• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • Daftar Penerima Tunjangan Khusus Daerah Terpencil (Dikdas SD-SMP) Tahun 2013
  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • GURU: ‘Digugu dan Ditiru’ ataukah ‘Nek Minggu Turu’?
  • Daftar Penerima Tunjangan Kualifikasi S1 Tahun 2013
  • Cara Unduh Formulir NUPTK
  • Peran Sunan Kalijaga Untuk Indonesia Baru
  • Prosedur Melakukan Verifikasi dan Validasi NUPTK 2013

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Esai / Ulama, Kiai, Mubalig, Artis

Sunday, February 10, 2013

Ulama, Kiai, Mubalig, Artis

Baca Juga

Esain Ulama, Kiai, Mubalig, Artis

KONON istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan. seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu sering mengalami kerancuan pengertian.

Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan istilah “ulama”, “kiai” dan “mubalig”. Celakanya, yang bersangkutan -yang dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan gaya basa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau setidaknya makin mengaburkan maknanya. Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu mengundang kehormatan dan tanggung jawab, yang segera tampak menggiurkan justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal yang tak sesuai dengan maqam, atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi bingung sendiri.

Yang lebih merepotkan, istilah "ulama" yang beredar dalam masyarakat kita -seperti berbagai istilah lain- mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti "orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam" (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 985). Sedangkan di Arab sendiri, 'ulama (bentuk jamak dari ‘alim) hanya mempunyai arti "orang yang berilmu".

'Ulama dalam peristilahan itulah yang sering disebut-sebut ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris para Nabi). Merekalah yang disebut sebagai hamba Allah yang paling takwa, pelita ummat dan sebagainya. Banyak definisi mengenainya, tetapi semuanya mengacu kepada satu pokok pengertian: ilmu dan amal.

Karena itu, disamping menguasai kandungan Al-Qur'an dan Sunnah, mereka juga -sebagaimana Nabi- mesti yang pertama mengamalkannya. Sebagai pewaris Nabi, setidaknya ulama mewarisi -di atas rata-rata ummat mereka- ilmu, ketakwaan, kekuatan iman, akhlak mulia, rasa tidak tahan melihat penderitaan ummat, pengayoman, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan keikhlasan serta keuletan dalam mengajak kepada kebaikan. Dengan kelebihan-kelebihan itu, ulama tentulah merupakan hamba-hamba yang paling takwa kepada Allah.

Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah kini masih ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu menjadi sinonim dari istilah kiai yang lebih bersifat budaya dalam masyarakat kita. Bila orang menyebut kiai, segera teringat pengertian ulama pewaris Nabi itu. Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan lain sebagainya, kiai -betapapun hebatnya- tidak bisa mendekati ulama seperti yang dicontohkan dalam kitab-kitab kuning. Setidaknya masyarakat masih melihat mereka mewarisi sifat-sifat keteladanan mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun surau dan pesantren untuk kepentingan masyarakat. Mendarmakan hidupnya untuk Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat. Karena itu, bahkan tidak hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan putra-putranya dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan terhormat: (ba)gus, dengan harapan kelak akan menjadi kiai sebagaimana ayahnya.

Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan; budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang tuanya.

Di pesantren, disamping pengajaran, sebenarnya yang lebih penting lagi adalah pendidikan kiainya. Sulitnya, menyerap pendidikan tidak semudah menyerap pelajaran. Maka janganlah heran apabila kemudian lebih banyak santri yang menjadi pintar ketimbang yang berakhlak.

Dari segi penampilan, boleh jadi orang yang pintar lebih tampak wah dan cepat ngepop. Dengan menggelar ilmunya, orang akan segera terpesona dan teringat kepada kiai sepuh yang juga berilmu. Apalagi jika pandai bicara, dijamin cepat kondang. Orang pun lalu menyebutnya sebagai kiai mubalig.

Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya disebut kiai. Mungkin karena keterbatasan memahami hadis "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat," maka meskipun hanya punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah ber-amar ma'ruf nahi munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang sebagai mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun yang bertablig disebut juga kiai.

Lalu, seiring dengan maraknya kebidupan keagamaan, artis yang memang luwes dan pelawak yang memang pintar bicara, yang beragama Islam, pun tak mau hanya mendapatkan 'fid-dunya hasanah'. Mengapa tidakjuga mencari ‘fid-akhirati khasanah’ Bukankah gerak-kegiatannya tidak begitu berbeda dan bahan tersedia di mana-mana? Dan kiprah mereka di mimbar taklim tak kalah dengan di pentas show, bahkan tak jarang mengalahkan mubalig betulan.

Begitulah, lalu menjadi campur-aduk -barangkali sesuai zaman globalisasi! Yang ulama, yang kiai, yang mubalig kiai (kiai yang bertablig), yang kiai mubalig (disebut kiai karena tablig), yang artis mubalig, dan yang mubalig artis, semuanya menjadi sulit dibedakan. Apalagi bila gaya ulama dan kiai -termasuk berfatwa- juga dengan baik telah ditiru mubalig dan artis; gaya mubalig dan artis -termasuk "keluwesan" pergaulan dan glamour- juga sudah menulari ulama dan kiai. Masya Allah!

Tuhan, apalagi yang hendak Engkau pertunjukkan kepada kami? Ampunilah kami semua!***

A.Mustofa Bisri

Tweet

Related Posts

Ulama, Kiai, Mubalig, Artis
4/ 5
Oleh Admin
Admin Pada Sunday, February 10, 2013 Komentar
Pejalan Sunyi

Tentang Pejalan Sunyi

Pejalan Sunyi berusaha berbagi apa saja yang bermanfaat. Jika menurut Anda, artikel dalam blog ini bermanfaat, silahkan dibagi, jangan lupa meletakkan link Ulama, Kiai, Mubalig, Artis sebagai sumbernya. Tabik!.

Berlanggangan via Surel

Suka dengan artikel di atas? Silahkan berlangganan melalui email untuk mendapatkan artikel terbaru dari Pejalan Sunyi.

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design