PATANGPULUHAN I: Rumah Kontrakan
PATANGPULUHAN adalah salah satu kelurahan di Jogjakarta. Dulu dikenal RK Patangpuluhan (RK, Rukun Tetangga, sebutan ini hanya ada di Jogja). Tahun 80-90-an, Patangpuluhan termasuk wilayah pinggiran barat selatan. Saat itu Ring Road, jalan penghubung yang mengelilingi Kota Jogjakarta belum selesai dibangun.
Untuk kalangan tertentu, Patangpuluhan identik dengan Emha Ainun Nadjib. Di kampung itulah Emha mengontrak sebuah rumah petak yang sangat murah. Konon rumah itu 'tidak laku' dikontrakan karena dipercaya ada hantunya. Pemiliknya orang Kalasan, Jogja, tapi bermukim di Kepulauan Polinesia Perancis.
Rumah kontrakan Emha terletak sebelah barat (belakang) Pasar Legi Patangpuluhan. Dari jalan raya Bugisan masuk sekitar 200 meter. Rumah dengan dua kamar, resminya di tempati tiga orang; Emha sendiri dan dua orang adiknya; Sariroh dan Innayah Al Wafi. Rumah yang sangat sederhana, bahkan kesannya kotor itu, bagai rumah singgah. Baik bagi keluarganya, kawan-kawan seniman, relasi-relasi dari luar daerah atau aktivis mahasiswa dan aktivis LSM. Rumah yang tidak pernah sepi, meskipun Emha sendiri sedang keluar kota.
Kalau boleh menyebut nama, kalangan dengan berbagai kepentingan yang datang ke rumah itu: Ishadi SK, saat itu Kepala Sta TVRI Jogjakarta; Arief Affandi, Kepala Biro Jawa Pos Jogja; Rizal Mallarangeng, Edi Edott Supriyadi, Mohamad Sobary, Ahmad Tohari, Erros Djarot, Ismet Sofyan Saputra, Arifin C Noor, Christine Hakim, Ayu Azhari, Alex Komang, KH Yusuf Hasyim, Gus Mus, Butet, Djadug, Indra Tanggono, Agus Noor, Ali Shahab, Umar Kayam... Bahkan hampir semua kalangan seniman Jogjakarta berinteraksi di Patangpuluhan.
Saya tidak tahu persis sejak kapan Emha bertempat tinggal di Patangpuluhan. Sebelum itu ia dengan kakak dan adik-adiknya tinggal di rumah kost Kadipaten Wetan. Empat sekawan (Empat E: Emha, Ebiet, Eko Tunas dan Ehaka) berproses di Kadipaten Wetan. Saya tidak akan bercerita tentang "Empat E" karena tidak ikut berproses.
Suatu hari kampus saya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, mengundang Emha untuk baca puisi. Emha mengusulkan Musik Puisi Teater Dinasti. Dengan iringan karawitan Dinasti, Butet Kertaredjasa baca puisi karya Emha bergantian dengan Arifin Brandan. Emha sendiri ternyata tidak ikut baca. Siapa-siapa saja pengiring karawitan ketika itu saya tidak begitu paham.
Sejak itulah, akhir 80-an, saya dan kawan-kawan kampus mulai berinteraksi dengan Komunitas Patangpuluhan. Bahkan salah satu kawan saya tidak mau pergi dari komunitas itu sampai sekarang. Ia kini menjadi keluarga Emha dan menetap di Kompleks TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul.
Saat itu teater Dinasti Ampas --nama 'Ampas' diberikan Emha karena tokoh-tokoh Dinasti bergabung atau ikut dalam komunitas kesenian lain. Novi Budianto, Neneng Suryaningsih, Jujuk Prabowo, Butet Kertaradjasa dan yang lain mendirikan teater sampakan Gandrik. Joko Kamto dengan Teater Rakyat-nya. Bambang Isti Nugroho bergiat di LSM-- sedang berproses akan mementaskan lakon karya Emha "Dokterandus Mul." Bagi saya yang awam, lakon ini menarik karena didukung pula oleh Michael Bodden (sekarang profesor), orang Kanada yang interest terhadap seni dan budaya Indonesia. "Dokterandus Mul" sempat dipentaskan di TVRI Jogjakarta dengan pemain antara lain: Bambang Sosiawan, Agung Waskito, Sita, Jemek, Godor, Sius, Sariroh, Michael Bodden, Huri, Yono dan lain-lain.
Keterlibatan saya semakin dalam, sementara kuliah saya nonaktifkan dulu. Semua surat-surat permohonan kepada Emha, baik ceramah, baca puisi, kolom media massa dan para tetamu yang berdatangan saya yang menangani.
PATANGPULUHAN II:Teater Kehidupan
Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, adalah sebuah ruang cukup luas yang multi fungsi. Biasanya untuk arena olah raga: basket, badminton atau latihan bela diri. Tahun-tahun 70-80an di sekitar kampus belum ada masjid, maka oleh mahasiswa difungsikan juga sebagai tempat kegiatan keagamaan. Setiap hari Jumat atau sepanjang ramadhan berubah menjadi mesjid, yang diorganisir oleh semacam lembaga kemahasiswaan "Shalahuddin." Boleh disebut, Ismail Yusanto adalah aktivis Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada.
Ramadhan pertengahan 80an Jamaah Shalahuddin mengadakan kegiatan Pesantren Seni yang melibatkan Emha Ainun Nadjib dan Agung Waskito untuk memberikan workshop teater. Dari Pesantren Seni ini lahir Sanggar Shalahuddin yang didalamnya ada Agung Waskito, Wahyudi Nasution, Goetheng MS Fauzi (Iku Ahkin), Seteng Agus Yuniawan, Esmad "Jebeng" Jamaluddin dan lain-lain.Sanggar Shalahuddin inilah yang pertama kali mementaskan Syair karya Emha Ainun Nadjib "Lautan Jilbab" di Jogjakarta yang mendapat sambutan luar biasa dari audiens. Sebuah pentas yang bukan hanya dinikmati oleh kalangan teater saja, tapi justru merambah ke ranah penikmat awam teater yakni kalangan umat Islam.
Teater Dinasti sendiri sudah siap-siap proses "Keajaiban Lek Par" karya Emha Ainun Nadjib, yang khusus untuk mengeksplorasi seni Jemek Supardi. Sayang, saya kurang tahu banyak apakah naskah ini jadi dipentaskan atau tidak.
Dalam perkembangannya, terjadi pergesekan-pergesekan kreatifitas di Patangpuluhan. Agung Waskito dengan Teater Jiwa menulis naskah sendiri "Dajjal" yang akan dibawa ke Makassar, dengan pemain Seteng A Yuniawan, Whani Darmawan, Jebeng, Nina, Labibah Yahya, Otto Sukatno, Aly D Musyrifa dan lain-lain, illustarsi musik Sapto Rahardjo. Sapto Rahardjo banyak dilibatkan pada pentas-pentas sebelum dan sesudahnya dengan berbagai macam teater di lingkaran Patangpuluhan.
Sementara Goetheng, Irfan Mukhlis, Yudi Nasution, Bagus Jeha, Aprinus Salam, Sariroh dan yang lain tetap mengawal Sanggar Shalahuddin.
Agung Waskito agak "gila," berani sekali di tengah-tengah persiapan "Dajjal" ke Makassar, dalam waktu bersamaan latihan keras untuk pentas hajat besar Muhammadiyah: Muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta, menyutradarai karya Emha yang lain "Keluarga Sakinah." Lakon ini dimainkan oleh Seteng, Jebeng, Bahtiar Ivan Nuri dan lain-lain ditambah siswi-siswi Muallimat Muhammadiyah dengan Teater Aisiyah.
Fadjar Suharno sendiri membina teater yang lain Kelompok Keseratus yang dimotori Syaiful, adik angkatnya Emha.
Kegiatan Dinasti agak mereda, tapi teater yang lain tetap berkarya. Sanggar Shalahuddin mementaskan "Baginda Faruq" karya Emha di Jogja, Teater Jiwa mengangkat lagi "Lautan Jilbab" di Lapangan Willis Madiun yang ditonton 35.000 orang (berdasarkan tiket yang terjual).
Barangkali magma aura Patangpuluhan yang luar biasa, muncul lagi Teater Burdah yang dikomandani mantan mahasiswa Mesir Hamim Ahmad, yang mengangkat perjalanan hidup Syeh Burdah. Burdah sempat pentas di Jogjakarta dan Jakarta.
Luar biasa Patangpuluhan. Goetheng, Seteng, Jebeng, Yudi A Tadjuddin, Kiki, Piyel, Whani Darmawan, Knyut, Bahtiar Ivan Nuri bergabung membentuk teater baru Kelompok Titian. Karya Emha Lautan Jilbab dipentaskan lagi di Go Skate Surabaya atas hajat Universitas Muhammadiyah Surabaya. Santri-santri Khidhir (Perahu Retak) diminta ITS Surabaya pentas di Islamic Center. Santri-santri Khidhir didukung juga aktor Joko Kamto dan illustrasi musik Sapto Rahardjo dibantu Novi Budianto.
PATANGPULUHAN III:Sabrang
Emha Ainun Nadjib sangat mencintai anak semata wayangnya: Sabrang Mowo Damar Panuluh. Saat itu Sabrang sudah kelas 6 SD di Metro, Lampung Tengah, mengikuti ibunya Neneng Suryaningsih, yang sudah berpisah dengan Emha. Hubungan dan komunikasi Emha dengan keluarga Metro sangat baik.
Hampir setiap bulan Emha ditemani sahabatnya dari Jakarta, seorang wartawan, Uki Bayu Sedjati, belanja buku-buku untuk dipaketkan ke Metro. Untuk ukuran seusia anak SD, jangan Anda bayangkan Emha mengirim buku-buku pelajaran sekolah atau komik-komik Jepang. Emha memilihkan buku-buku sufi karya Buya Hamka, Sufi Modern, Tafsir Al-Azhar dan buku sastra semisal karya Mochtar Lubis.
Setumpuk buku-buku itu dalam waktu kurang dari sebulan, sudah habis dilahapnya. Emha sendiri kadang heran dan mengabarkan kepada Uki.
"Ini dibaca atau dibakar sih?"
Pada dasarnya Sabrang sendiri gelisah jika sudah tidak ada buku lagi yang belum dibaca. Ia tidak bisa diam. Maka dicarilah buku-buku silat karya Bastian Tito, maka tidak heran hampir setiap edisi ia punya.
Sabrang kecil ternyata punya pikiran cerdik. Buku-buku yang menumpuk sudah habis dibacanya itu, ditata secara rapi dan disewakan kepada teman sebayanya dengan tarif seratus rupiah. Sudah bisa diduga, kenyataannya seringkali teman-temannya tidak mau membayarnya. Ia sendiri tidak tega menagihnya.
Suatu hari saya disuruh Emha untuk mencari guru ngaji. Ya, guru ngaji, saat itu istilah 'ustadz' belum sepasaran sekarang. Saya datangi Yayasan Tunas Melati, pimpinan Bapak Suroyo MA, mencari guru ngaji yang mau diajak ke Metro. Guru ngaji itu saya antar sampai ke Metro untuk jangka waktu tiga bulan. Mohon maaf, nama guru ngaji yang dari Kebumen itu, saya lupa. (Semoga Allah selalu meberkahi).
Setiap malam Sabrang bersama beberapa kawannya ngaji dipandu seorang guru yang sengaja didatangkan oleh bapaknya sendiri Emha Ainun Nadjib.
Dalam hal mendidik anak, barangkali Emha agak berbeda dengan kebanyakan orang tua. Emha lebih banyak berdialog, meskipun anaknya masih kecil. Ia mengenalkan Ketuhanan dengan memaparkan tentang alam. Tentang malam berganti siang, gunung-gunung, awan yang menjadi hujan, jatuhnya dedaunan. Dan seterusnya.
Ini model didikan Emha yang lain.
Pernahkah Anda jalan kaki untuk jarak 6 M (enam meter) ditempuh dalam 15 (lima belas) menit?
Biasanya lomba jalan atau lari itu siapa yang paling cepat. Seratus meter ditempuh 10 detik. Cepat 'kan? Tapi ini kebalikannya. Lambat sekali. Dan Emha menyuruh Sabrang untuk melakukan itu. Ini gila. Saudara-saudaranya di Metro terheran-heran, lomba apaan itu. Gilanya, Sabrang ya mau. Dan bisa menempuh jalan yang amat lambat untuk jarak 6 meter dalam waktu 15 menit. Dan berhasil. Emha sangat terharu dan merangkulnya.
Ternyata ini adalah uji kesabaran. Hasilnya adalah kelak. Sabrang bukan termasuk orang yang menggebu-gebu. Kadang tanpa ekspresi. Kesannya dingin. Sedih atau bahagia tidak tampak. Emha sendiri kadang bingung menafsirkan.
"Yo opo anakku iki, berpisah gak mau salaman...."
Ini terjadi di Bandara Soekarno Hatta ketika Sabrang pertama kali mau berangkat kuliah ke Kanada. Dengan ibu tirinya, Novia Kolopaking, yang Sabrang memanggilnya "Mbak Yah" justru berangkulan.
Emha sangat disiplin dalam setiap hal. Jika malam tiba, sebagian penghuni Patangpuluhan terlelap, ia mengunci pintu sendiri dan mematikan lampu-lampu yang tidak perlu. Pagi hari ia akan mencuci mobil sendiri. Ingat, di Patangpuluhan banyak sekali orang-orang yang dengan senang hati akan membantu, tapi ia tidak pernah memberi perintah.
Setiap liburan sekolah Sabrang ke Jogjakarta diantar oleh tantenya: Sari dan (calon) pamannya, Agus, yang memang sedang kuliah di Jogjakarta. Tidak jarang saya harus menemani Sabrang jalan-jalan keliling Jogjakarta. Saat itu Sabrang sudah SMP. Ia senang jail. Malam hari, tiba-tiba sengaja ngilang diantara gerbong-gerbong kereta api Stasiun Tugu. Dia ngumpet, melihat saya yang kebingungan mencari kesana kemari. Perasaan saya teraduk-aduk, anak orang hilang, anaknya Emha lagi. Asem betul Sabrang.
Berjam-jam baru muncul. Dengan senyum yang jelek itu memburu saya. Saya tuntun kencang-kencang menuju arah Lesehan Malioboro, disana Emha, Arief Affandi dan yang lain-lain sedang kumpul-kumpul di depan kantor Biro Jawa Pos Jogjakarta.
Di tempat lesehan inilah sering berkumpul tokoh-tokoh (kelak jadi) penting. Ashadi Siregar, Djadug Ferianto, Doddy Ambari, Arief Affandi, Yusuf Arifin "Dalipin," Whani Darmawan, Butet, Umar Kayam, Yahya Staquf, Najib Acza, Rizal Mallarangeng, Erros Djarot, Indra Tranggono, Simon Hate.
PATANGPULUHAN IV:Jangan Saling Mendahului
Kebanyakan yang datang ke Patangpuluhan adalah anak-anak muda, lebih khusus lagi, bergender laki-laki. Anak-anak muda? Ya, anak-anak muda atau minimal semangat anak muda. Sebab disamping mahasiswa-mahasiswa, aktifis LSM yang kagum terhadap pemikiran-pemikiran Emha; juga kawan-kawan lama Emha. Untuk yang terakhir ini usianya terpaut tidak jauh dengan Emha atau malah lebih tua. Emha sendiri kala itu sekitaran 37-40 tahun.
Kawan-kawan lama Emha ini antara lain Ashadi Siregar, Linus Suryadi, Simon Hate, Halim HD, Eko Tunas dan lain-lain. Orang-orang ini sesekali datang ke Patangpuluhan, terus mengajak cari makan di dusun-dusun di pinggiran kota Jogjakarta.
Untuk urusan makan di Patangpuluhan, tiap harinya Emha disediakan oleh adik-adiknya. Yang lain-lainnya kadang ikut menyerbu juga. Jika malam tiba, seusai Emha bekerja menulis untuk artikel atau kolom, dan keluar dari kamar, biasanya mengajak teman-temannya yang "mbambung" (tidak punya kerjaan, rata-rata miskin) mencari makan di pinggir jalan. Sasarannya biasanya di Jokteng Kulon (Pojok Beteng Barat). Menunya sangat khas. Nasi putih dengan "oseng-oseng mercon" dan secangkir teh "nasgitel." (Oseng-oseng Mercon, masakan daging sapi dicampur cabe dan lada yang pedas sekali. Teh Nasgitel, teh panas legi/manis dan kental). Tentu saja yang bayar Emha. Kecuali ada tamu dari jauh, dan punya duit, biasanya tamu inilah yang bayar. Namanya warung pinggir jalan, dan di Jogja, jelas murah meriah.
Kala itu Emha sudah berpisah dengan ibunya Sabrang. Mungkin orang sekarang akan bilang "Duda Keren." Jadi di Patangpuluhan untuk urusan orang belum menikah ada ungkapan: "Jangan saling mendahului." Maksudnya menunggu Emha kawin dulu baru yang lainnya menyusul. Saya tahu persis, bahwa itu hanya apologi. Alasan saja. Karena rata-rata tidak laku, sementara usia semakin merambat.
Ada "pelajaran" yang menarik dari Simon Hate. Simon Hate adalah salah satu pemikir di Teater Dinasti. Ia juga aktivis LSM. Berkali-kali ke luar daerah untuk memberikan pelatihan-pelatihan atau workshop. Lingkupnya bisa sosial, budaya, perekonomian rakyat, ke-LSM-an atau strategi demonstrasi. Pribadinya sangat ramah, meskipun jika berbicara sangat meledak-ledak. Ia sangat jarang mandi, sehingga ditiru sama Sabrang kecil. "Ngapain mandi, lha kan habis mandi kotor lagi." Itu alasan yang dibuat-buat Simon Hate. Padahal, "ngapain makan kalau nantinya lapar lagi......"
Rumah Patangpuluhan, orang silih berganti datang dan pergi. Ada yang sekedar datang untuk mengobrol, baca-baca koran, dan pergi lagi. Tapi tidak jarang yang terus menginap berhari-hari. Sehari dua, ia sebagai tamu. Makan dan minum dilayani layaknya tamu. Tiga hari berikutnya sudah bukan tamu lagi. Makan dan minum melayani sendiri. Jika ada makanan kita makan bersama, kalau ternyata tidak ada silakan cari atau beli sendiri.
Semua kebutuhan rumah tangga, Emha-lah yang mencukupi. Emha sendiri adalah seorang pekerja keras. Dalam sehari semalam tidur paling lama empat jam, selebihnya bekerja. Menulis di berbagai media dan berbicara dimana-mana. Tema-temanya beragam. Politik, budaya, perekonomian rakyat, penyembuhan orang sakit, psikologi, keagamaan dan seterusnya.
Suatu hari Emha baru tiba dari Solo, memenuhi undangan panitia sebagai pembicara. Di pintu masuk Emha melempar sesuatu kepada adiknya.
"Roh, nih dimasak......"
Sebuah bungkusan vandel kenang-kenangan sebagai penghargaan untuk berbicara selama dua jam. Dengan ongkos transport pergi pulang biaya sendiri, selama dua jam melayani dialog yang kadang menjengkelkan, panitia yang berbaik-hati menghargai sebuah kenang-kenangan.[]
PATANGPULUHAN V: Emha Tidak Kaya
Sebagaimana kita tahu, periode Patangpuluhan adalah saat-saat dimana Emha sangat produktif. Baik kolom, artikel lepas, wawancara atau cuplikan berita; hampir tiap hari muncul di media massa. Oleh karenanya, banyak buku-buku yang kemudian diterbitkan.
Buku-buku tersebut sebagian besar adalah kumpulan tulisan yang dimuat di media massa. Tidak banyak buku yang sengaja ditulis secara khusus –kecuali puisi atau prosa-- misalnya Dari Pojok Sejarah; Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Maka menjadi istimewa ketika Emha berniat menulis buku dengan serius: “Tafsir Liar.” Sebuah tafsir versi Emha tentang alam, gemericiknya air, jatuhnya daun. Ulasan atau tafsir-tafsir liar ini pada kemudian hari sangat sering ditulis atau diungkap dalam ceramah-ceramahnya. Gagasan ini sangat didukung oleh Mizan, sebagai penerbit. Bahkan secara rutin Mizan melalui Hernowo Taslim acap mengingatkan Emha untuk sedikit meluangkan waktu segera menulis. Namun sampai hari buku tersebut belum jadi. Barangkali Emha sendiri sudah melupakan gagasan itu.
Dengan tingkat produktifitas yang tinggi bukan berarti Emha menjadi orang yang kaya raya. Banyak sekali yang harus ditanggung Emha. Satu misal, sekolah-sekolah di Menturo, Jombang, kampung kelahiran Emha; dari pembayaran gaji guru tiap bulan serta renovasi ruang-ruang kelas yang sudah lapuk. Emha menyanggupi untuk menanggung semua biaya, padahal itu tidak sedikit. Yang dilakukan Emha adalah mendatangi kantor sebuah koran dari Surabaya dan menandatangani kontrak kerjasama, lalu sekian puluh juta diserahkan ke sekolah, dan sekian bulan kedepan Emha berkewajiban menulis kolom. Kasus-kasus semacam ini tidak sedikit.
Harta kekayaan Emha saat itu, kalau boleh disebut, adalah mesin tik tua, yang sering juga saat-saat kepepet harus ‘disekolahkan’ (digadaikan). Ini harta yang tidak ternilai, sebagai cangkul bagi petani. Sementara kendaraan yang dipakai sebuah mobil sejenis Jeep tua. Emha sendiri saat itu belum bisa mengendarai. Untuk latihan dipandu oleh adik angkatnya. Ini agak unik, karena agak lama terampilnya, Emha berinisiatif latihan sendiri dengan cara memundurkan cepat-cepat mobilnya. Logikanya, ketika mahir menyetir mundur pada saatnya nanti di jalan raya menyetir secara normal pasti lancar. Ada-ada saja.
Emha adalah penikmat kopi dan rokok. Jangan harap bisa menulis jika dua benda itu tidak ada. Baginya hukumnya wajib. Sebab tanpa itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ada satu jenis rokok kretek yang sangat dicintai, sampai-sampai produsen rokok itu tiap bulan mengirim secara rutin beberapa box. Bahkan secara sekilas muncul dalam tayangan iklannya. Tentu saja bukan dalam konteks profesionalisme sebagai bintang iklan.
Bertumpuk-tumpuk rokok itu dalam sekejap juga habis. Bukan tipe Emha kalau berpikiran bahwa rokok itu hanya dinikmati sendiri. Untuk mahasiswa-mahasiswa yang sedang demo, tak jarang melalui saya dikirim satu box. Untuk teman-teman yang sedang latihan teater atau untuk tamu-tamu yang silih berganti berdatangan.
Ketika masih SMA Emha pernah diserahi tugas oleh Koran Masa Kini untuk mengasuh rubrik budaya. Maka tidak heran pada suatu waktu berikutnya Emha menyanggupi untuk menata secara redaksional Koran Bernas (manajemen baru) bersama dengan Butet Kertarajasa dan Indro Tranggono. Ini saat dimana Emha menjadi orang kantoran, tiap pagi berangat kerja dan siang harinya pulang. Karena ada sesuatu hal, Emha mengundurkan diri. Kurang lebih bertahan selama tiga atau enam bulan.
Saya sendiri, sebagai mahasiswa, diam-diam tetap mengikuti ujian-ujian. Secara diam-diam pula akhirnya ikut wisuda. Berita ini bocor dan sampai ke telinga Emha: “Wah, sudah sarjana ya….!!!” Saya risih, saya tidak ada apa-apanya dibanding Emha.
PATANGPULUHAN VI: Akhirnya Diusir
Sebagai mahasiswa, saya non-aktif agak lama. Seharusnya masa perkuliahan ditempuh 8 atau 9 semester. Tetapi karena ada beberapa hal yang menyebabkan saya memutuskan jeda sejenak sebagai mahasiswa. Tidak dipungkiri, suasana Patangpuluhan yang begitu mengasyikkan sehingga kadang meninabobokan siapa saja. Hal ini yang sebenarnya Emha sendiri kurang suka. Justru seharusnya siapa saja yang bersentuhan dengan lingkungan Patangpuluhan menjadi lebih baik, kreatif dan mau bekerja keras. Alasan lain adalah, maaf klise, kondisi keuangan keluarga yang semakin kurang mendukung.
Dengan susah payah saya menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Saat menjelang pentas "Keluarga Sakinah" untuk Muktamar Muhammadiyah, diam-diam tanpa pamit kepada Emha saya mengikuti wisuda.
Boleh ya ikut bangga. Meski beda tahun, saya sekampus dengan Ifdhal Kassim (Ketua KOMNAS HAM), Hamid Basyaib (aktifis Freedom Institut), AH Semendawai (Komisi Perlindungan Saksi). Sedang kakak kelas atau dosennya yaitu Moh Mahfud MD (Ketua MK), M Busyro Muqoddas (Ketua KY). Mereka semua adalah orang-orang hebat. Sementara saya hanya 'pekatik......'
Emha sendiri tetap produktif. Ya menulis, juga ke sana kemari memenuhi undangan dari kampus, departemen, panitia keagamaan kampung-kampung berbagai wilayah di Indonesia. Soal menulis, sudah tidak lagi pakai mesin tik tetapi beralih ke komputer sistem WS. Jadul ya. Tapi soal komputer, Emha sampai sekarang adalah jagonya. Bukan sekedar pemakai, tapi 'jeroannya' paham betul. Hal yang sama juga untuk HP. Berbagai macam merk HP sangat paham. Ada produk HP yang belum beredar di Indonesia, entah dari mana Emha bisa mendapatkannya. Kadang, kalau penasaran, berburu ke Roxi untuk mencari HP langka. Bisa yang memang masih baru dan diproduksi sedikit, bisa juga HP jadul yang unik. Kadang secara guyonan ada yang komentar, "Buka saja counter HP atau komputer, menerima service...." Untuk otak-atik, atau service, tidak tahu dari mana ilmunya, Emha sangat terampil.
Aktifitas lain, diminta masuk ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dijadikan salah satu pengurus. Saat itu Emha sedang membantu masyarakat Kedung Ombo yang wilayahnya, dua kabupaten, mau dijadikan program pemerintah (Pak Harto) ditengelamkan sebagai waduk.
Kenapa Emha mau masuk ICMI? Karena BJ Habibie, Ketua Umum ICMI, menjanjikan ICMI bisa membantu perkara Kedung Ombo. Ini adalah syarat Emha mau masuk ICMI. Namun kenyataannya ICMI tidak berani berbenturan dengan Pak Harto. Akhirnya Emha mengundurkan diri dari ICMI.
Sampai suatu saat ada orang dari Jember yang terlilit hutang, sehingga rumah dan harta bendanya mau disita, meminta bantuan kepada Emha. Saya sendiri tidak tahu jalan pikiran Emha. Puluhan juta saya bawa ke Jember sebagai bentuk empati. Anda bayangkan, tahun 90-an, berapa lama Emha mengumpulkan duit sebanyak itu. Orang Jember ini bukan kadang bukan saudara.
Saya sendiri di Jember dijanjikan orang ini satu pekerjaan yang cukup menggiurkan. Hari-hari terus berjalan. Tidak terasa sudah hampir 6 bulan saya hidup di Jember, namun pekerjaan yang saya tunggu-tunggu tak kunjung ada. Diancuk rek....!!
Saya berkirim surat ke Emha, mengabarkan kondisi yang sesungguhnya. Tidak berapa lama Emha mengirim telegram agar saya segera meninggalkan Jember. Saya cari utangan untuk ongkos pulang ke Jogja. (Terima kasih Mas Fachrurrozi, yang membantu meminjamkan uang sebanyak Rp 25.000,- Allah pasti membalasnya. Amiin).
Begitu sampai di Jogja, hal pertama yang harus saya lakukan adalah bayar hutang. Saya ke bank dan transfer ke Jember.
Di Patangpuluhan sendiri orang-orangnya tetap hangat. Ada Toto Rahardjo, Novi Budianto, Indro Tranggono, Butet Kertaredjasa, Agus Noor, SiOng Hari Wahyu, Djadug Ferianto, Joko Kamto. Ternyata sudah terbentuk Komunitas Pak Kanjeng, sedang mempersiapkan reportoar Monolog Pak Kanjeng, tulisan Emha Ainun Nadjib.
Pak Kanjeng adalah representasi dari Pak Jenggot, tokoh penting yang memperjuangkan matian-matian tanah dan wilayah Kedung Ombo yang akan ditenggelamkan menjadi waduk.
Monolog Pak Kanjeng ini dimainkan oleh Novi Budianto, Butet Kertaredjasa dan Joko Kamto. Musik oleh Djadug dan Novi Budianto.
Pada saat rapat pertama kali, semua komunitas Patangpuluhan ditanya, apa yang mau diperbuat atau peran apa yang dilakukan untuk program-program ke depan, terutama rencana mementaskan Monolog Pak Kanjeng. Masing-masing menjawab dengan versinya sendiri-sendiri.
Tibalah giliran kepada saya: "Saya tidak ikut, saya mau ke Jakarta cari kerja...."
Saya sudah harus hengkang dari Patangpuluhan. Di samping itu saya mendapat surat dari Emha agar saya memikirkan masa depan, mencari kerja dan berumahtangga.
Usut punya usut, ternyataToto membisiki Emha agar saya diusir dari Patangpuluhan. Dasar tukang bisik. Toto dan Emha berpikir, di Patangpuluhan sudah tidak kondusif bagi saya. Apapun saya tetap bersyukur. Artinya, Toto Rahardjo, dan Emha Ainun Nadjib, memikirkan saya.
Ketika berlangsung pentas Teater Dinasti mengangkat "Tikungan Iblis" di TIM, 30 Desember 2008, bagai reuni ketemu kawan-kawan lama. Indro Tranggono memburu saya dan berujar, "Kowe diusir Toto ya......!!!" (Cipete dalam, 10/02/2009)
PATANGPULUHAN VII: Mbambung
Bukan Jakarta yang saya tuju. Jakarta kota yang asing. Akses teman-teman yang sudah lebih dulu di Jakarta tidak punya. Sebetulnya ada beberapa saudara yang sudah menetap dan tinggal di Jakarta tapi tidak saya sambangi. Ada rasa ewuh-pekewuh dan takut merepotkan. Saya menuju karib saya di Cilamaya, Karawang. Ia sedang merintis karir sebagai pengacara.
Sebenarnya ketika masih di Patang Puluhan pernah bersama dengan Emha, Sabrang dan Mbak Neneng (ibundanya Sabrang) naik kereta api menuju Jakarta. Sabrang kecil sangat menyukai kereta api, sehingga terlontar cita-cita kelak menjadi seorang ahli yang bisa membereskan transportasi KA.
Di Karawang inilah angan-angan saya menerapkan disiplin ilmu yang saya tekuni selama ini mulai terbuka. Saya kenal beberapa pengacara-pengacara muda yang dinamis. Untuk beberapa urusan saya jadi sering ke Jakarta. Bahkan sempat gabung dalam LSM yang konsern terhadap nasib buruh. Jika Anda ingat kejadian kerusuhan demo buruh di beberapa kota di Indonesia, pertengahan 90-an, terutama Medan, salah satu motor penggeraknya LSM tersebut. Ini bukan kebanggaan, justru sebaliknya hati kecil saya sangat prihatin. Dari LSM tersebut saya dikirim ke Lampung untuk membuka semacam LBH (Lembaga Bantuan Hukum) khusus untuk advokasi masalah perburuhan.
Saya agak lama tidak kontak dengan Patang Puluhan. Namun entah tahu dari mana Emha menelpon saya agar menjemput Sabrang di Bandara Branti, Bandar Lampung, untuk selanjutnya diantar ke Metro, Lampung Tengah, jaraknya cukup jauh ditempuh dalam waktu dua-tiga jam. Selama liburan sekolah Sabrang dijadwalkan untuk bersama papanya di Jogja. Dalam waktu yang singkat itu Emha memanfaatkan betul bersama anaknya, meskipun jadwal acara Emha tidak pernah sepi.
Sabrang sendiri pernah mengunjungi saya di Tanjung Karang dengan kawan akrabnya, Sujatmiko (kini menjadi teknisi handal Letto). Saya juga beberapa kali main ke Metro untuk saling melepas kangen dengan keluarga Mbak Neneng. Saya sangat mengenal baik dua keluarga besar Sabrang. Emha dengan keluarganya di Jombang, ibu, kakak dan adik-adiknya. Juga dengan ibunya Sabrang, Mbak Neneng, Ibu Kami, eyangnya, dan Pak Dhe, tante serta sepupu Sabrang.
Beberapa bulan berikutnya adik Emha, Adil Amrullah, menelpon bahwa ia sedang berada di Tanjung Karang, Lampung. Saya menemuinya di kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Ia ditugasi Emha untuk mengurus surat-surat pengantar untuk melanjutkan pendidikan lanjutan -–SMU-- bagi Sabrang di Jogjakarta. Ya, Sabrang telah menyelesaikan SMP Xaverius di Metro.
Surat-surat yang diurus Adil telah selesai. Saya ada tugas baru. Mengantar perjalanan Sabrang dari Metro menuju Jogjakarta dengan menggunakan bus malam. Sungguh perjalanan di bulan Ramadhan yang sangat menghauskan. Ya, saya muncul lagi di Patang Puluhan. Eh, maaf. Emha sekarang bertempat tinggal di Kasihan, Bantul.
Untuk rumah Kasihan, Bantul, bagian ini agak terlompati. Mohon dimaklumi, saya kilas balik lagi di Patang Puluhan.
Diam-diam Emha beli tanah milik Novi Budianto (aktor dan pemusik teater Dinasti, teater Gandrik, dan sekarang KiaiKanjeng). Novi dan teman-teman Gandrik mempunyai tanah saling bersebelahan di Kasihan, Bantul. Mungkin saja hasil dari sukses besar pentas-pentas Gandrik, yang saat itu memang fenomenal. Entah bagaimana ceritanya, Novi menjual kepada Emha. Sebidang tanah itu kemudian dibangun rumah oleh Ir. Ahmad Fanani, seorang arsitek, kawan karib Emha. (Ahmad Fanani adalah salah satu pendiri Jamaah Shalahuddin UGM, bersama antara lain dr. Samhari Baswedan).
Saat itu Emha sudah mulai bisa menabung. Suatu hari saya dipanggil dari kamarnya, ia menunjukkan beberapa bundel uang puluhan ribu di dalam tas, yang sudah lapuk dan berjamur. Entah berapa lama Emha menyisihkan uang tersebut. Untuk urusan bank, Emha tidak mau tahu. Saya bawa uang itu, mungkin lima belas jutaan, untuk ditukar dengan dollar. Entah diprovokasi oleh siapa Emha berinisiatif mendepositokan dalam bentuk dollar. Ini bikin repot.
Form aplikasi deposito saya ambil dari suatu bank di Jl. Ahmad Dahlan, dibawa ke Patang Puluhan.
Lho kok Patang Puluhan?
Ya, rumahnya ‘kan belum jadi.
Diisi dan ditandatangani, saya antar lagi ke bank. Dari pihak bank ingin bertemu langsung, ditemuilah Emha di teras rumah Patang Puluhan. Bank merasa terhormat bahwa Emha, yang sudah sangat dikenal, menjadi nasabahnya.
Tanggungjawab pembangunan rumah Kasihan diserahkan kepada saya dan Imam Syuhada, dibantu sama arek Menturo, Jombang, Solikan ‘Toji’ (mohon maaf, toji, guyonan yang kurang ajar, moto siji, karena mata yang satu buta). Tiap Sabtu Emha harus membayar segala macam kebutuhan proyek ini; dari material, pengurusan IMB dan ongkos tenaga kerja. Saya ingat betul, target anggaran semula dua puluh lima juta rupiah tapi membengkak sampai empatpuluhan juta rupiah. Terkadang saya mendengar keluhan Emha, “Lha, kok ora rampung-rampung….”
Pada akhirnya rumah Kasihan yang kecil terbangun, Emha sendiri tetap betah tinggal di Patang Puluhan. Adik-adiknya-lah yang menempati. Dijadikan pengajian anak-anak kampung sekitar, sampai terbentuk “TKIT-Alhamdulillah” (Taman Kanak-kanak Islam Terpadu). Sampai suatu saat Sabrang pindah ke Jogja, mau tidak mau Emha harus meninggalkan Patang Puluhan. Kelak tempat ini dijadikan pusat kegiatan yang dijalankan adik-adik Emha; penerbitan (Zaituna), pendidikan dan acara rutin Mocopat Syafaat yang selalu diadakan pada tanggal 17 kalender Masehi.
Kenapa selalu tanggal 17…?
Jauh sebelumnya, kenapa ada Pengajian Padhang mBulan…? []
Ditulis Oleh : Munzir Majid
Catatan : Kenduri Cinta
Catatan Dari Patangpuluhan
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>