Cerpen : Em. Syuhada'
TAK ada hal yang menggembirakan bagi warga Pesantren Sundul Langit selain memperoleh bantuan dana dari pemerintah yang jumlahnya lumayan banyak. Bantuan yang berasal dari kas pemerintah pusat itu cair seminggu yang lalu, langsung ditransfer dari jakarta tanpa pungutan sepeser pun. Ini sungguh kabar menggembirakan. Betapa tidak, pesantren dibawah asuhan Kiai Khos itu tentu memiliki peluang lebih besar untuk terus berkibar menunjukkan eksistensinya.
Selama ini, Pesantren Sundul Langit memang terkenal sebagai pesantren modern yang namanya cukup terkenal. Sepadan dengan namanya, pesantren ini telah mengangkasa melintasi batas-batas geografis. Santri yang mukim tak hanya berasal dari wilayah sekitar di mana pesantren itu berada, namun berasal juga dari tempat-tempat yang jauh. Itulah sebabnya, Kiai Khos terus berusaha mengembangkan pesantren menuju gerbang yang dicita-citakan.
Maka jangan heran jika sesekali engkau berkunjung ke pesantren ini, engkau akan menjumpai santri yang tak hanya fasih membaca kitab-kitab gundul. Kau akan temukan juga betapa hampir seluruh santri mahir dalam memainkan tombol komputer. Suasana pesantren yang asri dan nyaman, sangat bertentangan dengan image yang beredar di masyarakat bahwa pesantren adalah tempat yang kumuh dan kumal. Dan lihatlah disana, sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat lengkap. Sungguh! Apa yang kau lihat di pesantren ini sangat menggambarkan jika Pesantren Sundul Langit bukanlah pesantren konservatif yang tak bersedia membuka diri dengan perkembangan dunia luar.
Memang sudah menjadi tekad Kiai Khos, melihat perkembangan zaman yang begitu niscaya, ia tidak menginginkan jika santrinya kelak menjadi manusia yang gagap. Itulah sebabnya, segala macam cara ditempuh. Mulai dari menyediakan lab komputer sampai bahasa, mendirikan bengkel kerja untuk mengembangkan bakat dan ketrampilan santri, mendatangkan tenaga profesional untuk memberikan pelatihan-pelatihan, dan lain sebagainya.
Bagi Kiai Khos, sangat riskan jika dia harus membebankan semua biaya hanya kepada wali santri. Ia tak ingin jika terbentuk opini bahwa Pesantren Sundul Langit adalah pesantren termahal. Maka satu-satunya jalan adalah dengan menjalin komunikasi dengan kalangan birokrasi.
Ini sungguh berbeda dengan puluhan tahun silam, ketika pesantren Sundul Langit masih dipegang oleh Kiai Sahlan, ayah dari Kiai Khos yang sekarang ini telah wafat. Hampir tak pernah terdengar pesantren mendapatkan kucuran dana dari birokrasi. Bahkan, pesantren Sundul Langit waktu itu terkenal sebagai pesantren yang secara tegas tidak bersedia menerima bantuan dari pemerintah. Ada semacam keyakinan bahwa uang pemerintah hukumnya syubhat, sebagian bahkan meyakininya haram.
Maka, Kiai Sahlan sangat keras terhadap masalah itu. Bahkan ketika bupati berencana memberikan bantuan berupa pembangunan sarana MCK untuk pesantren putra, dengan tegas Kiai Sahlan menolak:
“Lebih baik santri tetap buang hajat disungai. Itu lebih bermartabat daripada menerima uang pemerintah yang mendapatkannya harus melalui jalan yang panjang dan bertele-tele. Belum lagi harus memberikan uang terima kasih kepada pejabat fulan atau pejabat anu, sehingga ketika bantuan itu turun paling tinggal lima puluh persen.” itu alasan yang dilontarkan Kiai Sahlan.
Itu semua telah menjadi masa lalu. Kiai Khos sebagai penerus pesantren memiliki paradigma berfikir yang berbeda. Zaman telah berubah. Tidak seharusnya generasi sekarang harus mengikuti cara berfikir generasi masa lalu yang kadang absurd. Setiap zaman memiliki kecenderungannya masing-masing. Bukankah pejabat-pejabat sekarang cenderung islami semenjak Kiai Semar naik menjadi presiden beberapa tahun silam.
Maka ketika Gus Wafa, adiknya yang bekerja di birokrasi menyampaikan informasi tentang aliran dana untuk pesantren, Kiai Khos segera mengumpulkan para pengurus.
“Kita harus bergerak cepat, jangan sampai dana itu turun ke pesantren lain. Bukankah kita sangat membutuhkan suntikan dana untuk meneruskan pembangunan pesantren yang sempat tersendat?” Kiai Khos mengawali pembicaraan pada rapat yang diadakan ba’da isya’.
“Tapi dana itu bukan untuk pembangunan, Kiai. Ini dana dikhususkan untuk memberdayakan pesantren yang sebelumnya telah memiliki koperasi. Dana ini semacam pendamping untuk membantu modal agar pesantren mampu mengembangkan usahanya dibidang-bidang lain.” tutur Gus Wafa yang tahu persis pencairan dana.
Kiai Khos tak segera bicara. Raut mukanya serius. Beberapa detik, tatapannya mengarah pada Kang Petruk yang duduk bersimpuh di pojok ruangan.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Kang Petruk?”
“Saya kira tak masalah Kiai, tetap saja kita buat proposal sesuai dengan juklaknya. Sayang jika bantuan ini turun ke pesantren lain.”
”Tapi pesantren kita tidak memiliki koperasi, Kang. Mungkinkah dana itu bisa turun sementara kita tak memiliki persyaratan sebagaimana yang dituturkan Gus Wafa.” lurah pondok yang sejak tadi diam buka suara.
“Itu masalah kecil. Toko Neng Halimah saja yang kita namakan sebagai koperasi pesantren. Bukankah pesantren memiliki surat izin usaha koperasi yang kita ajukan beberapa tahun silam. Saya kira, tak ada salahnya jika kita matur pada Neng Halimah agar bersedia meminjamkan tokonya sementara waktu. Tinggal nanti kita susun administrasi sesuai kebutuhan. Bagaimana Kiai?”
Kiai Khos hanya diam. Meskipun tidak secara tegas menolak, tapi diamnya Kiai Khos adalah isyarat bahwa beliau setuju. Maka selesailah rapat malam itu. Sebuah keputusan telah dihasilkan, bagaimana mengkondisikan pesantren supaya dapat menerima kucuran dana dari pemerintah yang jumlahnya ratusan juta rupiah.
***
Dan begitulah, toko Neng Halimah yang terletak jauh dari kawasan pesantren segera diboyong. Administrasi yang diperlukan segera disusun. Papan nama koperasi dibuat. Kang Petruk ditunjuk sebagai ketua yang bertugas mengegolkan turunnya bantuan.
Ketika tim dari pusat datang ke pesantren untuk melakukan studi kelayakan, selesai sudah semua persiapan itu. Dengan sangat meyakinkan, Kiai Khos menceritakan kepada tim ihwal pesantren, jumlah santri yang terus meningkat dari tahun ke tahun, infrastruktur yang menurutnya masih membutuhkan banyaknya perbaikan, dan lain sebagainya. Sampai kemudian, tim mensurvey koperasi yang dijadikan persyaratan.
“Sudah berapa lama usaha ini dikembangkan pesantren?”
“Sekitar sepuluh tahun, Pak.”
“Kenapa tidak mengembangkan ke bidang-bidang lain, seperti memperluas usaha dengan menyediakan barang-barang yang langsung didatangkan dari pabrik.”
“Keinginan kami memang demikian. Tapi dengan minimnya modal, sulit bagi kami untuk mewujudkan semua itu. Maka, kami betul-betul berharap pemerintah bisa mempertimbangkan pesantren ini dapat menerima bantuan. Saya yakin dengan bantuan itu, cita-cita yang selama ini kami impikan bisa segera terwujud.”
***
Dan bantuan itu turunlah sudah. Warga pesantren bersyukur. Demikian juga Kiai Khos. Bayangan pesantren dengan kemajuannya terbayang didepan mata. Ia menerawang, betapa bahagia Sang Abah di alam sana ketika menyaksikan pesantren yang ditinggalkannya mengalami perkembangan yang begitu pesat.
Namun disisi lain, pekik syukur yang membahana dari penjuru pesantren sangat bertentangan dengan jiwa Kang Towil. Gurat-gurat keprihatinan memancar dari wajah alumnus yang telah menikah dan kini memiliki dua orang anak itu. Dari tempat yang jauh, Kang Towil menyaksikan semua adegan itu dengan perasaan entah.
Ia memang bangga. Bahkan teramat bangga menyaksikan Pesantren Sundul Langit dapat memberdayakan santri di tengah gegap gempitanya zaman. Tapi yang membuat hatinya sedih adalah cara yang ditempuh yang sungguh bertentangan dengan hati nuraninya. Mengapa pesantren harus rela bersusah payah menciptakan rekayasa yang pada hakekatnya menggali lubang kubur bagi dirinya sendiri. Bukankah pesantren adalah lembaga suci yang mandiri, yang memiliki martabat serta harga diri. Kenapa dengan segala kelebihannya, pesantren tak kunjung mampu membusungkan dada, berkata dengan lantang kepada semua orang bahwa meskipun tanpa bantuan pemerintah, ia tetap bisa berkembang dengan mendayagunakan potensinya dalam mengantarkan anak-anak zaman menggapai cakrawala hidup yang diimpikannya.
Kang Towil gusar. Dan kegusaran itu tiba-tiba saja bercampur rasa geli. Siapakah dia sehingga memiliki pandangan kuno ditengah hiruk pikuk zaman yang mengedepankan rasionalitas dan menuntut persaingan hidup tak habis-habis?
Kang Towil tertawa terbahak-bahak. Tawa itu baru terhenti ketika anaknya yang sedang tertidur disampingnya menggeliat. Buru-buru Kang Towil meraih sebotol susu. Isinya tinggal separoh. Esok pagi dia harus segera mencari hutang untuk membeli susu yang mungkin habis malam ini. Uangnya yang tinggal sepuluh ribu telah diberikan kepada istrinya sore tadi untuk keperluan belanja esok hari.***
TAK ada hal yang menggembirakan bagi warga Pesantren Sundul Langit selain memperoleh bantuan dana dari pemerintah yang jumlahnya lumayan banyak. Bantuan yang berasal dari kas pemerintah pusat itu cair seminggu yang lalu, langsung ditransfer dari jakarta tanpa pungutan sepeser pun. Ini sungguh kabar menggembirakan. Betapa tidak, pesantren dibawah asuhan Kiai Khos itu tentu memiliki peluang lebih besar untuk terus berkibar menunjukkan eksistensinya.
Selama ini, Pesantren Sundul Langit memang terkenal sebagai pesantren modern yang namanya cukup terkenal. Sepadan dengan namanya, pesantren ini telah mengangkasa melintasi batas-batas geografis. Santri yang mukim tak hanya berasal dari wilayah sekitar di mana pesantren itu berada, namun berasal juga dari tempat-tempat yang jauh. Itulah sebabnya, Kiai Khos terus berusaha mengembangkan pesantren menuju gerbang yang dicita-citakan.
Maka jangan heran jika sesekali engkau berkunjung ke pesantren ini, engkau akan menjumpai santri yang tak hanya fasih membaca kitab-kitab gundul. Kau akan temukan juga betapa hampir seluruh santri mahir dalam memainkan tombol komputer. Suasana pesantren yang asri dan nyaman, sangat bertentangan dengan image yang beredar di masyarakat bahwa pesantren adalah tempat yang kumuh dan kumal. Dan lihatlah disana, sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat lengkap. Sungguh! Apa yang kau lihat di pesantren ini sangat menggambarkan jika Pesantren Sundul Langit bukanlah pesantren konservatif yang tak bersedia membuka diri dengan perkembangan dunia luar.
Memang sudah menjadi tekad Kiai Khos, melihat perkembangan zaman yang begitu niscaya, ia tidak menginginkan jika santrinya kelak menjadi manusia yang gagap. Itulah sebabnya, segala macam cara ditempuh. Mulai dari menyediakan lab komputer sampai bahasa, mendirikan bengkel kerja untuk mengembangkan bakat dan ketrampilan santri, mendatangkan tenaga profesional untuk memberikan pelatihan-pelatihan, dan lain sebagainya.
Bagi Kiai Khos, sangat riskan jika dia harus membebankan semua biaya hanya kepada wali santri. Ia tak ingin jika terbentuk opini bahwa Pesantren Sundul Langit adalah pesantren termahal. Maka satu-satunya jalan adalah dengan menjalin komunikasi dengan kalangan birokrasi.
Ini sungguh berbeda dengan puluhan tahun silam, ketika pesantren Sundul Langit masih dipegang oleh Kiai Sahlan, ayah dari Kiai Khos yang sekarang ini telah wafat. Hampir tak pernah terdengar pesantren mendapatkan kucuran dana dari birokrasi. Bahkan, pesantren Sundul Langit waktu itu terkenal sebagai pesantren yang secara tegas tidak bersedia menerima bantuan dari pemerintah. Ada semacam keyakinan bahwa uang pemerintah hukumnya syubhat, sebagian bahkan meyakininya haram.
Maka, Kiai Sahlan sangat keras terhadap masalah itu. Bahkan ketika bupati berencana memberikan bantuan berupa pembangunan sarana MCK untuk pesantren putra, dengan tegas Kiai Sahlan menolak:
“Lebih baik santri tetap buang hajat disungai. Itu lebih bermartabat daripada menerima uang pemerintah yang mendapatkannya harus melalui jalan yang panjang dan bertele-tele. Belum lagi harus memberikan uang terima kasih kepada pejabat fulan atau pejabat anu, sehingga ketika bantuan itu turun paling tinggal lima puluh persen.” itu alasan yang dilontarkan Kiai Sahlan.
Itu semua telah menjadi masa lalu. Kiai Khos sebagai penerus pesantren memiliki paradigma berfikir yang berbeda. Zaman telah berubah. Tidak seharusnya generasi sekarang harus mengikuti cara berfikir generasi masa lalu yang kadang absurd. Setiap zaman memiliki kecenderungannya masing-masing. Bukankah pejabat-pejabat sekarang cenderung islami semenjak Kiai Semar naik menjadi presiden beberapa tahun silam.
Maka ketika Gus Wafa, adiknya yang bekerja di birokrasi menyampaikan informasi tentang aliran dana untuk pesantren, Kiai Khos segera mengumpulkan para pengurus.
“Kita harus bergerak cepat, jangan sampai dana itu turun ke pesantren lain. Bukankah kita sangat membutuhkan suntikan dana untuk meneruskan pembangunan pesantren yang sempat tersendat?” Kiai Khos mengawali pembicaraan pada rapat yang diadakan ba’da isya’.
“Tapi dana itu bukan untuk pembangunan, Kiai. Ini dana dikhususkan untuk memberdayakan pesantren yang sebelumnya telah memiliki koperasi. Dana ini semacam pendamping untuk membantu modal agar pesantren mampu mengembangkan usahanya dibidang-bidang lain.” tutur Gus Wafa yang tahu persis pencairan dana.
Kiai Khos tak segera bicara. Raut mukanya serius. Beberapa detik, tatapannya mengarah pada Kang Petruk yang duduk bersimpuh di pojok ruangan.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Kang Petruk?”
“Saya kira tak masalah Kiai, tetap saja kita buat proposal sesuai dengan juklaknya. Sayang jika bantuan ini turun ke pesantren lain.”
”Tapi pesantren kita tidak memiliki koperasi, Kang. Mungkinkah dana itu bisa turun sementara kita tak memiliki persyaratan sebagaimana yang dituturkan Gus Wafa.” lurah pondok yang sejak tadi diam buka suara.
“Itu masalah kecil. Toko Neng Halimah saja yang kita namakan sebagai koperasi pesantren. Bukankah pesantren memiliki surat izin usaha koperasi yang kita ajukan beberapa tahun silam. Saya kira, tak ada salahnya jika kita matur pada Neng Halimah agar bersedia meminjamkan tokonya sementara waktu. Tinggal nanti kita susun administrasi sesuai kebutuhan. Bagaimana Kiai?”
Kiai Khos hanya diam. Meskipun tidak secara tegas menolak, tapi diamnya Kiai Khos adalah isyarat bahwa beliau setuju. Maka selesailah rapat malam itu. Sebuah keputusan telah dihasilkan, bagaimana mengkondisikan pesantren supaya dapat menerima kucuran dana dari pemerintah yang jumlahnya ratusan juta rupiah.
***
Dan begitulah, toko Neng Halimah yang terletak jauh dari kawasan pesantren segera diboyong. Administrasi yang diperlukan segera disusun. Papan nama koperasi dibuat. Kang Petruk ditunjuk sebagai ketua yang bertugas mengegolkan turunnya bantuan.
Ketika tim dari pusat datang ke pesantren untuk melakukan studi kelayakan, selesai sudah semua persiapan itu. Dengan sangat meyakinkan, Kiai Khos menceritakan kepada tim ihwal pesantren, jumlah santri yang terus meningkat dari tahun ke tahun, infrastruktur yang menurutnya masih membutuhkan banyaknya perbaikan, dan lain sebagainya. Sampai kemudian, tim mensurvey koperasi yang dijadikan persyaratan.
“Sudah berapa lama usaha ini dikembangkan pesantren?”
“Sekitar sepuluh tahun, Pak.”
“Kenapa tidak mengembangkan ke bidang-bidang lain, seperti memperluas usaha dengan menyediakan barang-barang yang langsung didatangkan dari pabrik.”
“Keinginan kami memang demikian. Tapi dengan minimnya modal, sulit bagi kami untuk mewujudkan semua itu. Maka, kami betul-betul berharap pemerintah bisa mempertimbangkan pesantren ini dapat menerima bantuan. Saya yakin dengan bantuan itu, cita-cita yang selama ini kami impikan bisa segera terwujud.”
***
Dan bantuan itu turunlah sudah. Warga pesantren bersyukur. Demikian juga Kiai Khos. Bayangan pesantren dengan kemajuannya terbayang didepan mata. Ia menerawang, betapa bahagia Sang Abah di alam sana ketika menyaksikan pesantren yang ditinggalkannya mengalami perkembangan yang begitu pesat.
Namun disisi lain, pekik syukur yang membahana dari penjuru pesantren sangat bertentangan dengan jiwa Kang Towil. Gurat-gurat keprihatinan memancar dari wajah alumnus yang telah menikah dan kini memiliki dua orang anak itu. Dari tempat yang jauh, Kang Towil menyaksikan semua adegan itu dengan perasaan entah.
Ia memang bangga. Bahkan teramat bangga menyaksikan Pesantren Sundul Langit dapat memberdayakan santri di tengah gegap gempitanya zaman. Tapi yang membuat hatinya sedih adalah cara yang ditempuh yang sungguh bertentangan dengan hati nuraninya. Mengapa pesantren harus rela bersusah payah menciptakan rekayasa yang pada hakekatnya menggali lubang kubur bagi dirinya sendiri. Bukankah pesantren adalah lembaga suci yang mandiri, yang memiliki martabat serta harga diri. Kenapa dengan segala kelebihannya, pesantren tak kunjung mampu membusungkan dada, berkata dengan lantang kepada semua orang bahwa meskipun tanpa bantuan pemerintah, ia tetap bisa berkembang dengan mendayagunakan potensinya dalam mengantarkan anak-anak zaman menggapai cakrawala hidup yang diimpikannya.
Kang Towil gusar. Dan kegusaran itu tiba-tiba saja bercampur rasa geli. Siapakah dia sehingga memiliki pandangan kuno ditengah hiruk pikuk zaman yang mengedepankan rasionalitas dan menuntut persaingan hidup tak habis-habis?
Kang Towil tertawa terbahak-bahak. Tawa itu baru terhenti ketika anaknya yang sedang tertidur disampingnya menggeliat. Buru-buru Kang Towil meraih sebotol susu. Isinya tinggal separoh. Esok pagi dia harus segera mencari hutang untuk membeli susu yang mungkin habis malam ini. Uangnya yang tinggal sepuluh ribu telah diberikan kepada istrinya sore tadi untuk keperluan belanja esok hari.***
Pesantren Sundul Langit
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>