SEORANG Ibu berkata kepada putranya yang sedang asyik bermain mobil-mobilan, “Ariefff, kok masih bermain sih, Mama kan sudah bilang dari tadi, kamu sekarang harus belajar. Minggu depan sudah semester. Arif juga belum mengerjakan PR, sebentar lagi kan arif harus berangkat les aritmatika."
Si Arief pun menyahut, “Aaaah Mama, nanti dulu deh, Arief kan mainnya baru sebentar banget, belum selesai nih Ma. Ini kan ambulans, ambulansnya lagi antar Lala ke rumah sakit, nggak boleh berhenti di jalan harus cepat sampai, kalau brenti-brenti kan kasian Lalanya, nanti nggak cepat sembuh. Brem brem brem brem breemmmmmmmmm................”
***
Sepenggal dialog diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang bermain. Anak-anak sangat menikmati permainan sehingga tidak jarang mereka lupa makan, lupa belajar, bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya jika sedang asyik bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau belajar. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan senangnya cuma bermain saja. Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar?
Jika melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 - 1980an), anak-anak sekarang justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar daripada bermain. Beberapa kritikan para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) sudah sering kali terdengar, namun kenyataan yang terjadi hampir sebagian besar waktu anak terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah.
Bahkan kenyataan hari ini adalah sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer, dan lain-lain. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan PR, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, kapan waktu anak-anak untuk bermain? Apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain?
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Melalui bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah:
Si Arief pun menyahut, “Aaaah Mama, nanti dulu deh, Arief kan mainnya baru sebentar banget, belum selesai nih Ma. Ini kan ambulans, ambulansnya lagi antar Lala ke rumah sakit, nggak boleh berhenti di jalan harus cepat sampai, kalau brenti-brenti kan kasian Lalanya, nanti nggak cepat sembuh. Brem brem brem brem breemmmmmmmmm................”
***
Sepenggal dialog diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang bermain. Anak-anak sangat menikmati permainan sehingga tidak jarang mereka lupa makan, lupa belajar, bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya jika sedang asyik bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau belajar. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan senangnya cuma bermain saja. Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar?
Jika melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 - 1980an), anak-anak sekarang justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar daripada bermain. Beberapa kritikan para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) sudah sering kali terdengar, namun kenyataan yang terjadi hampir sebagian besar waktu anak terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah.
Bahkan kenyataan hari ini adalah sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer, dan lain-lain. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan PR, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, kapan waktu anak-anak untuk bermain? Apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain?
Memang, orang tua seringkali ambisius terhadap anak-anaknya. Mereka ingin anaknya sepintar dan sepandai mungkin, sehingga harus mengikutkan anak pada berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk bermain mestinya tidak diabaikan. Bermain bukan hal yang tidak bermanfaat bagi anak, karena bermain adalah hal yang penting bagi perkembangan fisik dan mental anak.Bermain
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Melalui bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah:
- Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
- Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
- Menyenangkan dan dinikmati.
- Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
- Dilakukan secara aktif dan sadar.
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenangkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.
Manfaat Bermain
Mengingat demikian pentingnya bermain, orang tua mungkin berpikir hal-hal tersebut di atas bisa didapatkan anak dengan cara belajar (study). Justru dengan belajar anak bisa pintar, sedangkan jika bermain terus-terusan anak tidak bisa pintar. Pendapat ini memang ada benarnya, terutama jika yang dimaksud kepintaran hanya berhubungan dengan kemampuan akademik seperti membaca, menulis dan berhitung.
Namun yang harus menjadi kesadaran, bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kepintaran bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan akademis bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan anak untuk berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan hanya dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas dari segala beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.
Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia, sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru. Semua itu dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Orang tua akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) orang tua juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orang tuanya dan keluarganya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.
Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide original-lah yang keluar dari pikiran anak-anak, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi orang tua. Mengingat bahwa tidak hanya orang tua yang mengalami stres, anak-anak juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?
Apakah anak perlu bermain? Tentu saja sudah jelas jawabannya ya. Mungkin selama ini yang dikawatirkan orang tua adalah jika anak terlalu banyak bermain, maka ia menjadi enggan atau bahkan tidak mau belajar. Kembali kepada ilustrasi awal, yang perlu dipastikan adalah apakah anak masih punya waktu untuk bermain, setelah kegiatan belajar yang padat. Kalau memang sebenarnya anak punya waktu bermain, lalu berlanjut terus hingga tidak mau belajar, maka masalahnya adalah bagaimana kita memotivasi anak agar mau belajar.
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua untuk membimbing anaknya dalam bermain sehingga benar-benar berguna bagi anak tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya, tapi dengan bimbingan yang tepat dari orang tua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orang tua pun tentunya akan bahagia. (jp)
Manfaat Bermain
Mengingat demikian pentingnya bermain, orang tua mungkin berpikir hal-hal tersebut di atas bisa didapatkan anak dengan cara belajar (study). Justru dengan belajar anak bisa pintar, sedangkan jika bermain terus-terusan anak tidak bisa pintar. Pendapat ini memang ada benarnya, terutama jika yang dimaksud kepintaran hanya berhubungan dengan kemampuan akademik seperti membaca, menulis dan berhitung.
Namun yang harus menjadi kesadaran, bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kepintaran bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan akademis bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan anak untuk berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan hanya dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas dari segala beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.
Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia, sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru. Semua itu dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Orang tua akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) orang tua juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orang tuanya dan keluarganya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.
Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide original-lah yang keluar dari pikiran anak-anak, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi orang tua. Mengingat bahwa tidak hanya orang tua yang mengalami stres, anak-anak juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?
Apakah anak perlu bermain? Tentu saja sudah jelas jawabannya ya. Mungkin selama ini yang dikawatirkan orang tua adalah jika anak terlalu banyak bermain, maka ia menjadi enggan atau bahkan tidak mau belajar. Kembali kepada ilustrasi awal, yang perlu dipastikan adalah apakah anak masih punya waktu untuk bermain, setelah kegiatan belajar yang padat. Kalau memang sebenarnya anak punya waktu bermain, lalu berlanjut terus hingga tidak mau belajar, maka masalahnya adalah bagaimana kita memotivasi anak agar mau belajar.
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua untuk membimbing anaknya dalam bermain sehingga benar-benar berguna bagi anak tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
Sekalipun dunia bermain adalah dunia anak-anak, tapi anak membutuhkan peran orang tua untuk dapat berada dalam dunianya itu secara aman dan nyaman. Yang perlu dilakukan bukan anak harus memasuki dunia orang tua, tapi orang tualah yang harus masuk pada dunia anak. Ketika anak menaiki kursi, bagi dunia orang tua mungkin tidak sopan dan kurang ajar. Tapi tahukah kita, bahwa anak sesungguhnya sedang berimajinasi dalam dunianya bahwa ia sedang naik pesawat terbang, atau semacamnya.
- Pastikan dalam jadwal kesibukan anak sehari-hari, masih terdapat waktu luang yang cukup untuk anak bermain.
- Sesekali ikut bermain bersama anak, pahami dirinya, kegembiraan, ketakutan dan kebutuhannya. Siapa tahu setelah itu tidak lagi menjadi orang tua yang terlalu ambisius.
- Mendukung kreativitas permainanan anak, sejauh apa yang diperbuat anak dalam permainan bukanlah perbuatan yang kurang ajar, tidak merugikan, tidak menyakiti dan tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.
- Membimbing dan mengawasi anak dalam bermain, tapi tidak over-protective. Anak mungkin tidak tahu kalau apa yang dilakukannya dalam permainan adalah perbuatan yang salah, karena itu mereka perlu dibimbing. Tapi jangan bersikap over-protective sampai menghalangi kebebasannya. Misalnya, kalau anak bermain lari-larian dan pernah terjatuh adalah wajar, jadi tidak perlu melarang anak bermain lari-lari karena takut anak jatuh. Tapi kalau anak mengebut ketika bermain sepeda, tentunya perlu dilarang karena berbahaya.
Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya, tapi dengan bimbingan yang tepat dari orang tua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orang tua pun tentunya akan bahagia. (jp)
dibahasakan kembali dari tulisan Martina Rini S. Tasmin, SPsi.
Betulkah Belajar bagi Anak Lebih Penting Daripada Bermain?
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>