• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • BH, Emha Yang Gelisah, Emha Yang Bercerita
  • Tak Hanya Isi Beha yang Bikin 'Telan Ludah', Omset Jual Beha juga Mampu Membuat Mata Terpana
  • Fragmen Kaum Fundamentalis
  • Padhangmbulan: Kolaborasi Terbang dan Indahnya Pelangi Indonesia Raya
  • DOWNLOAD APLIKASI PENGOLAH NILAI IJAZAH SD
  • Padhangmbulan: Revolusi yang Evolusioner
  • Peringatan 45 Tahun Persada Studi Klub (PSK), Bersiap Terbitkan Majalah Sastra "Sabana"

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Kolom Cak Nun / Demokrasi Otentik

Wednesday, March 20, 2013

Demokrasi Otentik

Baca Juga

DEMOKRASI otentik adalah rakyat memilih pemimpinnya tanpa perwakilan. Menggunakan sejumlah perangkat komunikasi, mengajukannya langsung kepada KPU. Tentu harus jelas database penduduk, dikontrol setiap huruf dan angkanya, sehingga tidak terjadi manipulasi dan overlapping.

Setiap warga negara bebas mengajukan nama capres serta level-level pemimpin di bawahnya. Usah menunggu lima tahun sekali. Kapan saja tinggal kirim. KPU yang menentukan dateline suatu periode pemilihan. Kalau sudah matang tradisi otentisitas pemilihan seperti ini, warga negara bisa kirim juga nama pilihan menteri-menteri mereka.

Bisa jadi muncul 100.000 capres, 1 juta calon menteri, dan ranking I bisa saja kuotanya di bawah 20%. Dalam kasus ini, dimungkinkan penyelenggaraan babak final dengan cara coblosan di TPS. Kalau capres terpilih hanya didukung oleh jumlah yang tidak mencukupi logika kepemimpinan nasional, itu berarti hati dan pikiran rakyat memang belum siap atau tidak cocok dengan formula negara kesatuan.

Media massa dipersilakan, dengan latar belakang peta modal dan rekayasa politik: bermain dan menggiring opini ke publik siapa tokoh yang pantas dan yang tak layak. Kalau hasilnya terbukti rakyat tidak memiliki filter dan independensi berpikir tentang calon pemimpin: itu artinya rakyat belum siap bernegara.

***

Parpol dan DPR di mana? Kasus pilgub DKI menjelaskan bahwa rakyat memilih tidak berdasarkan atau melalui logika aspirasi dan ideologi parpol. Dimensi parpol dan perwakilan sudah tidak riil dalam kesadaran politik rakyat. Bahkan, ketika dulu rakyat benar atau keliru mencoblos SBY, sebenarnya secara substansial itu bukan peristiwa politik dan kenegaraan, meskipun secara “teater” memang mereka berduyun-duyun ke TPS.
“Coblosan” itu pekerjaan rutin lima tahun sekali. Itu toleransi budaya. Dipertimbangkan tidak lebih serius dibandingkan ketika akan mandi atau masak untuk makan siang. Apalagi kalau ada pembagian uang Rp 50.000: itu adalah peristiwa rezeki Rp 50.000. Tidak harus ada hubungan dengan kepentingan nasional, kedaulatan rakyat, atau tanggung jawab kenegaraan.

Rakyat Indonesia sangat mandiri. Kalau ada negara dan pemerintah, mereka menampungnya. Sabar mengakomodasikan perilakunya, seburuk apa pun. Selebihnya, mereka cari nafkah sendiri. Bikin putaran-putaran perekonomian sendiri. Rakyat menolong perusahaan-perusahaan besar dengan menyiapkan warung-warung kecil untuk makan karyawan mereka. Pertolongan terbesar rakyat Indonesia kepada negara dan pemerintahnya adalah kesetiaan membayar pajak, tanpa menuntut pemenuhan kewajiban negara dan pemerintah kepada mereka.

”Orang bijak bayar pajak”. Tepat sekali. Kalau rakyat mengandalkan rasionalitas bernegara, mereka pasti cenderung malas atau bahkan menolak bayar pajak. Dengan kadar pemenuhan kewajiban negara dan pemerintah atas rakyat yang sangat minimal, hanya kebijakan dan kearifan hati rakyat yang luar biasa yang memungkinkan mereka ikhlas membayar pajak.

***

Parpol-parpol berhasil menyelenggarakan retakan sosial, menyempurnakan pecah belah rakyat oleh ketidakdewasaan beragama, makin meningkatnya jumlah aliran, mazhab, golongan, geng, klub. Indonesia juga makin hangat oleh tawuran antarpelajar, mahasiswa, kampung, suku. Tawuran beda-beda modusnya, formulanya, aneka ragam kualitasnya. Ada tawuran fisik, tawuran kepentingan golongan, tawuran paham dan tafsir, tawuran eksistensi, tawuran untuk saling menegasikan dan meniadakan yang lain.

Yang tenang-tenang hanya FPI. Mereka arif untuk mengambil jarak dari keributan masyarakat dan substansi kebrutalan negara. Di usia tua sekarang ini, saya juga sedang ditawari untuk masuk menjadi anggota FPI, Front Pemancing Indonesia.

Parpol-parpol pasti tidak tawuran dengan adu celurit, tetapi nafsunya besar untuk saling memusnahkan. Bahkan bukan hanya antarparpol, antarkelompok atau individu di dalam parpol pun diam-diam tawuran, kalau perlu pakai santet. Lahir kutu-kutu loncat, bunglon, ”pagi tempe sore kedele”. Bahkan islah dan tabayyun antara Nak Imin dan almarhum Paklik Dur baru akan diselenggarakan kelak di antara gerbang surga dan neraka.

***

Andaikan parpol punya anggota pasti, bukan konstituen, mungkin lebih sederhana masalahnya. Pemimpin yang terpilih langsung diketahui dari siapa yang diajukan parpol yang anggotanya terbanyak, tak perlu bikin “turnamen” lagi. Dananya bisa dipakai untuk penggandaan rel kereta api di seluruh Jawa, pengadaan transportasi kereta api di pulau-pulau lain, memperbanyak jalan tol, pelebaran jalan, UKM, atau langsung saja duit itu dikendurikan untuk rakyat.

Tapi mana bisa. Kan, harus ubah undang-undang. Sedangkan yang berhak ubah undang-undang justru “terdakwa” utama dalam kasus penyakit kanker kenegaraan ini. Jadi, sekarang rakyat berhadapan dengan pertanyaan: percaya atau tidak kepada wakil-wakil mereka? Atau: rakyat perlu wakil atau tidak? Atau: hitung kembali bagaimana menentukan wakil. Jawaban rakyat mungkin begini: ”Silakan saja. Hidup kami tidak bergantung pada itu semua.”

Muhammad Ainun Nadjib

Tweet

Related Posts

Demokrasi Otentik
4/ 5
Oleh Admin
Admin Pada Wednesday, March 20, 2013 Komentar
Pejalan Sunyi

Tentang Pejalan Sunyi

Pejalan Sunyi berusaha berbagi apa saja yang bermanfaat. Jika menurut Anda, artikel dalam blog ini bermanfaat, silahkan dibagi, jangan lupa meletakkan link Demokrasi Otentik sebagai sumbernya. Tabik!.

Berlanggangan via Surel

Suka dengan artikel di atas? Silahkan berlangganan melalui email untuk mendapatkan artikel terbaru dari Pejalan Sunyi.

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design