Dari sumur padhangmbulan 15/08/2011
BETAPA luas dan mendalam percikan ilmu yang ditawarkan oleh sumur Padhang mBulan. Pengantar yang disampaikan oleh Cak Nun, Cak Fuad, maupun Mas Toto Raharjo di awal-awal pengajian yang saya tulis hingga lima bagian sebelumnya, sesungguhnya pintu pembuka dari gerbang ilmu yang ingin disuguhkan pada malam hari itu. Maka, ketika waktu beranjak semakin malam, cipratan-cipratan informasi yang disampaikan, refleksi-refleksi atas sejumlah kasus baik di luar maupun dalam negeri, seluruhnya dikemas menjadi ilmu hingga mengerucutkan sebuah kesadaran, bagaimana mestinya seorang manusia berlaku dalam kehidupan.
“Teman-teman sekalian, dengan semua hal yang telah dituturkan, bukan berarti kita akan membuat negara baru, ingin mengganti proklamasi 1945, anti tahun Masehi, dan lain sebagainya. Tujuan kita cuman satu, supaya kita semua sadar dan ingat, kapan dalam kehidupan ini harus ikut Tuhan, ataukah harus membuat sendiri sesuai dengan kemampuan masing-masing,” demikian ditegaskan Cak Nun menggarisbawahi uraian-uraian yang diungkapkan.
“Nek awakmu melok Gusti Allah, tuntunan bal-balan gak onok ndek Qur’an. “Ya ayyuhannas bal-balono, Ya ayyuhannas ping-pongo, Ya ayyuhannas nepilo, Ya ayyuhannas ngarito” gak onok. Nepil manuk gak onok tuntunane ndek Qur’an. Kalau yang dimaksud tuntunan adalah kalimat eksplisit atau terang-terangan menyebut suatu pekerjaan. Tapi kita kan boleh bal-balan untuk menyehatkan badan.”
Artinya, memang terbuka ruang kebebasan bagi manusia untuk menciptakan sejumlah kreatifitas dalam kehidupan. Bahwa manusia harus berani membuka cakrawala berpikirnya adalah kemutlakan yang tak bisa ditawar. Meskipun pada saat yang sama, keputusan atas kebebasan berkreatifitas itu sendiri tetap harus berada pada koridor yang matang, tidak melanggar syareat, dan merupakan buah dari kematangan-kematangan intelektual maupun pikiran.
“Bebas itu untuk menemukan keterbatasan, bukan bebas untuk kebebasan. “ demikian ditandaskan oleh Cak Nun. ”Bahwa untuk paham batas, Anda harus bebas dulu. Untuk bisa berhari-raya, Anda harus berpuasa dahulu. Untuk supaya Anda nduwe bojo sitok, awakmu kudu ndelok wong wedok minimum satus. Jadi, dari seluruh perempuan yang telah Anda “pandang” itu, Anda tetap harus hanya memilih satu. Kalau Anda bebas memandang wong wedok sak akeh-akehe, lantas njajal sak akeh-akehe, itu bukan kebebasan namanya,” seloroh Cak Nun yang tentu saja disambut tawa oleh para jama’ah.
Jadi, kebebasan yang dimaksud Cak Nun bukan berarti bebas dalam arti sebebas-bebasnya. Kebebasan yang ditawarkan adalah membuka cakrawala seluas-luasnya untuk menentukan satu rumah. Sebab menurut Cak Nun, ideologi kebebasan selama ini sering disalah-artikan oleh manusia-manusia modern. Padahal sejatinya, inti keselamatan kehidupan justru terletak pada keterbatasan. Dalam islam, tuntunannya jelas seperti yang dicontohkan Rasulullah, makan jangan sampai kenyang, jangan makan sebelum lapar, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut merupakan batas yang harus disadari demi keselamatan umat manusia?
***
Berangkat dari hal itulah, Cak Nun lantas menuturkan bahwa terbangan yang dilaksanakan pada malam hari itu bukan hanya tidak haram, tapi bebas dikreatifi tangan-tangan manusia, sepanjang tidak campur-adukkan dengan ibadah mahdlah. Ideologi yang selama ini diyakini, baik oleh Cak Nun maupun Kiai Kanjeng, sederhana: Apapun saja perilaku yang dikerjakan dalam kehidupan, nutuk saron, nyaduk bal, nabuh terbang, dan lain-lain, harus ada hubungannya dengan ridlallah. ”Gawe opo cangkem muni nek gak ono hubungane karo ridlallah, gawe opo tangan ngaploki terbang nek gak oleh ridlallah, mangkane terbangan ayo digawe shalawatan, digawe barang-barang sing apik. Ini supaya Anda tahu, bahwa ini juga merupakan hasil ijtihad,” demikian ditegaskan Cak Nun.
Maka dimulailah “pertunjukan” pada malam hari itu. Cak Nun meminta salah-satu penabuh terbang ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) dari Menturo untuk menjelaskan jenis-jenis pukulan pada terbang Hadrah sekaligus mempraktekannya satu persatu. Setidaknya ada empat jenis pukulan yang dikenal dalam Hadrah, ialah Yahum, Jros, Tretek (Wedokan), dan Lanangan. Ketika satu persatu jenis pukulan itu selesai didemontrasikan, Cak Nun meminta dibunyikan secara bersama-sama. Alhasil, dari jenis pukulan yang berbeda, ketika dipersatukan pada saat yang sama dengan kesetiaan mengikuti ritme dan irama masing-masing pukulan, ternyata menghasilkan bunyi yang enak didengar. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?
Selanjutnya, Cak Nun meminta personil Kiai Kanjeng untuk menabuh terbang seperti yang dilakukan oleh ISHARI. Seperti diketahui, Kiai Kanjeng adalah muridnya ISHARI. Beberapa waktu yang lampau, Kiai Kanjeng pernah berguru kepada ISHARI khusus untuk belajar menabuh terbang. Ketika model terbang ISHARI-an yang pelakunya adalah orang-orang desa dengan kultur dan budaya yang berbeda, tatkala di-ijtihadi oleh Kiai Kanjeng dengan pelaku orang-orang kota dan modern dalam tanda kutip, ternyata menghasilkan bunyi dan warna nada yang berbeda pula. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?
“Dalam musik barat secara teori, ada istilah birama atau sukat. Birama yang dipakai oleh teman-teman ISHARI adalah 5/4. Dan ini tidak umum, sekaligus aneh bagi pelaku musik di dunia barat.” Kata Mas Jijit, salah satu personel Kiai Kanjeng menjelaskan.
Tidak umumnya itu sendiri menurut Cak Nun karena terbang ISHARI memang unik dan tidak semua orang mampu memainkan. Cak Nun sendiri mengakui, ketika berguru kepada ISHARI, Kiai Kanjeng sempat mengalami kesulitan sedemikian rupa pada jenis pukulan tertentu. Hal itu disebabkan karena “hati” pelakunya memang tidak sama. Menurut Cak Nun, kesulitan itu muncul sangat berhubungan dengan cara hidup, kebudayaan, dan tradisi kehidupan sehari-hari masing-masing pelakunya.
Begitulah, dari soal terbang ternyata bisa ditarik garis lurus pada soal kehidupan yang lebih luas. Sebelum mempersilahkan grup yang lebih muda, yaitu Grup Banjari dari Sidoarjo untuk melakukan demonstrasi, Cak Nun terlebih dulu meminta ISHARI dan Kiai Kanjeng untuk membunyikan terbangnya bersama-sama. Itu dilakukan untuk membuka ruang imajinasi para jamaah, bahwa terbangan bukan sekedar terbangan. Apapun jenis perbedaan, jika ada keikhlasan untuk mempersatukan diri, meskipun tetap harus berkomitmen pada kediriannya masing-masing, tak ada kata tidak mungkin untuk dilakukan. Bahwa terbang sangat erat kaitannya dengan Indonesia yang multikultural.
Berangkat dari terbang pula, Cak Nun membelokkannya kepada soal tafsir. Hal itu bermula dari pertanyaan asal-muasal nama pukulan dalam terbang ISHARI antara Yahum, Jros, Tretek, dan Lanangan, yang oleh Guk Tarwi (salah-satu penabuh terbang) dijelaskan, bahwa nama-nama tersebut berdasarkan nada suara yang dihasilkan. Merefleksikan penjelasan itu, Cak Nun kemudian mengatakan, bahwa bunyi terbang ternyata menciptakan refleksi di perasaan orang, yang dikeluarkan kembali melalui mulut dengan cita rasa khas orang yang bersangkutan. Pada titik inilah yang harus digaris-bawahi, bahwa jika orang lain yang mendengarkan, bunyi yang dihasilkan belum tentu sama dengan nama-nama tersebut.
“Itulah tafsir,” kata Cak Nun. Ia kemudian memberikan contoh suara ayam berkokok. Di Jawa Timur, ayam berkokok ditirukan oleh mulut orang sehingga terciptalah istilah “kukuruyuk”. “Apakah bunyi ayam berkokok pasti kukuruyuk? Tidak!” tegas Cak Nun, “Jangan samakan bunyi ayam berkokok dengan bunyi yang keluar dari mulutmu. Kukuruyuk itu muncul karena telingamu mendengarkan, engkau rasakan dengan hatimu, dan yang keluar dari mulutmu adalah kukuruyuk. Hal tersebut boleh jadi berbeda pada sejumlah orang di tempat lain dengan perbedaan yang sangat jauh. Di Jawa Barat misalnya, orang menyebut ayam berkokok dengan kokorongkong. Lho, lak ado nemen se....” papar Cak Nun.
Banyak hal dicontohkan terkait tafsir. Misalnya, orang Jawa Timur menyebut tabrakan kereta dengan “bress”, sementara orang jawa tengah “prek”. Kata “merah yang teramat sangat (banget abange)” direfleksikan dengan “uaabang” oleh orang Jawa Timur, dan “abing” oleh orang Jawa Tengah. Masing-masing kata sesungguhnya tafsir orang yang bersangkutan sesuai dengan cita rasanya masing-masing. Maka, Cak Nun mengharapkan antara yang uabang dengan yang abing tidak bertengkar hanya karena menganggap kata-kata yang dipakainya paling benar. Sebab, yang terjadi pada dunia agama, politik, maupun kebudayaan selama ini adalah perdebatan atas tafsir antara uabang dan abing, antara kukuruyuk maupun kokorongkong. Masing-masing pihak memaksakan bahwa tafsirnyalah yang paling benar, sehingga kerapkali terjadi perselisihan dan perseteruan diantara yang satu dengan yang lain.
Tentang hal tersebut, Cak Nun lantas meminta Cak Fuad menjelaskan istilah “Khilafiyah” setelah sebelumnya Grup Al-Banjari dari Sidoarjo diminta mendemonstransikan terbangnya dengan satu nomor shalawat. Menurut Cak Fuad, ada dua istilah mengenai khilafiyah, ialah khilaf yang artinya bertentangan dan ikhtilaf yang berarti berbeda. Yang terjadi selama ini (terutama di kalangan kiai) adalah ikhtilaf atau perbedaan di sejumlah hal yang semestinya tidak sampai menimbulkan khilaf atau pertentangan. Kenyataannya, ikhtilaf itu diperlakukan sebagai khilaf sehingga menimbulkan pertentangan satu sama lain. Wacana itulah yang oleh Cak Nun diminta agar disosialisasikan para jamaah di tempatnya masing-masing.
Simulasi lebih lanjut, Cak Nun meminta vocalis Al-Banjari kembali melantunkan shalawat, namun kali ini terbang pengiringnya bukan Al-Banjari tapi dari Grup ISHARI Menturo. Hasilnya, terbang ISHARI yang aslinya monoton karena mengikuti pakem ternyata mampu mengiringi vocalis Al Banjari yang melantunkan shalawat sholli wa sallim seperti didengungkan sebelumnya dengan irama terbang yang rancak. Kesimpulannya jelas, jika ada kemauan untuk bersatu, seruncing apapun perbedaan akan bisa ditemukan komposisi untuk sebuah nada damai dalam kehidupan.
Giliran selanjutnya, terbang Kiai Kanjeng diperdengarkan kepada para jamaah sebelum kemudian berkolaborasi dengan dua grup lainnya. Menurut Cak Nun, terbang Kiai Kanjeng adalah hasil ijtihad dari berbagai wilayah maupun beberapa kemungkinan, sesuai tugas Kiai Kanjeng melayani masyarakat dari berbagai suku dan golongan. Maka, Cak Nun meminta kepada grup musik lain agar tidak takut berijtihad dalam soal musik, selama tidak melanggar syareat. Beberapa jenis terbang dari berbagai tempat pun diperdengarkan, mulai dari terbang yang biasanya digunakan untuk mengiringi tembang Zaman Wis Akhir, terbang martapuran, serta jenis terbang yang lain, disusul dengan beberapa nomor musik Kiai Kanjeng komplit baik yang berirama jawa asli, melayu, arab, maupun lainnya. Puncak dari penampilan Kiai Kanjeng adalah Midley Shalawat yang mewadahi beberapa etnis dengan sentuhan irama yang khas. Jama'ah tentu saja larut bergembira dalam kekhusyukan selama Kiai Kanjeng membunyikan alat-alat musiknya.
Puncak dari uruk-urukan terbangan malam itu adalah kolaborasi terbang antara tiga grup. Cak Nun mempersilahkan Grup yang lebih muda, yaitu Al-Banjari dari Sidoarjo untuk melantunkan satu nomor shalawat, diikuti ISHARI dan Kiai Kanjeng. Hasilnya, sebuah komposisi indah ternyata bisa dihasilkan. Itu sekedar pelajaran riil kepada jama'ah, bahwa membangun apapun saja dalam kehidupan (apalagi sekedar membangun sebuah sistem dalam negara), sangat mungkin bisa dilakukan selama ada kesediaan saling menerima perbedaan dan keluasan pikiran untuk saling mengerti. Hal ini menjadi berbeda, jika umpamanya terdapat satu komponen yang memaksakan dirinya untuk diterima, tanpa kesediaan menerima perbedaan kelompok yang lain.
Satu hal yang patut digarisbawahi pada pengajian malam itu, bahwa terbangan ternyata tidak hanya sekedar terbangan. Dari terbang bisa dipungut ilmu menuju kehidupan yang lebih luas, mulai dari persoalan sosial, agama, politik, budaya, dan lain sebagainya. Satu hal lagi yang patut menjadi catatan: kejadian tersebut tidak terjadi di Amerika, Saudi Arabia, Mesir, atau negara-negara lain, tapi di Indonesia. Ya hanya di Indonesia. (*)
“Teman-teman sekalian, dengan semua hal yang telah dituturkan, bukan berarti kita akan membuat negara baru, ingin mengganti proklamasi 1945, anti tahun Masehi, dan lain sebagainya. Tujuan kita cuman satu, supaya kita semua sadar dan ingat, kapan dalam kehidupan ini harus ikut Tuhan, ataukah harus membuat sendiri sesuai dengan kemampuan masing-masing,” demikian ditegaskan Cak Nun menggarisbawahi uraian-uraian yang diungkapkan.
“Nek awakmu melok Gusti Allah, tuntunan bal-balan gak onok ndek Qur’an. “Ya ayyuhannas bal-balono, Ya ayyuhannas ping-pongo, Ya ayyuhannas nepilo, Ya ayyuhannas ngarito” gak onok. Nepil manuk gak onok tuntunane ndek Qur’an. Kalau yang dimaksud tuntunan adalah kalimat eksplisit atau terang-terangan menyebut suatu pekerjaan. Tapi kita kan boleh bal-balan untuk menyehatkan badan.”
Artinya, memang terbuka ruang kebebasan bagi manusia untuk menciptakan sejumlah kreatifitas dalam kehidupan. Bahwa manusia harus berani membuka cakrawala berpikirnya adalah kemutlakan yang tak bisa ditawar. Meskipun pada saat yang sama, keputusan atas kebebasan berkreatifitas itu sendiri tetap harus berada pada koridor yang matang, tidak melanggar syareat, dan merupakan buah dari kematangan-kematangan intelektual maupun pikiran.
“Bebas itu untuk menemukan keterbatasan, bukan bebas untuk kebebasan. “ demikian ditandaskan oleh Cak Nun. ”Bahwa untuk paham batas, Anda harus bebas dulu. Untuk bisa berhari-raya, Anda harus berpuasa dahulu. Untuk supaya Anda nduwe bojo sitok, awakmu kudu ndelok wong wedok minimum satus. Jadi, dari seluruh perempuan yang telah Anda “pandang” itu, Anda tetap harus hanya memilih satu. Kalau Anda bebas memandang wong wedok sak akeh-akehe, lantas njajal sak akeh-akehe, itu bukan kebebasan namanya,” seloroh Cak Nun yang tentu saja disambut tawa oleh para jama’ah.
Jadi, kebebasan yang dimaksud Cak Nun bukan berarti bebas dalam arti sebebas-bebasnya. Kebebasan yang ditawarkan adalah membuka cakrawala seluas-luasnya untuk menentukan satu rumah. Sebab menurut Cak Nun, ideologi kebebasan selama ini sering disalah-artikan oleh manusia-manusia modern. Padahal sejatinya, inti keselamatan kehidupan justru terletak pada keterbatasan. Dalam islam, tuntunannya jelas seperti yang dicontohkan Rasulullah, makan jangan sampai kenyang, jangan makan sebelum lapar, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut merupakan batas yang harus disadari demi keselamatan umat manusia?
***
Berangkat dari hal itulah, Cak Nun lantas menuturkan bahwa terbangan yang dilaksanakan pada malam hari itu bukan hanya tidak haram, tapi bebas dikreatifi tangan-tangan manusia, sepanjang tidak campur-adukkan dengan ibadah mahdlah. Ideologi yang selama ini diyakini, baik oleh Cak Nun maupun Kiai Kanjeng, sederhana: Apapun saja perilaku yang dikerjakan dalam kehidupan, nutuk saron, nyaduk bal, nabuh terbang, dan lain-lain, harus ada hubungannya dengan ridlallah. ”Gawe opo cangkem muni nek gak ono hubungane karo ridlallah, gawe opo tangan ngaploki terbang nek gak oleh ridlallah, mangkane terbangan ayo digawe shalawatan, digawe barang-barang sing apik. Ini supaya Anda tahu, bahwa ini juga merupakan hasil ijtihad,” demikian ditegaskan Cak Nun.
Maka dimulailah “pertunjukan” pada malam hari itu. Cak Nun meminta salah-satu penabuh terbang ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) dari Menturo untuk menjelaskan jenis-jenis pukulan pada terbang Hadrah sekaligus mempraktekannya satu persatu. Setidaknya ada empat jenis pukulan yang dikenal dalam Hadrah, ialah Yahum, Jros, Tretek (Wedokan), dan Lanangan. Ketika satu persatu jenis pukulan itu selesai didemontrasikan, Cak Nun meminta dibunyikan secara bersama-sama. Alhasil, dari jenis pukulan yang berbeda, ketika dipersatukan pada saat yang sama dengan kesetiaan mengikuti ritme dan irama masing-masing pukulan, ternyata menghasilkan bunyi yang enak didengar. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?
Selanjutnya, Cak Nun meminta personil Kiai Kanjeng untuk menabuh terbang seperti yang dilakukan oleh ISHARI. Seperti diketahui, Kiai Kanjeng adalah muridnya ISHARI. Beberapa waktu yang lampau, Kiai Kanjeng pernah berguru kepada ISHARI khusus untuk belajar menabuh terbang. Ketika model terbang ISHARI-an yang pelakunya adalah orang-orang desa dengan kultur dan budaya yang berbeda, tatkala di-ijtihadi oleh Kiai Kanjeng dengan pelaku orang-orang kota dan modern dalam tanda kutip, ternyata menghasilkan bunyi dan warna nada yang berbeda pula. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?
“Dalam musik barat secara teori, ada istilah birama atau sukat. Birama yang dipakai oleh teman-teman ISHARI adalah 5/4. Dan ini tidak umum, sekaligus aneh bagi pelaku musik di dunia barat.” Kata Mas Jijit, salah satu personel Kiai Kanjeng menjelaskan.
Tidak umumnya itu sendiri menurut Cak Nun karena terbang ISHARI memang unik dan tidak semua orang mampu memainkan. Cak Nun sendiri mengakui, ketika berguru kepada ISHARI, Kiai Kanjeng sempat mengalami kesulitan sedemikian rupa pada jenis pukulan tertentu. Hal itu disebabkan karena “hati” pelakunya memang tidak sama. Menurut Cak Nun, kesulitan itu muncul sangat berhubungan dengan cara hidup, kebudayaan, dan tradisi kehidupan sehari-hari masing-masing pelakunya.
Begitulah, dari soal terbang ternyata bisa ditarik garis lurus pada soal kehidupan yang lebih luas. Sebelum mempersilahkan grup yang lebih muda, yaitu Grup Banjari dari Sidoarjo untuk melakukan demonstrasi, Cak Nun terlebih dulu meminta ISHARI dan Kiai Kanjeng untuk membunyikan terbangnya bersama-sama. Itu dilakukan untuk membuka ruang imajinasi para jamaah, bahwa terbangan bukan sekedar terbangan. Apapun jenis perbedaan, jika ada keikhlasan untuk mempersatukan diri, meskipun tetap harus berkomitmen pada kediriannya masing-masing, tak ada kata tidak mungkin untuk dilakukan. Bahwa terbang sangat erat kaitannya dengan Indonesia yang multikultural.
Berangkat dari terbang pula, Cak Nun membelokkannya kepada soal tafsir. Hal itu bermula dari pertanyaan asal-muasal nama pukulan dalam terbang ISHARI antara Yahum, Jros, Tretek, dan Lanangan, yang oleh Guk Tarwi (salah-satu penabuh terbang) dijelaskan, bahwa nama-nama tersebut berdasarkan nada suara yang dihasilkan. Merefleksikan penjelasan itu, Cak Nun kemudian mengatakan, bahwa bunyi terbang ternyata menciptakan refleksi di perasaan orang, yang dikeluarkan kembali melalui mulut dengan cita rasa khas orang yang bersangkutan. Pada titik inilah yang harus digaris-bawahi, bahwa jika orang lain yang mendengarkan, bunyi yang dihasilkan belum tentu sama dengan nama-nama tersebut.
“Itulah tafsir,” kata Cak Nun. Ia kemudian memberikan contoh suara ayam berkokok. Di Jawa Timur, ayam berkokok ditirukan oleh mulut orang sehingga terciptalah istilah “kukuruyuk”. “Apakah bunyi ayam berkokok pasti kukuruyuk? Tidak!” tegas Cak Nun, “Jangan samakan bunyi ayam berkokok dengan bunyi yang keluar dari mulutmu. Kukuruyuk itu muncul karena telingamu mendengarkan, engkau rasakan dengan hatimu, dan yang keluar dari mulutmu adalah kukuruyuk. Hal tersebut boleh jadi berbeda pada sejumlah orang di tempat lain dengan perbedaan yang sangat jauh. Di Jawa Barat misalnya, orang menyebut ayam berkokok dengan kokorongkong. Lho, lak ado nemen se....” papar Cak Nun.
Banyak hal dicontohkan terkait tafsir. Misalnya, orang Jawa Timur menyebut tabrakan kereta dengan “bress”, sementara orang jawa tengah “prek”. Kata “merah yang teramat sangat (banget abange)” direfleksikan dengan “uaabang” oleh orang Jawa Timur, dan “abing” oleh orang Jawa Tengah. Masing-masing kata sesungguhnya tafsir orang yang bersangkutan sesuai dengan cita rasanya masing-masing. Maka, Cak Nun mengharapkan antara yang uabang dengan yang abing tidak bertengkar hanya karena menganggap kata-kata yang dipakainya paling benar. Sebab, yang terjadi pada dunia agama, politik, maupun kebudayaan selama ini adalah perdebatan atas tafsir antara uabang dan abing, antara kukuruyuk maupun kokorongkong. Masing-masing pihak memaksakan bahwa tafsirnyalah yang paling benar, sehingga kerapkali terjadi perselisihan dan perseteruan diantara yang satu dengan yang lain.
Tentang hal tersebut, Cak Nun lantas meminta Cak Fuad menjelaskan istilah “Khilafiyah” setelah sebelumnya Grup Al-Banjari dari Sidoarjo diminta mendemonstransikan terbangnya dengan satu nomor shalawat. Menurut Cak Fuad, ada dua istilah mengenai khilafiyah, ialah khilaf yang artinya bertentangan dan ikhtilaf yang berarti berbeda. Yang terjadi selama ini (terutama di kalangan kiai) adalah ikhtilaf atau perbedaan di sejumlah hal yang semestinya tidak sampai menimbulkan khilaf atau pertentangan. Kenyataannya, ikhtilaf itu diperlakukan sebagai khilaf sehingga menimbulkan pertentangan satu sama lain. Wacana itulah yang oleh Cak Nun diminta agar disosialisasikan para jamaah di tempatnya masing-masing.
Simulasi lebih lanjut, Cak Nun meminta vocalis Al-Banjari kembali melantunkan shalawat, namun kali ini terbang pengiringnya bukan Al-Banjari tapi dari Grup ISHARI Menturo. Hasilnya, terbang ISHARI yang aslinya monoton karena mengikuti pakem ternyata mampu mengiringi vocalis Al Banjari yang melantunkan shalawat sholli wa sallim seperti didengungkan sebelumnya dengan irama terbang yang rancak. Kesimpulannya jelas, jika ada kemauan untuk bersatu, seruncing apapun perbedaan akan bisa ditemukan komposisi untuk sebuah nada damai dalam kehidupan.
Giliran selanjutnya, terbang Kiai Kanjeng diperdengarkan kepada para jamaah sebelum kemudian berkolaborasi dengan dua grup lainnya. Menurut Cak Nun, terbang Kiai Kanjeng adalah hasil ijtihad dari berbagai wilayah maupun beberapa kemungkinan, sesuai tugas Kiai Kanjeng melayani masyarakat dari berbagai suku dan golongan. Maka, Cak Nun meminta kepada grup musik lain agar tidak takut berijtihad dalam soal musik, selama tidak melanggar syareat. Beberapa jenis terbang dari berbagai tempat pun diperdengarkan, mulai dari terbang yang biasanya digunakan untuk mengiringi tembang Zaman Wis Akhir, terbang martapuran, serta jenis terbang yang lain, disusul dengan beberapa nomor musik Kiai Kanjeng komplit baik yang berirama jawa asli, melayu, arab, maupun lainnya. Puncak dari penampilan Kiai Kanjeng adalah Midley Shalawat yang mewadahi beberapa etnis dengan sentuhan irama yang khas. Jama'ah tentu saja larut bergembira dalam kekhusyukan selama Kiai Kanjeng membunyikan alat-alat musiknya.
Puncak dari uruk-urukan terbangan malam itu adalah kolaborasi terbang antara tiga grup. Cak Nun mempersilahkan Grup yang lebih muda, yaitu Al-Banjari dari Sidoarjo untuk melantunkan satu nomor shalawat, diikuti ISHARI dan Kiai Kanjeng. Hasilnya, sebuah komposisi indah ternyata bisa dihasilkan. Itu sekedar pelajaran riil kepada jama'ah, bahwa membangun apapun saja dalam kehidupan (apalagi sekedar membangun sebuah sistem dalam negara), sangat mungkin bisa dilakukan selama ada kesediaan saling menerima perbedaan dan keluasan pikiran untuk saling mengerti. Hal ini menjadi berbeda, jika umpamanya terdapat satu komponen yang memaksakan dirinya untuk diterima, tanpa kesediaan menerima perbedaan kelompok yang lain.
Satu hal yang patut digarisbawahi pada pengajian malam itu, bahwa terbangan ternyata tidak hanya sekedar terbangan. Dari terbang bisa dipungut ilmu menuju kehidupan yang lebih luas, mulai dari persoalan sosial, agama, politik, budaya, dan lain sebagainya. Satu hal lagi yang patut menjadi catatan: kejadian tersebut tidak terjadi di Amerika, Saudi Arabia, Mesir, atau negara-negara lain, tapi di Indonesia. Ya hanya di Indonesia. (*)
Ditulis :
Em. Syuhada'
Agustus 2011
Padhangmbulan: Kolaborasi Terbang dan Indahnya Pelangi Indonesia Raya
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>