Siapa Madubronto?
Adalah R Wedana Madubronto, seorang kerabat Kraton Jogjakarta yang menjadi guru Nyi Tjondrolukito, pesinden yang sangat masyhur di jamannya. Maafkan, saya tidak akan menulis tentang sejarah seni tradisional Jawa yang adiluhung ini.
Madubronto dikenal juga sebagai nama motif-motif batik Jogjakarta. Di Solo dan Jogjakarta, Madubronto juga dijadikan nama sebuah jalan. Jalan Madubronto. Ya, ijinkan saya bercerita tentang nama sebuah jalan di Kelurahan Patangpuluhan, Jogjakarta. Gang Madubronto. Kemudian menjadi Jalan Madubronto.
Jalan Madubronto terletak di sebelah kanan Pasar Legi Patangpuluhan. Sebuah alamat: Jl. Madubronto No. 4 Patangpuluhan, Yogyakarta 55251 tertulis di puluhan amplop yang berserakan di meja. Rupanya tukang pos baru saja mengantar satu tumpukan surat-surat, bahkan terlihat selembar telegram warna biru. Coba perhatikan lebih dekat:
Penulisan Jogjakarta masih memakai “Y” belum berubah menjadi “J” sebagaimana warganya lebih suka menulis dengan ejaan Jogjakarta. Yogyakarta, bukan Jogjakarta.
Surat-surat yang berserakan itu, tiap hari rata-rata sepuluh amplop diantar Pak Pos, berasal dari berbagai penjuru tanah air. Tidak jarang datang pula dari luar negeri. Sebagian besar berasal dari berbagai lembaga yang menyampaikan permohonan atau undangan kepada Emha untuk menjadi nara sumber; baik pengajian tingkat kampung, seminar nasional dari sebuah universitas ternama maupun permintaan dari seorang wanita yang mau meresmikan pembukaan usaha pijat untuk mengembalikan (maaf) vitalitas seorang lelaki. Selebihnya surat-surat permohonan sumbangan pembangunan masjid atau mushalla dari berbagai wilayah negeri.
Jalan Madubronto, lebih dikenal “Madubronto” adalah alamat letak rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib, sebuah rumah petak berdinding separo tembok dan sisanya “gedek” (anyaman bambu) yang warna catnya sudah tidak jelas lagi. Kusam. Di sana sini cat yang seharusnya melindungi tembok telah mengelupas.
Beberapa kali Emha mengganti warna cat, terkadang biru atau warna krem. Tapi karena tingkat penggantiannya agak terlalu lama maka lebih sering keseluruhan rumah itu kelihatan kusam. Namun begitu ada salah satu tetangga yang sering memperhatikan Emha. Dari berbagai undangan yang masuk, Emha bisa menyisihkan sebagian honor untuk kepentingan rumah tangga. Untuk sekedar hiburan dibelilah pesawat televisi hitam putih 14 inc. Emha sendiri jarang menonton televisi, kecuali ada acara sepak bola dunia atau pertandingan tinju. Terutama tontonan olah raga tinju, acara ini jangan sampai terlewatkan. Sering terjadi saat ada acara pertandingan tinju, Emha kadung menyanggupi panitia untuk hadir sebagai pembicara. Akhirnya menyesal dan menggerutu sendiri.
Jika dirasa warna cat sudah tidak layak pandang, dengan bantuan adik angkatnya, Syaiful namanya, sekeliling rumah dirias dengan warna yang lebih terang. Hal ini juga tidak luput dari perhatian salah satu tetangga tadi. Kalau sekedar memperhatikan tampaknya tidak menjadi soal benar, ini agak berbeda. Apa yang diperbuat Emha pasti diikuti. Hal ini sebenarnya tidak diketahui oleh Emha. Ketika pertama Emha beli televisi, ternyata dua hari berikutnya ia juga membeli televisi. Saat berikutnya mengecat rumah, warna tembok rumahnya juga ikut-ikutan diganti. Lama-lama akhirnya Emha sadar. Lho, kok tetangga ini aneh. Emha berpikir, ya sudah biarkan saja.
Untuk transportasi, Emha mengendarai Vespa (atau merek Bajaj) warna biru. Namun tiba-tiba, pada suatu saat, di depan rumah Emha sudah nongkrong sebuah kendaraan Jeep tua. Emha sendiri tidak menceritakan asal muasal kendaraan itu. Saat itu, dia sendiri belum bisa mengendarai. Bisa ditebak, sang tetangga juga lalu meniru membeli sebuah mobil. Emha jengah juga. Emha kemudian bereksperimen. Rumah lalu dicat lagi warna merah, betul diikuti. Seminggu kemudian Emha mengganti warna hitam. Tembok, gedek dan pintu berubah warna hitam. Di sana sini hitam. “Emha sedang duka cita,” beberapa teman berbisik. Teman-teman tidak berani bertanya langsung kepada Emha kenapa semua berubah hitam. Ya, berhasil. Tindakan ‘nyeleneh’ Emha ternyata tidak diikuti. Mungkin tetangga berpikir, ngapain ngikutin orang gendheng.
*****
Rumah Emha selain identik dengan Patangpuluhan, Madubronto juga dijadikan ‘tetenger.’ Pengingat. Emha ya Patangpuluhan, ya Madubronto.
“Rumahnya di mana Mbak?”
“Jalan Madubronto...”
“Sebelah mana rumahnya Cak Nun?”
Jika Anda menginap di rumah Emha, di pagi hari lalu membuka jendela depan, di jalanan orang sudah berlalu lalang ke pasar. Pasar sangat dekat. Pasar Legi Patangpuluhan. Seratus atau dua ratus meter dari kediaman Emha. Sesekali saya ke pasar mencari makanan untuk sarapan. Jajanan pasar khas Jogja masih banyak terlihat di sudut-sudut pasar dijual simbok atau simbah. ‘Simbok’ atau ‘simbah’ adalah sebutan untuk ibu-ibu. Ibu-ibu pasar ini orang-orang perkasa. Mereka datang dari dusun-dusun sekitar sejak dini hari dengan bersepeda. Jangan Anda bayangkan ibu-ibu ini mau memakai celana panjang. Meskipun menaiki sepeda onthel (genjot) tetap saja berkain. Tetap saja lincah.
Kue lopis, gethuk dan nasi ketan saya beli beberapa pincuk. Dengan secangkir kopi hitam pagi ini terasa ‘gayeng.’ Jangan lupa kepulkan sebatang rokok kretek. Tentu saja jajanan itu tidak saya habiskan sendiri. Untuk nasi ketan, dicampur parutan kelapa muda saya suguhkan untuk Emha. Jika Anda bertemu Emha, dimanapun, terutama saat santai, suguhkan makanan ini. Nasi ketan warna putih yang telah dicampur dengan biji-bijian kedelai, taburi parutan kelapa muda sedikit rasa asin. Dengan suka cita Emha akan berulang-ulang mengucap terima kasih. Makanan ini sangat disukai Emha.
*****
Setelah melihat lalu lalang orang pergi atau pulang dari pasar, secara perlahan Anda menengok ke tempat duduk di teras, Anda akan disambut dengan senyum seorang wanita yang duduk manis. Panggilah namanya, “Nur...!!!” Serta merta ia menengok dengan senyum, dan tiba-tiba berubah menjadi tertawa terbahak-bahak. Nur setia menunggu Anda di pagi hari membuka jendela. Lalu pergi entah kemana. Siang hari akan datang lagi. Duduk rapi di teras rumah. Pergi lagi. Sore menjelang magrib ia sudah terlihat di teras sedang tiduran.
Nur, seorang wanita gila. Ia nyaman duduk di teras rumah Emha karena tidak ada yang mengusik. Tidak ada yang mengganggu. Tidak ada yang mengusirnya. Semua sahabat Emha dan kerabat Nur tahu itu. Pun jika ada tamu. Ia ikut duduk mendengarkan, meskipun mungkin tidak paham apa yang jadi pembicaraan. Bertahun-tahun Nur berbuat hal yang sama. Datang di teras, duduk dan pergi. Terkadang tiduran. Kami, penghuni rumah Emha paling sekedar menyapa, tanpa bermaksud mengganggu. “Nur, tuh disuruh pulang sama ibu.” Kemudian ia bangkit sambil tersenyum lalu melangkah pergi.
Emha, sebagian orang mengenal sebagai seorang penyair, atau sebagai seorang pembicara yang baik. Di ‘wilayah’ lain, dikenal juga sebagai juru sembuh. Kadang sebutan ‘dukun’ melekat juga padanya. Kita sepakat, dokter atau dukun bukanlah faktor penyembuh. Semua adalah perkenan Tuhan. Dalam keadaan darurat, Emha sering diposikan sebagai dukun. Kadang Emha terburu-buru pergi dijemput orang untuk datang menyembuhkan seseorang. Sebisa mungkin amanat ini dijalankan Emha.
Ketika tiba-tiba terdengar kabar Pak Kuntowijoyo koma dan masuk rumah sakit, terserang virus meningo enchepalitis pada otaknya, Emha, sebagai sahabatnya, mengumpulkan kawan-kawan di lingkaran Patangpuluhan untuk membacakan wirid. Emha meninta izin kepada isterinya. Tradisi wirid (untuk penyembuhan) sebenarnya kurang dikenal di kalangan Muhammadiyah. Pak Kunto, selain sebagai budayawan dikenal juga sebagai tokoh Muhammadiyah. Rasa tidak enak kepada kerabat dan warga Muhammadiyah, maka Emha meminta izin kepada Dra Susilaningsih MA, isteri Pak Kunto. Dibacalah berulang-ulang tiga sifat Allah dalam Asmaul Khusna:
“Ya Khaliq...”
“Ya Bari’...”
“Ya Mushawwir...”
Dengan izin Allah, tiga bulan kemudian Pak Kunto sadar dari koma. Kita akhirnya disuguhkan karya-karya Pak Kunto lebih cemerlang. Kata sebagian pengamat, sejak sembuh dari sakit, pikiran-pikiran Pak Kunto semakin cerdas. Empat tahun kemudian, kita membaca berita “Prof Dr Kuntowijoyo, sejarawan, budayawan, sastrawan, sekaligus guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa (22/2/2005) pukul 16.00."
Berasal dari Allah, dan kembali kepada-Nya.
*****
Maka jika suatu hari datang seorang setengah baya yang mengaku sebagai paranormal dari daerah Cepu atau Blora, ingin menemui Emha adalah mungkin sesuatu hal yang wajar. Barangkali saja ingin bersilaturrahmi sesama ‘dukun.’
“Mas Emha ada?”
Pertanyaan mudah tetapi selalu susah untuk menjawab. Bohong adalah dosa. Itu sudah saya pahami sejak kecil. Apa perlu saya jawab jujur. Emha baru saja tiba dari luar kota dan sudah tiga hari kurang tidur. Sering kali orang cenderung memaksa, tidak mempunyai imajinasi tentang orang lain, yang dikedepankan adalah kepentingan diri. Ini sering sekali terjadi.
“Sebentar Pak, saya lihat dulu, tadi sih ada!”
Saya berusaha menjawab seramah mungkin. Saya masuk kamar, Emha sedang tidur kelelahan.
“Tidak tahu pergi kemana, Pak.”
Saya menjawab bohong. Allah, kalau itu sebuah dosa saya mempunyai argumen. Tentu saja saya percaya Tuhan melihat dari berbagai sisi asal mula kebohongan. Ia akan menilai dengan tepat.
“Mau minum apa Pak, kopi atau teh?”
Saya menawarkan minuman lalu masuk ke dalam. Saya longok kamar dan Emha berbisik:
“Ada tamu siapa?”
“Paranormal dari Cepu atau Blora, gitu.”
“Capai banget, saya tidak mungkin menemui. Tanyakan keperluannya apa, kalau ada yang penting ditulis saja, nanti saya jawab perpos.”
Saya suguhkan kopi, lalu saya bilang:
“Kayaknya Mas Emha lama, apa sebaiknya keperluannya ditulis saja.”
“Ini penting banget, saya harus ketemu langsung, saya tunggu saja ya!”
Aduh mati awak. Buntu. Jelas, tidak mungkin saya mengusir seorang tamu. Saya menemani ngobrol ngalor ngidul. Soal dunia paranormal, juga soal pencurian kayu-kayu jati di hutan sekitar Cepu dan Blora.
“Nih, data-data saya lengkap.”
Ia menunjukkan sebundel catatan yang telah diketik rapi secara kronologis lika-liku pencurian kayu glondongan. Ternyata pencurian besar-besaran telah terjadi dilakukan oleh sebagian penduduk sekitar dan melibatkan juga beberapa oknum petugas dari perhutani maupun pihak keamanan.
“Ditinggal saja bagaimana, Pak.”
“Wah, saya juga juga harus ketemu, ini soal paranormal.”
Oh. Ia bercerita tentang dirinya yang mempunyai kemampuan ‘melihat’ yang tidak kasat mata. Sebutan lain, ia seorang dukun. Saya pura-pura mau ke kamar mandi dulu. Saya temui Emha dengan perasaan khawatir, ketakutan kebohongan saya terbongkar. Saya sadar ia seorang dukun. Pasti tahu bahwa Emha ada di dalam.
“Aduh, gimana Cak, tamunya seorang dukun, jangan-jangan...”
“Sudah tenang saja, kamu temani saja.”
Alhamdulillah sampai dia pamitan tanpa sedikitpun ada perasaan curiga. Ternyata Emha seorang ‘dukun’ juga. Ia mampu menutupi kebaradaannya di dalam kamar. Atau jangan-jangan Emha bersikap biasa saja, sebagaimana kebanyakan orang, hanya saja sang tamu yang ‘ilmu’-nya belum sampai, tidak bisa mendeteksi keberadaan seseorang. “Emha ‘kan dukun juga!” kata Ali Syahbana, seorang kawan dari Mandar yang kemudian menjadi PNS di Jogjakarta (semoga Bang Ali nyaman di sisi Allah).
Ah, ada-ada saja. []
Ditulis oleh : Munzir Majid
Catatan : Kenduri Cinta
Adalah R Wedana Madubronto, seorang kerabat Kraton Jogjakarta yang menjadi guru Nyi Tjondrolukito, pesinden yang sangat masyhur di jamannya. Maafkan, saya tidak akan menulis tentang sejarah seni tradisional Jawa yang adiluhung ini.
Madubronto dikenal juga sebagai nama motif-motif batik Jogjakarta. Di Solo dan Jogjakarta, Madubronto juga dijadikan nama sebuah jalan. Jalan Madubronto. Ya, ijinkan saya bercerita tentang nama sebuah jalan di Kelurahan Patangpuluhan, Jogjakarta. Gang Madubronto. Kemudian menjadi Jalan Madubronto.
Jalan Madubronto terletak di sebelah kanan Pasar Legi Patangpuluhan. Sebuah alamat: Jl. Madubronto No. 4 Patangpuluhan, Yogyakarta 55251 tertulis di puluhan amplop yang berserakan di meja. Rupanya tukang pos baru saja mengantar satu tumpukan surat-surat, bahkan terlihat selembar telegram warna biru. Coba perhatikan lebih dekat:
Kepada Yth.
Bapak Emha Ainun Nadjib
Jl. Madubronto No. 4 Patangpuluhan
Yogyakarta 55251
Penulisan Jogjakarta masih memakai “Y” belum berubah menjadi “J” sebagaimana warganya lebih suka menulis dengan ejaan Jogjakarta. Yogyakarta, bukan Jogjakarta.
Surat-surat yang berserakan itu, tiap hari rata-rata sepuluh amplop diantar Pak Pos, berasal dari berbagai penjuru tanah air. Tidak jarang datang pula dari luar negeri. Sebagian besar berasal dari berbagai lembaga yang menyampaikan permohonan atau undangan kepada Emha untuk menjadi nara sumber; baik pengajian tingkat kampung, seminar nasional dari sebuah universitas ternama maupun permintaan dari seorang wanita yang mau meresmikan pembukaan usaha pijat untuk mengembalikan (maaf) vitalitas seorang lelaki. Selebihnya surat-surat permohonan sumbangan pembangunan masjid atau mushalla dari berbagai wilayah negeri.
Jalan Madubronto, lebih dikenal “Madubronto” adalah alamat letak rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib, sebuah rumah petak berdinding separo tembok dan sisanya “gedek” (anyaman bambu) yang warna catnya sudah tidak jelas lagi. Kusam. Di sana sini cat yang seharusnya melindungi tembok telah mengelupas.
Beberapa kali Emha mengganti warna cat, terkadang biru atau warna krem. Tapi karena tingkat penggantiannya agak terlalu lama maka lebih sering keseluruhan rumah itu kelihatan kusam. Namun begitu ada salah satu tetangga yang sering memperhatikan Emha. Dari berbagai undangan yang masuk, Emha bisa menyisihkan sebagian honor untuk kepentingan rumah tangga. Untuk sekedar hiburan dibelilah pesawat televisi hitam putih 14 inc. Emha sendiri jarang menonton televisi, kecuali ada acara sepak bola dunia atau pertandingan tinju. Terutama tontonan olah raga tinju, acara ini jangan sampai terlewatkan. Sering terjadi saat ada acara pertandingan tinju, Emha kadung menyanggupi panitia untuk hadir sebagai pembicara. Akhirnya menyesal dan menggerutu sendiri.
Jika dirasa warna cat sudah tidak layak pandang, dengan bantuan adik angkatnya, Syaiful namanya, sekeliling rumah dirias dengan warna yang lebih terang. Hal ini juga tidak luput dari perhatian salah satu tetangga tadi. Kalau sekedar memperhatikan tampaknya tidak menjadi soal benar, ini agak berbeda. Apa yang diperbuat Emha pasti diikuti. Hal ini sebenarnya tidak diketahui oleh Emha. Ketika pertama Emha beli televisi, ternyata dua hari berikutnya ia juga membeli televisi. Saat berikutnya mengecat rumah, warna tembok rumahnya juga ikut-ikutan diganti. Lama-lama akhirnya Emha sadar. Lho, kok tetangga ini aneh. Emha berpikir, ya sudah biarkan saja.
Untuk transportasi, Emha mengendarai Vespa (atau merek Bajaj) warna biru. Namun tiba-tiba, pada suatu saat, di depan rumah Emha sudah nongkrong sebuah kendaraan Jeep tua. Emha sendiri tidak menceritakan asal muasal kendaraan itu. Saat itu, dia sendiri belum bisa mengendarai. Bisa ditebak, sang tetangga juga lalu meniru membeli sebuah mobil. Emha jengah juga. Emha kemudian bereksperimen. Rumah lalu dicat lagi warna merah, betul diikuti. Seminggu kemudian Emha mengganti warna hitam. Tembok, gedek dan pintu berubah warna hitam. Di sana sini hitam. “Emha sedang duka cita,” beberapa teman berbisik. Teman-teman tidak berani bertanya langsung kepada Emha kenapa semua berubah hitam. Ya, berhasil. Tindakan ‘nyeleneh’ Emha ternyata tidak diikuti. Mungkin tetangga berpikir, ngapain ngikutin orang gendheng.
*****
Rumah Emha selain identik dengan Patangpuluhan, Madubronto juga dijadikan ‘tetenger.’ Pengingat. Emha ya Patangpuluhan, ya Madubronto.
“Rumahnya di mana Mbak?”
“Jalan Madubronto...”
“Sebelah mana rumahnya Cak Nun?”
Jika Anda menginap di rumah Emha, di pagi hari lalu membuka jendela depan, di jalanan orang sudah berlalu lalang ke pasar. Pasar sangat dekat. Pasar Legi Patangpuluhan. Seratus atau dua ratus meter dari kediaman Emha. Sesekali saya ke pasar mencari makanan untuk sarapan. Jajanan pasar khas Jogja masih banyak terlihat di sudut-sudut pasar dijual simbok atau simbah. ‘Simbok’ atau ‘simbah’ adalah sebutan untuk ibu-ibu. Ibu-ibu pasar ini orang-orang perkasa. Mereka datang dari dusun-dusun sekitar sejak dini hari dengan bersepeda. Jangan Anda bayangkan ibu-ibu ini mau memakai celana panjang. Meskipun menaiki sepeda onthel (genjot) tetap saja berkain. Tetap saja lincah.
Kue lopis, gethuk dan nasi ketan saya beli beberapa pincuk. Dengan secangkir kopi hitam pagi ini terasa ‘gayeng.’ Jangan lupa kepulkan sebatang rokok kretek. Tentu saja jajanan itu tidak saya habiskan sendiri. Untuk nasi ketan, dicampur parutan kelapa muda saya suguhkan untuk Emha. Jika Anda bertemu Emha, dimanapun, terutama saat santai, suguhkan makanan ini. Nasi ketan warna putih yang telah dicampur dengan biji-bijian kedelai, taburi parutan kelapa muda sedikit rasa asin. Dengan suka cita Emha akan berulang-ulang mengucap terima kasih. Makanan ini sangat disukai Emha.
*****
Setelah melihat lalu lalang orang pergi atau pulang dari pasar, secara perlahan Anda menengok ke tempat duduk di teras, Anda akan disambut dengan senyum seorang wanita yang duduk manis. Panggilah namanya, “Nur...!!!” Serta merta ia menengok dengan senyum, dan tiba-tiba berubah menjadi tertawa terbahak-bahak. Nur setia menunggu Anda di pagi hari membuka jendela. Lalu pergi entah kemana. Siang hari akan datang lagi. Duduk rapi di teras rumah. Pergi lagi. Sore menjelang magrib ia sudah terlihat di teras sedang tiduran.
Nur, seorang wanita gila. Ia nyaman duduk di teras rumah Emha karena tidak ada yang mengusik. Tidak ada yang mengganggu. Tidak ada yang mengusirnya. Semua sahabat Emha dan kerabat Nur tahu itu. Pun jika ada tamu. Ia ikut duduk mendengarkan, meskipun mungkin tidak paham apa yang jadi pembicaraan. Bertahun-tahun Nur berbuat hal yang sama. Datang di teras, duduk dan pergi. Terkadang tiduran. Kami, penghuni rumah Emha paling sekedar menyapa, tanpa bermaksud mengganggu. “Nur, tuh disuruh pulang sama ibu.” Kemudian ia bangkit sambil tersenyum lalu melangkah pergi.
Emha, sebagian orang mengenal sebagai seorang penyair, atau sebagai seorang pembicara yang baik. Di ‘wilayah’ lain, dikenal juga sebagai juru sembuh. Kadang sebutan ‘dukun’ melekat juga padanya. Kita sepakat, dokter atau dukun bukanlah faktor penyembuh. Semua adalah perkenan Tuhan. Dalam keadaan darurat, Emha sering diposikan sebagai dukun. Kadang Emha terburu-buru pergi dijemput orang untuk datang menyembuhkan seseorang. Sebisa mungkin amanat ini dijalankan Emha.
Ketika tiba-tiba terdengar kabar Pak Kuntowijoyo koma dan masuk rumah sakit, terserang virus meningo enchepalitis pada otaknya, Emha, sebagai sahabatnya, mengumpulkan kawan-kawan di lingkaran Patangpuluhan untuk membacakan wirid. Emha meninta izin kepada isterinya. Tradisi wirid (untuk penyembuhan) sebenarnya kurang dikenal di kalangan Muhammadiyah. Pak Kunto, selain sebagai budayawan dikenal juga sebagai tokoh Muhammadiyah. Rasa tidak enak kepada kerabat dan warga Muhammadiyah, maka Emha meminta izin kepada Dra Susilaningsih MA, isteri Pak Kunto. Dibacalah berulang-ulang tiga sifat Allah dalam Asmaul Khusna:
“Ya Khaliq...”
“Ya Bari’...”
“Ya Mushawwir...”
Dengan izin Allah, tiga bulan kemudian Pak Kunto sadar dari koma. Kita akhirnya disuguhkan karya-karya Pak Kunto lebih cemerlang. Kata sebagian pengamat, sejak sembuh dari sakit, pikiran-pikiran Pak Kunto semakin cerdas. Empat tahun kemudian, kita membaca berita “Prof Dr Kuntowijoyo, sejarawan, budayawan, sastrawan, sekaligus guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa (22/2/2005) pukul 16.00."
Berasal dari Allah, dan kembali kepada-Nya.
*****
Maka jika suatu hari datang seorang setengah baya yang mengaku sebagai paranormal dari daerah Cepu atau Blora, ingin menemui Emha adalah mungkin sesuatu hal yang wajar. Barangkali saja ingin bersilaturrahmi sesama ‘dukun.’
“Mas Emha ada?”
Pertanyaan mudah tetapi selalu susah untuk menjawab. Bohong adalah dosa. Itu sudah saya pahami sejak kecil. Apa perlu saya jawab jujur. Emha baru saja tiba dari luar kota dan sudah tiga hari kurang tidur. Sering kali orang cenderung memaksa, tidak mempunyai imajinasi tentang orang lain, yang dikedepankan adalah kepentingan diri. Ini sering sekali terjadi.
“Sebentar Pak, saya lihat dulu, tadi sih ada!”
Saya berusaha menjawab seramah mungkin. Saya masuk kamar, Emha sedang tidur kelelahan.
“Tidak tahu pergi kemana, Pak.”
Saya menjawab bohong. Allah, kalau itu sebuah dosa saya mempunyai argumen. Tentu saja saya percaya Tuhan melihat dari berbagai sisi asal mula kebohongan. Ia akan menilai dengan tepat.
“Mau minum apa Pak, kopi atau teh?”
Saya menawarkan minuman lalu masuk ke dalam. Saya longok kamar dan Emha berbisik:
“Ada tamu siapa?”
“Paranormal dari Cepu atau Blora, gitu.”
“Capai banget, saya tidak mungkin menemui. Tanyakan keperluannya apa, kalau ada yang penting ditulis saja, nanti saya jawab perpos.”
Saya suguhkan kopi, lalu saya bilang:
“Kayaknya Mas Emha lama, apa sebaiknya keperluannya ditulis saja.”
“Ini penting banget, saya harus ketemu langsung, saya tunggu saja ya!”
Aduh mati awak. Buntu. Jelas, tidak mungkin saya mengusir seorang tamu. Saya menemani ngobrol ngalor ngidul. Soal dunia paranormal, juga soal pencurian kayu-kayu jati di hutan sekitar Cepu dan Blora.
“Nih, data-data saya lengkap.”
Ia menunjukkan sebundel catatan yang telah diketik rapi secara kronologis lika-liku pencurian kayu glondongan. Ternyata pencurian besar-besaran telah terjadi dilakukan oleh sebagian penduduk sekitar dan melibatkan juga beberapa oknum petugas dari perhutani maupun pihak keamanan.
“Ditinggal saja bagaimana, Pak.”
“Wah, saya juga juga harus ketemu, ini soal paranormal.”
Oh. Ia bercerita tentang dirinya yang mempunyai kemampuan ‘melihat’ yang tidak kasat mata. Sebutan lain, ia seorang dukun. Saya pura-pura mau ke kamar mandi dulu. Saya temui Emha dengan perasaan khawatir, ketakutan kebohongan saya terbongkar. Saya sadar ia seorang dukun. Pasti tahu bahwa Emha ada di dalam.
“Aduh, gimana Cak, tamunya seorang dukun, jangan-jangan...”
“Sudah tenang saja, kamu temani saja.”
Alhamdulillah sampai dia pamitan tanpa sedikitpun ada perasaan curiga. Ternyata Emha seorang ‘dukun’ juga. Ia mampu menutupi kebaradaannya di dalam kamar. Atau jangan-jangan Emha bersikap biasa saja, sebagaimana kebanyakan orang, hanya saja sang tamu yang ‘ilmu’-nya belum sampai, tidak bisa mendeteksi keberadaan seseorang. “Emha ‘kan dukun juga!” kata Ali Syahbana, seorang kawan dari Mandar yang kemudian menjadi PNS di Jogjakarta (semoga Bang Ali nyaman di sisi Allah).
Ah, ada-ada saja. []
Ditulis oleh : Munzir Majid
Catatan : Kenduri Cinta
MADUBRONTO
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>