Sekitar 400 orang duduk bersila, berpakaian sangat
melambangkan model dan warna Islam. Suasana sepi dan tegang. Penuh duka
dan keperihan. Tidak ada senyuman, apalagi suara tertawa. Mereka sedang
tegang menghitung jam demi jam sampai besok pagi mereka mendengar apa
keputusan hakim atas Ustadz mereka.
Saya diundang untuk berbicara
dan ditugasi untuk meredakan amarah orang-orang itu. Meneduhkan hati
mereka, menawarkan kepada mereka langkah-langkah yang tingkat
kemudharatan politiknya ditekan serendah mungkin tanpa kehilangan
prinsip dan militansi.
Sebagaimana lazimnya orang Islam berpidato,
saya memulai dengan salam, shalawat kepada Nabi Muhammad dan mengutip
satu dua firman Allah. Kemudian saya memberanikan diri memulai dialog:
“Apakah kesunyian suasana di forum ini disebabkan karena Anda semua merasa tidak punya teman dalam perjuangan Anda?”
Seseorang spontan menjawab: “Allahu Akbar!”. Kemudian disusul serempak mereka semua meneriakkan: “Allahu Akbar!”
Saya tahu “Allahu Akbar” dalam nuansa itu berarti “Ya”.
“Berarti
Anda Muslim sejati”, kata saya, “Rasulullah Muhammad SAW mengatakan
Islam dimulai dari keterasingan dan akan kembali dan kembali lagi ke
keterasingan. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing dan kesepian,
karena itu pertanda Tuhan dekat di sisi mereka”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saya
meneruskan pertanyaan: “Apakah Anda semua berwajah tegang karena Anda
sedang menemukan diri Anda berada di bawah tekanan dan penindasan?”
“Allahu Akbar!”
“Di bawah suatu kekuasaan yang lalim?”
“Allahu Akbar!”
“Yang memperlakukan Anda secara sangat tidak adil?”
“Allahu Akbar!”
“Penuh kebohongan dan manipulasi?”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Kemudian
sengaja saya diam sejenak, suasana saya biarkan tanpa suara. Sampai
kemudian tatkala saya merasa sudah saatnya harus diberi suara lagi,
sayapun meneruskan:
“Demi Allah perkenankanlah saya memberi saran
kepada Anda semua, hendaklah Anda mencintai orang-orang yang menindas
Anda, yang melalimi Anda, yang berbuat tidak adil kepada Anda….”
Sampai di sini tidak saya dengar “Allahu Akbar”. Saya teruskan:
“Saudara-saudaraku,
hanya orang yang lemah yang merasa perlu menindas orang lain, karena
mereka butuh kepercayaan diri bahwa ia kuat. Hanya orang yang merasa
dirinya tidak aman yang berbuat lalim kepada orang lain, karena ia
meyakini bahwa orang yang berhasil dilaliminya pastilah tidak mampu
membuatnya tidak aman. Demi Allah cintailah dan kasihanilah orang-orang
semacam ini, karena hanya itu cara untuk menunjukkan bahwa Anda semua
berjiwa besar….”
Terdengar “Allahu Akbar!”, kemudian bersusul-susulan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Terus terang saya merasa lega dengan jawaban itu.
Saya
coba meneruskan: “Orang yang berjiwa besar tidak akan membiarkan
dirinya ditekan oleh kesedihan, ketegangan atau rasa frustrasi. Bukankah
benar demikian, saudara-saudaraku?”
“Allahu Akbar!”
“Saudara-saudaraku tegakkan kepala karena Allah menganugerahi kalian jiwa besar!”
Astaga – meskipun tidak serempak, mereka benar-benar menegakkan kepala.
“Acungkan
tangan ke atas untuk menunjukkan kegembiraan dan rasa syukur
saudara-saudaraku kepada Allah yang menganugerahi kalian kebesaran
jiwa!”
Allahu Akbar, sekarang saya yang bilang Allahu Akbar – mereka benar-benar mengacungkan tangan mereka ke atas,
“Farhan!” teriak saya selanjutnya.
“Farhaaaan!”, semua menirukannya.
Farhan artinya gembira bahagia.
Saya
terus mengejar: “Besok Ustadz Anda divonis oleh Pengadilan Negara.
Apakah Anda menyongsongnya dengan menundukkan kepala ataukah menegakkan
kepala?”
“Allahu Akbar!”, serempak mereka sambil menegakkan kepala.
“Dengan rasa frustrasi atau semangat juang?”
“Allahu Akbar!”
Saya menyambungnya: “Allahu Akbar! Allahu Akbar!…..” – kemudian saya fade in ke Allahu Akbar yang dilagukan, yang rata-rata mereka hapal lagu itu….
Allahu Akbar, betapa gembira wajah mereka.
Setelah lagu usai, saya meneruskan: “Saudara-saudaraku, apakah Anda ingin Ustadz dihukum ataukah dibebaskan?”
“Bebas!” – untuk pertama kalinya terdengar kata yang bukan Allahu Akbar.
“Kekuasaan yang mengadili Ustadz ini kekuasaan yang prinsip nilainya sama dengan prinsip nilai Anda atau tidak?”
“Tidak sama!” terdengar suara serempak.
“Bertentangan!” seseorang menyambung.
“Jadi Anda minta kepada penguasa yang tidak seprinsip dengan Anda itu agar Ustadz dibebaskan?”
“Allahu Akbar!”
“Anda meminta kebebasan kepada musuh Anda?”
Tidak ada jawaban.
“Anda meminta-minta kepada musuh Anda?”
Tetap diam.
“Mana
yang lebih membanggakan dan bermartabat: dibunuh dalam kegagahan oleh
lawan, ataukah Anda minta agar tak dibunuh oleh lawan?”
Semakin diam.
“Bisakah
pikiran sehat Anda membayangkan bahwa kekuasaan yang bertentangan
prinsipnya dengan prinsip Anda akan membebaskan beliau?”
Teruuus diam.
“Mana yang Anda pilih: martabat atas prinsip ataukah keselamatan hidup tanpa prinsip?”
Tetap tak ada sahutan.
“Kita
memilih hidup hina atau mati mulia? Saudara-saudaraku, demi Allah harus
saya katakan bahwa Ustadz sendiri tidak sedikitpun bermimpi, berpikir
atau apalagi meminta untuk dibebaskan. Ketika beliau ditangkap di Rumah
Sakit, beliau berteriak-teriak: Tembak saya! Tembak saya! — Apakah para
muridnya akan mengucapkan kata yang bertentangan dengan itu: Bebaskan
saya! Bebaskan saya!?”
Saya terus memberanikan diri meneruskan:
“Ustadz menyatakan kepada saya bahwa kalau ia dipenjarakan, berarti cuti
atau liburan. Kalau beliau dibuang ke pulau terpencil yang jauh,
berarti piknik. Kalau beliau ditembak mati, berarti syahid. Beliau
beserta semua anggota keluarganya sudah ikhlas dengan
kemungkinan-kemungkinan itu. Kenapa saudara-saudaraku di sini tidak
ikhlas?”
Sampailah saya ke ujung pembicaraan: “Dan demi Allah
perkenankan saya mengatakan kepada saudara-saudaraku di sini bahwa
selama berada dalam tahanan, Ustadz tidak pernah satu detikpun tampak
kesedihan di wajahnya. Beliau bergembira. Beliau bangga dengan apa yang
dialaminya. Keyakinan dan perjuangan selalu sangat luas dan agung,
seluas alam semesta dan seagung Penciptanya. Sedangkan kematian hanyalah
kerikil kecil yang kaki kita nanti terantuk olehnya. Beliau bergembira!
Beliau bangga!”
Kemudian saya bernyanyi lagi. Dengan lambaian
tangan saya mengajak mereka semua bernyanyi. Meskipun pelan-pelan,
akhirnya semua turut bernyanyi, bertepuk tangan….
Oleh : Muhammad Ainun Nadjib
www.caknun.com
Fragmen Kaum Fundamentalis
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>