskusi, mempertanyakan kembali, tanpa putus-putusnya. Proses ini boleh jadi dapat dilalui dengan berbagai ”metode”, syariah, sahadah, mekanisme tauhid dan seterusnya untuk menuju cahaya Allah. Sudah pasti ”metode” untuk sampai pada tataran ini sangat canggih, melebihi metode penelitian ciptaan manusia.
Jadi ibadah mahdoh dan sebagainya, hanyalah ”metode” dan bukan ”tujuan”. Untuk menuju cahaya Allah, Rosululloh SAW mengajarkan ”metode riset aksi (action research)” di Madinah, yakni untuk memajukan kesejahteraan dan peradaban. Perubahan ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dst, hanya dapat diperoleh dari ”riset aksi” yang metodenya ada di Surat An Nur 35 tersebut. Orang yang sampai kepada cahaya Allah barangkali tidak dapat diukur atau dilihat secara pasti, namun setidaknya dapat dilihat dari output sosial-nya. Jadi jangan dibalik, dilihat input mahdoh-nya.
Ruar biasa!
Saratri Wilonoyudho
www.caknun.com
"Metode Penelitian" itu Bernama An-Nur 35
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>